It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
[14]
Bobby melayangkan tinjuannya tepat di wajah Aris. “Sejak dulu mana urusanmu yang benar, Kak?”
Aku tercengang melihat pemandangan yang ada di depan
mataku. Apa yang telah di lakukan Bobby kepada Aris. Apakah mereka memang saudara kandung? Jika begitu kenapa mereka
tidak mirip?
Kurasakan cairan yang bewarna merah itu menyentuh sudut
bibirku, seketika rasa asin dan amis merasuk dalam indra
perasaku.
BRAK!!
Bobby melayangkan tinjuan kepada Aris yang sukses membuat
Aris terjatuh.
Dia diam? Tak melakukan perlawanan. Bobby maju selangkah
dan mencengkram kerah baju Aris.
“Ini sudah yang keberapa kali? Apa kau ingat? Kau tak pernah
merasakannya!” ujar Bobby dengan nada tinggi di depan wajah
Aris.
“Bob, sudah Bob!” ujarku pelan.
“Diam kau! Bukan urusanmu! Aku melakukan ini bukan
untukmu!”
“Aku benci kalian,” kataku. “Lakukan sesukamu!” ujarku lalu
bergegas pergi dari ruangan itu.
***
Aku masuk ke toilet sekolah lalu menguncinya. Kubuka blazer
milikku lalu kemeja sekolahku. Kuamati bagian perutku
perlahan. Tak ada bekas ataupun luka disana. Tapi hanya rasa
perih yang kurasakan. Keramnya masih terasa hingga membuat pernapasanku kembali tidak stabil.
Kemudian kubasuh wajahku dengan air yang mengalir pada
westafel. Aku tersenyum getir. Perih di bagian sudut bibirku
mulai terasa.
Aku tak tahu apa yang akan kulakukan nantinya. Yang pasti
jika harus adu otot dengannya aku tak akan menang. Apa aku
harus diam saja? Akan kulawan dia dengan cara lain.
“Akan kulumpuhkan dia..” ujarku dengan menarik sebelah
sudut bibirku.
udah dilanjut
gomen, part 14 nya dikit, besok deh bakal dilanjut part 14 nya
arighatou:)
ga ampe mateng telornya udah selese baca....
“Siapa? Siapa yang akan kau lumpuhkan?” ujar seseorang.
Aku menoleh kebelakang. Dia! “Seseorang yang menyebalkan tadi,” jawabku datar. “Kau mahkluk yang kemarin kan? Siapa namamu? Aku lupa.”
“Kau lupa? Errr. Gw Dicky,” dia mengerang sendiri.
Kulihat sosok berkulit putih yang ada di sebelahnya,
Perawakannya mirip, nyaris membuatku iri. Tapi, hanya saja dia berambut cepak, tinggi tetapi tidak terlalu kurus, dan dengan sepasang mata almondnya yang mungkin jika kutatap mata itu lebih dari 3 detik. Pertahananku bisa runtuh. “Siapa dia,” ujarku pelan.
“Aku Gleen,” ujarnya ramah.
Aku tersenyum. “Aku Kenda, senang berkenalan dengan
kalian!”
Kami terdiam beberapa saat, kutatap mereka berdua yang memperhatikanku seolah mencari tahu siapa aku. “Aku bingung!” tukasku.
“Kenapa?” jawab mereka bersamaan.
“Apa motiv kalian ingin berteman denganku?” ujarku hati-hati.
“Tidak ada maksud apapun. Kami hanya ingin melakukan dan melihat sesuatu yang menarik, karena sudah bosan dengan aktifitas kami biasanya. Dan ada hal yang penting yang ingin kami lakukan,” jelasnya Gleen.
“Apa itu?”
“Kebaikan.”
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Maksudnya kami ingin melakukan hal-hal baik, mungkin tak berarti apa-apa. Tapi, untuk menebus rasa bersalah di hati kami masing-masing, dan tuhan yang menentukan bagaimana nantinya akhir dari kami,” ujarnya sambil tersenyum.
“Kau begitu baik,” gumamku kagum dengan ucapannya tadi.
Dia terkekeh. “Bagaimana? Kau tidak keberatan bukan?”
“Tidak sama sekali. Asal masing-masing diantara kita punya batasannya,” jawabku.
“Aku mengerti itu,” balas Gleen. “Btw, kau harus jaga sikapmu di depan mereka. Jangan menunjukkan ekspresi berlebih ketika kau berkomunikasi dengan kami. Jawablah dengan pelan. Di dalam kamarmu pun, kau tidur bersama 3 orang temanmu, pastikan mereka tidak curiga mengenai ini. Pasti sulit, tapi cobalah dulu. Mengerti?” perintahnya.
Aku mengangguk. “Tapi bukankah, kalian bisa baca pikiran
aku?”
Dicky tertawa dengan kerasnya. “Kau bodoh rupanya? Hahaha,” ujarnya sambil tertawa.
Aku mengerang. “Apa maksudmu?!”
“Kami tak bisa melakukan hal itu. Hanya saja pikiranmu begitu transparan. Mudah untuk di tebak! Hahaha,” lagi-lagi dia terkekeh.
“Errr, aku mau pulang dulu! Sampai nanti!” ujarku lalu berlalu.
***
Mungkin hariku nanti akan menjadi lebih menarik dengan mereka, pikirku.
Setelah makan malam selesai, aku kembali ke kamar. Di dalam hanya aku dan Bobby. Rio dan Joe sedang keluar, padahal ini sudah jam 9 malam, dan sebentar lagi lampu semua kamar akan di padamkan.
Kurasa tak masalah jika aku berkomunikasi dengan mereka saat ini. Lagi pula hanya ada Bobby yang sedang mendengarkan lagu dengan headsetnya.
“Kalian dari mana saja?” ujarku kaget ketika melihat kedua sosok tersebut masuk lewat tembok kamar.
“Hmm, hanya jalan-jalan saja,” ujar Dicky. “Kenapa?”
Aku menggeleng. “Ini sudah jam 10, kurasa kalian bisa menggangu jam tidurku,” aku menarik kedua sudut bibirku, memperlihatkan barisan gigiku.
“Anak laki? Harus biasa tidur malam,” ujar Dicky sinis.
“Ini asrama, aku tidak bisa seenaknya!” balasku lagi.
Dia menggertakkan giginya. Aku melipat tanganku di dada.
“Eh, katamu tadi, kau akan melumpuhkan seseorang? Siapa?” tanya Gleen.
“Faris!” ujarku tegas.
“wih sadis! Kau akan mematahkan kakinya?” ujar Dicky.
“Errrr, bukan itu maksudku, tapi ingin membuat dia...
berubah,” tukasku.
Dicky menggaruk kepalanya yang nggak gatal. “Hmm! Mengerikan,” ujarnya sambil terkekeh.
“Aku tahu maksudmu, tapi dengan cara?”
“Aku belum memikirkan sejauh itu.”
“Aku tahu bagaimana...,” ujar Dicky.