It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@RyoutaRanshirou
Indra pun sama terkejutnya, matanya memandang tak percaya sosok sang ayah yang tiba tiba saja datang mendobrak pintu rumah mereka.
"Ayo kita pulang Ian"
Jaya menarik sang anak bungsunya menjauh dari Indra.
Alvian memukul lengan kokoh yang kini mencengkram tangannya dengan keras.
"Ayah lepas!"
Alvian meraung dan terus memukul tangan sang ayah. Mata si sulung hanya terpaku menatap kejadian tersebut dalam diam. Ia tidak ada keberanian menentang sang ayah.
Jaya membalikkan tubuhnya menghadap Alvian yang masih meronta dalam genggamannya. Tangan kanannya terangkat menampar kulit putih sang anak yang kini memerah akibat ulahnya.
"Sudah Ian, cukup! Kamu terlalu sering membantah ayah! Sekarang ayah ingin kamu pulang dan jangan pernah lagi bertemu dengan kakak mu. Semakin lama kamu disini semakin aneh saja kelakuan mu itu hah! Memalukan"
Jaya kembali menarik Alvian keluar dari rumah. Melewati sosok Evan yang kini diam memandang Alvian dengan tatapan yang tak terbaca.
Kedua mata Alvian membulat melihat sosok Evan diluar sana, entah kenapa datang rasa penyesalan dihatinya saat melihat Evan disana, ia merasa bersalah sudah merusak kado sang kakak. Kepalanya tertunduk dalam dan ia hanya pasrah saja dibawa pergi sang ayah keluar dari rumahnya sendiri.
***
Tangannya kirinya mencengkram gagang pintu berlapiskan logam tersebut dengan erat, ia terlalu lelah untuk berfikir saat ini. Menghembuskan nafas berat ia angkat kepalanya memandang susana teras rumahnya yang kini sepi tapi kedua mata hitamnya menemukan sosok yang ia kenali. Sosok itu berdiri tak jauh dari pagar depan rumahnya. Evan sedang berdiri menatap dirinya tanpa ekspresi.
Indra mencoba memecahkan kesunyian yang tercipta diantara mereka dengan bertanya lebih dulu. Rasanya aneh berdiam diri terlalu lama seperti ini apalagi mereka biasanya selalu berisik jika sudah bersama tiba tiba menjadi canggung satu sama lain.
"Tumben kamu kesini tidak mengabari terlebih dahulu Evan"
seru Indra, ia memasang senyum yang terlihat memaksa.
"...." Evan tetap memilih diam sebagai jawaban.
"Kamu kena-"
"Aku melihatnya" ucap Evan memotong kata kata Indra.
Indra menghembuskan nafas lelah.
"Melihat apa?" Indra mencoba menutupinya dengan meraih tangan kekasihnya yang lunglai di masing masing sisi tubuh Evan. Sebelum Indra berhasil meraih jemarinya, Evan lebih dulu menepis tangan Indra yang hampir menyentuhnya.
"Kamu dan adik mu"
"....." kini Indra yang memilih bungkam. Tatapan mata Evan menyendu.
"Apakah- hubungan ini sangat menggangu adik mu?" Evan bertanya dengan rasa cemburunya yang ia pendam.
"Apa maksud mu?" tanya Indra.
"Aku lihat Alvian begitu sangat mencintai mu, ya seorang kakaknya sendiri, bahkan ia sampai membangkang pada ayahnya kan"
"Tapi apa kaitannya dengan i-"
"Cukup!" Lagi lagi Evan memotong perkataan kekasihya.
"Aku rasa hubungan ini memang sudah seharusnya berakhir, terlalu..terlalu banyak yang terluka bila tetap melanjutkannya. Aku..aku tidak mau jika hal seperti itu sampai terjadi" Evan mengatakannya dengan perasaan yang sama terlukanya.
@d_cetya: ok
@eswetod: ga setaun juga --a ini udah lanjut~
thank's mentionannya,semangattt
Kepalanya yang tertunduk semakin menunduk saja mendengar erangan gusar ayahnya, terlihat sekali sang ayah menahan amarahnya yang bisa kapan saja membuncah suatu waktu.
"Maaf-" ucap Alvian lirih, tangannya sedikit gemetar takut melihat kemarahan sang ayah.
Jaya membalikkan tubuhnya menghadap anak bungsunya.
"Minta maaf mu tidak berguna saat ini nak. Ayah sudah terlanjur kesal dengan sikap mu!" bentak sang ayah keras. Jaya melipatkan kedua tangannya ke dada.
"Sudah ayah putuskan, kamu akan ayah pindahkan ke luar kota"
Alvian terkejut mendengar ucapan sang ayah, tentu saja ia menolak mentah-mentah keputusan sepihak ayahnya. Ia tidak mau berpisah dengan kakaknya lagi seperti dulu.
"Tidak! Aku tidak mau ayah"
Tolak Alvian cepat, wajahnya memelas memohon pada sang ayah.
"Kamu mau ayah semakin membenci kakak mu itu Ian?"
"Ta-tapi ayah, aku-"
"Cukup Ian, sungguh ayah lelah mengurusi mu jika kamu terus membangkang seperti ini"
Jaya memijit kepalanya yang semakin pusing. Ia menghembuskan nafas letih.
"Kenapa ayah harus membenci kakak yah? Kenapa.." seru Alvian lirih. Tangannya terkepal erat. Jaya mendengus melihat ekspresi sedih anaknya.
"Apa harus ayah katakan lagi kebenarannya Alvian, apa harus ayah sebutkan semuanya kejadian masa lalu kepada mu hah, kamu sendiri jelas masih mengingat betul bagaimana kematian ibu mu dulu karna siapa" ucapnya kesal, Alvian tersentak mengingat tragedi masa kecilnya itu yang membuatnya sempat trauma sampai saat ini. Tapi kejadian kecelakaan itu bukanlah sepenuhnya salah kakaknya, sumber dari segala masalah ada pada dirinya, kenapa saat itu dia tak mendengarkan sang ibu.
Tubuh Alvian bergetar mengingat putaran kejadian kecelakaan itu, wajahnya pias. Tangannya seperti menggigil kedinginan. Terlihat dengan jelas bagaimana percikan darah ibunya mengenai wajah dan menodai bajunya. Wajah polos kecilnya ternoda oleh darah ibunya sendiri. Di depan mata kepalanya sendiri ia melihat ibunya tertabrak dan meninggal.
***
Siapa yang bisa menebak hati seseorang, atau siapa yang mengetahui bentuk hati seseorang itu. Aku? Kamu? Siapa?.
Bahkan sekumpulan kata indah nan bermakna pun tidak bisa menjabarkannya.
Bahkan jika sang penyair hebat pun tak akan mampu menjelaskannya, yang sepenuhnya tau mungkin hanya diri seseorang itu sendiri. Yah hanya dirinya sendiri yang merasakannya.
Kepalanya yang tertunduk semakin menunduk saja mendengar erangan gusar ayahnya, terlihat sekali sang ayah menahan amarahnya yang bisa kapan saja membuncah suatu waktu.
"Maaf-" ucap Alvian lirih, tangannya sedikit gemetar takut melihat kemarahan sang ayah.
Jaya membalikkan tubuhnya menghadap anak bungsunya.
"Minta maaf mu tidak berguna saat ini nak. Ayah sudah terlanjur kesal dengan sikap mu!" bentak sang ayah keras. Jaya melipatkan kedua tangannya ke dada.
"Sudah ayah putuskan, kamu akan ayah pindahkan ke luar kota"
Alvian terkejut mendengar ucapan sang ayah, tentu saja ia menolak mentah-mentah keputusan sepihak ayahnya. Ia tidak mau berpisah dengan kakaknya lagi seperti dulu.
"Tidak! Aku tidak mau ayah"
Tolak Alvian cepat, wajahnya memelas memohon pada sang ayah.
"Kamu mau ayah semakin membenci kakak mu itu Ian?"
"Ta-tapi ayah, aku-"
"Cukup Ian, sungguh ayah lelah mengurusi mu jika kamu terus membangkang seperti ini"
Jaya memijit kepalanya yang semakin pusing. Ia menghembuskan nafas letih.
"Kenapa ayah harus membenci kakak yah? Kenapa.." seru Alvian lirih. Tangannya terkepal erat. Jaya mendengus melihat ekspresi sedih anaknya.
"Apa harus ayah katakan lagi kebenarannya Alvian, apa harus ayah sebutkan semuanya kejadian masa lalu kepada mu hah, kamu sendiri jelas masih mengingat betul bagaimana kematian ibu mu dulu karna siapa" ucapnya kesal, Alvian tersentak mengingat tragedi masa kecilnya itu yang membuatnya sempat trauma sampai saat ini. Tapi kejadian kecelakaan itu bukanlah sepenuhnya salah kakaknya, sumber dari segala masalah ada pada dirinya, kenapa saat itu dia tak mendengarkan sang ibu.
Tubuh Alvian bergetar mengingat putaran kejadian kecelakaan itu, wajahnya pias. Tangannya seperti menggigil kedinginan. Terlihat dengan jelas bagaimana percikan darah ibunya mengenai wajah dan menodai bajunya. Wajah polos kecilnya ternoda oleh darah ibunya sendiri. Di depan mata kepalanya sendiri ia melihat ibunya tertabrak dan meninggal.
***
Siapa yang bisa menebak hati seseorang, atau siapa yang mengetahui bentuk hati seseorang itu. Aku? Kamu? Siapa?.
Bahkan sekumpulan kata indah nan bermakna pun tidak bisa menjabarkannya.
Bahkan jika sang penyair hebat pun tak akan mampu menjelaskannya, yang sepenuhnya tau mungkin hanya diri seseorang itu sendiri. Yah hanya dirinya sendiri yang merasakannya.
semakin kesinik ko jadi kayak sinetron ya
bagus...tapi gue bingung