It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@fuumareicchi ,
@regieallvano , @luky , @cee_gee , @novian,
@elul , @tsu_no_yanyan , @egosantoso ,
@arifinselalusial , @babayz @dafazartin, @zeva_21 ,
@bombo , @aries18 , @dhika_smg , @bi_ngung ,
@edwardlaura , @san1204, @needu, @alfa_centaury, @peace123456789, @putrasuherman1, @diyuna, @edelwis, @faisalits_ , @erickhidayat, @jhonshan26, @mr_makassar, @zhar12, @adra_84, @afif18_raka94, @indraa156, @master_ofsun, @Dimaz_Deprince63, @sasadara, @Wilhem, @tarry
++++--+
++.
Selesai makan malam, kami masih melanjutkan obrolan-obrolan ringan. Aku lirik jam di tanganku sudah menunjukkan pukul delapan malam. Wika masih sibuk dengan dunianya, sementara Khalid, wajahnya terlihat semakin tampan dibayangi sinar lampu teplok. Yang aku suka dari dia, matanya. Matanya itu begitu tajam dan mempunyai kekuatan magis yang membuat dadaku berdebar.
"Khalid, tolongin Amak, beli obat nyamuk! Kasihan nanti Uda Reki dan Wika tidak bisa tidur!" Etek Sari menyerahkan selembar uang lima ribu ke tangan Khalid.
"Baik mak!" Suaranya terdengar santun dan enak didengar. Dengan sigap dia berdiri.
"Mau uda temani, khalid?"tanyaku berbasa-basi. Khalid sejenak menatap wajahku. Kemudian beralih menatap Wika.
"Tidak usah!" Jawabnya pendek. Dengan cepat dia berlari ke atas rumah gadang. Bunyi telapak kakinya menimbulkan suara bergedebuk dengan lantai papan rumah gadang.
"Tek, ga' apa-apa Khalid pergi sendirian? Ini sudah malam lho!" Ujarku sambil memandang wajah Etek Sari yang terlihat lelah.
"Tidak apa-apa Reki. Khalid anak yang pemberani!" Etek Sari menguap lebar-lebar, sepertinya dia sudah begitu mengantuk.
"Capek banget ya tek?"tanyaku lagi.
"Iya, etek ke kamar dulu ya? Kalian lanjutkan aja ngobrolnya sama nenek!" Ujarnya, lalu perlahan-lahan dia berdiri. Menyeret kakinya yang kecil sebelah. Seingatku, Etek Sari mengalami penyakit folio, untung saja penyakit tersebut cuma melumpuhkan satu kakinya. Hfff.
Suasana tiba-tiba saja menjadi begitu senyap. Wika merebahkan badannya dan menjadikan pahaku sebagai bantal. Dengan pelan ku usap dan ku belai rambutnya. Pasti dia lelah sekali seharian ini.
Aku menatap lampu teplok yang menguning. Dari corong lampu keluar asap hitam yang mengepul, tidak terlalu tebal, tapi cukup untuk menjadi pencuci mata.
"Bujang, sudah lama sekali kau tidak pulang! Aku sempat kehilangan harapan, khawatir tidak akan pernah lagi bertemu dengan kau. Kau lihatlah nenek kau ini, sudah tua, bungkuk bahkan mungkin menunggu malaikat pencabut nyawa untuk mengakhiri usiaku yang semakin uzur ini! Tapi syukurlah, alhamdulillah, Tuhan masih mengizinkan aku bertemu kau bujang, bahkan dikasih bonus dipertemukan adik kau tu! Tapi, nama kau siapa tadi bujang? Nama adik kau siapa juga? Pikiran tuaku tidak sanggup mengingat nama kau!"
Aku hanya melongo mendengar kata-kata nenek. Memang sih dari pertama bertemu sampai sekarang, nenek memanggilku Bujang. Panggilan khusus di Minang untuk anak lelaki, apalagi untuk pemuda tampan seperti aku. #tertunduk malu.
"Saya Reki, nek! Dan adikku ini namanya Wika!" Ujarku sambil tersenyum.
"Akh, terserah kalian sajalah! Palingannya, lima menit ke depan aku bakalan lupa lagi dengan nama kau! Hahaha!" Nenek tertawa. Tawanya terkikik. Nenekku memang sudah tua ternyata. Aku merasakan nyeri di dadaku.
"Nek, Khalid itu anaknya etek Sari?" Aku memperhatikan nenek yang sedang asyik melinting rokok daun. Membakarnya, dan menghisapnya dengan penuh nikmat. Aroma tembakau memenuhi rongga hidungku.
"Iya lah bujang, anak satu-satunya si Sari. Etek kau tu beruntung, di luar keterbatasan fisiknya masih ada orang yang mau menjadikannya isteri. Tapi sayang sekali jang, suaminya itu mati ditembak petir!" Nenek menceritakannya dengan santai, tapi aku malah shock mendengarnya.
"Ditembak petir???" Aku meyakinkan pendengaranku.
"Iya, tahu sajalah kau, bujang! Rata-rata orang di kampung ini bekerja sebagai petani. Suatu hari, hujan turun dengan sangat derasnya. Suami etek kau tu, masih di sawah. Guntur dan petir sabung menyabung di langit sana. Dari siang sampai malam hujan tak kunjung reda. Kami sudah sangat cemas, waktu itu si Sari sedang hamil sembilan bulan. Dan ketika malam semakin larut, ada orang yang membawa kabar buruk. Ayahnya si Khalid, mati ditembak petir dengan tubuh hangus mengerikan! Bayangkan bujang, di saat seperti itu, si Sari terkejut bukan alang kepalang, aku tidak tahu harus berbuat apa, Si Sari mengeluhkan sakit pada perutnya. Dan dimalam itu juga, aku membantu kelahiran anak pertamanya itu!" Suara nenek bergetar hebat ketika menceritakan kisah itu. Mataku berkaca-kaca. Kasihan sekali Khalid, tidak sempat melihat wajah bapaknya.
Aku masih hendak bertanya lagi ketika aku dengar seseorang menuruni tangga. Khalid, dia datang dengan wajah dipenuhi keringat. Ditangannya ada kantong plastik.
"Ah, sekarang kita ke atas lagi ya? Sudah malam ini! Tubuh tuaku ini tidak bisa begadang. Khalid, kau bantu bakar obat nyamuk itu ya? Tapi ingat, obat nyamuk yang kau bakar, jangan sampai rumah ini! Bujang, kau awasi si Khalid!" Nada berbicara nenek tiba-tiba berubah tajam. Matanya melotot tegas ke arah Khalid yang juga menatapnya buas.
Nenek perlahan-lahan berdiri. Berjalan dengan tertatih-tatih ke atas rumah gadang. Sekarang, di ruangan ini, yang ada hanya ada aku, Wika dan Khalid. Khalid berdiri dengan diam. Matanya terfokus pada cahaya lampu teplok.
Aku menarik pelan tangannya. Khalid tidak bergeming. Malah matanya menatapku tajam. Aku melepaskan tangannya. Dan membiarkan dia berdiri dalam diam.
"Ayo kita ke atas Khalid, di atas lebih hangat!" Ujarku sambil mengangkat tubuh Wika. Khalid masih berdiri dengan mata sekarang seperti menerawang. Ada apa dengan dia? Diamnya membuatku bingung.
Aku tidak mempedulikannya lagi. Perlahan-lahan aku mulai melangkah menjauhinya. Ku tolehkan kepalaku ke belakang, Khalid masih berdiri. Wajahnya masih menghadap cahaya lampu teplok.
Aku langsung menuju kamar yang telah disediakan. Ku baringkan tubuh Wika. Ku kecup keningnya. Dan aku hendak keluar dari kamar, ketika tiba-tiba sesosok tubuh berdiri pas di depan pintu. Aku tergagau.
"Khalid?" Seruku.
"Obat nyamuknya, uda!" Ujarnya, dia melewatiku dan masuk ke dalam kamar. Dia taroh obat nyamuk bakar tersebut di sudut kamar. Dia membuka lemari, dan mengeluarkan selimut tebal dari dalamnya. Dia mendekati ranjang dimana Wika terbaring. Menyelimutinya, sesaat aku lihat dia memandang wajah Wika.
"Selamat malam dan selamat tidur, uda! Semoga mimpi indah!" Dia tersenyum riang. Aku membalas senyumnya dengan sedikit kaku. Karena perubahan-perubahan sikapnya yang tidak ku mengerti.
Aku menatapnya yang sekarang duduk di ruang utama rumah gadang. Ditangannya terlihat sebuah buku. Di bawah penerangan lampu teplok dia membaca buku tersebut. Ku lirik Wika yang tertidur pulas, setelah yakin bisa ku tinggal, ku langkahkan kakiku mendekati Khalid.
Dia menatapku dan tersenyum.
"Uda, duduk disini! Khalid ingin Uda mendengarkan Khalid membaca buku ini!" Wajahnya semakin merona senang.
"Buku apa itu Dek? Tebal sekali?" Tanyaku sambil mendudukkan pantatku di sampingnya.
"Tambo Alam Minangkabau, Uda! Buku asal muasal sejarah kerajaan Minangkabau!" Jelasnya. Dia menyandarkan tubuhnya ke pahaku.
""Wahh, bacaannya berat sekali!" Pujiku sambil mengambil buku tersebut. Sangat tebal dan sudah lusuh. Buku ini terlihat tua karena kertasnya sudah menguning. Aku mengerinyitkan kepala ketika membaca kalimat-kalimat dalam buku tersebut. Tulisan dan bahasa tempo dulu, melayu sekali. Membuatku kesulitan memahaminya.
"Hehehe, pasti uda bingung kan?" Ujarnya sambil membolak balik halaman-halaman buku tersebut.
"Iya, bahasanya uda ga' ngerti!" Aku nyerah, "Khalid ceritakan deh ke uda, isi buku tersebut!"
Seperti mendapat durian runtuh, Khalid sangat bersemangat sekali. Kesan dingin dan kaku yang tadi menempel di dirinya lenyap seketika. Bahkan matanya berbinar-binar penuh semangat. Dia seperti tidak pernah berbicara bertahun-tahun. Tawanya, senyumnya, mimik mukanya membuatku begitu bahagia, aku senang, ternyata Khalid, sangat perfect sekali dalam pandanganku.
"Jadi, akhirnya kerbau orang Jawa itu mati tercabik-cabik ususnya uda, karena di tanduk sama kerbau kecil itu. Orang-orang berteriak-teriak, manang kabau!!! manang kabau!!! Manang kabau!!!, sehingga dari sanalah nama minang kabau tersebut di ambil! Gitu uda ceritanya!" Aku tersenyum melihat semangat yang meluap dari diri Khalid. Ku hapus keringat yang muncul di keningnya.
"Bagus sekali ceritanya, Dek! Jadi kamu sudah tamat membaca buku setebal itu?" Tanyaku.
"Sudah hapal luar kepala, Uda! Entah kenapa, Khalid sangat suka sekali membaca buku ini!" Dia menatap buku tersebut dan membawa ke dadanya.
Tanpa terasa kami larut dalam celoteh yang tidak ada ujung. Khalid ternyata sangat cerewet, rasa ingin tahunya tinggi sekali. Dan aku sedikit terkejut atas pengakuannya.
"Sebenarnya Khalid pengen banget bisa jadi dokter, uda! Khalid ingin bisa menyembuhkan penyakit amak. Sedih sekali melihat Amak cacat begitu. Tapi untungnya Amak dipenuhi cinta, walau hidup dalam berkekurangan seperti ini, Khalid tetap bahagia memiliki ibu seperti dia!" Khalid merebahkan badannya, seperti Wika tadi, menjadikan pahaku sebagai bantalan. Ku usap kepalanya. Rambut Khalid di potong pendek.
"Uda, terima kasih ya sudah mau tinggal disini! Khalid tidak akan merasa kesepian lagi!" Dia merengkuh tanganku ke dalam pelukannya.
Tanpa ku sadari, mata Khalid terpejam. Deru halus menderu dari hidungnya. Kasihan, masih kecil, harus putus sekolah dan harus bekerja untuk menyambung hidup.
Aku membiarkan diriku larut dalam sunyi. Ku biarkan angin berhembus diluar sana memainkan nada-nada kegetiran hidup. Ku biarkan simfoni alam itu mendengungkan lagu-lagu kesedihannya. Dan aku terlena dalam sunyi yang mencekam.
Bahkan aku bisa mendengar detak jantung Khalid karena begitu senyapnya suasana dalam rumah.
Tanpa di sadari oleh Reki, sepasang mata menatapnya dengan penuh kekecewaan. Air matanya perlahan-lahan merembes membasahi pipinya. Hatinya terasa sunyi, akankah aku ditinggalkan? Akankah aku sendirian dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini? Tidak... tidak..!!! Tidak ada yang boleh merebut dia dariku! Dia hanya MILIKKU!!!
Bersambung.