It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
maap ya udh bikin bingung..
@peace123456789
wkwk bagian story yg mana om @yuzz
@fuumareicchi ,
@regieallvano , @luky , @cee_gee , @novian,
@elul , @tsu_no_yanyan , @egosantoso ,
@arifinselalusial , @babayz @dafazartin, @zeva_21 ,
@bombo , @aries18 , @dhika_smg , @bi_ngung ,
@edwardlaura , @san1204, @needu, @alfa_centaury, @peace123456789, @putrasuherman1, @diyuna, @edelwis, @faisalits_ , @erickhidayat, @jhonshan26, @mr_makassar, @zhar12, @adra_84
Hari masih sore, sekitar pukul 17.15. Namun, suasana di dalam Rumah Gadang ini terasa gelap. Aku harus memanfaatkan cahaya yang masuk melalui pintu yang terbuka. Bunyi deritnya membuat bulu kudukku meremang.
"Assalamu'alaikum!" Aku mengucapkan salam, "Nenek, Nenek Sabai!"lanjutku sambil mengetuk-ngetuk pintu.
Masih tidak ada suara yang menjawab salamku. Mungkinkah nenek tidak ada di rumah. Aku takut untuk masuk lebih jauh ke dalam. Mengingat suasana yang gelap gulita. Belum lagi bau menyan yang sanga santer. Menusuk hidung membuat dadaku semakin berdebar kencang. Wika masih menempel di lenganku. Badannya berkeringat dingin. Iya, Wika takut gelap. Kegelapan adalah salah satu hal yang sangat ditakuti oleh Wika. Makanya aku tidak mau mengajaknya lebih jauh ke dalam.
"Kakak. Takut!" Ku dengar keluhan lirih dari mulutnya Wika. Aku mengajaknya duduk di dekat pintu masuk. Setidaknya ini ambang batas antara cahaya terang dan kegelapan dari dalam Rumah Gadang. Angin dari luar terasa begitu kencang, ku lihat Wika menggertakkan rahangnya untuk melawan hawa dingin yang mencucuk.
"Adek kedinginan ya? Sini, kakak peluk!" Wika mendekatkan badannya. Punggungnya berada di dadaku. Ku dekap tubuhnya. Aku sangat lelah. Ku sandarkan tubuhku ke daun pintu. Dan aku pun terlelap sambil mendekap hangatnya tubuh Wika.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, yang aku tahu, ketika terjaga, Wika sudah tidak ada dalam dekapanku. Aku langsung berdiri dengan panik. Di luar sudah gelap, di dalam rumah gadang juga sangat gelap. Aku sangat ketakutan. Wika, dimana kamu dek?
Aku turun dari tangga dengan hati-hati. Karena sangat gelap. Dadaku bergemuruh dengan kencang. Wajah Wika membayang, takut terjadi apa-apa dengannya.
"Wikaaaa... Wikaaaa...Dimana kamu, dek?" Aku berteriak sangat keras. Karena ini diperbukitan, suaraku kembali memantul, membuatku terkejut akan gema suaraku sendiri.
"Wikaaaaaa... Wika...!" Aku tidak tahu harus mencari kemana. Aku berlarian tidak tentu arah. Tidak tahu kemana aku akan mencari. Ketika aku melihat pohon besar yang ada di belakang Rumah Gadang, seketika mataku terbelalak dan tubuhku mengejang. Jeritan ketakutan menggelegar dari mulutku.
"Wikaaaaaaaaaaaa!!!" Aku berteriak histeris melihat tubuh Wika tergantung di atas pohon. Seutas tali menjerat lehernya. Aku berteriak-teriak. Rasa kehilangan, kepedihan menghantam jiwaku.
"Wikaaaaaaaaaa!"
Plakkk, aku merasakan kepalaku sakit. Ku buka mataku. Seorang nenek-nenek berdiri di depanku sambil memegang tongkatnya.
"Makanya bujang, maghrib-maghrib begini kau tidak boleh tidur! Banyak syaitannya! Ajak adik kau tu masuk!"
"Wika?" Ku lihat Wika masih tertegun menatapku. Dia ternyata masih ada dalam pelukanku. "Oh syukurlah, Wika! Kakak sangat takut sekali! Jangan pergi-pergi dari kakak ya!" Aku mengeratkan pelukanku di tubuhnya. Mimpiku tadi sungguh menyeramkan. Di luar ternyata masih ada cahaya. Walau sudah rembang petang. Ku tengok jam ditanganku, pukul 18.00, sudah mendekati maghrib. Ambang waktu jin dan manusia. Waktu maghrib adalah waktunya jin dan iblis bergerilya, makanya di anjurkan untuk segera menutup pintu dan tidak keluar dari rumah ketika maghrib menjelang.
Tuk tuk tuk, aku disadarkan oleh bunyi tongkat Nenek Sabai. Dia sudah sangat tua sekali sekarang. Tongkat itu sepertinya penyangga tubuhnya yang sudah semakin renta.
Aku dan Wika mengikutinya dari belakang. Dia menyalakan dua buah lampu teplok. Ruangan yang tadi gelap perlahan-lahan mulai sedikit terang walau cahayanya begitu temaram.
"Baru sampai kau, bujang?" Nenek mendudukkan pantat tuanya di atas lapik pandan (tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan). Walau sudah tua, mata nenek masih terlihat nyalang. Sorot matanya mengingatkanku akan sosok ayah. Nenek Sabai merupakan bako ku, orang tua dari ayahku.
"Iya nek!" Jawabku singkat, aku hanya heran, apa nenek tahu kalau kami ini cucunya? "Nenek tahu siapa kami?" Tanyaku penasaran. Karena pertemuan yang terbayang di mataku, adalah pertemuan yang seharusnya mengharu biru. Pertemuan dimana aku akan melihat air mata, mengingat begitu lamanya kami tidak bertemu.
"Tentu saja aku tahu, bujang! Wajah kalian mengingatkanku pada Pandeka! Akh, anak kurang ajar itu, sekian tahun tidak pulang-pulang. Kemana saja kalian menghilang?" Nenek menatapku dengan mata menerawang. Baru aku lihat, binar rindu yang tiba-tiba membayang di matanya.
"Masih di kota nek! Bunda sudah meninggal dan ayah pergi entah kemana! Rumah kami habis terbakar nek! Tidak tahu lagi mau kemana. Saya ingatnya cuma nenek! Cuma nenek satu-satunya harapan Wika dan Reki!" Aku merasa sangat sedih. Mataku panas. Dan sepertinya aku akan menangis.
Plakk, tongkat si nenek kembali hinggap di kepalaku. Aku memandangnya heran. Wika makin merapatkan tubuhnya.
"Jangan cengeng kau! Hidup itu memang keras bujang! Sudahlah, tak usah kau bersedih hati! Maghrib sebentar lagi akan menjelang. Kau ajaklah adik kau ini untuk berwudhu. Shalat maghrib kita lagi! Kau pimpinlah shalat untuk kami. Sudah lama aku tidak shalat berimam!" Dia perlahan-lahan berdiri. Nenek yang aneh, batinku. Tapi ada rasa senang juga. Karena nenek menerimaku apa adanya. Tanpa banyak tanya. Dia menyambutku seolah-olah aku sering mengunjunginya.
Aku segera mendekatinya. Memeluk tubuh tuanya. Dia tertegun.
"Makasih ya nek! Maafkan Reki yang tidak pernah mengunjungi nenek selama ini!" Nenek membelai rambutku.
"Iya bujang! Sudahlah, nenek bahagia kalian datang! Akh, setidaknya rumah gadang ini tidak lagi sepi! Ayo kita shalat, habis ini kita makan malam! Tapi satu yang harus kau ingat bujang, nenek kau ini bukan orang kaya! Apa yang ada sama dimakan, yang tiada sama dicari! Kau bantu-bantulah nenek ya! Nenek sudah sangat tua untuk mencari sesuap nasi!"
Aku semakin menguatkan pelukanku. Tangisku pecah. Aku tidak sanggup menahan keharuan ini.
"Sudah bujang! Sudah! Nenek senang kalian disini! Nenek senang!" Dia berkali-kali mengusap kepalaku. Sungguh nyaman sekali.
"Kakak!" Aku segera melepaskan pelukanku. Aku tidak mau Wika berpikir aneh. Berpikir aku cuekkan.
"Iya dek! Ayokk, kita ke luak dulu. Ambil wudhu! Bentar ya nek! Reki dan Wika ke luak dulu!" Nenek melambaikan tangannya. Aku melihat pipi tuanya basah oleh air mata. Akh nenek, makasih, batin hatiku lagi.
Luak itu tepat berada sebelah kiri dari rumah gadang. Luak merupakan tempat pemandian umum. Airnya didapatkan dari aliran air bukit yang jauh di hulu sana. Segar dan sangat alami.
Senja benar-benar telah meraja. Dari kejauhan, adzan maghrib berkumandang. Aku mempercepat mengambil wudhu dan membantu Wika. Saat maghrib adalah saat yang sangat rentan. Hawa jahat sering menyerang di saat senja begini. Makanya harus bersigera.
Aku, Wika dan nenek, menunaikan shalat maghrib dengan khusuk. Sudah begitu lama aku tidak mengimami orang shalat. Akh, jadi ingat bunda. Bunda selalu ingin berjamaah denganku. Di waktu subuh, maghrib dan isya. Bunda, semoga engkau tenang di alam sana. Doa kami selalu tercurah kepadamu Bunda. Dan maafkan aku bunda tidak bisa membalas jasa-jasamu. Aku bahkan tidak mampu membelikanmu obat untuk mengobati penyakitmu. Maafkan aku bunda! Itulah doaku disujud terakhirku. Air mata merembes membasahi pipiku.
Selesai shalat, nenek menunjukkan kamar yang akan kami diami.
"Bujang, kau lihatlah! Rumah gadang ini ada ruang besar, dengan lima kamar! Kamar-kamar ini sudah lama tidak didiami. Tapi selalu nenek bersihkan. Jadi kau aman untuk tidur disana. Kau pilihlah satu kamar untuk kau. Dan satu kamar untuk adik kau!"
"Nek, makasih! Tapi Wika biar sekamar denganku saja nek! Dia penakut!" Terangku. Sepertinya nenek belum mengetahui perihal Wika. Haruskah aku memberitahunya? Atau biar saja si nenek yang mencari tahu?
"Ha, terserah kau lah bujang! Rumah ini rumah kau juga! Nenek siapkan makan malam dulu!"
Dia berjalan terbungkuk-bungkuk meninggalkanku. Satu yang lupa untuk aku tanyakan. Listrik. Aku melihat ada lampu listrik dan kabel-kabelnya. Kenapa tidak nyala ya?
"Nek, listriknya mati ya?"teriakku.
"Iya bujang! Diputus sama orang besar di sana! Nenek sudah menunggak beberapa hari!" Jawabnya. Oh pantas saja. Besok aku akan mengurusnya. Wika pasti akan selalu ketakutan kalau tiap malam harus dilewatinya dalam kelam seperti ini.
Aku memutuskan memilih kamar nomor lima. Kamar paling ujung. Ku dorong pintunya. Bunyi berderit kembali terdengar. Aroma menyan kembali menyeruak. Dari manakah sumber bau-bau ini? Kenapa nenek memberi wewangian dari menyan untuk rumah ini?
Di dalam kamar yang tidak terlalu besar ini. Ada satu ranjang yang telah ditutupi dengan kelambu. Ranjang tua dari besi. Ukiran kepala harimau di kepala ranjang. Menatapku garang. Bulu kudukku meremang. Di samping ranjang, ada sebuah lemari dua pintu. Di mana pada pintu tersisip cermin besar setengah badan. Melalui cahaya dari lampu teplok yang aku bawa, bisa ku lihat lelaki dalam cermin, terlihat lelah dan capek. Aku mengusap wajahku. Di dekat jendela ada paku, ku gantungkan lampu teplok itu di sana.
Wika masih tidak melepaskan pegangannya dari tanganku. Matanya menyorot tajam. Penuh hawa kemarahan. Binar mata yang tidak pernah aku lihat.
"Adek! Sabar ya? Untuk sementara kita tinggal disini dulu. Kakak tahu, kamu pasti kecewa dan tidak nyaman disini! Untuk saat ini, hanya ini yang bisa kita lakukan!" Aku jongkok di depannya. Wika menarik nafasnya dengan kuat dan menghempaskannya dengan desahan panjang. Dia terlihat sangat kesal. Aku mengusap kepalanya. Membawanya ke dalam pelukanku.
"Adek tahu kan, kakak sangat sayang sekali sama adek! Jadi adek tidak perlu cemas atau takut. Kakak akan selalu jaga adek! Ayo senyum, untuk kakak! Wika sayang kan sama kakak?" Aku menatap matanya yang gelisah. Dia tiba-tiba memeluk tubuhku. Membenamkan wajahnya d leherku.
"Takut!" Bisiknya pelan dengan tubuh mengejang.
"Iya, adek tenang saja! Kalau adek takut, teruslah pegang tangan kakak. Kakak tidak akan meninggalkan adek!" Perlahan-lahan aku mendorong tubuhnya perlahan. Aku segera mengajak Wika keluar kamar setelah menaroh barang-barangku.
Berjalan dengan pelan ke arah ruangan dimana nenek sedang menyiapkan makanan. Di sebelah kanan paling ujung, ada sebuah tangga, menghubungkan ke rumah kecil yang menyatu dengan rumah gadang. Aku lihat beberapa lampu teplok menyala. Suasana di ruangan ini lebih hidup.
Dengan hati-hati aku membimbing Wika menuruni tangga yang ada lima undakan banyaknya.
Begitu sampai di bawah, ku lihat nenek sedang duduk di tikar pandan yang lumayan luas. Satu yang membuatku canggung. Di depan nenek ada seseorang, perempuan setengah baya. Dan disampingnya seorang anak lelaki seusia Wika.
"Ohh, ini anak etek? Ya ampunn, Rekiii... kamu sudah besar nak!" Ibu-ibu tersebut berdiri. Dan aku mengerinyitkan dahi, dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. Tangan kanannya menekan lutut kanannya ketika berjalan.
"Etek Sari!" Ujarku haru. Sudah lama aku tidak melihat adik ayahku ini. Segera ku buru tubuhnya dan memeluknya.
"Sudah besar kamu, nak! Kemana saja kamu selama ini. Dan itu siapa?" Tanya etek menatap Wika.
"Ohh ini Wika, tek! Adik Reki saru-satunya! Wika, sini dek!" Wika tidak bergeming. Dia terlihat bergetar dengan tubuh menggigil. Aku segera mendekatinya. Membawanya ke dalam pelukanku. Semua mata menatapku heran. Etek Sari mendekatiku.
"Ini... adik kamu?" Etek Sari menarik dengan pelan tubuh Wika.
"Iya tek!" Jawabku singkat. Wika tidak mempedulikan Etek Sari.
"Ada yang aneh dengannya!" Bisik etek ke telingaku. Aku mengangguk.
"Ya udah, kita makan dulu! Etek baru pulang dari sawah. Astaga, etek lupa! Khalid, kesini bujang! Kenalan sama sepupu kau ni!" Etek memanggil anak lelaki yang memandang kami dengan diam.
Wajahnya, sangat kental dengan wajah-wajah arab. Siapakah dia? Apa anaknya Etek Sari? Dia menatapku tajam lalu beralih ke Wika.
Memeluk tubuhku, dan memeluk tubuh Wika. Tanpa suara.
"Ya udah, ayok makan! Kita sudahi basa-basinya!" Ujar etek.
Aku masih bergidik melihat tatapan tajam matanya Khalid dan aku juga tidak tenang dengan binar kemarahan di matanya Wika. Bisakah aku melewati hari-hariku di kampung yang sunyi ini. Apakah akan jadi petaka atau aku akan memetik tuah bahagia di sudut terpencil negeri ini?
Aku gamang.
simpel ya rumah gadang..
Ruang itu ruang tamu ya?besar banget ... Dapurnya sebelah mana? Nyatu ama ruang makan kah?
nah dapur itu nyatu dengan ruang makan. kalo ibaratnya itu bisa juga jadi satu rumah anak yang nyatu ke rumah utama.
demikian.