It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Titip mensen ya uda
Tapi itu kolor basah ceritanya bikin bingung da,mana yg fantasi si tokoh mana yang bener2 kejadian sama tokohnya tersebut,
aaiiih abang apa nich yg di cup awas batal loh puasanya , by the way abang selalu bisa bikin cerita yg bikin kita terbawa suasana haru plus bahagia, sedih , kecewa, nangis , tertawa, yg lebih wow lagi klo yg binal binal and bikin kita horny buuuuuh untung nich cerita agak mesteri jadi masih bisa puasa dg tenang coba klo binal seperti sempak nya si anto parah bisa batal puasa nya
lanjutkan!!
@fuumareicchi ,
@regieallvano , @luky , @cee_gee , @novian,
@elul , @tsu_no_yanyan , @egosantoso ,
@arifinselalusial , @babayz @dafazartin, @zeva_21 ,
@bombo , @aries18 , @dhika_smg , @bi_ngung ,
@edwardlaura , @san1204, @needu, @alfa_centaury, @peace123456789, @putrasuherman1, @diyuna, @edelwis, @faisalits_ , @erickhidayat, @jhonshan26, @mr_makassar
Sorry kelamaan ya, here we go:
Malam merayap menjemput kesunyian. Wisma ini terasa begitu sepi. Kamar terasa begitu dingin karena hembusan angin dari kipas angin kecil yang berada di sudut kamar dan terletak di atas meja kecil.
Bingung! Itulah yang ku rasakan saat ini. Aku gamang menyambut datangnya hari esok! Apa yang harus aku lakukan? Rumah tiada, orang tua tiada, dan sekarang aku harus menanggung hidup saudaraku yang cacat. Seandainya pun aku bisa mencari dan mendapatkan pekerjaan, bersama siapa dia harus ku tinggalkan? Apa aku harus menyewa seorang perawat? Duit dari mana! Atau aku serahkan ke panti asuhan? Apakah mungkin orang panti mau menampung anak cacat? Atau aku biarkan saja dia menggelandang di kota ini. Biar Tuhan yang menentukan nasibnya dia. Aku juga punya masa depan, bagaimana bisa aku meraihnya kalau dia akan membebani langkah-langkahku.
Aku merasakan kepalaku berdenyut. Sungguh, aku tidak menyangka kalau perjalanan hidupku akan serumit ini. Begitu banyak air mata yang telah tumpah. Dan itu hanya gara-gara lelaki durjana itu? Hebat sekali dia, tega membakar rumah dimana anak-anaknya sedang bernaung. Bisa apa aku? Aku tidak punya keahlian apa-apa. Dan apakah dia tidak memikirkan Wika sedikitpun? Dimana Wika harus tidur, harus merasa aman dan tenang. Akh, kepalaku seolah mau pecah.
Aku bangkit dari tidurku dan berjalan mendekati kipas angin kecil tersebut. Menekan tombol sedang. Wika terlihat kedinginan walau tubuhnya sudah ku selimuti. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Wika juga butuh kebahagiaan walau harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Iyah, hanya ada satu cara! Aku harus pulang. Pulang ke kampung halaman yang sunyi. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Hanya itu satu-satunya cara yang bisa aku lakukan.
Ku hempaskan tubuhku kembali di samping Wika. Ku tarik tubuhnya dan ku peluk dengan erat. Hangatnya tubuh Wika memberi kedamaian ke dalam jiwaku. Mungkin ini amanah Tuhan untukku. Aku harus menjaganya.
"Wika, kamu sudah siap sayang?" Aku memandangi Wika yang sibuk memasang sepatunya. Aku tersenyum miris, bahkan hanya sekedar memasang sepatu saja Wika butuh begitu banyak waktu. Aku segera jongkok di depannya. Ku raih tangannya dan ku taroh di bahuku untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Ku raih kakinya dan ku pasangkan sepatu baru yang baru saja ku beli. Setelah selesai ku tatap sosoknya.
"Ganteng sekali adek kakak ini!" Ku cium pipinya kiri dan kanan. Dia tersenyum. Sangat manis. Ku peluk dan ku dekap dengan erat. Aku tidak akan pernah bosan memelukmu, Wika. Kakak sayang banget sama kamu.
"Ayo berangkat!" Ku pasangkan topi di kepalanya. Melindunginya dari cahaya matahari yang mulai menyengat. Ku lirik jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 11 siang. Aku harus cepat-cepat ke terminal. Perjalanan ke kampungku menghabiskan waktu sekitar tiga jam. Sengaja aku berangkat siang agar tidak kemalaman sampai di kampungku yang berada di kaki bukit itu. Sudah hampir lima belas tahun aku tidak pernah pulang. Apakah nenek masih mengenaliku? Aku berdebar-debar.
Wika menggenggam tanganku. Dia terlihat begitu ceria berjalan di sampingku. Sekali-kali dia meloncat-loncat, dari mulutnya keluar nada-nada yang tidak aku mengerti, apakah dia sedang bergumam atau sedang bersenandung.
Kami naik angkot ke arah terminal. Sebenarnya bukan terminal sih, di kota ini, terminalnya tidak ada, jadi ada disuatu area dimana buss dan travel ngetem. Kesitulah tujuan kami sekarang.
"Bang, ke kabupaten tanah datar berapa bang???" Tanyaku ke salah seorang kenek buss begitu sampai di terminal bayangan.
"18 ribu dek! Mau ke sana?" Tanyanya sambil menatapku dan Wika bergantian.
"Iya bang, pesan dua ya bang! Paling belakang aja duduknya bang!" Jelasku ke beliau. Aku dikasih dua karcis. Kebetulan di dalam buss sudah banyak orang jadi aku dan Wika tidak harus menunggu lama.
Wika terlihat begitu gelisah. Matanya berputar-putar liar. Sekali-kali dia meremas tanganku. Aku usap kepalanya.
"Tenang ya dek! Kamu aman bersama kakak! Ayo sandarkan kepalamu di lengan kakak!" Aku menarik kepalanya, merebahkannya di lenganku. "Pejamkan saja matamu kalau kamu merasa takut! Kakak akan selalu menjaga kamu, sayang!" Bisikku lagi.
Tidak berapa lama, buss mulai berjalan, Wika semakin stress, dia semakin meremas lenganku kuat. Ini pertama kalinya dia ku ajak naik buss, dan ini perjalanan pertamanya yang jauh dari kota ini. Aku membawanya ke dadaku, aku peluk sambil mengusap lembut punggungnya.
Aku tahu, orang disampingku mungkin merasa heran melihat aku dan Wika kasak kusuk. Belum lagi caraku menenangkan Wika yang terlihat begitu tertekan. Tapi apa peduliku, aku tidak butuh simpati dari orang lain.
Selama perjalanan, Wika mulai merasa nyaman. Dia mulai bisa merenggangkan tubuhnya dari tubuhku. Dia melongok lewat kaca jendela. Melihat pohon-pohon yang seperti berlari kencang. Dia menunjuk-nunjuk dan tertawa, entah apa yang lucu. Sekali dia melirik ke arahku. Lirikannya itu sangat lucu sekali. Entahlah, kadang Wika membuatku gemas sendiri.
"Minum dulu!" Ujarku sambil mendekatkan sedotan air dari botol teh sosro. Dia menyeruputnya. Wajahnya memerah merona. Dia tersenyum dan kembali menolehkan kepalanya ke arah luar. Sepertinya pepohonan di luar sana lebih menyita perhatiannya. Dia kembali tertawa da sekali-kali mencubit lenganku. Semua tindakan kecilnya itu membuatku semakin merasa lucu. Ku cium kepalanya.
"Sayang sekali sama adiknya bang!" Aku menoleh ke arah sumber suara. Tepat di sebelahku, ada anak seusia Wika atau mungkin lebih tua sedikit dari Wika. Ku lihat wajahnya yang putih pucat. Bibirnya pun pucat. Matanya sayu. Hidung mancung, dan ada jerawat kecil-kecil, tidak banyak menghiasi wajahnya.
"Iya, adik satu-satunya!" Jawabku sekenanya. Dia menatapku dalam, seolah mencari sesuatu di kedalaman mataku.
"Beruntunglah bang, orang yang jadi adik abang! Tidak seperti saya, saudara banyak, tapi tidak ada yang akur. Berantem saja setiap hari! Kadang iri melihat orang yang akrab dengan saudaranya!" Ujarnya lirih. Aku tertegun mendengar kata-katanya.
"Sabar ya, semua akan indah pada waktunya. Tinggal kita menjalaninya. Kalau orang tidak care atau peduli, maka kita yang harus berinisiatif untuk peduli dan care terhadap orang lain! Akh, adek orang tuanya masih ada?" Tanyaku lembut sambil memegang bahunya.
"Masih bang, mereka orang tua yang sangat baik. Tapi ga' tau deh, kenapa kami anak-anaknya malah sering melukai dan menyakiti perasaan mereka. Di rumah tidak pernah tenang, hanya keributan, sumpah serapah dan kebencian yang ada di rumah saya! Akh, maaf ya bang saya jadi curhat!" Dia menundukkan kepalanya dan dengan cepat mengusap air mata yang menetes dari sudut matanya.
"Sabat ya dek! Abang yakin kok, kamu bisa memperbaiki itu semua! Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?" Aku mengulurkan tangan.
"Raka bang!" Jawabnya sambil memaksakan untuk tersenyum. Anak yang manis.
"Wahh, nama kita hampir mirip! Abang namanya Reki, dan adik abang ini namanya Wika!" Aku melepaskan jabatan tanganku.
"Abang turun dimana?" Tanyanya sambil memperhatikan Wika yang mungkin mulai terlihat aneh di matanya. Aku bisa merasakan keheranan di wajahnya.
"Di daerah kabupaten tanah datar sana! Abang mau mengunjungi nenek. Sudah lama tidak pulang kampung!" Jawabku singkat. Mulai tidak nyaman dengan ekspresi Raka yang sepertinya menebak-nebak apa yang terjadi dengan Wika.
"Wahh, jauh sekali bang! Saya turun di Padang Panjang. Kalau boleh, saya ingin main ke kampung abang ya?" Ujarnya antusias dan mulai merobah ekspresi wajahnya yang tadi bingung. "Nomor abang berapa?"
Aku menatapnya. Ini anak gampang sekali akrab denganku, apa ke semua orang dia sksd begini? Namun melihat kejujuran di matanya, ku berikan sederet angka. Dia tersenyum bahagia. Senyum yang tidak aku mengerti kenapa begitu sumringah.
Raka anak yang menarik, dia terlihat lebih dewasa dari usianya. Mungkin lingkungan dan jalan hidup telah membuatnya harus berpikir lebih maju ke depan. Ketika sampai di Padang Panjang, dia sampai ditujuannya. Sebelum turun dari buss, dia mencium tanganku, dan mengusap lembut kepala Wika. Apa yang dipikirkan Raka tentang Wika?
"Hati-hati ya bang, kabari Raka begitu abang sampai di kampung! Da dah abang, da dah Wika!" Dia meloncat dari buss. Ketika buss sudah kembali melaju, aku menyandarkan tubuhku. Ngantuk juga. Ku lihat Wika matanya pun mulai berat, ku rengkuh dia ke dalam pelukanku. Tidak berapa lama, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Aku sampai di Kabupaten tanah datar dengan selamat. Dan aku harus mempersiapkan mentalku untuk menemui nenek yang sekian tahun tidak pernah ku jumpai. Bagaimanakah reaksinya ketika melihatku dan Wika. Senangkah? Sedihkah? Aku semakin deg degan.
Rumah nenekku tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor. Letaknya sebenarnya jauh dari pusat pemukiman, berada paling luar dari perkampungan penduduk. Harus melewati sawah yang membentang luas dan perbukitan dengan jalan yang dipenuhi dengan batu cadas.
Aku sekarang berada di pintu masuk perkampungan. Jorong Korong Gadang, begitu nama kampungku. Sebuah desa yang dikelilingi perbukitan dan sawah yang menghampar luas. Udaranya sangat sejuk dan terasa sungguh nyaman. Kampung ini terlihat sepi. Tidak ada yang menanti kami. Aku dan Wika berjalan dengan santai. Aku hanya ingin mengiringi langkah-langkah kecil Wika. Dia belum terbiasa dengan perjalanan jauh, dan aku harus sabar mendampinginya. Kami berjalan dengan tanganku menggenggam tangannya.
Ketika memasuki perkampungan, kami bertemu dengan beberapa orang penduduk yang tidak kami kenali. Tidak ada satu pun yang wajahnya familiar di mataku. Beberapa anak kecil terlihat asyik bermain. Membuat Wika menatap mereka lalu kembali kepada kebisuannya. Beberapa pasang mata ibu-ibu menatapku. Aku lupa jalan ke rumah nenekku.
"Maaf bu, rumahnya nenek Sabai, dimana ya?" Tanyaku pada salah seorang ibu-ibu yang sedang membersihkan pekarangan rumahnya.
"Sabai? Mak Sabairiah?" Tanyanya meyakinkanku.
"Iya!" Jawabku pendek. Dia menatapku lama.
"Adek lurus aja! Jangan berhenti sebelum bertemu sebuah kedai. Setelah itu belok ke kanan, jalan lagi sampai mentok pada warung kecil, terus belok kiri dan lurus lagi. Nah, nanti ada nama daerahnya Ujung Labuh, adik berhenti di sana. Tengok sedikit ke kiri, akan terlihat sebuah Rumah Gadang dari kejauhan. Nah itulah rumah Mak Sabai!" Ujar ibu itu menerangkan rumah nenekku. "Adik-adik ini siapa ya?" Tanyanya sambil tersenyum ramah.
"Kami cucunya!" Jawabku dan membalas senyum ibu tersebut. Sesaat wajahnya berubah, terkejut. Namun kemudian dia kembali tersenyum.
"Ya udah, silahkan dilanjut dik, semoga ketemu nanti sama Mak Sabai. Sampaikan salam ibu ke nenek kalian ya?" Ujarnya dan dia bergegas meninggalkanku. Ekspresi ibu itu mencurigakan. Dia terlihat gugup dan ada ketakutan aku lihat di matanya. Ada apakah?
Sesuai petunjuk dari ibu tadi kami melanjutkan kembali perjalanan.
Dan begitu sampai di daerah bernama Ujung Labuh, aku hanya bisa tertegun. Di depan kami yang ada hanya hamparan sawah yang menguning. Padi yang siap untuk di panen. Jauh disana, perbukitan tegak menjulang. Awan berarak di atasnya, melingkupi kawasan perbukitan itu. Ketika mataku menengok ke arah kiri, benar saja, sebuah Rumah Gadang berdiri dengan angkuhnya. Hitam dan seolah menyatu dengan dinding bukit. Gelap, dingin dan terkesan angker. Karena aku rasa, cuma itu satu-satunya rumah disana.
Aku tidak habis pikir, dulu aku juga pernah kesana. Tapi kenapa sekarang terlihat begitu menyeramkan. Ku rasakan Wika meremas erat tanganku. Dia menatapku. Kali ini cukup lama. Ketika ku balas tatapan matanya, dia segera membuang mukanya. Dahinya berkerut. Aku menjatuhkan tas jinjing dimana tersimpan pakaian kami di dalamnya. Ku ambil sebuah jaket, ku kenakan ke tubuh Wika. Angin di persawahan ini sangat kencang. Aku tidak mau Wika sakit dan masuk angin. Ku kenakan sebo di kepalanya. Lalu kemudian, dengan langkah mantap kami segera menyusuri jalan-jalan kecil yang membelah sawah.
Ketika sampai di lempengan bukit, jalan mulai agak terjal. Aku memegang tangan Wika erat. Aku tidak mau dia jatuh. Namun dia terlihat begitu lelah. Kami segera minum beberapa teguk air mineral. Berhenti sejenak, keringat mulai membasahi punggungku. Jauh sekali rumah nenekku ini.
"Dek, cepat naik ke punggung kakak!" Aku jongkok di depannya. Namun dia menggoyangkan tangannya. Dia meremas tanganku, meyakinkanku kalau dia baik-baik saja.
Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Selang beberapa lama, akhirnya kami sampai di depan rumah itu. Rumah Gadang yang sudah terlihat begitu tua dimakan usia. Dindingnya sudah menghitam dengan atap masih dari ijuk. Rumah gadang yang masih terlihat begitu asli. Tidak ada satupun semen yang menempel di konstruksinya. Begitu alami dan terlihat angkuh, sombong akan kejayaan masa lalu, tergurat dari aura yang terpancar dari Rumah Gadang ini.
Aku segera menjejakkan kaki di tangga rumah gadang. Tangga kayu yang sudah berlumut. Harus hati-hati agar tidak terpeleset. Sampai di pintu masuk, ku ketuk pintu. Namun tidak kunjung terbuka.
Akhirnya aku dorong pintu tersebut, ternyata tidak terkunci, ketika pintu terjeblak, bau santer kemenyan merebak keluar. Membuat bulu kudukku merinding. Wika menggenggam erat tanganku.
Bersambung.