It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
huaaaa banjir air mata uda!! sedihhhh ( ( (
lagihhh!><
btw, aku dimention ya? gak ada notif O.o
huaaaa banjir air mata uda!! sedihhhh ( ( (
lagihhh!><
btw, aku dimention ya? gak ada notif O.o
hahahahahahaha
@regieallvano , @luky , @cee_gee, @novian, @elul, @tsu_no_yanyan, @egosantoso, @arifinselalusial, @babayz@dafazartin, @zeva_21, @bombo, @aries18, @dhika_smg, @bi_ngung, @edwardlaura, @san1204.
Dadaku semakin berdebar kencang ketika sudah dekat dengan rumah. Mataku tertumbuk ke arah sebuah jeep yang terparkir di halaman. Siapakah gerangan yang memiliki jeep hitam itu? Aku semakin mempercepat langkahku. Namun langkahku berubah menjadi berlari ketika aku mendengar suara meraung. Raungan yang teramat aku kenal. Wika!!!
Aku segera menerobos masuk ke dalam rumah dimana pintu tidak terkunci. Jantungku seolah berhenti bedetak melihat apa yang terjadi dalam kamar lelaki tua itu. Dua orang pria berkulit gelap dengan tubuh tinggi besar sedang menendang dan menginjak sesosok tubuh. Tubuhnya Wika. Aku menjerit histeris.
"Anj***! Apa yang kalian lakukan? Hentikan! Bang***!!!" Aku menyerbu ke dalam dan menendang tubuh lelaki yang membelakangiku. Tubuhnya terdorong dan terjatuh ke lantai. Aku mendorong yang satunya lagi ke lantai dengan dada sesak penuh amarah.
"Breng***!" Lelaki berkulit hitam yang baru saja memaki langsung berdiri. Dia mengepalkan tangannya dan bergerak menuju arahku. Aku segera lari ke luar. Bagaimanapun, aku tidak akan sanggup melawan mereka sendirian. Aku mengambil pisau yang tersisip di dinding dapur dan kembali menghadapi kedua orang itu.
"Hohoho! Mau mencari mati rupanya kau anak muda! Kesini kau! Ku habisi saja kalian sekeluarga!" Teriak lelaki yang wajahnya dipenuhi bulu. Sungguh sangar sekali. Matanya merah. Bahunya tegap laksana bina raga.
"Jangan mendekat! Kalian kira aku main-main! Aku tidak pernah memaafkan orang yang berani melukai adikku!" Teriakku, aku mengunuskan pisau tersebut. Si lelaki tersebut tersurut mundur ketika hampir saja ujung pisau mengenai wajahnya.
"Kau telah salah berurusan dengan kami, bocah! Ingat, sebelum keparat tua itu melunasi hutangnya, kami jamin, kalian tidak akan hidup tenang disini! Jangan pernah berharap bisa lolos dari Gerombolan Serigala Hitam!" Teriaknya, seraya menepuk bahu rekannya. Perlahan-lahan mereka mundur dan meningglkanku yang berdiri dengan kaki bergetar. Serigala Hitam? Itu... suatu kelompok penjahat yang terkenal sadis. Apa yang telah di lakukan si tua ini? Apa yang telah dia kerjakan dulu tanpa sepengetahuan kami?
Tidak, aku tidak sanggup lagi! Aku harus keluar dari kota ini. Aku tidak mau menanggung resiko, sekalipun lelaki tua ini ayahku sendiri. Aku tidak akan mampu berurusan dengan gerombolan serigala hitam.
Wika! Aku segera berlari ke dalam kamar. Adikku itu masih terkapar di lantai. Dia menggerak-gerakkan tangannya. Seandainya aku tidak cepat pulang, mungkin dia sudah jadi bangkai. Ku angkat tubuhnya, dan ku bawa ke dalam pelukanku.
"Wikaaa, adekk kakkak! Bangun sayanggg! Ini kakaaakk!" Aku menangis sambil menciumi keningnya. Pelipisnya membiru dan ada darah mengalir di sudut bibirnya. Ya Tuhan, kenapa mereka begitu tega menganiaya anak kecil seperti Wika? Kenapa mereka begitu kejam ya Tuhan?
"Ayahhhh!" Aku mendengar desahannya. Tangannya kembali bergerak-gerak. Kali ini dia menyentuh pipiku. "Ayah, kakak!" Lanjutnya dengan lemah hingga matanya terpejam. Aku menjerit!
"Wikaaaa!!! Wikaaaaa!" Aku sangat terkejut. Takut terjadi apa-apa sama dia. Ku goncang-goncangkan tubuhnya. Dia kembali membuka matanya, lalu sebuah senyum terukir di sana. "Ayah!" Ujarnya lagi. Aku menciumi pipinya, aku menciumi keningnya.
"Jangan pernah tinggalkan kakak, Wika! Jangan pernah tinggalkan kakak! Huhuhu!" Aku tidak mampu menahan tangisku. Perlahan-lahan aku angkat tubuhnya dan aku bopong ke dalam kamar. Ku baringkan di atas kasur. Aku kembali ke dapur mengambil air hangat untuk mengompress luka di wajahnya.
"Sakit!" Katanya ketika aku berusaha membuka bajunya. Aku tahu, pasti ada yang tidak beres dengan tubuh Wika. Beberapa kali aku melihat dia ditendang dan diinjak. Dan benar saja, ada memar lumayan lebar di tulang rusuknya. Aku segera mengambil minyak oles untuk meredakan sakitnya.
"Ayah!" Bisiknya pelan di antara matanya yang terpejam.
"Iya, Wika! Kakak obati kamu dulu ya?" Aku mengusap lembut kepalanya dan meremas tangannya.
Setelah ku rasa dia aman, aku segera kembali ke kamar lelaki tua itu. Namun alangkah terkejutnya aku melihatnya yang sudah terduduk di tepi ranjang. Mata kelabunya menatapku tajam.
"Tinggalkan rumah ini! Dan pergilah! Jangan pernah kembali!" Suaranya terdengar sangat dingin. Dia menunjuk sebuah peti di samping ranjang. Dari bawah kasur dia ambil sesuatu. Sebuah kunci. Matanya kembali menatapku.
"Di dalamnya ada sejumlah uang. Tinggalkan kota ini! Maafkan ayah, nak! Tidak bisa menjaga kalian!"
Aku sangat marah. Sejak kapan dia bisa bicara? Apa selama ini dia berpura-pura? Untuk apa? Apa yang telah dilakukan si pria brengsek ini. Bahkan dia sudah mampu duduk sendiri. Aku merasa di tipu.
"Anda sungguh menjijikkan! Aku tidak akan pernah mau mengakui anda sebagai ayah saya! Dan saya pastikan, anda tidak akan pernah melihat saya dan Wika lagi. Mati membusuklah anda disini sendirian!" Dengusku kesal. Dia menatapku lekat-lekat. Menarik nafasnya. Dan aku kembali dibuatnya kaget ketika dia berdiri dengan gagahnya.
"Terima kasih telah menjaga ayah selama ini. Kalau bukan karena kamu, ayah tidak akan sembuh. Gerombolan Serigala Hitam sudah mengetahui keberadaan ayah. Ayah tidak ingin kalian celaka!" Dengan cepat dia mendekati peti kayu tersebut. Mataku terbelalak melihat banyaknya uang di dalam peti tersebut.
"Ini yang mereka cari. Ayah tidak akan menyerahkannya begitu saja!" Dia mengambil seikat uang tersebut dan menarohnya ditanganku. Matanya tajam dan membuatku bergidik. "Tidak ada waktu lagi, bawa pergi Wika sejauh mungkin!" Desisnya dengan mata berkilat.
"Aku tidak akan pergi kemana-mana! Kenapa bukan anda saja yang pergi!" Teriakku kesal ke wajahnya.
"Reki! Kau boleh benci ayah! Tapi ingat, darah yang mengalir di tubuhmu adalah darah ayah! Ayah senang kamu tidak mewarisi perangai ayah! Sekarang juga, kamu kemasi barang-barang kamu! Dan pergi dari rumah ini. Cukup sudah ayah membuatmu menderita!" Ujarnya dan mendorong tubuhku keluar. Aku hendak mengembalikan uang yang ada dalam genggamanku. Bagaimanapun aku tidak butuh.
"Kamu boleh tidak memakainya. Ayah hanya ingin kamu selalu jaga-jaga!" Matanya semakin berkilat mengerikan. Aku selalu takut kalau dia sudah marah.
Dia menghempaskan daun pintu kamarnya.
"Pergi secepat mungkin Reki! Secepat yang kamu bisa!" Teriaknya dari dalam. Aku mendengar bunyi-bunyi aneh dari dalam.
"Ay.... ayaaahh!" Lidahku yang kelu ternyata akhirnya sanggup mengucapkan kata itu. Aku merasa ini hari terakhir kami bertemu. Namun tidak terdengar lagi ada suara di dalam. Aku mendobrak pintu kamarnya. Kosong belaka. Bahkan isi peti itu juga tidak bersisa. Melompong. Aku mengitari pandanganku. Mungkinkah ayah pergi lewat jendela? Tapi jendela tersebut masih terkunci dari dalam.
Aku menggeser ranjang kayu yang biasa ditidurinya. Seketika mataku terbelalak. Aku melihat lobang besar di bawahnya. Ada tangga besi, dan di bawah sana terlihat begitu gelap..ketika aku hendak menurunkan kakiku ke sana, tiba-tiba ada sebuah penutup datar terbuat dari besi. Menutupi lobang tersebut. Aku menggigil. Ayah menyimpan begitu banyak misteri.
Aku harus menunggu malam. Aku tidak mungkin pergi dengan cahaya matahari yang panas menggigit. Lagian aku tidak tahu harus pergi kemana. Aku masih sangat bingung dengan semua yang terjadi.
Ki rebahkan tubuhku di samping Wika. Dia tidur dengan begitu damai. Ku ciumi pipinya. Aku sangat suka sekali menciumi pipinya. Tidak pernah bosan memeluk tubuhnya. Semakin hari dia semakin tumbuh. Ada satu hal yang aku takutkan. Wajahnya semakin mirip wajah ayah. Tampan tapi dingin. Akh, untungnya dia idiot. Jadi tidak ada yang perlu aku takutkan.
Aku terkejut ketika tiba-tiba dia terbangun dan langsung duduk dengan nafas terengah-engah.
"Wika!" Aku memegang bahunya. Dia terlihat gelisah.
"Panas!" Ujarnya. Dan aku menyadarinya sesaat kemudian. Ku rasakan hawa kamar bertambah panas. Dan Wika menjerit sambil melihat ke arah pintu. Api berkobar membakar daun pintu. Tidak! Tidak mungkin! Api dari mana ini?
Aku segera bangkit dari kasur. Membuka jendela. Lalu mengangkat tubuh Wika. Aku mendahulukannya lewat, setelah dia di luar, aku segera menyusul setelah mengambil tas dimana tadi kusimpan uang yang diberikan ayah, dan menarik tangan Wika berlari menjauh dari rumah.
Asap tebal mengepul. Seketika suasana jadi hiruk pikuk. Untung saja rumahku tidak berdempetan dengan rumah orang lain. Aku hanya bisa mematung melihat rumahku dilalap sijago merah. Orang-orang sudah berkumpul dan terlihat begitu panik sambil berteriak-teriak.
"Oi nak oii! Apa yang telah terjadi bujang?" Mak Na tiba-tiba telah berdiri disampingku. Dia memandangku dengan wajah prihatin. Aku hanya bisa menangis sambil merangkul tubuh Wika.
"Reki tidak tahu mak! Rumah ini tiba-tiba saja terbakar!" Teriakku sesenggukan. Mak Na menepuk-nepuk bahuku.
'Sabar nak! Sabarr!" Ujarnya.
Tidak berapa lama, raungan sirene mobil kebakaran datang.
Tapi semua sudah terlambat. Rumah kecil dan mungil tersebut hanya tinggal puing. Menghitam. Aku terduduk di tepi jalan. Dengan Wika yang berdiri resah.
"Ayah!" Katanya. Akgh, kamu tidak tahu dek, kita telah ditinggalkannya. Lelaki durjana itu! Aku semakin membencinya.
"Adek! Mulai saat ini, jangan sebut ayah lagi ya? Dia sudah mati! Dia sudah habis terbakar bersama rumah kita!" Aku memeluknya dan ku rasakan Wika menangis pelan.
Rumahku langsung dipasangi police line. Beberapa orang polisi menanyaiku. Aku tidak tahu mau menjawab apa.
"Tidak ada jasad manusia yang terbakar. Apa kamu yakin ayah kamu masih di dalam?" Polisi berkumis tebal itu mengintrogasiku. Aku hanya mengangguk pelan.
Biarlah semua ini tetap jadi misteri. Yang orang-orang tahu, ayahku terbakar. Semoga dengan begini, gerombolan Serigala Hitam tidak lagi memburunya.
Pasca kebakaran, aku tidak tahu lagi mau kemana. Mak Na menawarkan diri untuk tinggal di rumahnya. Tapi itu tidak mungkin. Aku tidak mau merepotkan siapapun. Dan aku tidak mau Wika harus diperhatikan oleh orang lain. Aku tidak ingin perhatianku teralihkan. Begitu juga, aku hanya ingin Wika selalu bersamaku.
Dan malam itu aku putuskan untuk menginap di sebuah wisma yang murah meriah. Cuma 50 ribu semalam.
"Adek, tunggu disini ya? Jangan pernah keluar dari kamar. Tonton saja tivi! Kakak cari makanan dan baju ganti dulu!" Ujarku sambil memegang bahunya. Wika menatapku sekilas. Aku menghidupkan tivi. Sebelum keluar dari kamar, aku cium pipinya. Ku kunci pintu kamar. Memastikan dia tidak kemana-mana.
Tidak jauh dari wisma ada sebuah swalayan kecil. Aku beli beberapa snack dan air minum. Dan kebetulan juga di samping swalayan tersebut ada toko baju. Aku beli beberapa potong pakaian. Untukku dan untuk Wika. Untungnya aku tidak begitu egois menolak uang pemberian tua bangka itu.
Aku juga menyempatkan beli nasi bungkus dengan lauk rendang. Saat ini hanya itu yang terpikir olehku. Aku melakukannya dengan cepat. Aku tidak mau, Wika mengkhawatirkanku.
Dengan langkah cepat aku kembali ke wisma. Mendapati di sana, Wika masih duduk sendirian sebagaimana aku tinggalkan. Aku menaroh barang belanjaan di kasur. Ku lirik Wika. Matanya menatap lurus ke arah tivi yang sedang menyala. Dan aku terbelalak kaget melihat film yang sedang di putar di tivi. Dengan cepat aku matikan tivi tersebut.
Aku memeriksa tivi tersebut. Ternyata di bawah tivi ada dvd player. Ku eject disc roomnya, terlihat sebuah cd. Langsung ku patahkan. Aku kira tadi siara tv yang terputar, ternyata sebuah film porno. Akh, sial. Bagaimana bisa aku membiarkan Wika menontonnya. Aku menatap Wika yang duduk dengan wajah kebingungan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Aku tahu, ini wisma murah dan sering digunakan untuk tempat berbuat maksiat. Dan sialnya, aku tidak begitu teliti. Wajahku pasti memerah sekarang.
"Dek, mandi dulu!" Aku mendekatinya. Membantunya membuka baju. Lebam di tulang rusuknya masih ada, walau sudah mulai kurang. Aku menyuruhnya berdiri dan melorotkan celananya. Wika dengan cepat menangkupkan tangannya di antara dua pahanya. Menutup barang berharganya.
"Cieeee, adek kakak sudah gede! Ayo mandi sana!" Wajahnya memerah dan ada secuil senyum muncul disana. Dia membalikkan badannya. Akh Wika, kamu semakin bertumbuh dek! Kakak janji akan menjaga kamu selamanya. Kakak janji.
Lamunanku buyar ketika ku dengar suara rintihan di kamar mandi. Aku segera kesana. Ku lihat Wika kesulitan mengangkat gayung. Mungkin karena rasa sakit di rusuknya. Aku segera melepaskan baju celanaku. Sudah lama aku tidak mandi bareng Wika. Dia walau terlihat idiot, tapi paling suka bermain air. Paling hobi mandi. Makanya kulitnya terlihat selalu bersih.
Ada sesuatu di binar mata Wika yang tidak aku mengerti. Binar senang dan nafasnya terlihat memburu. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Dia menatap tubuhku yang telanjang. Walau aku masih mengenakan celana dalam. Dia mendekap tubuhku. Aku seperti di aliri listrik. Baru kali ini kami berpelukan tanpa mengenakan baju.
Aku membiarkannya memeluk tubuhku lama. Dadaku terasa basah dan hangat. Wika menangis.
"Wika. Sayang. Kakak!" Aku sungguh terharu. Ku cium pipinya.
"Kakak tahu! Sekarang kita mandi ya? Sini badan kamu, biar kakak mandiin!"
Aku mengguyurkan air ke kepalanya. Dia medongak dan memejamkan matanya. Ekspresinya terlihat begitu pasrah. Dan aku terpana melihat bibir merahnya yang sedikit terbuka. Bibir yang begitu berseri. Aku segera mengenyahkan pikiran aneh yang tadi melintas di pikiranku. Dengan cepat aku ambil shampo dan ku usapkan ke kepalanya.
Semakin aku sentuh tubuhnya, tubuhku sendiri semakin menegang. Aku tidak nyaman dengan apa yang aku rasakan. Dengan cepat ku mandikan dia. Membalutkan handuk ke tubuhnya. Dan membimbingnya keluar kamar.
"Nanti kakak susul! Kakak mandi dulu ya!" Aku segera menutup pintu kamar mandi. Dan bisa ku lihat ekspresi kecewa di wajah Wika. Dan aku tidak tahu, apa yang membuatnya berwajah begitu.
Aku tahu aku pria muda yang kesepian. Di usiaku yang ke dua puluh satu, aku belum merasakan yang namanya jatuh cinta. Beratnya beban pikiranku, membuatku mengenyampingkan urusan percintaan. Apalagi sekarang, tempat bernaung saja aku sudah tidak punya. Aku hanya ingin membahagiakan Wika. Hanya itu. Segera ku cuci kepalaku. Mengguyurkan air ke tubuhku. Dan ketika rasa itu sudah memuncak, aku melepaskannya dengan nafas terengah-engah. Membiarkan tubuhku meregang dan kemudian rasa lemas menyudahiku dalam pergulatan lelaki dewasa dalam pikiranku.
Wika sudah tertidur di sampingku. Dia memeluk lenganku. Tapi sekarang, dia semakin mendempetkan tubuhnya. Dia memelukku seolah-olah tidak ingin aku tinggalkan. Aku ciumi lagi pipinya. Dan ku ciumi keningnya. Sampai akhirnya rasa lelah menjemput ku ke alam nirwana. Tak kuhiraukan lagi rasa sedih dan takut yang menggelayuti hati. Saat ini satu-satunya alasan aku hidup, aku hanya ingin membahagiakan Wika. Hanya itu.
peluk cium wika.. :-*