It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@adam08, @idhe_sama ,
@venussalacca, @woonma , @obay ,
@yuzz, @yuriz_rizky , @003xing ,
@Raditjoe, @bayuaja01, @zhar12 ,
@masdabudd, @nankatsusuichi,
@hudhsb. @just_PJ , @achan, @fends,
@dityadrew2 , @DM_0607 , @yuuReichi,
@danze, @agran, @amauryvassili1 ,
@IKentut_Gede , @ken89 , @alnichie,
@05nov1991 , @fauzhan @rey_drew9090, @tyo_ary, @aries77, @malmol, @diFer, @earthymooned, @sausal1to, @ularuskasurius @nuelazuardy
Hymn of My Heart akan tamat di bar 20.
Bar 19, The Blue Night
“Tahan ya..” ucap Adrian.
Sementara Gigi tampak memandang Adrian dengan wajah tegang dan pucat.
“Aa.. aww...” erang Gigi sambil memejamkan matanya.
Wajah Adrian yang semula tampak tegang kini mulai terlihat lega.
“Nih.. udah lepas..” ujarnya sambil memperlihatkan pecahan beling yang tadi sempat menancap di kaki Gigi.
Gigi menghembuskan nafas lega sambil kembali merebahkan punggungnya di sandaran kursi.
Adrian segera membuang beling itu di tempat sampah di dekatnya lalu mengoles sedikit revanol di telapak kaki Gigi.
“Kok bisa sampe gini sih Gi..?” tanya Adrian. Perhatiannya kini beralih pada wajah Gigi yang tengah melihat fokus lain.
“Panjang ceritanya.” Ucapnya datar.
“Karena itu, ceritakan Gi.. kali aja aku bisa..”
“udah Dri..”
Seketika Adrian menghentikan kata-katanya, begitu juga dengan tangannya yang berhenti mengoleskan revanol.
Gigi tampaknya menyadari kekhilafannya. Ia segera menundukkan wajahnya.“maaf Dri.. tapi aku ga mau bahas itu sekarang..”
Adrian tersenyum tipis. Diolesnya kembali luka Gigi dengan revanol. Setelah itu ia membalutnya dengan perban. Sesekali ia melirik ke arah Gigi yang kini memalingkan wajahnya ke luar jendela.
‘Aku kecewa.. punya adik seorang homo.’
“Uugh..!” Gigi memejamkan matanya rapat-rapat. Ingatan itu menyakiti kepalanya seperti kanker. Begitu tajam dan menusuk. Akhirnya Gigi hanya tertunduk di dalam dekapan tangan yang ia kalungka di lututnya.
Pemandanga itu seketika membuat Adrian merasa hatinya teriris. Bagaimana tidak? Cowok manis dan mungil yang ia kasihi itu, yang begitu berharga baginya bahkan terlalu mahal untuk ia miliki itu, tengah bersedih karena seseorang yang bahkan tidak pantas untuknya. Kini Gigi tampak begitu rapuh di matanya. Bagai laron yang kehilangan sayap dan menunggu untuk disapu keesokan paginya dalam keadaan tak bernyawa.
Jujur, Adrian sangat menyesali sikap Gigi. Bagaimana dia bisa memilih Nue? Ketika di depannya tampak jelas sebuah pintu yang terbuka, kenapa ia harus menunggu pintu yang terkunci?
Namun Adrian tidak bisa sepenuhnya bisa menyalahkan Gigi. Dia jugalah yang ‘mungkin’ menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja dulu ia tidak malu untuk mengungkapkan perasaannya, mungkin dia masih memiliki lebih banyak waktu untuk membuat pikiran Gigi pada Nue berubah. Tapi apa daya? Pengandaiannya hanya tinggal andai-andai saja. Tidak bisa membuat Gigi tersenyum sekarang.
Mungkn hanya ada satu hal yang bisa Adrian lakukan. Ia berdiri dari tempat ia duduk, dan kini ia duduk di sisi Gigi. Agak ragu, ia ulurkan tangannya melingkar di pundak Gigi.
Ya, hanya itu saja yang bisa Adrian lakukan saat ini. Ditengoknya Gigi yang merebahkan kepalanya dengan pasrah di bahu Adrian. Belum kering benar air mata yang Gigi tinggalkan di bajunya, kini Adrian merelakan lagi pakaiannya dibasahi oleh air mata Gigi. Setitik kepuasan Adrian adalah, ia masih bisa menjadi tempat bagi Gigi untuk menumpahkan seluruh kesedihannya. Bahu itu telah ia relakan menjadi sebuah cawan bagi air kesedihan Gigi. Tanpa Gigi sadari jika Adrian sendiri tersenyum dengan air mata bercucuran dari dalam hatinya.
Agak lama Gigi bersandar di bahu Adrian, hingga akhirnya air yang semula membasahi pakaian Adrian perlahan mengering. Gigi pun mengangkat kepalanya dan mengusap sisa air matanya.
“Makasih Adrian..”ujarnya setengah terisak.
Adrian tersenyum melihat Gigi yang sudah mulai tenang kembali. Dielusnya kepala Gigi. Ia tertegun ketika melihat Gigi yang merelakan kepalanya Adrian belai, tidak seperti Gigi yang akan menepis tangannya seperti biasanya. Entah apakah hati Gigi mulai terbuka untuk Adrian ataukah karena memang ia sudah kehabisan tenaga untuk melawan, yang jelas Adrian sangat menikmati momen itu.
“Udah yuk gi, kamu istirahat aja..” ujar Adrian.
Gigi mengangguk. Adrianpun memapah tubuh Gigi untuk berdiri dan berjalan menuju kamar yang Adrian siapkan.
“Kalau ada apa-apa, panggil aku ya.. aku di kamar sebelah kok..” ujar Adrian setelah membantu Gigi duduk di kasurnya.
Gigi hanya menjawabnya dengan sebuah senyum tipis dan anggukan.
Adrian membalas senyumannya itu lalu mematikan lampu kamar.
“Good night..”
“Good night..” jawab Gigi. Wajahnya tampak menahan sesuatu.
Mulanya Adrian sedikit curiga dengan ekspresi Gigi itu, tapi ia mencoba mengabaikan hal itu dan menutup pintu. Gigi perlu istirahat, pikirnya.
Baru setelah ia melangkahkan kakinya, ia merasa ada sesuatu yang terasa lengket di kakinya. Ia pun menatap ke bawah, dan seketika ia terkejut. Dari arah ruang tamu tempat ia merawat luka Gigi, tertinggal bercak-bercak darah menuju kamar Gigi. Adrian sama sekali tidak menyadari itu dari tadi. Melihat jumlah ceceran darah yang tidak sedikit itu, Adrian segera membuka pintu kamar Gigi.
“Gi..!” seru Adrian terkejut ketika melihat Gigi yang meringkuk memegangi kakinya.
“Kenapa GI? Lukanya masih ngeluarin darah ya??” Adrian tampak panik sambil menghidupkan lampu lalu menghampiri Gigi. Dilihatnya darah yang merembes dari perban di kaki Gigi.
“Nggak apa-apa.. nanti bekas darahnya aku pel..” ucap Gigi sambil tersenyum memaksa.
“Aduh.. bukan masalah lantainya.. tapi kakimu itu lo! Ayok ke UGD.. kaki kamu harus dirawat..!” dari suara Adrian terlihat ia benar-benar takut melihat kondisi Gigi.
“Ah, nggak perlu Dri.. nanti juga berhenti sendiri.”
“Ck.. nggak.. ayok..” kini Adrian meraih tubuh Gigi dan memapahnya.
Gigi tak punya banyak pilihan selain menuruti kata-kata Adrian, karena dia sendiri tidak tahan lagi dengan perih yang mulai menjalar di kakinya. Tidak ia sangka luka kecil itu bisa menjadi seperih ini.
Di rumah sakit, seorang suster tampak sedang membalut kaki Gigi. Sedangkan seorang dokter wanita paruh baya sedang berbicara dengan Adrian.
“Lain kali jangan diatasi sendiri,karena ini lukanya cukup dalam dan tidak bersih.. Untung segera dibawa ke sini, coba kalau telat, bisa kena tetanus lo...” tegur dokter itu kalem.
Adrian hanya tersenyum kecil, sedangkan Gigi yang ada di ranjang merasa bersalah pada Adrian. Ia telah banyak menyusahkan Adrian. Gigi benar-benar merasa tidak enak. Kemarin malam ia telah membuatnya patah hati, kini ia justru datang padanya dan menangisi orang lain di bahunya. Gigi seolah tidak berperasaan. Namun, ia tidak tahu lagi harus kemana untuk mencurahkan semua kesedihannya. Hanya Adrian yang paling mengenal dirinya. Bahkan Adrian mengenal Gigi lebih dalam daripada Ully.
Gigi juga merasa tersentuh dengan sikap Adrian yang dengan sabar dan ikhlasnya menerima Gigi di bahunya. Untuk beberapa saat sosok Adrian mengingatkan Gigi akan dirinya dulu, yang dengan sabarnya menemani Nue saat ia sedang bersedih. Dan Gigi masih ingat benar bagaimana rasanya.
“Hey.. gimana? Udah merasa baikan?” tanya Adrian.
Gigi tersenyum dan mengangguk.
“Ya udah, ayok pulang.”
Adrianpun membantu Gigi turun dari ranjang dan menuntunnya keluar dari UGD.
“Makasih dan maaf Dri... aku udah banyak nyusahin kamu.” Bisik Gigi pada Adrian begitu keduanya keluar dari pintu UGD.
Adrian menjawabnya dengan sebuah senyuman yang dalam, antara kebahagiaan dan kesedihan yang tertahan.
Sementara mereka berjalan menyusuri koridor, tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki. Gigi dan Adrian tampak heran. Di waktu malam seperti ini, tidakkah mereka menyadari jika suara langkah kaki mereka yang terburu-buru itu bisa mengganggu pasien yang sedang beristirahat?
Mata Gigi dan Adrian melebar ketika dari belokan jalan, muncul ketiga sosok yang familiar, yaitu Nurul, Omi dan Radit.
“Loh, mbak Nurul?” sapa Adrian.
Tampak ketiga senior PSM itu juga terkejut melihat dua juniornya di depan mereka.
“Loh.. ngapain kalian di sini? Eh, kalian tadi nggak datang latihan ya?!” sergah Nurul.
“Udah rul.. sekarang kita langsung aja ke sana. Ga perlu bahas latihan dulu sekarang.” ujar Omi.
Gigi jadi semakin heran. Ada apa sebenarnya? Kenapa mereka tidak di kampus? Bukankah mereka harus melatih Tim LPSAF? Lalu malam-malam seperti ini, siapa yang ingin mereka temui?
“Kak, ada apa sebenarnya? Siapa yang sakit?”tanya Gigi.
Mendengar itu, wajah Nurul dan kedua temannya berubah getir. Dipandangnya Radit dan Omi bergantian. Omi mengangguk. Nurulpun menghembuskan napas dalam dan menatap Gigi.
“Ayok ikut..!” ujarnya singkat. Lalu ketiga orang itu berjalan melewati Adrian dan Gigi, meninggalkan suara gaung langkah kaki mereka yang kian menjauh.
“Ayok Dri..”ujar Gigi, tapi Adrian justru tidak bergerak dan menahan gerakan Gigi.
“Kamu yakin mau ikut? Kamu sendiri kan juga sakit.. kamu harus istirahat..”bujuknya.
Gigi termenung sesaat. Dia memang merasa lelah sekali, disamping rasa linu yang berdenyut di lukanya. Namun, hati kecilnya mengatakan jika ia harus mengikuti langkah kaki ketiga kakak angkatannya.
“Aku nggak apa-apa Dri.. ayo ikuti mereka..”
Mulanya wajah Adrian tampak ragu dengan keputusan Gigi, tapi pada akhirnya ia mengikuti langkah kaki Gigi yang pincang sebelum akhirnya ia memapah Gigi dan mengikuti ketiga orang itu.
Mereka berlima akhirnya sampai di sebuah kamar. Tampak seorang laki-laki tua berkaos putih dan memakai sarung tengah duduk di kursi di depan kamar. Nurul bergegas menemui orang itu. Gigi menatap dalam-dalam wajah orang tua itu. Entah kenapa ia merasa pernah bertemu dengan orang itu, entah kapan dan dimana.
“Gimana keadaan dia sekarang pak?”
Orang tua itu menghela napas dalam lalu menjawab pertanyaan Nurul itu dengan nada berat. “Tadi dokter bilang kalau dia sudah melewati masa kritis, tapi sampai sekarang dia masih belum sadar.”
Kritis? Tidak sadar? Siapa sebenarnya?” tanya Gigi dengan panik.
Perasaannya makin terasa tidak enak. Jantungnya berdegub makin kencang tanpa ia sadari alasannya. Dilihatnya wajah para seniornya yang main muram, hingga orang tua itu membuka pintu kamar.
“Silakan masuk.” Ujarnya.
Ketiga senior pun masuk kedalam kamar itu, sedangkan Gigi dan Adrian masih di tempatnya.
“Dri.. Ayok masuk..”
Adrian menoleh ke arah Gigi sekilas dan menghembuskan napas dalam. Ia pun menuruti keinginan Gigi dan memapahnya masuk ke dalam kamar.
Begitu Gigi memasuki kamar itu, suara nada putus-putus dari mesin ECG terdengar menyambutnya. Nurul tampak menutup bibirnya dan matanya berkaca-kaca. Radit dan Omi tampak memijat pundak Nurul untuk menangkannya.
Siapa yang mereka sedihkan? Mata Gigi menyipit, berusaha menangkap wajah orang yang tergolek lemah di ranjang putih itu. Yang Gigi lihat pertama kali adalah sebuah perban yang membalut tebal kepala orang itu. Begitu juga dengan beberapa plester yang merekat di wajah orang itu. Wajah yang putih dan tampan tampak berpendar dingin di ruangan itu.
Seketika lutut Gigi terasa lemas. Tangannya gemetar, bahkan Adrian bisa merasakannya. Adrian sendiri seakan tidak percaya pada apa yang ia lihat.
“Gigi.. Tenang ya.. Kamu harus tenang..” bisik Adrian pelan di telinga Gigi.
Tapi Gigi seolah tidak dapat mendengar kata-kata Adrian lagi. Wajahnya masih melongo menatap wajah orang itu. Alisnya turun dengan sendunya dan air mata menggenang di bola matanya, memantulkan berkas-berkas kesedihan yang dalam.
“Kak.. Nue..”
***
Tik.. tik...tik..
Biip.. bip.. bip...
Suara detak jam berdetak kaku di ruangan berlampu putih itu seolah berpadu dengan suara putus-putus yang dihasilkan mesin ECG. Menciptakan sebuah nuansa yang biru. Begitu sesak dan dalam. Adrian terdiam di tempat duduknya. Untuk kesekian kali ia menatap punggung Gigi di depannya. Gigi yang saat ini tengah termenung di sisi ranjang Nue.
Adrian mengepalkan tangannya. Dia tidak menyangka nasib akan menyeret Gigi lebih dalam lagi. Tidak cukupkah Gigi bersedih selama ini? Tidak cukupkah air mata yang Gigi boroskan malam ini? Tapi mengapa? Kejadian demi kejadian, kenyataan yang tersingkap, justru membuat Gigi makin jatuh. Adrian bahkan tidak berani membayangkan, seberapa besar kepedihan yang ia harus tanggung.
Itu semua tampak dari sikap Gigi. Semenjak dia melangkahkan kaki ke ruangan itu, matanya selalu tertuju pada Nue. Daritadi ia hanya diam dan merenung di hadapan Nue. Ully, Radit, Omi, bahkan orang tua itu, kini sudah pamit untuk pulang. Gigilah yang berjanji untuk menjaga Nue disni. Adrian tidak memiliki pilihan selain menemani Gigi di sana. Meskipun sebenarnya dadanya pilu juga. Adrian tidak bisa membohongi hatinya sendiri, dia merasa cemburu.
Adrian pun bangkit dari kursinya dan menepuk pundak Gigi. “Gi.. Nue biar istirahat disini.. ada perawat juga yang akan menjaga Nue. Kita pulang yuk.. kamu kan harus istirahat..” bujuk Adrian.
Gigi tidak menjawab. Matanya bergerak-gerak menatap wajah Nue. Sebenarnya dia juga merasa lelah. Sesekali ia merasakan lukanya perih mencubit. Belum lagi pengalaman berat yang ia terima satu hari ini. Semuanya seakan membuat tubuh Gigi setipis kertas. Tapi ketika ia melihat wajah Nue.. dia tidak bisa lepas dari itu. Meskipun hari ini Nue benar-benar membanting hatinya, tapi melihat kondisi Nue saat ini, Gigi bahkan tidak bisa mencari lagi alasan untuk membencinya. Semua alasan itu bagai sirna tertiup angin.
“Nggak Dri.. Kamu pulang aja..Aku mau nginap disini..” ucap Gigi.
“Tapi gi.. kamu..” kata-kata Adrian terhenti ketika Gigi memegang tangannya.
“Aku nggak apa-apa.. kamu pulang aja. Aku butuh waktu berdua dengan Nue sekarang..” ujar Gigi sambil tersenyum tipis pada Adrian. “...aku harap kamu mau mengerti..”
‘deg..’
Tenggorokan Adrian seakan tercekat. Tidak banyak yang bisa ia katakan. Ia pun menarik perlahan tangannya dari pundak dan genggaman tangan Gigi. Dengan sebuah senyuman singkat, ia memalingkan wajahnya dan berjalan meninggalkan kamar itu.
“Adrian..” panggil Gigi.
Langkah kaki Adrian terhenti. Ia pun menoleh ke arah Gigi, berharap Gigi akan berubah pikiran.
Tampak Gigi masih tersenyum padanya, meski dengan alis yang menurun. “Makasih ya Dri...” ucapnya pelan.
Adrian terhenyak. Tak lama kemudian dia membalas senyum itu dengan canggung. Lalu ia pun berbalik dan meninggalkan kamar itu. Gigi masih memandangi sosok Adrian, hingga daun pintu tertutup dan menimbulkan suara berdebam pelan. Senyum itupun memudar. Ia palingkan wajahnya ke arah Nue.
Kini Gigi sudah bisa mengingat siapa orang tua berkaos putih itu. Ia adalah bapak kos Nue. Gigi pernah melihatnya dulu, ketika ia menginap di rumah Nue. Bapak itulah yang menemukan tubuh Nue tergeletak tak sadarkan diri di kamarnya. Dugaan sementara, Nue mengalami kejang hebat sebelum akhirnya kepalanya membentur sudut kaki dipan kasur yang keras. Setelah dibawa ke rumah sakit dan diberi perawatan yang intensif, akhirnya Nue bisa diselamatkan. Namun Nue harus mengalami koma karena pembekuan darah di otaknya. Kini Gigi hanya bisa menunggu tanpa tahu kapan Nue akan kembali terjaga.
Bapak kos Nue sudah menghubungi orang tua Nue yang ada di luar kota Jember, mungkin besok pagi barulah mereka bisa sampai. Selama itu, Gigi tadi sudah menawarkan diri untuk menjaga Nue. Dari pihak PSM juga kan berjanji akan membesuk setiap harinya.
Sebenarnya tidak banyak yang bisa Gigi lakukan. Ia hanya bisa duduk disana dan memandang lekat-lekat wajah Nue, berharap tiba-tiba Nue membuka matanya. Mata Nue tampak menutup dengan rekatnya, seolah sedang tidur lelap. Gigi sudah sering memandang wajah Nue yang tengah terlelap seperti ini. Tapi baru kali ini ia merasa begitu sedih ketika melihat wajahnya.Wajah Nue tampak begitu manis dan polos ketika ia tertidur, malam ini juga begitu. Ia tidak tampak seperti koma, melainkan hanya tidur dan seolah akan bangun keesokan harinya.
Gigi mendekatkan tubuhnya ke sisi Nue. Bibirnya tersenyum tipis dan bergetar, seolah tak kuasa menahan untuk menyapa orang yang ia sayang.
“kak..”panggilnya lirih.
Nue tidak menjawab, suara ECG lah yang manjawab sapaan Gigi itu.
“Kak.. bangun..” ucap Gigi lagi. Dadanya terasa sesak dan berat. Tapi ia berusaha untuk bertahan untuk tetap tersenyum padanya, dan mencoba untuk memanggilnya.
“Kak.. Kakak bangun dong... Aku minta maaf, tadi udah berteriak ke kakak.. Aku minta maaf.. Makanya sekarang kakak bangun.. Jangan diemin aku lagi..” bisik Gigi. Suaranya terdengar parau dan serak. Entah hal apa yang mencekat tenggorokannya kini.
Namun, Nue masih membisu. Seolah ia tidak menghirukan Gigi dan tidur dengan wajah tanpa ada rasa bersalah. Melihat itu, akhirnya pertahanan di kelopak mata Gigi jebol juga. Satu persatu air mata yang daritadi ia tahan meluncur satu persatu membasahi pipinya.
“Bangun kak... Jangan diemin aku lagi... Aku nyesel kak.. Aku ga bisa jauh dari kakak.. “
Dipeluknya tubuh Nue yang lemah itu dan di dada Nue itu Gigi menumpahkan kesedihannya.
“Kaaak..... “ panggilnya dengan parau.
Suara Gigi yang parau itu menggaung hingga terdengar di luar pintu. Suara itu yang membuat Adrian, yang dari tadi menyandarkan punggungnya di pintu itu menjadi begitu teriris.
‘Gi.. sampai kapan kamu berhenti? Sampai kapan kamu habiskan air matamu itu? Nue hanya menjadi sumber air mata untukmu. Sampai kapan kamu mengerti ..?’
***
“Assalamualaikum..”
Seorang wanita paruh baya seketika menengadahkan wajahnya kearah pintu, arah suara salam itu berasal.
“Waalaikum salam..” jawabnya. Ia letakkan peralatan rajutnya di atas meja lalu ia berjalan menuju arah pintu dan membukanya.
“Eh.. Gigi.. ayo masuk..” ujar wanita dengan ramah.
Cowok manis di balik pintu itu tersenyum. Diciumnya tangan wanita yang tak lain adalah ibu Nue. Begitu ia masuk, langsung saja ia berjalan ke arah ranjang Nue terbaring. “Hei kak.. Udah siang.. Ayok bangun..” goda Gigi.
Ibu Nue tersenyum mendengar candaan Gigi itu. Ia kembali duduk dan mengambil peralatan rajutnya. “Tumben kamu datang lebih pagi Gi?” tanya ibu Nue.
Gigi tertawa kecil mendengar kata-kata ibu Nue itu. Ditariknya sebuah partitur dari tasnya yang ia letakkan di atas meja. “Iya te.. Tadi nggak ada kuliah, dosennya ke luar kota.” Jawabnya.
Beginilah rutinitas Gigi selama Nue terbaring koma. Setiap siang, setelah ia selesai kuliah, ia pergi ke rumah sakit. Ia bersedia menjaga Nue ketika ibu Nue harus kembali ke Kalibaru untuk bekerja. Ibu Nue memang memiliki sebuah usaha di sana, sedangkan ayah Nue saat ini memang harus pergi ke luar kota karena tugasnya selaku pejabat kota Kalibaru. Selama sepekan ibu Nue cuti dari pekerjaannya, tapi melihat kondisi Nue yang tidak juga sadar dari komanya, tidak mungkin bagi ibu Nue untuk cuti lebih lama lagi. Itulah kenapa Gigi ke sana setiap siang dan menggantikan tugas menjaga Nue ketika ibu Nue pergi bekerja. Di sana ia habiskan waktunya untuk berlatih lagu untuk lomba, berharap Nue akan bangun dan membenahi nada-nadanya yang fals. Seperti yang Gigi lakukan saat ini. Di hadapan Nue dan ibunya, Gigi menyanyikan hasil latihannya selama ini. Ya.. Gigi masih semangat untuk berlatih meski Nue tidak lagi ada untuk melatihnya, tidak lagi membenahinya jika ia salah, tidak lagi mencontohkan nada yang benar. Selama ini dia belajar untuk membaca notasi sendiri. Kadang ia juga bertanya pada senior-seniornya jika ia menemui kesulitan. Hasil ia latihan itu ia praktikkan di depan Nue setiap saat ia berkunjung kesana. Ia tahu jika tindakannya itu tidak akan membawakan hasil, namun Gigi tetap percaya jika Nue bisa mendengarnya. Dia yakin jauh di bawah alam sadarnya, Nue mendengarkan ia bernyanyi untuknya. Menyanyikan sebuah hymne yang mempertemukan mereka berdua.
“... penerus bangsamu...”
Gigi mengakhiri lagu hymne yang segera disambut dengan tepuk tangan oleh ibu Nue.
“Bagus...! Siapa yang ngajarin?” tanya ibu Nue. Ibu Nue memang baru ini mendengar Gigi menyanyikan lagu hymne.
“ya kak Nue dong.. hehe.. Tapi beberapa hari ini ya belajar sendiri, sesekali juga tanya ke kakak senior lain.”
“Wah.. Nue bisa ngajar?” wajah ibu Nue tampak tidak percaya.
“Lho? Iya Te..Kak Nue hebat lagi Te.. salah sedikit aja pasti langsung di tegur. Hehe.. aku sampek di privat karena ga bisa-bisa.” Ujar Gigi sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Alis ibu Nue tampak mengangkat sebelah, seolah masih tidak percaya. “Oh ya? Masa Nue seperti itu?”
“iya Te.. Memang kenapa Te? Kok kayaknya ga percaya gitu?” tanya Gigi dengan senyum penuh selidik.
Ibu Nue hanya menanggapinya dengan senyuman. Beliau terlihat begitu cantik saat tersenyum. Tampaknya mata Nue yang dalam dan indah serta dagu yang runcing itu diwariskan oleh ibunya. Ibu Nue mengambil rajutannya dan tampak mulai kembali melanjutkan rajutannya.
“Nue itu.. Anaknya sangat tertutup. Dia bahkan ga pernah bilang kalau dia ikut paduan suara. Tante taunya saat dia menang lomba LPSAF tahun lalu. Tahu-tahu dia bilang, kalau timya dapat juara 2. Tante sama Om ya kaget.. karena dia ga pernah cerita tentang kehidupannya. Dia selalu begitu. Selalu memendam semuanya sendiri.” Ekspresi ibu Nue yang semula ceria lambat laun berubah sendu. Diusapnya air mata yang menggenang di kelopak matanya, lalu kembali tersenyum dan melanjutkan rajutannya. Sementara Gigi duduk termangu mendengarkan kisah ibu Nue tentang putra semata wayangnya.
“Dia juga sangat tertutup jika ada masalah. Padahal kadang dia juga bingung harus bagaimana untuk menghadapi masalah itu. Akhirnya tidak jarang dia bersikap bodoh. Kamu tahu? Dia dulu saat masih SD, sering hilang waktu mau berangkat sekolah. Kamu tahu dia dimana?”
Gigi menggeleng pelan. Seketika ibu Nue terkekeh pelan.
“Ternyata tiap subuh, dia manjat ke genting, biar ga disuruh sekolah..”
Spontan Gigi tertawa. “Ha? Hahaha... Masa si Te? Emang kenapa kak Nue dulu ga mau sekolah?”
Selama Gigi masih tertawa kecil, tawa ibu Nue berubah menjadi sebuah senyum kecil saja.
“Karena dia malu..”
Tawa Gigi seketika terhenti dan berubah menjadi sebuah senyum tipis.
“Saat di sekolah, epilepsinya kambuh. Banyak teman-temannya yang melihat. Sejak saat itu, Nue selalu dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya.”
‘deg..’ senyum tipis Gigi sudah sepenuhnya hilang sekarang. “.. dan dia.. ga cerita ke tante?”
Ibu Nue menggeleng. “Nggak.. Dia sama sekali nggak cerita ke Om dan Tante. Padahal dia pasti malu. Sampai akhirnya ia nggak mau sekolah. Tapi tante justru selalu maksa dia sekolah tanpa tahu alasannya.”
Ibu Nue menghentikan kata-katanya untuk menahan kesedihan di matanya. Dalam jeda itu, Gigi mengamati wajah Nue. Ia bisa membayangkan posisi Nue saat berdiri sendiri di tengah ejekan teman-temannya. Itu pasti sangat berat dan menyakitkan.itukah sebabnya dulu Nue melarangnya memberitahukan penyakitnya pada Grace dan orang lain.
Ibu Nue sadar kalau matanya mulai berkaca-kaca. Ia pun segera menengadahkan wajah dan mengedip-kedipkan matanya untuk mengeringkan matanya yang mulai semakin basah. “Oh.. Tante kok malah sedih gini..” ujarnya. Ia pun kembali melanjutkan rajutannya meskipun sesekali terdengar suaranya yang sesengukan.
Gigi memandangi ibu Nue dengan mata sendu. Wajah ibu Nue tampak makin tirus. Cincin kehitaman tampak menghiasi kelopak matanya. Meski tetap saja wajahnya masih terlihat cantik di umurnya yang sudah mencapai 40 tahun.
“Bagus nggak gi?” ibu Nue mengangkat hasil rajutannya. Sebuah sweater rajutan yang masih setengah jadi, tapi sudah tampak bentuk dan motifnya.
“Iya bagus Te..” jawab Gigi yang memandang sendu hasil rajutan ibu Nue itu. Gigi takjub dengan motif pada sweater itu yang tampak begitu rumit dan indah. Kelihatan sekali jika ibu Nue mencurahkan semua kemampuannya untuk rajutan itu.
“Itu.. buat kak Nue, Te?” tanya Gigi.
Ibu Nue yang tadi tersenyum lega karena hasil rajutannya dipuji kini melanjutkan lagi rajutannya. “Iya Gi.. Ini untuk hadiah ulang tahun dia nanti..”
"U..ulang tahun Te?” ujar Gigi setengah tergagap. “Memangnya tanggal berapa kak Nue ulag tahun Te?”
“Oh kamu belum tahu ya..? Nue berulang tahun bulan ini. Tepatnya tanggal 28 besok.”
’28? Berarti satu hari sebelum lomba..!’ batin Gigi.
“Ya ampun.. Jam berapa sekarang?” ujar ibu Nue yang segera menengok ke arah jam dinding. “Waduh.. Ya sudah, tanta berangkat kerja dulu ya Gi..” ibu Nue segera memasukkan hasil rajutan dan perlegkapannya ke dalam tas. Tampak Gigi yang beranjak dari kursinya dan menghampiri ibu Nue.
“Titip Nue ya..” pesan ibu Nue saat tangannya Gigi cium.
“Iya te.. Tante juga hati-hati di jalan..” ucap Gigi yang dibalas dengan senyuman oleh ibu Nue.
Ibu Nue pun lenyap di balik pintu yang menutup pelan. Kini hanya Gigi dan Nue berdua di kamar itu. Gigi kembali ke tempat duduknya dan melipat kedua tangannya di atas ranjang Nue.
Cukup lama ia memandangi wajah Nue yang terlelap. Gigi pun menutup wajahnya dan..
“Ba..!”
Nue tidak bergeming. Gigi pun kembali menurunkan tangannya. “ Hehe... Masih ga berhasil juga bikin kakak bangun. Kakak kuat banget sih..” ucap Gigi dengan wajah getir.
Untuk sesaat Gigi termenung, tapi ia segera mengangkat dagunya dan mengambil napas panjang. Diambilnya sebuah partitur lagi dari dalam tasnya.
‘yup, latihan lagi yuk...biar ga sedih terus.’ Yakin Gigi dalam hatinya.
Sudah satu minggu penuh dia harus meratap dalam kesepiannya. Jatuhnya Nue dalam ketidaksadaran tanpa tahu kapan ia akan bangun lagi membuat Gigi sempat depresi berat. Perlakuan yang ia lakukan pada Nue terakhir kali membuatnya menyesal. Meskipun dia ingat betul bahwa yang menyakitinya lebih dulu adalah Nue, tapi tetap saja kata-kata terakhirnya pada Nue terus menghantui pikirannya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk melupakan sejenak kesedihannya dengan cara berlatih. Satu minggu tidak mungkin ia habiskan seluruhnya untuk menangis. Sebenarnya Gigi bisa saja melakukan itu, mengingat kesedihannya yang tidak pernah luntur. Namun Gigi sadar kalau hidupnya tidak bisa dihabiskan dengan penyesalan. Masih ada kehidupan yang harus ia jalani. Masih ada lomba yang harus ia lalui. Ia ingat perjuangan yang ia tempuh untuk bisa mengikuti lomba itu. Ia ingat bagaimana usaha Nue mempertahankan dirinya untuk bisa tergabung dalam tim. Ia ingat bagaimana Nue dengan sabar melatihnya hingga ia bisa.
Ia tidak tahu apakah kini Nue masih marah padanya dalam tidurnya, tapi Gigi berusaha untuk menghargai usaha Nue di masa lalu.
Membaca partitur dan menyanyikannya membawa kesan tersendiri bagi Gigi, karena dengan begitu, ia bisa mengingat senyum Nue yang dengan sabar menuntunnya membaca partitur. Nue pasti tidak akan membiarkannya fals. Meskipun Gigi merasa, mungkin Nue masih marah padanya, tapi dia pasti akan mendengarkan Gigi jika ia bernyanyi. Karena Gigi tahu, jika Nue akan terganggu mendengar nada fals.Ya, dia pasti akan mendengarkan. Bahkan dalam tidur panjangnya.
Not demi not, bar demi bar Gigi bunyikan. Beberapa kali ia lupa dan beberapa kali pula Gigi harus mengulang dari awal. Sesekali dia juga mendengarkan rekaman suara Nue yang diberikan padanya dulu.
Saat Gigi mendengarkan rekaman itu, perlahan bola matanya mulai basah. Dihentikannya rekaman itu dan ia tengadahkan wajahnya, berharap air di matanya bisa kembali masuk ke dalam kelopak matanya. Sudah satu minggu lebih Gigi tidak mendengar suara Nue, dan kali ini begitu mendengar suaranya yang jernih itu, seketika hatinya tercekik oleh rindu. Dia sangat rindu pada suara Nue yang kini membisu.
Gigi segera menggeleng-gelengkan wajahnya dan menarik napas dalam. Air di matanya mulai mengering, dan ia pun membuka matanya.
“Nggak... Nggak boleh Gi.. Kamu harus tabah. Kamu ga bisa nangis terus!” bisik Gigi. Ia pun mencoba membuka lagi partiturnya.
“Tok tok tok..”
Suara ketukan pintu terdengar ketika Gigi baru membuka partiturnya. ‘Wih.. Anak PSM kah?’ tanyanya dalam hati.
Teman-temannya dari PSM memang seringkali datang dan tak jarang membawakan makanan yang bisa mereka makan bersama. Kehadiran mereka juga berperan bagi Gigi untuk melupakan sejenak kesedihannya. Meskipun teman-teman PSM tidak tahu benar seberapa dalam kesedihan Gigi atas tidak sadarnya Nue, tapi gurau dan canda mereka secara langsung menghibur hati Gigi. Gigi pun berharap Nue bisa terhibur degan kehadiran mereka, meskipun setitik senyumpun tidak pernah muncul di bibirnya yang merah itu.
Dengan segera Gigi bangkit dari kursinya dan membukakan pintu kamar, berharap yang datang adalah teman-temannya yang akan membawakannya pizza seperti kemarin. Namun, begitu daun pintu terbuka, semua harapannya seketika kandas. Yang berdiri disana bukanlah, Nurul, bukanlah Radit, bukanlah Omi, bukanlah Adrian, Budi, Ully, atau siapapun dari daftar orang-orang yang ia harapkan, melainkan seseorang yang berada di puncak daftar orang yang tidak ingin ia lihat. Grace.
“Gi.. boleh aku masuk?” tanya Grace getir.
Cukup lama Gigi terdiam. Mulanya dia bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dia masih marah dengan Grace, karena Gigi yakin, Grace-lah yang menyulut kemarahan Nue saat itu. Tapi saat Gigi menoleh ke arah wajah Nue yang terlelap, hatinya mulai luluh. Seolah Nue memintanya untuk membiarkan Grace masuk.
“Iya, silakan.” Jawab Gigi degan wajah datar.
Grace pun memasuki kamar itu dengan canggung. Matanya tampak bergerak-gerak pilu saat melihat kondisi Nue. Sebuah mesin dengan kabel-kabelnya terhubung di tubuh Nue, memberikan ia ketukan untuk ritme jantungnya. Kantong infus tergantung tinggi dengan selangnya yang tersambung ke dalam urat nadinya, membiarkan cairan asing memasuki tubuh Nue dengan bebasnya. Begitu juga dengan perban yang melilit kepala Nue dengan rapi, menutup luka yang membuatnya tertidur.
Perlahan Grace berjalan mendekati tubuh Nue. Dari balik punggung Grace, Gigi bisa melihat perlahan tubuh Grace menggigil, hingga akhirnya Grace bersimpuh di samping ranjang Nue. Tangannya menggenggam erat tangan Nue. Gigi seketika memalingkan wajahnya. Bagi Gigi, pemandangan itu terlalu menyakitkan. Pemandangan yang hanya akan memancing amarah dan cemburu.
Dalam keheningan ruangan itu, sayup-sayup terdengar suara Grace yang merintih dan terisak-isak.
“Nue.. maafin aku Nu...”
Tangan Gigi mengepal. Air mata yang tadi mengering seolah mulai mendapatkan kekuatan untuk menerobos pertahanan kelopaknya. Gigi mencoba menahannya, sehingga
memunculkan ekspresi kesal yang tertahan.
“Maafin aku Nu... Aku ga bisa membela diri aku lagi.. Yang kamu lihat dan tahu, semuanya benar.. Aku sudah buta. Aku bodoh. Aku ga bisa liat orang yang mencintai aku.. aku udah menyia-nyiakan kesempatan kedua yang kamu kasih.. Aku memang bodoh Nu.. Aku ga tau malu.. Aku murahan.. Aku akui semua itu.. Tapi please Nu... Bangun... Bangun dan maafin aku nu..”
Gigi sudah tidak tahan lagi. Ia muak, ingin sekali meluapkan amarahnya pada Grace. Bisa-bisanya dia masih punya wajah untuk meminta maaf pada Nue. Ini sudah hari keberapa? Kenapa dia harus minta maaf setelah Nue lama terbaring koma, kenapa tidak di awal-awal? Apakah masih memikirkan alasan? Untuk apa beralasan lagi? Toh Nue tidak akan mendengar dan menjawabnya!
Sekilas Gigi memalingkan wajahnya ke arah Nue. Dilihatnya wajah Nue dalam-dalam. Wajah itu tampak terlelap dengan tenang meski seseorang sedang menangis tersedu-sedu di punggung tangannya.
Selama ini Gigi yakin, jika Nue bisa mendengarnya ketika ia bernyanyi untuknya, namun sekarang, apakah Nue juga mendengarnya? Tangisan Grace itu.. apakah Nue merasakannya? Mungkinkah Nue akan memaafkannya?
Dulu, begitu mudahnya Grace meminta maaf pada Nue, dan begitu mudah pula Nue memaafkannya. Hubungan mereka bisa kembali utuh seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi bagaimana dengan Gigi? Permasalahan mereka berbeda. Grace adalah seorang wanita dan Nue adalah laki-laki. Mereka layak untuk menjadi kekasih berkat restu kodrati. Sungguh mudahnya Grace memeluk Nue, begitu ringannya ia mencium Nue, begitu leluasanya Grace memperlakukan Nue dengan sesuatu yang Gigi tidak bisa lakukan. Butuh waktu yang sangat lama dan kesempatan yang sangat tipis bagi Gigi untuk sekedar memegang tangannya. Butuh sebuah keberanian dan kondisi yang sangat tepat bagi Gigi untuk bisa mencium kening Nue. Butuh sebuah pengorbanan dan rasa sakit bagi Gigi untuk memeluk erat tubuh Nue. Tapi yang Grace lakukan.... Dengan berbagai fasilitas eksklusif yang ia miliki itu, ia dengan mudahnya bermain dengan hati Nue. Dengan mudahnya ia berselingkuh dengan cowok lain, dan dengan mudah pula ia meminta maaf pada Nue bagai orang yang tak berdosa.
Bandingkan dengan Gigi. Ia tidak pernah sekalipun berpaling dari Nue. Sedikitpun ia tidak pernah memasang wajah dingin ke arah Nue. Dia selalu menyempatkan ada ketika Nue sedang membutuhkannya. Dia yang selalu mengingatkannya untuk minum obat. Dia yang selalu ada ketika Nue sedih. Yang Gigi dapatkan selama ini adalah tumpahan kesedihan dan emosi Nue. Dan, hanya dengan satu hal, Nue berpaling seratus delapan puluh derajat darinya. Hanya karena dia gay.
Kini, melihat Grace yang berlutut dan menangis tersedu di punggung tangan Nue membuat Gigi muak. Dengan langakah tegas, ia meninggalkan tempat itu. Menutup pintu dengan bunyi berdebam pelan dan ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, di ujung koridor, Adrian datang dengan wajah heran ketika melihat Gigi yang berjalan menjauh dari kamar Nue.
“Gigi?”
***
aku juga sudah menulis lebih dalam ttg nama itu di bar 20. ditunggu ya...
@yuzz n @dItyadrew2: wuakakak... namax jg br belajar. soalx di bar 20 ada kalimat2 yg hrs di italic, hehe..=))
@fauzhan: huhuhu.. maaf ya, g bisa mnepati janjiku buat nemenin satnite..
buuuuuuuuuuuuuuaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnggggggggggggggeeeeeeeeeeettttttttttttttt
( :o3
semoga Tuhan memberikan kebahagiaan bagi dia.
amin.
ah sedih nya beneran deh. nyesek se nyeseknya ini mah.
Sesuai judul n dari awal cerita gigi ama nue, jadi gak ª∂a̲̅ Чάπƍ mati Ɣª !
∂î tunggu bar 20 nanti malem, jgn bohong n harus м̣̣̥̇̊ά̲̣̣̣̥Lά̲̣̣̣̥м̣̣̥̇̊ ȋ̊nɪ̣̝̇. ## ngancem+maksa.com
Hehehehe
Ternyata nue ditemuin ma bapak kosnya, q kira nue ga bkln ditemuin nyampe pagi ..
Sbnarnya kshn adrian kl gigi nyampe sama nue, tp dr pd nue ma grace q lbh ga rela ..
Bar 20 nya jgn kelamaan ya ..
tpi aq smpet ktawa pas sda bcaan laron .. hehe
nti klo dah tmat, bkin crta spsial wat adrian yak.. hoho