It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
## biar ingat kalo malem ♏ąΰ ∂î upload bar 20
gjgljgihkilhii
hvgjkbuogiobik
jjj
jugugujgug
@adam08, @idhe_sama ,
@venussalacca, @woonma , @obay ,
@yuzz, @yuriz_rizky , @003xing ,
@Raditjoe, @bayuaja01, @zhar12 ,
@masdabudd, @nankatsusuichi,
@hudhsb. @just_PJ , @achan, @fends,
@dityadrew2 , @DM_0607 , @yuuReichi,
@danze, @agran, @amauryvassili1 ,
@IKentut_Gede , @ken89 , @alnichie,
@05nov1991 , @fauzhan @rey_drew9090, @tyo_ary, @aries77, @malmol, @diFer, @earthymooned, @sausal1to, @ularuskasurius @nuelazuardy
Bar 20, Hymn Of My Heart
Udara berhembus sepoi di beranda rumah sakit. Gigi berdiri di sana, tangannya ia lipat diatas pagar tembok yang menjadi pembatas beranda. Di belakangnya tampak sprei putih yang dijemur berjejer, melambai-lambai tertiup angin. Menerbangkan wangi deterjen di sekitar Gigi. Di atas sana, Gigi bisa menatap pemandangan kota Jember dengan leluasa. Darisana ia juga bisa melihat kos-kosannya yang tampak seperti kotak kardus susu bubuk. Tak jauh dari kos-kosan Gigi, tampak jembatan semanggi yang melingkar dengan sederhananya. Seperti simpul yang belum selesai. Tidak seperti Tol Semanggi di Jakarta yang memiliki empat lingakaran membentuk motif semanggi berdaun empat, jembatan itu hanya memiliki sebuah lingkaran yang melingkari sebuah bukit.
Gigi tidak ingin memepermasalahkan kenapa namanya ‘Semanggi’ padahal bentuknya tidak bisa dikatakan seperti semanggi. Yang Gigi perhatikan adalah bayangannya yang ada di bukit itu. Gigi mencoba membayangkan, jika dia dan Nue bisa duduk bersama di bawah naungan pohon di bukit itu. Tidak siang hari seperti ini, tapi pada malam hari. Ketika langit menjadi hitam dan lampu-lampu berwarna cokelat kejinggaan menyinari jalan. Di bukit itu, ia bisa melihat garis-garis cahaya yang dihasilkan oleh lampu kendaraan bermotor. Dan diatas mereka, bulan yang berpendar putih menggantung dengan anggun di langit. Alangkah indahnya malam itu jika hal itu terwujud. Ia ingin menyandarkan kepalanya di bahu Nue sekali lagi. Tapi apakah mungkin?
Semua bayangan itu terhapus oleh sinar mentari siang yang terik. Ketika Gigi mengangkat wajahnya, yang ia lihat adalah hamparan langit yang membujur luas. Langit siang itu berwarna biru bening. Anehnya siang itu, langit tidak banyak dihiasi dengan awan-awan. Awan-awan itu pasti sudah habis menjadi hujan semalam. Gigi merenung. Nue Lazuardi.
‘Lazuardi’ yang artinya adalah ‘langit’, sedangkan kata ‘Nue’, Gigi sanksi apakah orang tua Nue tahu artinya, karena setelah Gigi bertanya pada kawan terbaiknya di Sastra Inggris, Google Translate, kata ‘Nue’ dalam bahasa Prancis berarti ‘telanjang’. Apakah ini yang dimaksud dengan Nue Lazuardi? Sebuah hamparan langit biru yang telanjang, tidak tertutup awan. Terhampar apa adanya, tanpa satu pernik pun menghiasi dirinya.
Dulu Gigi pernah berharap, kalau dia bisa menjadi awan untuk Nue. Meskipun awan itu akan mengalami mendung, dialiri dengan ribuan volt petir, dikejutkan dengan puluhan kilat yang membutakan, dan akhirnya awan itu selalu habis menjadi hujan, toh akhirnya awan akan kembali melayang dan duduk bertengger menemani langit. Dari hujan itu juga pada akhirnya akan menciptakan sebuah pelangi yang indah, yang melengkung anggun, menghubungkan awan, langit dan bumi.
“Gi..”
Sosok Adrian muncul di balik kain-kain sprei yang berkibar pelan. Gigi menoleh sesaat ke belakang, menatap wajah Adrian yang tampak bersinar karena pantulan sinar dari kain sprei putih.
“Hei..” sapanya dengan senyuman ringan. Lalu ia kembali memalingkan wajahnya ke arah horison.
Adrian mendekatinya dan akhirnya ia berdiri di samping Gigi dan melipat tangannya di atas pembatas beranda. Cukup lama keduanya saling membisu. Gigi bisu karena sibuk dengan bayangan-bayangan asanya, sedangkan Adrian yang membisu karena memikirkan kata-kata apa yang akan ia sampaikan pada Gigi.
“Di kamar Nue tadi.. ada kak Grace.” Ujar Adrian. Sebuah awal pembicaraan yang sebenarnya tidak disukai oleh Gigi.
Gigi hanya menjawabnya dengan ‘ya’ datar.
“Kamu.. nggak apa-apa kan Gi?” tanya Adrian lagi.
Cukup lama bagi Gigi untuk menjawab pertanyaan itu. Bukan karena bingung dengan
jawabannya, tapi lama karena mengumpulkan tenaga untuk menjawab.
“Jujur, aku apa-apa..” jawab Gigi dengan senyum kecil, seolah ia sedang bercanda.
“Kalau gitu kenapa ka..”
“Kamu tahu Dri?” potong Gigi. Seketika Adrian terdiam. “Aku tadi baru saja memikirkan tentang ‘Nue Lazuardi’”
Adriam terdiam. Alis matanya berkerut mendengar kata-kata Gigi itu.
“Kamu tahu arti nama itu?” tanya Gigi lagi. Wajahnya yang semula hanya terpaut pada horison kini melirik ke arah Adrian.
Adrian menggeleng pelan. Gigi pun tersenyum sambil kembali berpaling ke titik fokusnya semula.
“Nue itu... katanya google translate sih.. artinya ‘telanjang’, berasal dari bahasa Prancis. Jorok ya? Hahaha... Tapi setelah aku tahu arti kata ‘Lazuardi’ semuanya mulai keliatan jelas. Lazuardi sendiri ada di kosakata bahasa Indonesia, kalo di artikan ke bahasa Inggris, hasilnya adalah kata ‘sky’ alias ‘langit’. Jadi bisa dibilang Nue Lazuardi artinya langit yang telanjang. Seperti siang ini. Kamu bisa lihat ke atas, langit yang biru terhampar luas itu.” Tangan Gigi mengarah ke atas. Adrian melihat wajah Gigi yang kini menengadah ke langit. Adrianpun mengikuti arah tempat mata dan tangan Gigi menunjuk.
“Aku... dari dulu ingin sekali menjadi awan itu.”
Adrian menoleh ke arah Gigi. Dilihatnya Gigi yang tersenyum getir menatap langit.
“Aku ingin jadi awan yang selalu ada dan menghiasi langit. Tapi... sayangnya awan dapat berubah mendung dan jatuh menjadi hujan. Sekarang lihat.. awan itu habis tanpa sisa. Meninggalkan sang langit sendiri, meskipun pada akhirnya awan akan terbentuk kembali. Aku rasa sekarang aku sudah seperti awan. Awan yang dengan gigihnya berada di dekat langit, meskipun setiap saat harus berubah mendung, dialiri petir dan kilat dan selalu jatuh menjadi hujan... tapi awan selalu kembali ke langit..”
Adrian termenung. Tangannya mengepal dan bergetar, hingga akhirnya ia tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi. Dengan tegas ia menarik bahu Gigi dan membuat wajah Gigi terarah padanya.
“Sampai kapankamu begini Gi?!”
Gigi diam. Matanya tampak menerawang kosong.
“Sampai kapan kamu mau menunggu Nue? Sampai kapan kamu mau menangisi orang yang ga peduli sama kamu? Sampai kapan kamu akan bertingkah seperti awan? Awan ga ada kaitannya dengan langit! Langit itu cuma ruang kosong! Dia ga ada artinya buat kamu!”
Seketika mata Gigi menyala dan menatap wajah Adrian dalam-dalam. Mata yang sendu itu seketika menusuk hati Adrian hingga ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Siapa bilang langit ga ada artinya buat aku? Tanpa langit, dimana awan akan tinggal?!”
Adrian terhenyak. Cukup lama keduanya terdiam dan hanya bisa saling pandang. Gigi pun melepas pelan tangan Adrian yang memegang bahunya dan kembali menatap horison.
“Tapi kamu ga bisa seperti awan Gi..” ujar Adrian lirih. “Kamu ga bisa terus-terusan dirundung kesedihan dan menangis. Kamu bukan awan.. dan Nue bukan langit kamu.”
Gigi yang telah berhati batu merasa tidak terima dengan kata-kata Adrian itu. “Darimana kamu bisa bilang kalau Nue bukan langitku?”
“Apa kamu ga bisa liat sendiri Gi? Apakah Nue pernah bilang cinta ke kamu?! Apa Nue pernah menyadari perasaanmu? Nggak kan?! Aku terus terang bingung Gi, apa yang kamu liat dari Nue, yang jelas-jelas berhati tumpul dan.. dan.. dia bahkan sakit ayan..”
Mata Adrian terbelalak. Sebuah angin menerpa dan menggoyangkan rambut di pelipisnya. Ia bisa merasakan dengan jelas dinginnya angin yang berhembus di pipinya. Tangan Gigi bergetar di depan pipi Adrian. Satu inchi lagi, maka Adrian bisa merasakan panasnya telapak tangan Gigi. Yang membuat hati Adrian membeku lagi adalah ketika melihat mata Gigi yang mulai basah.
“Sekali lagi... Sekali lagi kamu bilang hal yang jelek tentang kak Nue.. aku ga akan menahan lagi. Aku ga akan maafin kamu..” isaknya. Perlahan ia tarik tangannya, meninggalkan wajah Adrian yang memutih.
Sambil mengusap air mata yang menggenang di kelopak matanya, ia membalikkan badannya, kembali pada posisinya semula. Berharap angin sepoi dapat mengeringkan air matanya.
Sementara itu, Adrian terhenyak. Memang tamparan Gigi tidak sampai mengenai dirinya, tapi itu sudah cukup untuk membuat hati Adrian hancur berantakan. Dengan gemetar ia turunkan tangannya dan merogoh sakunya.
“Sedalam itukah cinta kamu ke Nue Gi..? Ga adakah peluang buat aku mengisi hatimu?” tanya Adrian dengan nada getir.
“Maaf Dri.. mungkin kamu benar, Nue mungkin ga peka akan perasaanku. Aku bahkan yakin kalau dia akan benci sama aku setelah tahu kalau aku adalah seorang gay. Tapi... mau bagaimana lagi? Seperti yang aku bilang tadi.. Nue adalah langitku.. aku ga ada tanpa dia..”
Jawaban Gigi menggetarkan hati Adrian. Tanpa sadar, matanya mulai basah. Diusapnya pelan air matanya itu dan ditariknya sesuatu dari saku celananya.
“Asal kamu tahu Gi... Nue ngga setumpul yang aku dan kamu kira..”
Perlahan Gigi membalikkan badannya. Dipandangnya wajah Adrian dengan tatapan heran. Dilihatnya pula secarik kertas lusuh di tangannya.
Adrian memandang dalam-dalam kertas ditangannya itu. “Sebelumnya aku minta maaf Gi, karena nggak ngasi ini ke kamu lebih awal.. ini aku lakuin, karena aku terlalu sayang sama kamu Gi.. tapi kalau memang pendirianmu ga bisa berubah... aku ga bisa berbuat apa-apa lagi.” ucap Adrian getir.
Dengan gemetar ia menyodorkan kertas itu ke arah Gigi.
"I.. ini..”
“baca aja Gi..”
Mata Gigi langsung terpaku pada tulisan di atas kertas itu.
‘To: Anggian’
Perlahan Gigi mencermati tulisan itu. Tulisan yang familiar di benaknya.
"tulisan ini..” bisiknya pelan.
Dengan segera ia membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.
“ To: Anggian
Dear my lil bro..
Mungkin hal yang pertama kali terlintas di kepala kamu saat menerima surat ini pasti kampungan atau ngga keren, atau pengecut.. nggak apa-apa, kamu bebas memanggilku pengecut karena aku cuma bisa mengungkapkan pikiranku lewat surat.
Sebelumnya, aku mau ngucapin selamat atas aksi panggung kamu tadi. Keren banget... :-)
Kedua, tentang lagu yang kamu bawakan itu... aku ga tau apakah aku yang merasa terlalu percaya diri atau bego. Tapi entah kenapa aku ngerasa kalau lagu itu buat aku..
Aaaarghh... lupakan-lupakan... anggap aku nggak pernah nulis seperti itu.
Tapi Gi.. asal kamu tahu.. kamu boleh bilang aku freak, tapi entah kenapa.. sejak kita pertama kali bertemu, ada sesuatu yang aku lihat berbeda dari kamu.
Aku ngerasa kamu begitu lucu, manis.. seakan nyaman untuk dipeluk seperti guling, hehe..
Aku tahu ini terdengar ga wajar. Selama ini aku anggap rasa itu sebagai rasa sayang antara kakak dan adik. Tapi... bolehkah aku mengatakan, kalau aku ci perasaanku padamu lebih dari itu?
Aku harap aku salah.. karena kamu tau.. ya.. kamu cowok dan aku cowok..
Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Perasaanku ke Grace sedikit demi sedikit mulai terasa hambar. Sebaliknya semenit bersama kamu seakan begitu menyenangkan dan nyaman. Wajah mu yang manis itu selalu berputar-putar di kepalaku. Aku senang ketika aku bisa menginap di kos-kosanmu atau kamu yang menginap di kos-kosanku. Kamu mungkin ga tau, kalau aku selalu nggak bisa tidur ketika sekamar sama kamu. Kamu juga mungkin ga tau, kalau aku masih sadar ketika kamu nyium pipiku saat kamu menginap di kos-kosanku. Aku juga bisa merasakan kalau kamu memelukku saat aku kejang. Aku tahu kamu pasti kesakitan.
Aku minta maaf.... maaf banget..
Tapi, mungkinkah kamu mencintaiku?
Mungkinkah jika aku mencintamu?
Aku harap itu salah.. tapi, aku ga akan peduli jika itu memang benar. Entah apa nantinya kamu berpaling jadi benci denganku atau jijik padaku. Tapi.. aku akan nyayangin kamu seperti.... orang yang paling aku sayang.
Aku cuma ingin kamu tahu, kalau kamu bukan orang bodoh yang ngobrol dengan bulan.. karena aku akan selalu ada di sisimu dan menjawab, kalau aku sayang padamu.
Sekian suratku, kamu bisa robek suratku dan bertingkah seolah ga terjadi apa-apa, tapi kalau kamu juga mencintaiku, aku harap kamu bisa menulis surat balasan untukku.
From: your big bro. Nue Lazuardi’
Bintik-bintik air menetes dan membasahi kertas lusuh itu. Tangan Gigi gemetar memegang kertas itu. Air mata yang satu minggu ini ia tahan akhirnya jebol juga. Meluapkan semua emosi yang ia pendam selama ini. Ia tumpahkan semua di hari itu.
‘Kak Nue.. kenapa kamu ga bilang..’ isak Gigi.
Perlahan Adrian merangkul Gigi dari belakang. Membiarkan tubuh Gigi menggigil hebat di badannya.
“Gimana bisa kamu dapatkan surat ini?” tanya Gigi dengan suara parau.
“Saat aku nyatain cinta ke kamu Gi.. sepertinya malam itu dia juga ingin mengungkapkan perasaannya ke kamu, tapi etah kenapa dia pergi dan membuang kertas ini di dekat pintu.. aku ga bermaksud menyembunyikan kertas ini ke kamu Gi.. aku cuma..”
“Cukup Dri... kata-kata kamu bikin aku tambah nyesel Dri... andai saja aku baca surat ini malam itu, mungkin kejadian di malam esoknya tidak akan berakhir seperti ini...” isak Gigi.
Adrian memeluknya kian erat untuk membuatnya tenang. Tampak raut penyesalan dan sedih yang jelas dari wajah tampan Adrian.
“Andai saja.. aku tahu kalau Nue juga mencintaiku... Andai saja....” Gigi tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi. Seluruh nafasnya yang tersisa ia habiskan untuk menangis dan terisak. Tubuhnya meringkuk di dekapan Adrian, dengan salah satu tangan yang gemetar memegang surat Nue.
Hati Adrian begitu pilu. Pada akhirnya ia harus melakukan ini. Ia harus merelakan Gigi pergi. Ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi dan membuatnya makin menderita.
Dengan suara getir yang tertahan ia berbisik di telinga Gigi.
“Maaf Gi... Akhirnya harus akui Gi.. kalau kamu memang ga bisa lepas dari Nue. Terlepas dari apa yang sudah Nue lakukan buat kamu, aku mencoba ikhlas dan menghormati pilihanmu, selama kamu bahagia... Karena aku sadar, kalau aku selama ini ga bisa mengukir senyum seperti yang Nue torehkan di wajahmu itu.. Aku harus akui kalau Nue adalah langit tempat hati kamu, awan, bersemayam. Tapi izinkan aku, Adrian yang pengecut ini, untuk menjadi Bumi, yang akan selalu menunggumu dari bawah. Memperhatikan kalian saling mengisi dan menghiasi atapku. Dan aku sebagai Bumi, yang akan selalu terbuka menerimamu ketika kamu jatuh dalam rintik hujan, dan akan selalu ikhlas melepasmu ketika kamu menguap menjadi awan kembali. Membiarkanmu terbang pada langit yang kamu sayangi..”
***
Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa waktu telah mengantar tim LPSAF fakultas tempat Gigi tergabung ke depan gerbang perlombaan. Di pintu aula, Nurul tampak mondar-mandir sambil sesekali melihat jam tangannya. Dilihatnya ke dalam ruangan, anak-anak bimbingannya tengah di make up. Hanya ada satu orang yang tidak tampak di antara kerumunan itu.
“Huuh.. Gigi kemana sih? Jam segini kok belum dateng?? Ga tau apa kalo make upnya bakalan lama!”
‘puk..’
Nurul menoleh ke arah belakang setelah pundaknya ditepuk oleh seseorang.
“Tenang mbak.. Gigi juga sebentar lagi bakal dateng..” ujar Adrian dengan senyumnya yang terkesan jahil itu.
Nurul mendengus menahan kesal. “Huh.. Darimana kamu tahu?”
Adrian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis ke arah gerbang fakultas.
‘dia pasti ada di sana.. ‘ gumamnya dalam hati.
Agak lama, Nurul menoleh ke arah Adrian, begitu juga Adrian yang menoleh heran ke arahnya.
“Bisa kamu lepasin sekarang?” ujar Nurul sambil menunjuk tangan Adrian yang menempel di bahu nurul dengan matanya.
Seketika Adrian menariknya dan tersenyum bodoh. Sementara Nurul hanya mendengus dan berbalik masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Adrian, ia memilih untuk mematung di ambang pintu aula dengan matanya tertuju getir ke arah gerbang.
‘Cepatlah datang Gi..’
***
Di tempat lain dan pada 30 menit sebelumnya, Gigi tengah mengetuk pintu kamar Nue dirawat. Tak lama kemudian ibu Nue membukakan pintu dan menyambutnya.
“Eh Gigi.. kok belum berangkat? Katanya mau lomba?” tanya ibu Nue saat tangannya Gigi cium.
“Iya tante.. Gigi nyempetin kesini buat..” mata Gigi melirik ke arah kado besar di punggungnya sambil tersenyum cerah. “Maaf ya Te, ngucapinnya telat, soalnya kemarin aku full latihan, tante..”
“Ooh.. ya ampun Gigi.. ga usah repot-repot.. aduh kamu itu..” seru ibu Nue yang merasa sungkan pada Gigi yang membawa kado sebesar itu.
“Hehe.. nggak apa-apa lagi tante.. ini juga bukan kado dari Gigi aja, tapi juga anak-anak PSM yang lain..” terang Gigi.
Ia meletakkan kado itu di samping meja.
“Ya ampun.. Sampaikan makasih tante buat yang lain ya..” ujar ibu Nue.
“Iya tante.. eh, omong-omong, tante mau kerja lagi? Kok udah bawa tas?” tanya Gigi heran melihat pakaian ibu Nue yang sudah rapi dan sebelah tangannya menjinjing tas.
“Iya Gi.. Tante harus kerja lagi.. Kantor ga bisa ditinggal, lagi banyak orderan soalnya..”
“loh, terus kak Nue gimana tante?” tanya Gigi dengan nada sedikit khawatir, mengingat tidak ada yang akan menjaganya ketika ibu Nue pergi dan Gigi pergi berlomba.
Ibu Nue tersenyum mendengar pertanyaan Gigi. “Tenang Gi.. Tante sudah bilang ke susternya kok.. Mereka kan dibayar untuk ini..” jawab ibu Nue sambil mengerling nakal.
Gigi mengangguk-angguk sambil tertawa kecil. Ibu Nue benar juga. Sekarang ia tidak perlu khawatir meninnggalkan Nue sendiri.
"Ya sudah tante berangkat dulu ya.. nanti kalau kamu sudah bernagkat jangan lupa hubungi susternya dan tutup pintu kamar.” Pesan ibu Nue.
“Siap te!”
Ibu Nue pun membalas jawaban Gigi dengan senyuman puas. Setelah Gigi mencium tangannya ia pun beranjak pergi dari tempat itu.
Setelah pintu tertutup, barulah Gigi duduk dengan khidmat di samping ranjang Nue.
Selama hampir tiga minggu Nue terbaring di ranjang itu. Plester-plester luka yang mulanya merekat di wajahnya kini sudah hilang. Masih tampak bekas luka karena goresan beling yang berupa garis-garis putih kemerahan. Balutan perban di kepala Nue juga sudah dilepas. Meski luka-luka itu sudah mulai sembuh, namun ketidaksadaran Nue masih belum pulih juga. Wajahnya masih pucat seperti saat pertama kali ia dirawat. Perubahan penampilan Nue yang paling mencolok adalah pakaian yang ia kenakan. Sebuah sweater berwarna biru navy yang kalem, tidak terlalu gelap, juga tidak seterang biru langit. Tepatnya, warna biru itu seperi warna langit yang akan beranjak malam. Sweater itu tampak begitu hangat sekaligus sejuk juga nyaman saat dikenakan oleh Nue. Sweater itu pasti hasil rajutan ibu Nue. Hadiah dari ibu Nue.
Perlahan, Gigi membelai rambut yang menutupi dahi Nue. Belaian demi belaian Gigi usapkan dengan begitu dalamnya.
“Selamat ulang tahun kak..”
Sungguh ironis memang. Seharusnnya Nue hari ini bisa menikmati hari kelahirannya dengan menyaksikan lomba LPSAF. Lomba yang ia perjuangkan selama ini. Tapi tepat saat lomba itu digelar, Nue harus terbaring disini. Ditemani dengan sebuah lampu putih yang redup di ruangan yang sunyi.
“Oh iya.. Aku bawa hadiah untuk kakak..” ujar Gigi. Diambilnya hadiah besar di samping meja. “Tadaa...”
Gigi memamerkan sebuah tas hitam dengan sebuah pita biru di ujungnya. Kado itu memang tidak dibungkus denga kertas kado, karena bentuknya yang tidak memungkinkan utuk dibungkus. Tas itu memang tidak berbentuk kotak, melainkan meliuk-liuk seperti angka delapan bertangkai. Ya, itu sebuah tas gitar.
“Hehe.. Bisa ditebak kan, isinya? Aku buka ya...” ujar Gigi. Ia pun membuka pita diujung tas lalu membuka risleting yang menutup tas itu. Dengan hati-hati Gigi menarik keluar benda di dalam tas itu. Sebuah gitar akustik dengan warna biru tua bergradasi biru navy. Persis seperti pemandangan langit yang beranjak malam. Gigi bukannya ingin ikut-ikutan ibu Nue dalam pemilihan warna, tapi ia khusus memilih warna biru karena memang itu warna kesukaan Nue. Disamping itu, Gigi juga mempertimbangkan arti nama ‘lazuardi’ sendiri.
“Hehe.. maaf kak. Mungkin ini bukan gitar mahal seperti yang kakak punya atau inginkan, tapi gitar ini aku beli dengan uang tabungan aku sendiri.. aku juga pilihkan warna kesukaan kakak. Kualitasnya juga lumayan. Aku minta Adrian yang mengecek kualitas juga mensetting senar-senarnya. Jadi.. aku harap kakak suka..” ujar Gigi dengan ekspresi agak malu.
Kini ia membuka kebohonngannya sendiri, bahwa kado itu adalah hasil patungan teman-teman PSM. Ia rela menggunakan uang yang selama ini ia tabung untuk ia gunakan membeli ponsel baru. Itu semua ia lakukan demi Nue. Berharap dengan kado itu, Nue bisa membuka matanya.
Namun nampaknya Nue masih diam saja. Seolah tidak tertarik dengan kado Gigi. Gigi pun tersenyum lirih. Ia membenarkan posisi gitarnya, seolah ia akan memainkannya.
“Aku belajar gitar lo kak... Sekarang aku sudah beberapa lagu. Ehmm.. Sebenarnya cuma satu sih.. haha.. Lagu ini.. aku persembahkan khusus untuk kakak. Mungkin kakak ga tau lagu ini, karena ini lagu Jepang yang ga banyak didengar di Indonesia. Judulnya ‘Happibasude’ alias ‘happy birthday’. Aku harap kakak suka ya...” ujarnya.
Ia pun mulai menjentikkan jari jemarinya di atas senar gitar itu. Masih tampak kaku, tapi perlahan musik mulai mengalun.
“umaku hanashi ga dekinakute
hontou wa sumanai to omotteru
shibaraku nayandemo mita kedo
sono uchi tsukarete nemutteru..”
‘aku mungkin tidak bisa mengatakannya dengan baik
Tapi aku benar-benar minta maaf
Aku mencoba mengkhawatirkan hal ini untuk sementara
Tapi lalu merasa capai dan tertidur
“shuumatsu no kono machi no kuuki wa
hitoikire de musekaeri
fukaku tameiki wo tsuitara
gaitou SUPI-KA- ni kesareta..”
‘Udara di kota pada akhir pekan
Tercekat oleh kehidupan
Dan ketika aku menghirup nafas dalam
Hal itu terhapus oleh speaker-speaker di jalanan.
“sore rashii kotoba wo narabetemo
tsutawaru koto nado hajime kara nai..”
‘bahkan jika aku ingin merangkai kata yang tepat
Tidak ada pernah ada cara untuk mengatakannya padamu’
* nigiyaka na kono machi no sora ni
omoikiri hariageta koe wa
boku ni yasashiku shite kureta
ano hito e no Happy Birthday..”
‘aku angkat suaraku
Ke atas langit kota yang bising
Untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya
Seseorang yang berarti untukku.
“nanika chiisana TORABURU de
hitodakari ni nomikomare
dareka no tsumaranai JO-KU ni
hon no sukoshi dake waratta..”
‘aku punya sedikit masalah
Dan aku tertelan keramaian kota
Tapi aku tertawa sedikit
Pada sebuah lawakan bodoh seseorang
“itsuka kono machi no dokoka de
kimi to guuzen deattemo
nani wo hanashitara ii no ka
ima demo yoku wakaranai..”
‘bahkan jika aku bisa bertemu denganmu
Di suatu tempat di kota ini suatu saat nanti
Aku tidak pernah tahu
Kata-kata yang tepat untuk kuucapkan
“hitotsu zutsu kowarete yuku sekai de
nagashita namida ni nan no imi ga aru..”
‘Apalah artinya air mata yang menetes layaknya dunia yang hancur sedikit demi sedikit? ‘
“nigiyaka na kono machi no sora ni
omoikiri hariageta koe wa
dokoka tooku no machi ni iru
ano hito e no Happy Birthday.”
‘aku angkat suaraku
ke atas langit kota yang bising
untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya
seseorang yang berada di kota yang jauh..’
Gigi menghentikan petikan gitarnya. Ia termenung oleh kata-kata yang ia nyanyikan itu. Tak terasa setetes embun mengalir dari matanya. Segera ia hapus air mata itu. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Tenggorokannya terasa tercekat oleh kegetiran. Ia pun meletakkan gitar pemberiannya di meja di samping ranjang Nue dan ia berdiri dari kursinya.
Waktunya tidak banyak. Ia harus segera pergi ke kampus untuk persiapan lomba. Ia pun memandangi wajah Nue untuk terakhir kali sebelum ia pergi.
“Kakak.. Aku mau berangkat..” ujarnya lirih.
Nue tidak menjawab pertanyaan itu. Harusnya Gigi tahu itu. Nue tidak akan menjawabnya.
Akhirnya Gigi mencondongkan tubuhnya di dekat wajah Nue. Dibelainya lagi rambut di dahi Nue, dan dengan lembut ia mengecup dahi Nue. Tak terasa, sebuah air mata lagi lolos dari bendungan kelopak mata Gigi.mengalir menuruni pipi Gigi dan akhirnya menetes lembut di wajah Nue.
“Happy birthday kak.. Doakan yang terbaik untukku”isaknya.
Ia pun menjauhkan wajahnya dari wajah Nue, dan tanpa berbalik lagi ia meninggalkan tempat
Itu. Terlalu sedih. Terlalu sesak di dada.
Bahkan di hari spesial itu, Tuhan tidak juga membangunkan Nue dari tidur panjangnya. Kini Gigi tidak bisa berharap banyak. Gigi hanya bisa berharap,jika Nue bisa mendegarnya. Sebuah suara, suara hati Gigi.
‘Akankah suaraku sampai padamu? Dapatkah kau mendengarnya? Hati ini bernyanyi untukmu?’
***
“Untuk selamanya....
Suara tepuk tangan mengalir deras setelah penampilan salah satu tim peserta. Dua tim berikutnya yang maju adalah tim Gigi. Begitu tim sebelum Gigi berjalan berbaris menaiki panggung, tim Gigi digiring menuju sebuah ruang kosong. Di ruang itu, mereka menunggu dan melakukan sedikit pemanasan sebelum giliran mereka datang. Selama di ruangan itu, Gigi bisa mendengar suara tim sebelumnya yang bernyanyi dengan lantangnya. Suara-suara itu membuat hati Gigi ciut. Hal itu tidak saja terjadi pada Gigi, tapi mungkin pada semua peserta. Di depan mereka, Nurul tengah memberikan instruksi pemanasan. Meskipun ia berusaha menutupi, tapi tetap terlihat ekspresi tegang di wajahnya.
“Nah, teman-teman.. Malam ini adalah malam penentuan untuk kalian. Pada malam hari ini, semua usaha kalian, keringat kalian, pikiran kalian, akan dipertaruhkan. Jangan tegang, jangan takut.. karena ini adalah kompetisi. Menang atau kalah jangan dijadikan beban, yang penting kalian mampu menampilkan yang terbaik..”
Kata-kata Nurul terhenti. Suara tepuk tangan yang riuh terdengar menggema dari dalam ruangan. Seketika menambah suasana dingin di sekitar Gigi. Tangannya sudah sedingin es saat ini.
“Sudah waktunya. Mari sebelum kita maju, kita berdoa menurut agama masing-masing. Berdoa dimulai..”
Suasana pun hening. Semua peserta Tim PSM Sastra menundukkan wajahnya termasuk Gigi. Dalam doa yang terucap itu, tak lupa pula ia berharap agar Tuhan berkenan menyampaikan suaranya pada Nue.
“Selesai..” ujar Nurul.
Semua peserta pun mengangkat wajah sambil mengusap kedua tangan di wajahnya. Nurul mengangkat tangannya yang mengepal di udara.
“Untuk Sastra... Untuk Nue..!”
Dan sebuah suara serentak dan lantang memenuhi ruangan itu.
“Yooshh!!”
“Yossh.. kalau begitu, kalian bisa mulai.. good luck guys..” ujar Nurul.
Barisan pun mulai berjalan. Sebelum barisan berjalan seluruhnya, Adrian menyempatkan diri untuk menyalami tangan Gigi dan menggenggamnya erat. “Semangat...!” ujarnya.
Gigi tersenyum lebar. Ia pu membalas menepuk punggung tangannya dengan hangat. “Smangat!”
Barisan pun berjalan menuju panggung. Dalam barisan itu, sekilas mata Gigi menjelajah ruangan. Waktu seakan melambat. Ia bisa melihat MC yang membacakan nama Fakultasnya namun Gigi tidak bisa mendengar suaranya. Semua seolah berubah menjadi senyap. Setiap mata mengarah ke arah barisannya dengan berbagai makna. Ada yang dingin, ada yang hangat, ada yang tajam.. Gigi pun memalingkan wajahnya. Kini ia sudah berdiri di atas panggung. Tanpa ia sadari tangannya sudah tidak terasa dingin lagi. Waktu yang ia rasa melambat kini mulai berjalan normal kembali. Suara MC pun terdengar menggema di ruangan itu. Dirigen sudah mengambil posisi dan menundukkan badannya sebagai salam penghormatan. Setelah itu dirigen itu berbalik menghadap ‘tentaranya’. Tangannya sudah terangkat. Gigi tersenyum. Suara piano mulai mengalun bersamaan dengan bergeraknya tangan dirigen. Tiga ketukan lagi, bibirnya akan bergerak. Dua ketukan lagi, suaranya akan menggema di ruangan itu. Satu ketukan lagi.... dan semua akan digelarkan, semua masa-masa indah bersama Nue, semua kisah sedih maupun senang saat bersamanya, semua suara Nue yang ia rekam dalam kepalanya. Kini itu semua ia luap dan bebaskan, menjadi sebuah alunan kata-kata yang bernada. Yang setiap nadanya mengandung cerita.
“Kak.. dengarlah...”
***
Sementara itu, di rumah sakit. Nue masih terlelap di ranjangnya. Namun, sebuah gerakan kecil tampak dari matanya, sebuah embun yang perlahan meluncur di pipinya.
“Gi..gi..”
Suara langkah sepatu menggaung di koridor rumah sakit. Ibu Nue berjalan dengan raut letih. Disampingnya tampak seorang bapak-bapak paruh baya yang mesih mengenakan baju dinas.
“Cepet dong pak... “ ujar ibu Nue sambil memandang bapak itu.
“Iya sebentar to Bu.. kok buru-buru banget? Kan ada suster yang jagain..” ucap orang yang ternyata ayah Nue itu.
Memang benar jika Nue selalu berada dalam pengawasan pihak rumah sakit, tapi entah kenapa malam ini ibu Nue merasa berbeda. Perasaannya cemas tidak menentu. Dipercepat langkahnya menuju pintu kamar Nue yang sudah nampak dari ujung koridor. Begitu tangan ibu Nue menyentuh gagang pintu, gerakannya terhenti.
Suara nada putus-putus yang biasanya terdengar dari dalam kamar itu, kini berubah. Tidak lagi putus-putus melainkan sebuah nada datar. Seketika mata ibu Nue melebar, begitu juga raut wajah ayah Nue yang berbubah pucat.
Dengan cepat ibu Nue membuka pintu dan betapa terkejutnya ia ketika melihat keadaan putranya. Kakinya seakan lemas sampai ayah Nue harus menopang badannya. Air mata langsung membanjiri mata ibu Nue.
Daun pintu mulai bergerak menutup. Hingga tubuh ibu Nue dan ayah Nue menghilang terhalang pintu. Hanya sebuah nada datar dan sebuah jeritan pilu yang bisa terdengar dari dalam kamar itu.
“NUEEE....!!!!”
***
Di gedung Soetardjo.
Tangan Gigi kembali terasa sedingin es. Kini ia dan timnya sudah duduk kembali di kursinya masing-masing. Meski ia merasa timnya sudah melakukan yang terbaik, tapi tetap saja, hasil akhir menjadi sebuah pertimbangan untuk menjadi gugup.
Ketika Gigi mengangkat arlojinya, waktu sudah menunjukkan pukul 23.56. seluruh peserta lomba sudah memperdengarkan suara-suara merdu mereka. Kini semuanya duduk dengan kaku di ruangan gedung Soetardjo yang dingin. Menunggu pengumuman dari para juri yang kini tengah melakukan rapat.
“Hei..”
“Hei..” jawab Gigi. Dilihatnya Adrian yang duduk di sebelahnya.
“Gimana keadaanmu Gi?”
“Hmm... ga tau Dri... grogi banget..”
Adrian tersenyum kecil mendengar kata-kata Gigi itu. “Kita sudah menampilkan yang terbaik Gi.. menang atau kalah, dia pasti akan tetap bangga padamu.”
“Iya..” jawab Gigi dengan senyum simpul.
Selama ini memang kata-kata itu yang ditanamkan para senior di benaknya. Target menjadi pemenang hanya akan membebani pikiran. Jika kalahpun Gigi merasa tidak begitu peduli. Yang ia inginkan sekarang adalah cepat-cepat meninggalkan tempat itu, pulang dan tidur. Ini sudah lewat dari jam tidurnya. Matanya sudah semakin berat sekarang.
Sebuah suara seketika membuat matanya terbuka kembali. Begitu juga dengan peserta lain di ruangan itu, seketika semuanya menjadi tenang.
“Ini adalah saat-saat yang kita tunggu. Mari kita undang para juri untuk menaiki panggung dan membacakan pengumuman juara. Kepada para juri, disilakan.” Ujar MC.
Para juri pun datang. Langkah kaki mereka menuju panggung membawakan kesan dingin di sekitar ruangan. Membuat hati para peserta menjadi menciut.
Setelah memberikan beberapa patah kata dan evaluasi juri atas penampilan peserta secara umum, juripun membuka kertas hasil penjurian.
“Harapan tiga...”
Seketika mata Gigi memejam.
‘Ya Tuhan... Jangan Harapan Tiga.. jangan Harapan Tigaa.....’ bisik Gigi dalam hati.
Bukannya Gigi serakah dan tidak bersyukur, tapi bagi dia, usaha dan jerih payahnya selama ini masih kurang sebanding jika dihargai dengan label ‘Harapan Tiga’. Setidaknya Gigi ingin masuk ke dalam tiga besar atau Harapan satu. Perasaan cuek terhadap hasil lomba kini berubah menjadi ambisi
.
“Nomor urutan... 07”
Barisan yang duduk beberapa baris di depan Gigi bersorak. Tim Sastra termasuk Gigi hanya tersenyum kecil sambil memberikan tepuk tangan. Ternyata tim Fakultas tetangga mereka yang meraih Harapan tiga.
Selanjutnya dibacakan pengumuman harapan dua.lagi-lagi Gigi berdoa agar itu bukan timnya. Dan lagi-lagi doa Gigi terkabul. Sebuah barisan yang duduk paling depan bersorak ketika nomor mereka disebut.
Kali ini tangan Gigi merapat. Ia berdoa dengan suara keras dalam hati, karena pengumuman harapan satu akan dibacakan.
“Harapan satu, diraih oleh peserta dengan nomor urut...”
“10...10..10... “bisik Gigi yang terus menyebut nomor urut Timnya dalam doanya itu.
“Seee.....belas..!”
Seketika tangan Gigi lemas. Barisan di sampingnya bersorak girang, sementara timnya hanya bertepuk tangan lemas. Pengumuman harapan satu, dua dan tiga sudah dibacakan, apa mungkin tim mereka berpeluang menempati posisi tiga besar?
Gigi kembali merapatan tangannya, dan berdoa,’juara tiga please.....juara tiga....’
“...dan, yang menempati posisi juara ketiga adalah...”
‘sepuluh...sepuluh...sepuluh....’
“seee.......”
‘..puluh... pliss... sepuluh.....’
“...embilan!”
Seketika tangan Gigi terasa lemas. Ia turunkan tangannya di samping kursi, membiarkannya menggantung lemah. Empat posisi dari enam besar sudah dibacakan, dan tidak ada nomor tim Gigi yang disebut. Bahkan untuk juara tiga. Denga kata lain, Gigi sudah tidak memiliki harapan lagi. Kini Gigi menyesal sudah berdoa agar timnya tidak meraih gelar harapan dua dan tiga.
Adrian yang melihat sikap Gigi dari tadi hanya menghela napas panjang. Di rangkulnya pundak Gigi dan mengguncangnya pelan.
“Tenang... kita udah menampilkan yang terbaik..” ujarnya.
“Iya Dri.. Aku tahu.. tapi... aku sudah mengorbankan banyak hal di lomba ini. Terlalu banyak.. dan aku ga mau berakhir disini tanpa bisa meraih apapun? “
“Empat belas..!!”
Suara yang sangat riuh langsung menggema di ruangan itu. Tubuh Gigi terasa makin lemas dalam rangkulan Adrian. Peraih Juara kedua sudah diumumkan. Jelas tidak ada lagi tempat bagi Timnya untuk meraih posisi 6 besar. Tidak mungkin timnya secara mengejutkan menjadi Juara satu. Gigi juga bisa melihat raut muka para senior yang tersenyum pasrah.
“Lalu.. apa yang bisa aku katakan nanti jika Nue bangun? Aku ga tega Dri.. kalau ngelihat wajahnya yang kecewa.. Dia sudah melatih aku mati-matian.. Dia sudah banyak berkorban waktu dan tenaga untuk melatihku, membuat aku yang semula ga bisa nyanyi menjadi bisa nyanyi..”
“Dan.. juara pertama, diraih oleh nomor urut....”
Adrian mengguncangkan genggamannya di pundak Gigi. “Ga boleh gitu Gi... kamu udah berusaha yang terbaik kok.. aku yakin Nue ga akan pernah kecewa sudah melatih kamu.” Ucap Adrian.
Gigi hanya terdiam. Hingga suara juri kembali terdengar.
“Sepuluh.”
Seketika mata Gigi melebar. Waktu seolah berhenti dan suara berhenti bergerak. Dengan perlahan ia menoleh ke arah Adrian yang juga melongo padanya. Hingga akhirnya..
“Waaaaaaaaaaa..!!!!!!”
Jerit kegembiraaan terdengar memenuhi ruangan.Gigi seketika meloncat dari kursinya. Teman-temannya langsung mengerubunginya dan merangkulnya.
“Juara satuu...!!!!” teriak Gigi.
Adrian hanya tersenyum lebar melihat Gigi yang meloncat-loncat girang sambil berangkulan dengan teman-temannya yang lain, meneriakkan dua kata yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
“Juara satu...! Juara satu...!!”
Selebrasi berlangsung dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk. Dari matanya yang mungil, Gigi bisa melihat wajah para senior juga teman-temannya. Wajah teman-temannya tampak ceria dan tertawa lepas, dilihatnya pula para senior yang saling berpelukan. Ia bisa melihat Nurul yang menangis dalam rangkulan Omi.
Ya, ini memang prestasi terbaik Sastra dalam kancah perlombaan Paduan Suara. Sudah pasti kakak-kakak senior menjadi terharu,melihat adik-adik yang mereka cetak berhasil meraih posisi tertinggi.
Tiba-tiba Gigi bisa merasakan pundaknya ditepuk. Ia pun menoleh. Senyum lebarnya perlahan memudar. Dilihatnya Grace berdiri di depannya dengan senyum yang lebar. Diulurkannya tangannya ke arah Gigi.
“Selamat ya.. ternyata aku dulu salah menilai kamu.”
Gigi terhenyak. Grace yang ia tidak suka itu mengucapkan selamat padanya. Sebenarnya ia juga tidak begitu suka sampai sekarang, terlepas dengan apa yang ia lakukan pada Nue, tapi pada akhirnya Gigi meraih tangan itu dengan mantap.
“Iya kak... terima kasih..” ujarnya.
Dan sejurus kemudian Grace memeluk tubuhnya cukup erat. Gigi bisa merasakan pundaknya basah dan hangat.
“Aku minta maaf Gi.. ternyata memang Nue yang benar... Nue pasti bangga liat kamu Gi..” isaknya di bahu Gigi.
Gigi hanya tersenyum. Dia tidak menyangka jika kisahnya dalam paduan suara akan berakhir seperti ini. Orang yang semula ia benci kini merangkulnya dengan tulus, mengucapkan kata-kata yang membuat hati Gigi tersentuh. Bukan, bukan karena Gigi puas karena Grace mau mengakui kesalahannya dulu, tapi lebih karena nama orang yang ia sebut.
‘Ya.. Ini berkat kak Nue.. Andaikan saja.. dia ada disini..’ gumam Gigi dengan getir.
Waktu seolah melambat kembali. Dalam dekapan Grace itu, perlahan Gigi tidak bisa mendengar suara-suara yang lain lagi. Semuanya seolah berjalan lambat tanpa suara.
Perlahan ia melepas rangkulan Grace, dan dari belakang bahu Grace, mata Gigi menangkap sesuatu.
Mata Gigi melebar. Dalam bayangan di matanya, tampak sosok Nue yang tersenyum padanya. Jauh di belakang, diantara kerumunan para peserta yang meloncat kegirangan. Ia melihatnya!
“Ka... Kak Nue..” bisik Gigi.
Segera saja ia berlari menerobos kerumunan itu. Ia tidak lagi menghiraukan suara teman-temannya yang memanggilnya. Tampak Grace yang menoleh heran ke arah Gigi. Begitu juga Adrian yang memandangi Gigi dengan tatapan sendu.
Sementara itu, Gigi berusaha keras menembus kerumunan yang padat. Tak jarang ia harus terjepit bahkan nyaris jatuh karena tersandung kaki orang-orang itu. Tapi ia tidak mempedulikan itu semua. Semua rindu, kebahagiaan, dan semangat yang bergemuruh di dadanya. Matanye tertuju lurus ke depan, ke arah Nue tersenyum padanya. Berharap dia masih disana menunggunya.
“Kak Nue..!” serunya begitu ia berhasil menembus tembok manusia itu.
Tapi langkahnya terhenti dengan getir, saat di pintu itu, ia tidak bisa melihat sosok Nue lagi.
Senyum yang semula menggantung cerah di wajahnya perlahan memudar, menjadi sebuah kegetiran yang dalam.
Digerakkan kakinya dengan berat keluar dari gedung itu. Area parkir gedung itu sudah mulai sepi. Semua orang pasti sudah memeasuki gedung untuk merayakan kemenangan, atau sekedar datang menyemangati peserta-pesertanya yang gagal.
Di sebuah kursi panjang, Gigi duduk dengan lesu. Kegirangan yang tadi sempat mencerahkan hatinya kini seolah berubah menjadi cahaya temaram yang berkelip redup. Bayangan Nue tadi membuatnya teringat akan kesedihannya. Semua asa, semangat dan kebahagiaan yang semula bersorak dihatinya kini mulai sirna. Terganti oleh rindu dan kesedihan yang dalam.
Gigi menutup wajah dengan kedua tangannya, membiarkan kegelapan menjadi wadah untuk air matanya.
“Kak Nue... dimana kamu? Andai saja... andai sajaa...”isaknya parau.
Bahkan kegembiraan yang ia rasakan saat menjadi juara dapat hilang dalam sekejap mata. Yang ia rasakan kini adalah dingin dan sendiri. Ketidakhadiran Nue di sisinya membuat semuanya gelap kembali. Memunculkan beribu kata ‘andai saja’ yang justru membuat hatinya makin tercekik dan air matanya terperas kuat, dan terbendung di kelopak matanya yang kian rapuh.
Hingga sebuah suara yang dalam mulai menuntun kesadarannya untuk kembali.
“Aku disini..”
Perlahan Gigi menurunkan tangannya. Wajahnya tampak melongo saat tangannya tersingkap. Dalam sorot redup lampu Gedung Soetardjo itu, Gigi bisa melihat seseorang yang berdiri di depannya. Sosok berbaju sweater biru yang selama ini hanya terbaring lemah di rumah sakit.
Wajah itu tampak tersenyum padanya. Lalu ia mengulurkan tangannya dan mengacak-acak rambut Gigi.
“Hei.. Kenapa bengong...?? Hahaa....”
Tapi Gigi masih terdiam. Hingga wajah Gigi merengek. Bulir-bulir air tampak menggenang penuh di mata Gigi.
“kakak.... aku ... nggak sedang bermimpi kan?” isaknya.
Nue tersenyum mendengar itu. Dicubitnya perlahan pipi Gigi lalu ia membungkukkan badannya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Gigi.
“Bukan mimpi kan..” bisiknya dengan senyum nakal.
Satu bulir air suskses meluncur di pipi Gigi. Tapi ia masih terdiam dan tangannya gemetar dengan hebatnya. Dengan suara yang parau ia berkata, “Apa boleh? Apa boleh aku sekarang peluk kakak..?”
Nue terhenyak sesaat, hingga akhirnya ia merentangkan tangannya dan tersenyum.
“Seutuhnya milikmu Gi..” bisiknya.
Dan seketika ia merasakan tubuhnya terkunci. Gigi memeluknya dengan erat dan ia membenamkan wajahnya di dada Nue. Tidak ada satu katapun yang terucap dari mulut Gigi selain isakan dan erangan yang tertahan.
Nue tersenyum tipis dan tangannya mengelus kepala Gigi.
“Maafin kakak Gi... Aku selama ini begitu bodoh.. ya.. aku memang selalu berbuat hal bodoh... Aku selalu bingung dengan perasaan aku sendiri. Aku selalu mencoba membohongi diriku sendiri ketika aku berpikir kalau aku mencintai kamu.. tapi.. dalam tidur panjangku, aku sadar.. dalam gelapnya pandanganku aku bisa mendengar. Mendengar suara-suara yang aku sendiri ragu darimana asalnya. Aku pikir itu suara malaikat yang akan menjemputku. Tapi akhirnya aku tahu, itu suara seseorang. Seseorang yang aku rindukan selama ini..”
Nue menurunkan tangannya dari kepala Gigi, beralih di punggungnya, dan ia memeluk tubuh Gigi dengan hangatnya, seolah tidak ingin ia lepas lagi.
“Yaitu kamu Gi...”
Dan Nue pun mengecup lembut kening Gigi. Dalam dekapannya itu, Gigi hanya bisa membisu dan menangis. Membiarkan setiap tetes kerinduan, kesedihan dan penyesalan yang ia tanggung selama ini jatuh menjadi tetes air yang meresap ke tanah. Membiarkan hatinya yang kosong terisi oleh kehangat pelukan Nue.
Sedangkan di kejauhan, Adrian berdiri terpaku. Dilihatnya dua insan yang tengah berpelukan, melepaskan setiap jengkal kerinduan yang dalam. Adrian hanya bisa tersenyum dan akhirnya membalikkan wajahnya.
“Selamat Gigi... Akhirnya kamu bisa kembali pada langitmu.. dan aku akan kembali menunggu di bawah. Menatap iri awan dan langit di atasku, sambil berharap suatu saat, ‘bumi’ ini bisa berubah menjadi ‘langit’ untuk sang ‘awan’.”
“Aku mau kok Dri...”
Adrian hampir melompat kaget ketika ia berbalik, Radit sudah berdiri di depannya dengan senyum lebar.
“Heh.. ngapain kamu disini??!!” seru Adrian gelagapan.
“Sama kayak kamu.. Lagi liatin cowok gay peluk-pelukan” jawabnya ringan.
Seketika Adrian menatapnya dengan sorot mata tajam. “Kali ini jangan berbuat macem-macem. Sekalipu kamu seniorku, kalo sampe kamu nyebarin hal ini, aku ga akan tinggal diam.”
Radit termenung mendengar ancaman Adrian itu hingga akhirnya ia menepuk pundak Adrian sambil tertawa kecil.
“Hahaha.. Tenang aja kali.. Nue juga kan temenku.. Lagian kalo ternyata dia juga sesama gay, aku ga akan nyusahin dia. Dulu aku gosipin dia juga buat ngecek apa dia gay atau bukan. Dari reaksinya yang langsung jauhin Gigi aja udah keliatan kalau dia punya bibit-bibit gay, hahaha...”
Adrian mendengus kesal melihat sikap radit yang santai juga melambai itu, tapi dia juga harus kagum karena penilaiannya yang begitu akurat.
“Ehem... Udah deh Dri.. Kalo Gigi nggak mau, aku mau kok..”
Kini Radit merapat ke arahnya, langsung saja Adrian menghindar dengan risih. “Iish... Apaan sih??!”
Radit terus saja mengikutinya dan terus menggodanya. “Ayoo... Jadi pacar semalem juga nggak apa-apa..”
“Hah?? Ogaaah..!!!” langsung saja Adrian berlari meniggalkan radit.
‘Ya Tuhan.. Jadi ginikah perasaanmu Gi, kalo ada orang kegenitan ngerayu-rayu kamu?? Huaaaahhh..!!’
***
Ibu Nue menutup mulutnya dengan air mata deras membasahi pipinya. Dengan dituntun oleh ayah Nue, ia mendekati tubuh Nue. Nue tampak dengan acuh mencoba melepas selang infus yang menembus nadinya. Sementara kabel ECG sudah tergantung lemah dan membuat mesin itu tak hentinya mengeluarkan bunyi monoton.
“Nue...!!”
Dan ibu Nue pun memeluk erat tubuh Nue, sedangkan ayah Nue segera membuka pintu dan memanggil dokter.
“Nue..... Kamu sadar nak..? hug... Ibu rindu nak....” isak ibu Nue setengah histeris.
Nue hanya tersenyum tipis. Dibiarkannya selang infus di tangannya, dan ia mengelus punnggung ibunya itu.
“Iya bu... Ini.. Aku kenapa? Kok aku bisa disini?”” tanya Nue polos.
Cukup lama ia menunggu jawaban dari ibunya yang masih menangis pilu dalam dekapannya hingga ibu Nue menatap wajahnya dan mengelus pipi Nue.
“Kamu koma nak.. kepala kamu terbentur saat kamu kejang, jadi harus dirawat disini.” Ujarnya. Tampak matanya yang basah memendam kebahagiaan yang begitu dalam.
Tak lama kemudian suster-suster datang. Mereka segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada Nue. Selama itu, wajah Nue tampak termenung. Saat ia palingkan wajahnya ke arah samping, ia melihat sebuah gitar yang bersandar di samping meja, menghadap dirinya. Sebuah gitar berwarna biru yang seolah mengingatkannya pada seseorang.
“Bu.. ini... punya siapa?” tanya Nue.
Ibu Nue mlihat ke arah yang ditunjuk mata Nue. Lalu ia tersenyum pada Nue. “ Itu Gigi yang bawa.. katanya itu adalah kado dari teman-teman PSM.”
Alis Nue berkerut. “Kado? Gigi?”
“Iya nak.. kamu kemarin berulang tahun..sekarang Gigi dan teman-temannya sedang berjuang di lomba..”
Mata Nue segera melebar. Kini ia baru sadar. Ternyata dia sudah terbaring cukup lama, dan kini ia terbangun tepat saat lomba berlangsung. Lomba dimana seseorang sedang memperjuangkan nasibnya.
Dengan tiba-tiba, Nue bangkit dari ranjangnya hingga mengagetkan suster-suster yang memeriksanya.
“Loh.. kamu mau kemana Nu?” tanya ibu Nue panik.
“Aku harus ke Kampus, bu... Aku harus pergi..” serunya. Ia pun menoleh ke arah suster-suster di sampingnya sambil menyodorka tagannya yang diinfus. “Lepasin infusnya..!”
Ibu dan Ayah Nue segera saja menahan tubuh Nue. “Tapi kamu belum pulih nak..”
“iya Nu.. sabar.. kamu istirahat dulu, besok ayah minta temen-temen kamu kesini..”sambung ayah Nue.
“Nggak yah, bu.. ini adalah malam yang sangat penting buat Nue. Nue harus kesana!”
***
Ibu Nue mengakhiri ceritanya dengan hembusan napas dalam dan gelengan kepala prihatin. Disampingnya, duduk Gigi yang tertawa geli mendengarnya. Sedangkan Nue tampak cuek sambil memainkan gitar yang diberikan oleh Gigi.
“Ya ampun kak Nue.. Nekat banget..” seru Gigi. “Terus tante ijinin? Naik apa? Soalnya malam itu kak Nue ga bawa sepeda tuh, pas balik.”
“Iya udah akhirnya tante sama Om ijinin. Nue kan keras kepala orangnya. Tante terpaksa panggilin taksi buat dia.” Ujar ibu Nue sambil menatap Nue denga bibir manyun. “Akhirnya Om sama Tante yang harus diem dimarain dokternya. Huuuh... Nue.. Nue... “
Gigi tertawa dengan puasnya. Tidak ia sangka Nue bisa begitu nekatnya, bahkan sampai maksa nyopot infus segala, dan akhirnya minta tolong suster juga. Ckck...
Nue menghela napas dalam lalu ia berdiri. “Gi.. Keluar yuk..” ujar Nue pada Gigi.
Gigi dan ibu Nue spontan heran.
“Loh.. mau kemana?? Udah malam lo ini..” cegah ibu Nue agak panik.
“Ya nganterin Gigi pulang lah Bu.. Udah malam, nanti kos-kosannya dikunci..”
Belum sempat Gigi ingin menyanggah kata-kata Nue itu, karena gerbangnya tidak dikunci sampai pukul 00.00, Nue sudah meraih tangannya dan menariknya.
“Ya sudah.. Jangan pulang malam-malam..!!” seru ibu Nue yang melihat Nue dan Gigi meninggalkan kamar Nue. Namun untuk beberapa saat ibu Nue termenung.
“Sebentar... Nganter aja kok bawa gitar??”
Di tempat parkir, Nue menyerahkan tas gitarnya pada Gigi sedangkan ia menaiki motornya. Gigi melihat takut-takut ke arah Nue yang tengah menghidupkan mesin sepeda motornya. Ia takut Nue akan marah karea Gigi meertawakannya. Suara mesin motor Nue sudah terdengar. Nue pun menoleh ke arah Gigi yang diam di tempatnya.
“Loh.. Kenapa? Kok ga naik?” tanyanya.
“Kakak.... Bener-bener mau nganter aku pulang?” tanya Gigi takut-takut.
Seketika Nue tersenyum. “Nggak dong... ayok naik dulu..”
Perasaan takut Gigi berangsur menghilang berganti dengan senyum simpul. Ia pun menaiki motor Nue dan motor itu bergerak meninggalkan tempat itu.
Diperjalanan, Gigi menikmati momen itu, saat angin mendera wajahnya dan kilas-kilas cahaya melewatinya, membawa sebuah ingatan lama yang indah.gigi tidak tahu mau kemaa Nue ‘kan membawanya pergi, tapi Gigi tidak peduli. Dia sangat merindukan momen ini, saat ia dan Nue duduk berboncegan. Sudah lama sekali..
Setelah kejadian di gedung Soetardjo saat itu, kini hatinya tak lagi terbelenggu. Kini ia tahu kalau Nue juga mencintainya dan sudah menjadi milik Gigi seutuhnya. Perjuangan Gigi selama ini akhirnya terbayar. Dengan sedikit ragu, ia mengulurkan tangannya dan mengalungkannya di tubuh Nue.
Nue menoleh ke arahnya dari kaca spion lalu tersenyum. Gigi membenamkan wajahnya di punggung Nue. Ini adalah hal yang sangat Gigi inginkan dari dulu. Memeluk tubuh Nue dengan erat dan tak ingin ia lepas lagi. Ternyata begini rasanya. Begitu hangat dan nyaman, seolah tidak akan ada apapun hal yang bisa mengancamnya ketika ia berada dalam dekapan Nue. Gigi tidak pernah merasa sebahagia ini.
Akhirnya motor Nue berhenti di sebuah jalan kecil. Dengan berat Gigi melepaskan pelukannya dan turun dari motor. “Ini....” gumam Gigi saat melihat ke sekelilingnya.
Jalan kecil itu terletak di kaki sebuah bukit yang Gigi kenal. Setelah Nue mengunci setir sepeda motornya, segera saja ia mengambil tas gitar yang Gigi gendong dan ia menutun tangan Gigi menyusuri jalan setapak menuju bukit itu. Gigi tahu betul bukit itu. Ia biasa memandangi bukit ini dari jendela kamarnya.
Hati Gigi langsung berdegup kencang. Ini adalah hal yang sangat ia impikan dari dulu. Begitu mereka sampai di atas bukit, keduannya duduk di atas sebuah dudukan dari batu. Gigi segera mengenakan kapucon jaketnya.
Waktu yang beranjak larut membuat jalanan tampak sepi. Sosok keduanya tertutup oleh bayangan pepohonan disana, menyembunyikan kenyataan bahwa keduanya adalah laki-laki.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Sesekali Gigi menoleh ke arah Nue yang termenung menatap jalanan. Sepintas, Gigi khawatir, jika Nue akan teringat pada masa lalunya bersama Grace.
“Maaf Gi...”
Suara Nue tiba-tiba mengejutkan Gigi. Perlahan ia menoleh ke arah Nue yang masih menatap kosong ke jalanan.
“Maaf buat apa kak?”
Wajah Nue tertunduk, tangannya ia simpulkan, dan dengan getir ia berkata, “Maafin kakak yang dulu sudah nyakitin kamu..”
Seketika Gigi terdiam. Teringat peristiwa di malam itu. Di malam sebelum Nue koma. Jujur, luka itu masih ada, meski sudah dijahit, namun masih menimbulkan bekas samar.
“Malam itu.. aku bingung dengan pikiranku sendiri. Pikiranku kacau saat aku mendengar Adrian nembak kamu. Padahal saat itu, aku juga ingin mengungkapkan perasaanku ke kamu. Di luar pintu, aku dengar bagaimana Adrian mengungkap penderitaan kamu selama ini, selama kamu ada di sampingmu. Aku dengar bagaimana tulinya aku yang ga bisa mengerti perasaanmu.. aku... aku saat itu menyadari, kalau aku ga pantas buat kamu..
“Aku bingung Gi... di satu sisi aku masih enggan melepas kamu ke Adrian, tapi di satu sisi yang lain, kata-kata Adrian itu benar.. dia lebih baik daripada aku. Aku...”
Kata-kata Nue terhenti ketika jari Gigi menyentuh bibirnya.
“Jadi karena itu? Kakak cemburu..?” tanya Gigi.
Nue memandang Gigi dengan sendu, hingga akhirnya ia kembali menundukkan wajahnya.
“Ya..”
Gigi masih bisa melihat kalau wajah Nue bersemu merah.
“Berarti masalah kak Grace itu..”
“Itu cuma menambah kebingunganku Gi.. “ potong Nue. “Sebenarnya aku sendiri sudah tidak begitu peduli dengan Grace dan kebohongan-kebohongannya. Tapi yang terakhir itu, menyulut emosiku. Perasaanku bercampur aduk dan aku ga tau bagaimana cara aku mengungkapkannya.
“sebenarnya aku ga ingin membentak kamu saat itu. Semua yang aku rasakan justru menjadi kebalikannya saat aku ugkapkan. Saat aku ingin berada dalam dekapanmu, aku justru mendepakmu. Aku benar-benar... arrghhh...”
Gigi termenung melihat Nue yang mengacak-acak rambutnya. Ia teringat akan kata-kata ibu Nue.
‘Dia juga sangat tertutup jika ada masalah. Padahal kadang dia juga bingung harus bagaimana untuk menghadapi masalah itu. Akhirnya tidak jarang dia bersikap bodoh.’
Kini semua jelas. Nue tidak pernah sekalipun membenci Gigi. Ia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Itu semua karena Nue yang tidak pernah mengungkapkan perasaannya keluar. Sama seperti surat itu. Nue tampak begitu tegar dan kokoh tapi di dalam dia rapuh dan tipis seperti kertas.
Dirangkulnya tubuh Nue untuk membuatnya lebih tenang.
“Udah kak.. Aku nggak apa-apa kok.. kalo cuma digituin sih nggak ada apa-apanya.. perasaanku ke kakak nggak aka pernah berubah. Apalagi setelah tahu kalau sebenarnya kakak cemburu sama aku.. haha..”
Nue menoleh ke arah Gigi lagi. Alis matanya menurun sendu. “Jadi.. kamu dan Adrian...”
Seketika Gigi tertawa. “haha.. nggak lah.. aku dan dia bersahabat.” Lambat laun tawa Gigi mulai mereda dan digantikan dengan senyum lirih “Sedih memang, malam itu aku harus jelasin ke dia, kalau perasaanku ga bisa diubah.. aku ga mau memberi harapan palsu ke dia.. pada akhirnya aku lega, karena dia mau mengerti.”
Nue termenung. Sedalam itukah perasaan Gigi padanya? Entah kenapa hati Nue terasa begitu hangat. Sudah lama ia tidak merasakan perasaa seperti ini. Bahkan Grace tidak mampu menciptakan perasaan seperti ini padanya. Ternyata, di dunia yang ia pikir tidak akan ada yang mencintainya dengan tulus, masih ada satu orang, yang setia menunggunya. Yang senantiasa tersenyum untuknya, bernyanyi untuknya, tanpa melihat siapa dia, berapa uangnya, sehatkah dia, cacatkah dia. Orang yang tetap teguh mencintainya meski ia juga tidak tahu apakah Nue akan mencintainya atau tidak. Orang yang tetap mencintainya meski ia sendiri sering tersakiti. Orang itu.. yang kini duduk di sampingnya, merangkulnya dengan hangat.
“Terimakasih Gi..” bisiknya.
Sekilas Gigi tersenyum. Lalu ia mengambil tas gitar yang Nue letakkan di sampingnya.
“Ini... Terimakasih aja ga cukup. Nyanyiin aku sebuah lagu, baru aku puas..” Gigi menyodorkan gitar berwarna biru ke hadapan Nue.
Dengan ragu Nue meraih gitar itu. Ditatapnya wajah Gigi sesaat. Gigi mengangguk padanya, tanda ia harus memaikan gitarnya. Nue pun tersenyum, dan jari jemarinya mulai menari di atas senar-senar gitarnya.
Malam terasa begitu lengkap bagi Gigi. Semua yang ia impikan selama ini teryata buka mimpi belaka. Malam ini Nue duduk di sisinya, menyanyikan lagu ‘Talking to the Moon’ untuknya diiringi dengan gitar pemberiannya. Dipandangnya wajah Nue yang asik dengan gitarnya.
“somewhere far away...”
Nue pun mengakhiri lagunya. Dilihatnya wajah Gigi, memastikan apa dia puas dengan lagu yang ia bawakan itu. Tapi ia tertegun ketika Gigi justru menyandarkan kepalanya di bahu Nue.
"I was no longer in ‘somewhere far away’.. i’m in your side now.. and always will be..”
Hati Nue berdegub kencang. Tampak wajahnya yang bersemu saat Gigi mengatakan itu di bahunya.
Akhirnya, Nue pun memiringkan kepalanya, sehingga kepala mereka saling bertemu.
Saling membisu dan memejamkan mata. Di bawah langit yang gelap, ditemani dengan bulan sabit yang bersinar temaram, keduanya saling terpaut. Mencoba mendengarkan suara hati masing-masing. Gigi merasa bersyukur. Pilihannya untuk masuk paduan suara tidak percuma. Dengan sebuah partitur lagu, ia bisa mengenal Nue. Dengan sebuah lagu ia bisa duduk berdampingan dan berbagi kesedihan dengan Nue. Dengan sebuah lagu, ia bisa mengungkapkan perasaannya pada Nue. Dengan sebuah lagu ia mengucapkan selamat ulang tahun pada Nue. Dan dengan sebuah lagu pula ia berhasil membuktikan kebenaran pilihannya, dengan lagu itu pula ia kembali dipertemukan dengan Nue.
Bertemu dalam lagu, bersatu oleh lagu.
Setiap hati menyanyikan lagu-lagu yang mengalun jernih, sebuah musik yang tidak terdengar oleh orang lain, sebuah musik yang tidak mengenal nada fals, semua musik itu mengalun apa adanya. Musik itu tidak bisa diubah oleh siapapun. Musik itu bisa menerobos kegelapan. Meskipun telinga bisa angkuh dan bertingkah tuli, toh musik itu akan meresap ke dalam hati. Meski tenggorokan ini tak mampu bersuara, toh musik itu tidak melalui teggorokan dan bibirmu. Musik itu tidak perlu bagus hanya di bibir dan gitar, tapi dari hati. Itulah yang Gigi pikir dan ia sudah membuktikannya.
“Kak..”
“Hmm?”
“Bisakah kakak dengar, kalau hatiku bernyanyi untuk kakak?”
“Tentu... karena aku sedang menyanyikan lagu yang sama.”
“Oh ya?”
Nue mengangkat kepalanya dan dengan lembut ia menarik tubuh Gigi hingga meghadap wajahnya. Mata Gigi tampak melebar dan wajahnya bersemu merah ketika wajah Nue hanya berjarak beberapa inti di depannya. Wajah itu tersenyum padanya hingga bibirnya mendekat ke bibir Gigi.
“Terima Kasih....”
Sebuah kecupan hangat menyentuh bibir Gigi. Mata Gigi melebar. Jatungnya seakan ingin melocat keluar. Dalam keadaan yang membuatnya seakan tidak mampu bergerak lagi itu, ia hanya bisa memejamkan matanya, menikmati setiap detik yang mengalir lambat dan ia bergumam dalam hati.
‘Ya.. Terimakasih kak... Terimakasih sudah menjadi langit untuk awan ini.. Terima kasih... Aku pasti tidak akan lepas darimu kak.. Selamanya, hati ini akan bernyanyi untukmu..’
THE END
https://us.v-cdn.net/5016325/uploads/FileUpload/6b/84db9259c4f109648f632337d2d2b6.jpg
Terima Kasih
By Jamrud
Lelah menghitung hari
Entah berapa lama
Kita berbagi rasa
Dan bukan hanya dalam mimpi
Kau tetap tersenyum dengan sejuta kasih
Hati ingin mengucap pasti
Terima kasihku
untuk semua waktumu
Yang kau berikan sepenuhnya untukku
Kujadi tersenyum bila ada didekatmu
Terima kasihku
untuk kasih sayangmu
Yang kau tanamkan seutuhnya padaku
Dan pasti kujaga semua ketulusanmu
Hari yang kita bagi
Kadang ada kesal benci dan caci maki
Tapi kau tak pernah tergoda
Jadikan alasan dendam di hati
Kasih, dengarkan aku nyanyikan janji suara hati ini
Genggam semua kataku simpan di hati
Kasih, kaulah bungaku di alam mimpi di alam sadarku
Masuk ke sel darahku dan setiap inci tubuh ini
Terima kasihku
untuk semua waktumu
Yang kau berikan sepenuhnya untukku
Kujadi tersenyum bila ada didekatmu
Terima kasihku
untuk kasih sayangmu
Yang kau tanamkan seutuhnya padaku
Dan pasti kujaga semua ketulusanmu
Terima kasihku...
kirain Nue bablas tdi, hahag, ternyata . . .
Nice story,
Jadiin film bagus nih, dari setting ampe tokoh2nya , ya gak @zalanonymous
∂î tunggu cerita sLanjutnya or, sesion 2 ΔάƦî kisah Gigi n Nue,
Heheehhehe
PS: tuh kan ceritamu bagus. Awal tidak PD bgt sampe mikir jelek padahal bagus.
Gara2 cerita ini q jd suka talking to the moon ..
Tdnya q kira nue meninggal, eh ternyata dia udah bangun, mau nglepas infus sendiri tp akhirnya minta bantuan suster juga ..
Secara keseluruhan ceritanya manis, karakter-karakternya juga manis, ditambah lagi ending yg sangat manis, menjadikan cerita ini sangat berkesan buatku. Aku suka dgn gaya narasi kamu, kayak seorang profesional. Next time kalau bikin cerita lagi, tag aku lg ya?
Oh God! Di atas langit masih ada langit!
Teruslah berkarya my bro! Someday, Tuhan akan membukakan pintunya, selagi kamu masih memiliki hasrat dan semangat untuk berkarya, akan selalu dimudahkan.
Banyak sekali penulis hebat disini!!! Walau temanya ga' jauh beda, tapi cara berceritanya, "sesuatu" banget!!!
Nice story, aku paling suka perumpamaan langit, awan dan buminya. Mengena banget di hatiku! Love u love love u, muaaachh!!!