It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Martin memandang takjub tangannya sendiri. Tadi itu apa ?! tangannya dengan sukses antara sadar-tak sadar melayangkan tamparan maut ke pipi gita. Iya, Gita ! pacarnya sendiri.
Mata martin ganti menatap gita. Wanita 23 tahun itu melongo tolol sambil memegang pipinya, kaget. Lenyap sudah semua kecantikan dan keanggunan yang terpancar dari muka gita.
Mata gita bergerak ke sana kemari mengawasi orang-orang yang duduk di sekitar mereka di starbuck plaza Indonesia sore itu. Rupanya bunyi tamaparan dari martin lumayan keras juga. Buktinya nyaris setiap mata yang ada di situ memandang ke arah mereka. Tepatnya ke arah gita- wanita cantik yang berdandan sangat anggun itu yang baru ditampar laki-laki di tempat umum.
“Gila kamu ! apa-apaan sih ?” desis gita galak, berusaha mengembalikan harga dirinya.
Mata bulat martin memandang gita tajam. Terlanjur ! memangnya sekarang mau gimana lagi? Minta maaf? Mustahil ! kesabaran kan ada batasnya. Dan hari ini puncaknya buat martin. “apa-apan kata kamu ?!” balas martin dengan suara tinggi. Buat apa lagi malu-malu? Tanggung! “ngaca! Tanya diri sendiri. Kamu tuh yang apa-apaan! Dasar wanita nggak tau diri!”.
GLEK! Gita menelan ludah panik. Ini bukan martin yang dia kenal. Martin yang dia kenal memang cuek dan energik. Tapi belum pernah sekalipun mempermalukanya di muka umum begini. Apalagi ngomong kasar. Biasanya kalau mereka ribut, semua bisa selesai kok. “Martin! Malu dong sama orang” suara gita volumenya menurun drastis. Desisannya bukan lagi desisan marah, tapi malu setengah mampus.
Tak disangka-sangka ekspresi wajah martin bukannya melunak, malah menghina dan sangat merendahkan. “oohh.. manusia kayak kamu masih punya malu?” tanya martin sadis.
DEG! Untung gita nggak punya penyakit jantung. Tapi yang jelas, semua harga diri yang tadinya mash secuil sebesar upil hilang lenyap di telan bumi. Rasanya gita mau mati saja.
“Jadi mau kamu apa?” tantang gita.
Senyum sinis martin tersungging mantap. “hubungan kita putus! Dan nggak ada acara pertunangan yang sudah di rencanakan. Kita PUTUS!” ujar martin mantap. Ia menyambar handphonenya, lalu melenggang pergi.
“MARTIN!” panggil gita panik.
Tanpa menoleh, martin mengangkat tangannya lalu berteriak keras dengan nada santai. “jangan takut! Tagihannya aku yang bayar!”. Sepertinya hati martin sangat hancur sambil berlalu. Siapa yang nggak kecewa, rencana pertunangan yang sudah di rencanakan batal begitu saja. Martin jelas ogah kalau harus bertunangan dengan pecundang berbulu domba macam gita. Ia bersyukur karena belum terlanjur menjadi tunangan gita…..
Mata david mengerjap-ngerjap takjub. “Bercanda lo, Tin?” tanya david yang merupakan sahabat sekaligus teman kerjanya.
Martin menggeleng pelan.
“serius lo, tin?” kata david lagi.
Martin mengangguk. Interograsi yang aneh.
“terus?” tanya david.
Martin mengangkat bahu. “ya udah …” sahut martin di sambung gerakan menggorok leher sendiri di iringi suara kkhhrrrkkk..
David bangkit dari sofa ruang tamu apartemennya dan berjalan cepat ke kulkas. Mengambil sekelas bir, lalu balik lagi ke sofa sambil menyodorkan kaleng itu ke arah martin. “nih! Lo pasti kalut gitu, kan? Perasaan lo nggak menentukan, ya?”
Martin mendelik kesal. “korban film, lo! Orang putus itu nggak identik sama bir dan mabuk-mabukan. Sok bule!” sembur martin kesal.
David meletakkan kaleng bir di meja telepon dengan muka bloon. “ya kali aja ….”
“lagian ngapain sih nyimpen-nyimpen bir di kulkas apartemen? Nyokap lo sidak ke sini baru berabe deh tuh” komentar martin heran. Dia tahu banget nyokap david yang biasa dia panggil bunda galaknya minta ampun. Galak, kuno, pokoknya ibu-ibu zaman dulu banget deh. Entah gimana jadinya kalau sampai bunda tahu anak laki-lakinya ini super-duper-ekstra-gaul, suka dugem dan sekarang nyimpen stok bir di kulkasnya.
“Lo ngecengin Tiara, ya?” tembak Martin.
David nyengir. “Kok nuduh?”
Dengan pelan Martin mendorong bahu David. “Alaah… Ngaku aja lo, kegatelan! Ini bir pasti lo stok gara-gara dia, kan? Gue tahu si bule satu itu pasti suka minum bir. Nggak peduli kalau dia cewek. Buat nyuguhin dia, kan?” desak Martin jahil.
David hanya menunduk malu. Tuh kan!
“Basi lo, dav! Nggak bisa liat yang kinclong-kinclong!” ledek Martin yang hafal banget kelakuan sobatnya. Mana tahan David jadi jomblo lama-lama. Buat David, putus cinta sama dengan peluang terbuka cari pacar baru.
Rupanya habis putus sama Diana, staf keuangan Kafe Montgallet tempat mereka kerja jadi PR, sekarang “mangsa” selanjutnya Tiara. Si bule Inggris klien kafe mereka yang hobi banget bawa staf kantornya meeting di Montgallet.
David memasukkan kembali bir tadi ke kulkas. Sebagai gantinya dia membawa dua gelas kecil, 1 botol besar soft drink rendah alcohol, snack ringan yang terbuat dari kentang. Kalau yang ini martin mau.
“lo yakin sama keputusan gila lo itu, tin? Emosi kali, lo…” david memuangkan soft drink tersebut ke dalam 2 gelas yang ia bawa tadi.
“emosi gimana? Cukup, kali gue nahan selama ini. Dianya aja yang makin lama makin nggak tahu diri. Makin lama makin ketahuan aslinya” sungut martin penuh dendam. Bayangan gita yang posesif plus hobinya jalan sama “teman kerja” laki-laki bikin martin naik darah. Gimana nggak? Giliran martin yang jalan sama teman kantornya, seenaknya saja gita ngamuk dan ngatain dia macam-macam.
David membuang napas pelan.
“ya lo bayangin aja dong, dav … kalau dia jalan sama laki-laki yang katanya teman kantor lah, bisnis lah, gue nggak boleh marah. Katanya dia tahu apa yang salah dan benar. Tahu batasan. Coba pas gue … ngamuknya amit-amit. Katanya kalau gue masih bisa kegodalah, laki-laki nggak bakal bisa dipercara jalan sama wanita. Ada aja alasannya biar gue jadi salah” repet martin meledak-ledak. Kenapa juga selama ini dia nggak melek kalau gita itu posesif dan hubungan mereka sama sekali nggak sehat? “cara ngomongnya kalau pas marah itu lho … sembarangan. Belum tunangan aja berani, apalagi kalau sudah sampai tahap perkawinan!” sambung martin.
David membuang napas lagi. “ya, tapi gue piker rada telat aja lo sadarnya. Giling lo, tin, udah pacaran 4 tahun lho! Lo itu udah ada rencana pertunangan, terus perkawinan ijab Kabul, resepsi perkawinan. Makan-makan gratis”.
Martin melirik david sebal. “lo milih gue hidup sama cewek kayak gitu dan setiap hidup gue di atur semau sama dia demi lo bisa makan gratis di kawinan gue?”
“ya nggggaaakk…”
“untung gue sadarnya sekarang. Kalau gue terlanjur married sama dia.. hancur deh hidup gue” ucap martin sambil membayangkan.
David manggut-manggut. “iya juga sih”
Martin melahap snack kentang dalam diam. Segampang itu ya, mengakhiri hubungan yang sudah hampir sampai tahap serius? Rencana bertunangan.
“tin…” panggil david.
“hmm?”
“terus nyokap-bokap gimana?”
Martin diam. Itu dia masalahnya sekarang. Dia harus memutar otak supaya mama nggak histeris dan papa nggak ngamuk-ngamuk darah tinggi. Semua hampir sudah dipersiapkan untuk menggelar pesta pertunangan kecil mereka. Lagian, di mata kedua orang tuanya, Gita itu pas banget jadi menantu.
Kadang-kadang Martin juga protes karena merasa perlakuan mereka pada Gita itu terlalu berlebihan. Huh!
“gimana ya?” gumam Martin.
“mampus lo”
Martin mendelik keki. “kok gitu?”
“Lho… gue bukan nyumpahin. Tapi kalau keadaanya udah gini, gue rasa lo benar-benar mampus, Tin” ujar David polos.
Sialan gita ! kenapa juga selama ini martin termakan rayuannya? Percaya semua kata maaf dan bujuk rayunya? Kenapa sampai mau merencanakan bertunangan? BODDOOHH !
“tin … ada gita nih” tiba-tiba mama nongol di kamar martin dengan telepon di tangan.
Martin mengerutkan alis plus dahi. “bilang aja martin udah tidur” desis martin sambil memandang mama penuh harap. Tapi kayaknya gagal.
Mama menutup corong bicara dengan tangan lalu duduk di dekat martin dan mulai bisik-bisik. “kamu berantem , tin? itu wajar. Ribut-ribut kecil itu wajar. Jangan kayak anak kecil ah. Masa mama diajak bohong? Nih, terima aja … selesaikan baik-baik.”mama menyodorkan telepon dengan paksa
Martin mendengus berat. Percuma berdebat dengan mama. Padahal kalau mama tahu ….
“ya?” jawab martin singkat. Martin memandang mama, mengirim kode supaya mama keluar kamar.
“mama keluar ya ..” bisik mama sambil melangkah pergi.
“ya? Ada apa lagi? Masih kurang jelas yang tadi sore?” kali ini martin ngomong lebih keras.
Napas gita terdengar dari seberang sana. “kamu jangan kayak anak kecil, tin ..”
“terus kenapa? Urusan kamu apa ya” jawab martin kesal.
“tin, ngomong yang benar donk” suara gita mulai kedengaran ikut kesal.
“memangnya aku kurang benar apa? Kamu nggak ngerti bahasa Indonesia? Ooohh.. maaf ya, aku bukan bule kayak temen bisnis kamu itu” martin teringat laki-laki bule yang dia pergoki jalan sama gita di Mall kelapa gading.
Gita mendengus kencang. “kamu keterlaluan, tin ..”
“siapa?” ledek martin.
“kamu” jawab gita pendek
“ooo.. kamu” ujar martin puas
“KAMU!” suara gita meninggi
Martin nyengir sendiri, puas bisa ngerjain gita. Emosi wanita itu sekarang pasti lagi di ubun-ubun siap meledak. Siapa peduli? “iya kamu! Kamu kan ? emangnya tadi aku bilang apa?”
Gita makin darah tinggi. “kamu bilang aku!”
“lho .. aku apa kamu nih?” martin makin menjadi-menjadi.
“kamu, martin, kamu! Bukan aku!” nada gita naik beberapa oktaf, tanda dia mulai frustasi karena tujuannya tak tercapai.
“dasar bloon! Iyaa.. kamu! KAMU! KAMU, kan? Siapa juga yang bilang aku” martin makin menjadi-jadi. Rasanya pengin cekikikan.
Kali ini gita tak langsung menjawab. Ada jeda yang di isi suara-suara dengusan mirip banteng yang siap menyeruduk apa pun yang nekat nongkrong di depannya. Martin diam menunggu reaksi gita tanpa beban. Dia sama sekali nggak berharap apa-apa lagi dari wanita itu. Martin sudah capek meladeni kelakuan gita yang seenak-enaknya. Marah-marah terus minta maaf. Larangan-larangan nggak masuk akal. Dan puncaknya, waktu martin memergoki gita sama laki-laki bule itu. Bukannya terima di protes martin, gita malah nyari-nyari kesalahan martin yang pernah pergi ke tempat kliennya di puncak tapi lupa bilang. Dengan seenaknya gita ngomong aneh-aneh plus menyemburkan kata-kata kasar yang bikin martin terhina. Sementara persoalan dia sama laki-laki bule itu dia anggap Cuma lunch biasa sama partner bisnis. Gila!
“Jangan pakai emosi, tin ..” suara gita akhirnya
Martin mulai bosan. “dalam hal?”
Gita mendengus lagi, “yah hal ini! Kamu mutusin sesuatu dengan emosi. Nggak mikir panjang. Kita udah dewasa. Kalau ada masalah harusnya bisa kita omongin baik-baik donk…” nada suara gita makin tak sabaran.
Giliran martin menarik napas panjang untuk menembakkan amunisinya. “dewasa, katamu? Siapa yang selama ini kelakuannya nggak kayak orang dewasa? Kamu, kan? Egois! Kamu yang selalu curigaan ngatain aku ini-itu, ngelarang ini ngelarang itu ..”
“tapi itu kan karena ….”potong gita
“DIAM!” bentak martin kesal. “dan aku benar-benar udah sabar selama ini. Percaya saja akting kamu yang memelas, air mata buaya kamu tiap kali minta maaf, habis itu kamu ulangin lagi. Terakhir kamu berani ngomong kasar sama aku, habis itu apa? “
“martin, aku ..”
“udahlah, gita .. keputusanku sudah bulat. Kita nggak bisa pacaran lagi, lupakan juga acara pertunangan kita.” putus martin tegas.
Dari napasnya yang pendek-pendek, martin bisa tahu gita lagi setengah mati menahan emosinya yang nyaris meledak.
“udah itu saja, sekarang terserah sama kamu. Yang jelas aku udah putusin apa yan terbaik buat aku. Aku capek. Ngantuk. Mau tidur. Bye.” KLIK
Martin menelungkupkan muka nya di kasur. Tanpa bisa di tahan waktu ia mengedip dua titik air mata jatuh ke kasur. Bagaimanapun sikap gita padanya, selama ini martin sudah biasa ada gita di sisinya. Biar sedikit, rasa kehilangan itu pasti ada. Bayangan-bayangan kebersamaan dengan gita terbayang di benak martin. Sudah banyak yang ia lakukan dengan gita. LELAH!
Martin me- log out komputernya.
“Heh! Kok bengong gitu, Tin?” David menepuk pundak Martin dari belakang. Hari ini David tampil habis-habisan. Kenapa lagi kalau bukan gara-gara kunjungan rutin bule tingting itu? Busyet! Parfume dan setelan jasnya terlihat sangat menyolok dibandingan dengan pakaian yang sering ia gunakan sehari-hari. Martin yakin ruangan ini pasti sudah dipenuhi dengan wangi parfume David, entahlah mungkin setengah botol parfume yang digunakan David. Baunya bikin Martin menjadi pusing.
Martin menatap David takjub. “Berapa banyak lo pake parfume?” tanya Martin sambil mengibaskan tangannya berusaha menghilangkan wangi parfume David yang berlebih sehingga membuat dirinya pusing.
“Apaan sih? Biasa aja kok.” Kata David santai.
“Bagus! Banyak amal lo hari ini” komentar Martin sambil senyam-senyum.
David melongo.
“Amaaal… buat para wanita yang haus akan belaian pria segar disini. Lo liat tuh, si Inah aja sampe jadi patung di depan dispenser. Ngiler lagi!” Martin menunjuk Inah, office girl mereka yang mematung di samping dispenser sambil memegangi botol kosong yang diremas-remasnya. Matanya lurus-lurus melotot ke arah David.
Secepat kilat David menyemprot si Inah. “Eh, Inah! Ngapain lo di situ! Jadi Malin Kundang versi cewek beneran baru tahu rasa lo!”
Inah gelagapan dan langsung melesat pergi.
Martin tertawa. “Tuh.. tuh.. si tante genit Nina. Bentar lagi dia ke kamar mandi bawa pulpen!” kali ini mata Martin menunjuk Nina bagian keuangan yang ternyata juga lagi asyik menatap David sambil jilat-jilat bibir. HIIII!!! Dan Nina ini, tipe orang yang muka badak nggak tahu malu.
Oh ya, Nina ini umurnya sudah mendekati angka 4, tapi bertampang sangat binal. Dan yang sering bikin geli, kelakuannya itu terhadap cowok-cowok yang dimatanya terlihat segar.
“Tante NINAAA!!!” teriak David panik.
Nina langsung tersadar dengan teriakan cukup keras dari David. Wajahnya langsung memerah karena tertangkap basah menelanjangi tubuh David.
“Makanya jangan melonggo tante. Kesambet baru tahu!” sembur David. Dan semua mata wanita yang tadinya lagi asyik menelanjangi tubuh David –karena berpakaian yang sangat berbeda hari ini– langsung terhenti. Mereka beranggapan mendapatkan pemandangan yang cukup menyegarkan hari ini.
“Eh, Tin, lo kok malah ngeledek-ledek gue? Gue tanya tadi, lo ngapain bengong?”
Martin menekan tombol ponselnya. Membuka inbox. Lalu menyodorkan pada David. “Baca deh”.
“Mama Papa nunggu kamu di rumah. Pulang cepat ya, Tin..” bibir David komat-kamit membaca isi SMS di layar. “Apa yang aneh? Biasa kan nyokap lo suka kecentilan ngajak dinner lah, apalah..”
Martin memasukkan ponsel ke saku celananya. “Tapi feeling gue nggak enak deh.”
“Nggak enaknya?”
“Ya mana gue tahu, Dav. Namanya juga feeling …”
David mengangguk-angguk. “Lo mau balik sekarang?”
Martin mengangguk. “Iya kayaknya. Lo ikut gue yuk ke rumah?” ajak Martin.
“Ih! Kan feeling lo nggak enak. Ntar kalau benar ada apa-apa, rugi gue”
Martin mendelik keki. “Temen apa lo? Payah… masa maunya senang doang? Harusnya kalau feeling gue nggak enak, lo support dooong…”
David nyengir. “Gue support lo kok. Gue doain semoga feeling lo salah. Gimana?”
PLUK! Martin menimpuk David pakai penghapus karet di meja kerjanya. “Bilang aja lo nungguin Tiara! Mau pamer Jas, parfume, apalagi yah…” ungkap Martin sambil memperhatikan David naik turun kepala sampai kaki.
“TINNN!!... Lo mending pulang sana!” David balik melempar penghapus yang tadi digunakan Martin.
Martin mencabut kunci kontak mobilnya. Mobil siapa tuh yang parkir di depan pintu?
“Ada siapa, Pak Eko?” tanya Martin sambil menyerahkan kunci mobil ke Pak Eko, supir keluarga. Tepatnya supir mama sih. Sembilan puluh persen tugas Pak Eko adalah mengantar mama kemana-mana. Kalau mama punya roket, pasti Pak Eko juga astronautnya. Ajudan mama deh pokoknya. Di keluarga ini yang nggak bisa nyetir Cuma Mama. Martin bisa, Papa hobi, Sazi –adik perempuan Martin– kemana-mana juga nyetir mobilnya sendiri. Buat Sazi yang centil dan pecicilan, sopir Cuma jadi penghalang ruang geraknya, bikin dia nggak bisa ngeluyur seenaknya.
Pak Eko yang lagi asyik mencuci mobil menunduk sekilas sambil mengambil kunci mobil. “Wah, nggak tahu, tuan. Udah dari tadi kok…”
Martin langsung masuk ke rumah. Siapa ya? Apa dia lupa sesuatu? Jangan-jangan dia lupa kalau hari ini hari perayaan sesuatu. Entah apa.
Tempat mobil Sazi di garasi masih kosong. Si centil belum pulang. Kebiasaan! Pulang kuliah keluyuran dulu.
“Eh, Tuan Martin, ditunggu tuh. Dari tadi Ibu bolak-balik ke belakang nanyain Tuan udah pulang apa belum,” Bik Ipah menyambut Martin dengan tampang aneh. Biasanya Bik Ipah nenek-nenek yang riang gembira dan ceria. Kerjaanya cengar-cengiiir melulu. Tapi tidak kali ini.
“Nunggu aku, Bik? Emangnya siapa sih?”
Bik Ipah kelihatan panik. “Wah, Tuan masuk aja buruan. Gut Lak, Tuan!”
Martin mengernyit bingung. Gut Lak! Apaan tuh…!
Bik Ipah mengacungkan jempol lalu berbisik lagi. “Gut lak.. gut lak..” katanya.
“Ooohhh.. good luck?!” Martin akhirnya sadar. Gut lak-gut lak. Dasar Asal!
Belum habis Martin cekikikan, tiba-tiba napasnya terasa sesak dan nyaris mati mendadak begitu melihat siapa tamu misterius itu. Gita… dan orangtuanya! Di sana ada Mama dan papa dengan tampang berkerut-kerut.
“Martin…” Suara papa lebih kedengeran mendesis. “Duduk, Nak..” katanya kaku.
Shit! Feeling-nya benar! Si Kampret Gita pasti ngadu ke semua orang. Dan sekarang, Martin-lah tersangkanya Sial! Sial! Siaaal!
Martin berjalan pelan ke sofa kosong, yang kayaknya memang disiapkan buat dia di sidang terbuka ini. Bayangin: Sofa untuk satu orang, posisinya ditengah-tengah. Semua orang di ruangan itu menghadap ke arah Martin. Gila! Berusaha setenang mungkin, Martin duduk du kursi panas buatan (kayaknya) mama itu.
“Kamu pasti udah bisa menebak apa pembicaraan kita di sini, Martin.” Suara berat Papa bikin Martin jadi ciut.
Mama menggeleng-geleng pelan sambil mendesah-desah kecewa.
Gita menunduk dengan tampang “korban”. As***le!
Ibu dan Bapak Gita memandang Martin penuh tanya.
Martin diam.
“Apa betul yang Gita bilang?” tanya Papa lagi.
Mata tajam Martin menusuk Gita geram. Dasar jalang! “Soal apa, Pa?”
Papa menatap Martin tegas. “Martin...”
Ugh! Nada itu! Nada yang selalu bikin Martin dan Sazi serasa merinding tiap kali Papa mengeluarkan jurus andalannya itu. “Soal hubungan kami?”
Papa mengangguk.
“Iya, benar,” jawab Martin mantap tapi pelan.
Daaan… seisi ruangan mendesah kecewa. Apa-apaan sih ini? Siaran langsung opera sabun?!
“Kamu tahu akibat emosi sesat kamu itu buat kita dan Gita?” cecar Papa lagi.
Martin mengangkat alis. Ngomong apa si Gita?! “Itu bukan emosi sesaat, Pa. Martin udah mantap mutusin kalau Martin nggak bisa jadi tunangan Gita.” Keberanian Martin mulai muncul. Dalam keadaan jelas-jelas dia yang salah pun bisa-bisanya Gita bikin Martin seolah jadi satu-satunya pihak yang bersalah di sini.
Daaan… seisi ruangan memasang tampang kaget. Termasuk si wanita jalang, Gita. Bukannya dia sudah tahu semuanya? Dia pasti tahu kesalahannya selama ini, kan? Buat apa lagi dia pasang tampang kaget begitu? Mengingat pertengkaran terakhir mereka, rasanya tak ada lagi secuil, setitik, sekecil amoeba pun rasa cinta Martin yang tersisa buat Gita. Ia betul-betul merasa kesal.
“Kamu sadar apa yang kamu bilang, Martin?” kali ini Mama yang bertanya.
Martin mengangguk mantap. “Belum pernah Martin seyakin ini,” jawab Martin sambil melirik tajam ke arah Gita.
“Martin… apa sih alasannya sampai kamu begini?” Ibu Gita buka mulut. “Tante udah sayang sama Martin… kalau Gita ada salah, mbok ya kalian saling ngomong dan memaafkan…”
Martin menatap nanar wajah kuyu Ibu Gita. Dia juga sebetulnya terlanjur sayang sama mantan calon mertuannya itu. Kok bisa orang tua sebaik itu punya anak seberengsek Gita? Martin tersenyum. “Maafin Martin, Tan, Martin juga sayang sama Tante. Tapi masalah Martin sama Gita, kayaknya Martin nggak bisa memenuhi harapan Tante sama Oom. Maaf ya?”
“Apa masalahnya sepelik itu, Martin?” Ayah Gita ikut penasaran.
Martin melirik Gita. “Iya, Sepelik itu. Tapi Martin nggak bisa beberin semuannya di sini. Mungkin buat Gita, Martin yang salah… biar Gita yang cerita sama Tante dan Oom. Nanti Martin juga akan cerita sama mama-papa martin. Yang pasti Martin minta maaf… Martin nggak bisa jadi tunangan Gita.” Martin berdiri. Menatap lurus-lurus. “Aku udah bilang sama kamu, semua udah selesai. Biar aku yang batalin semua rencana acara pertunangan kita,” ujar Martin dingin lalu balik badan siap meninggalkan ruang sidang.
“Martin!” tahan Gita panik.
Mama, Papa, Ayah dan Ibu Gita Cuma mematung. Tak disangka-sangka si tenang Martin bisa sesadis itu. Membuang Gita jauh-jauh di depan orangtuanya dengan dingin tanpa ekspresi.
thanks @ditya_L buat re-uploadnya
Pusing!
Satu kata yang mewakili Martin hari ini. Semalaman dia nggak bisa tidur. Perasaannya masih nggak keruan. Rasanya bete. Bukan bete biasa, tapi bete raksasa. Ekstrabete, superbete … bete tingkat tinggi.
David menyeruput caffe latte-nya. “Kacamata item kayaknya bisa membantu deh” komentarnya pendek.
Martin mendelik. “Lo mau bikin gue kayak orang tolol, pake kacamata dalam ruangan?” jawab Martin sambil menebar pandangan ke seluruh penjuru kafe. Siang ini Café Montgallet cukup ramai. Kursi-kursi banyak terisi. Martin dan david duduk di salah satu sofa di pojok dekat kasir. Hari ini duo PR kafe ini tak ada tugas keluar untuk ketemu klien, jadi mereka bisa bersantai-santai.
“habis muka lo bengep gitu. Kayak habis gelar tinju aja. Apa mo gue tambahin biru-biru?” goda david sambil tertawa.
“sialan!” rutuk Martin sambil terus mengaduk ice vanilla -nya.
“Ngomong-ngomong gimana Tiara dikasih bau parfume dan penampilan aneh lo kemarin? Senang?”
Kali ini David mencibir sambil mendelik kesal. “Sial lo!”
“Lho, apa coba kalau bukan karena penampilan aneh lo di tambah parfume yang bisa bikin cewek klepek-klepek? Berhasil ngajak dia ke apartemen lo? Atau lo yang ke apartemen dia?” goda Martin belum puas.
David melotot galak. “Lo kira gue cowok gampangan? Kami Cuma dinner aja, lagi…”
“Habis dinner? Cup… cup… cup…” Bibir Martin monyong-monyong jijay.
“Emang dasar ketularan Tante Nina, Lo! Otak mesum.” David membuang muka.
Martin tertawa. “Hahaha… ngomong-ngomong soal Tante Nina, dia masih aja lho ngeliatin lo. Kecewa berat dia sama pakaian yang lo pake hari ini, kurang menggairahkan bagi dia mungkin…” Mata Martin menelanjangi penampilan David dari atas ke bawah.
David manyun. “Eh, gimana cerita lengkap SMS lo tadi pagi? Penasaran gue?”
“Ya udah. Gue udah ngumumin pembatalan pertunangan gue sama Gita. Nyokap-bokap gue sempat shock dan nyalah-nyalahin gue gitu. Tapi y ague jelasin aja semuanya. Kelakuan Gita sedetail-detailnya.” Tangan Martin bergerak-gerak penuh semangat.
“Kata lo, Gita dateng ke rumah lo sama ortunya?”
Martin mengangguk. “Iya, gue umumin di depan ortu gue, ortu Gita dan Gita. Gue kayak di sidang. Sialan banget si Gita, tahu deh dia cerita apaan sebelum gue datang. Yang jelas gue udah kayak tersangka pembunuhan begitu nyampe di ruang tengah. Gila, kursi buat gue aja udah disiapin di tengah-tengah! Mampu nggak gue?”
David bergidik. “Terus?”
Martin merepet menceritakan soal “sidang dadakan” tadi malam.
Tiba-tiba sinar mata David berubah tengil.
“Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Martin ngeri. Jangan bilang sekarang David Homo. Kok mandanginya sampe melotot begitu?
“Berarti… berarti… sekarang… LO JOMBLO DOOOONG?”
Martin nyengir lega. Mata bulatnya menyipit. “Yes, I’m single and I’m free.”
David mengangkat tangan memanggil salah satu waitress yang lewat dekat mereka. David melihat name tag -nya. “santi, tolong dua cheese cake large slice ya! Kita ada perayaan nih!”. Cheese cake Kafe Montgallet memang terkenal. Selain itu masih juga ada black forest nya yang juga terkenal. Dalam satu hari tak satu slice pun yang pernah tersisa.
“Mari kita berjuang bersama…” David menyengir genit.
“Maksudnya?”
Gigi putih David berderet rapi waktu dia nyengir lebar. “Cari pacar baru dooong… eh, maksud gue, cari calon tunangan baruuu!”
Dasar jelalatan! Nggak betah jomblo sebentar.
Cinema XXI Plaza Indonesia
Tangan Martin penuh dengan dua kantong popcorn. David menenteng soft drink dan beberapa bungkus cokelat. Perayaan Martin kembali jomblo lanjut ke bioskop.
“Masih lama nih … duduk dulu, kali ya, tin? Pegel nih...” david mulai mengeluh-ngeluh pegel.
Martin nurut mengikuti david ke sofa tunggu.
“Eh! Jangan di makan dulu popcorn -nya!” pekik david begitu tangan Martin siap menyusup ke dalam kotak popcorn.
“Kenapa?”
“Gimana sih lo, nggak afdol doong. Dibukanya harus di dalam bioskop. popcorn kan buat nonton. Bukan buat nunggu nonton!”
Martin memandang david aneh. Kebiasaan nggak jelasnya itu belum hilang juga. Memang apa salahnya ngemil popcorn sambil nunggu film? Untuk sekedar diketahui, david nggak pernah makan popcorn kecuali kalau lagi nonton film. Dan digaris bawah nih! khusus film bioskop dan DVD untuk film yang nggak dia tonton di bioskop.
“Martin!” tiba-tiba ada suara cempreng memanggil nama Martin.
Sazi. Adik perempuan semata wayangnya. Ternyata ada di sini juga. Mereka berdua sebenarnya jika di lihat lebih dekat mirip walau berbeda jenis kelamin. Mereka berdua punya garis muka yang bagus, kulit putih bersih dan mata yang mempunyai sorot tajam. ganteng dan cantik. Dulu, waktu masih SMA, Martin pernah beberapa kali di foto untuk majalah. Tetapi dunia modeling sama sekali bukan dunia Martin.
“Sazi? Nonton juga?”
Sazi mengangguk. Menyapa David. Makhluk imut satu ini tak pernah memanggil kak, aa, abang atau apa pun yang menandakan Martin kakaknya. Cukup Martin. Mungkin karena jarak umur meraka yang tidak terlampau jauh yakni 4 tahun. Sazi berumur 20 tahun dan kuliah. “Kamu nonton juga?”
Martin memandang Sazi, memandang popcorn -nya, lalu memandang Sazi lagi dengan tatapan memangnya-ngapain-gue-bawa- popcorn -dan-duduk-di sini? “Kelihatannya ngapain?” jawab Martin sambil diam-diam memasukkan popcorn ke mulutnya. Kesempatan langka, David lagi sibuk tebar pesona sama yang lain.
“Oh iya! Kenalin nih, Deni!” Sazi menarik tangan teman cowoknya yang dari tadi berdiri diam di belakangnya.
Deni menyalami Martin dan David. “Deni..” kata cowok seumuran Sazi itu sopan. Gayanya khas anak muda sekarang. Celana belel lurus, T-shirt polo di pakai dobelan, rambut pendek yang modelnya up to date. Tampangnya juga oke, ganteng dan keren. Pasti salah satu cowok favorite kampus. Nggak heran Sazi menyeret-nyeret dia.
“Berdua aja?” mata Martin mencari-cari, siapa tahu ada teman Sazi yang lain.
Sazi pasang tampang muka polos. “Iya nih … tadinya kan aku ngajakin Sissy sma Ucha. Tapi mereka mendadak nggak datang gitu. Sebel banget deh. Tapi kami berdua terlanjur di sini. Rugi kan kalau pulang lagi? Ya nonton aja”
Martin mencibir diam-diam. Alasan! Ini pasti rencana liciknya Sazi. Dia pasti sudah mengatur semuanya. Pasti ni anak ngecengin Deni. Ucha dan sissy ikut bersekongkol. Martin hafal banget kelakuan adiknya. Ceria dan supel mereka berdua boleh sama, tapi soal agresif cari pacar dan kenekatan deketin incerannya duluan, Cuma Sazi yang punya. Kalau di ingat-ingat, nyaris semua mantan pacar Sazi sejak SMP-SD malah! Rata-rata pasti Sazi duluan yang PDKT.
“Oh ya, Tin, Deni udah di book buat pasangan gue nanti di acara pertunangan yang lo rencanain itu. Dia udah approved nih!, iya kan Den?” Sazi melirik Deni genit sambil mengedikkan dagu lancipnya.
Deni mangangguk. “Iya, Kak..”
“Panggil Martin aja” ralat Martin. Aneh juga di panggil “Kak”. Adiknya sendiri aja ogah manggil dia kakak.
Busyet! Ni anak kebanyakan ngeluyur sampai nggak tahu perkembangan terbaru kakaknya sendiri. Martin baru ingat, ia memang belum memberitahuan putusnya dia dengan Gita kepada Sazi. Itu disebabkan karena hobi Sazi ngeluyuran yang parah.
“Kira-kira konsepnya apa tin” tanya Sazi. “Biar kita nanti bisa beli pakaian yang serasi” lanjut Sazi.
“Nggak ada konsep” jawab Martin sekenanya.
“Siapa aja yang udah di undang tin” tanya Sazi lagi.
“Nggak ada yang di undang” jawab Martin pendek.
“Ooo, khusus buat keluarga yah” tambag Sazi.
Martin memutar bola matanya kesal. “Nggak ada buat keluarga” jawab Martin mulau tak sabar.
Sazi memandang Martin bingung. “di undur?”
Martin mengetuk-ngetukkan jarinya ke ujung sofa. David dengan nyebelinnya pura-pura nggak dengar. “Nggak bakal ada pertunangan, pesta dan lainya Sazi. Aku nggak jadi tunangan. Batal” kata Martin akhirnya.
Sazi melotot kaget. David masih sibuk tebar pesona. Deni kelihatan nggak enak karena ekspresi Martin yang jadi aneh
“Maksudnyaaaa?” tanya Sazi panjang
Rasa-rasanya Martin pengin banget menimpuk jidat adiknya yang bolot itu pakai sepatu. “Maksudnyaaaa… aku nggak jadi tunangan, Sazzi. Gita nggak jadi kakak ipar kamu. Aku sama Gita bubaran. Masih nggak ngerti juga?!” Martin memelototi Sazi dengan sebal.
Bibir Sazi membentuk huruf O. “Kok bisa?” desisnya
Kali ini Martin betul-betul melotot galak ke arah adiknya. Gilaa.. kayak nggak tinggal serumah aja. Harus ya nanya-nanya di sini? Dasar bloon!
Deni kelihatan makin nggak enak hati. “Anu … kita beli tiket dulu yuk, Saz..” suara Deni gugup. Kayaknya dia merasa ada di tempat yang salah pada waktu yang salah. “Ehhm, Kak, eh, Martin, kapan-kapan kalau perlu bantuan saya, eh gue, bilang aja …” ups! Kayaknya Deni salah ngomong. Martin kelihatan kaget
Beberapa menit kemudian ekspresi Martin berubah tenang lagi. Lalu tersenyum tipis pada deni. “Ya.. thanks banget. Doain aja gue cepet punya pacar baru”
Deni makin nggak enak
“Martin, kamu harus cerita sama aku …” ancam Sazi
“Yuk, saz …” ajak Deni.
Martin menatap kepergian Sazi dan Deni. Lalu menoleh galak ke David galak. “Dasar nggak setia kawan. Bantuin kek! Malah pura-pura nggak tahu, lagi.” Martin mendorong bahu david pelan
“Eh, Tin, cowoknya Sazi yang baru keren, ya? high quality brondong tuh” kata David berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dari jauh David bisa melihat Sazi dan Deni membeli tiket film yang sama dengan mereka. Semoga aja duduknya jauh. Sazi bawel itu bisa rese dan maksa duduk di sebelah Martin demi mendapatkan gossip terpanas keluarga secepatnya.
“Kok popcorn yang ini berkurang sih?” celetuk David tiba-tiba
“Apaan? Nggak ah … dari tadi juga segini.” Rupanya dari tadi Martin dengan nggak sadar terus-menerus nyomot popcorn diam-diam.
David cemberut, lalu buru-buru menyambar kotak popcorn yang masih utuh. “Punya gue yang ini!” katanya cepat
Dasar ogah rugi.
Martin menekan tombol ON remote TV kamarnya. Pada usianya yang ke-24 dan nyaris banget bertunangan, tak disangka-sangka sekarang dia jomblo lagi. Tapi Martin tetap mensyukuri akhirnya dia batal nikah dengan Gita dan menyadari kebrengsekan Gita sebelum terlanjur bertunangan. Tadi siang mendadak dia di telepon Sandra-teman kantor gita yang lumayan akrab dengan Martin, dan bisa dibilang informan Martin- yang melaporkan hari ini Gita keluar lagi sama “partner” bisnisnya.
Tapi Martin udah nggak peduli.
Acara reality show. Bosen. Martin menekan channel lain.
“Tin ..” tiba-tiba Sazi nongol di depan pintu kamarnya.
Datang lagi nih pengacau. “Berapa kali aku bilang sama kamu ketok pintu dulu”
Sazi mencibir. “Emangnya lo ngapain sih di kamar sampe harus ketok-ketok segala? Lagian pintunya nggak di kunci, ngapain ngetok?” katanya cuek sambil ngeloyor masuk.
“Justru karena nggak dikunci makanya kamu harus ketok dulu. Kalau di kunci kan kamu nggak bisa langsung masuk” omel Martin. Tapi percuma juga sih, Sazi sudah di dalam dan sekarang dengan cuek duduk bersila di samping Martin di atas kasur.
“Ganti donk channel -nya ..” katanya, berusaha merebut remote dari tangan Martin.
“Eh, kok rese! Udah ngeloyor masuk, rese, lagi!” Martin mengangkat tanganya tinggi-tinggi, menghindari tangan usil Sazi. “Mo ngapain sih?”
“Infotaiment kek! Ngapain nonton iklan alat fitness? Kayak mampu beli aja”.
“Suka suka dong.” Setelah remote -nya aman, Martin merogoh-rogoh mencari-cari camilan. Akhirnya ia menemukan keripik kentang rasa barbekyu.
“Cerita donk …” todong Sazi to the point.
“Nyam … nyam … apaa?”
Sazi akhirnya ikut mencomot beberapa keripik. “Yang tadi sore… emang serius nih nggak jadi tunangan?”
Martin berhenti menguyah lalu memandangi Sazi. “Emangnya aku kelihatan bercanda?”
Sazi mengankat bahu. “Ya mana aku tahu… habis aneh banget sih! Batal tunangan… kayak di sinetron aja. Kenapa sih? Ini benar-benar serius, kan?”
Martin melotot gemas. “Ya iya lah, saz. Serius. Kemarin semuanya udah di batalin. Udah jelas, kan? Sekarang mo ngapain lagi di sini?”
Sazi kelihatan belum puas. “Apaan?! Ceritanya begitu doing? Aku mau cerita lengkapnya, Tin. Masa alasannya begitu aja? Nggak seru ah!” protesnya.
Dasar keras kepala. Maksa. “Kamu mo tahu aja urusan orang?”
“Lhooo… aku kan adik kamuuu .. aku berhak tau dong apa yang terjadi pada kakakku tercinta iniii …” rayu Sazi sambil terus merogoh-rogoh ke dalam bungkus keripik kentang.
“Ya udah nggak ada kecocokan aja diantara kami,” jawab Martin diplomatis.
Sazi meringis. “iiihh ! kayak artis aja kamu, Tin! Jawaban konferensi pers banget sih! Aku mau yang jelasss.. yang detail!”
“Anak kecil sok tahu kamu, Saz!” Martin menyentil hidung Sazi.
Tapi ujung-ujungnya dia curhat juga pada Sazi. Biarpun mereka berbeda jenis kelamin, soal saling curhat Martin dan Sazi cukup klop.
“Brengsek!” cetus Sazi berapi-api sambil mengepalkan tinju dan meninju boneka panda bermuka tolol tak berdosa yang dia bawa ke dalam kamar Martin. Tuing! Si panda pun melayang.
“Kita harus nyusun rencana, Tin” katanya berapi-api.
Dahi Martin berkerut bingung. “Rencana apa?”
Sazi memutar bola matanya. “Ya rencana pembalasan laah… kita kerjain aja cewek brengsek macam si kak Gita itu.”
Dasar ABG! Pola piker Sazi memang masih ABG banget. Namanya juga anak terakhir dan masih kuliah. “Nggak ah! Ngapain juga. Semuanya udah selesai kok. Aku udah bebas. Jomblo nih sekarang.”
Sazi langsung kecewa. “Lho, Tin, masa di lepasin begitu aja sih? Rugi doongg…”
Dahi Martin berkerut lagi. “Rugi apa? Aku malah untung udah putus sama dia. Rugi itu kalau aku sempat tunangan sama dia”.
Jawaban Martin bikin Sazi melotot. Jelas dia nggak sependapat. “Kamu bilang kamu nggak rugi? Aduh, martiinn, payah banget sih!”
“Apa sih?” gumam Martin bingung
“Sekarang kamu inget-inget deh. Selama pacaran dia udah berapa kali bikin kamu kesel, keki, marah, dongkol, terhina, belum lagi rugi waktu. Harusnya kan kamu udah bisa dapat cewek baru dari dulu-dulu. Terus, selama pacaran kamu pasti pernah gandengan, dicium, di --“.
“STOP” Martin membungkam mulut adiknya. “Kamu ini aneh banget sih, Saz! Namanya orang pacaran ya pasti begitu. Mana bisa diitung untung-rugi. Kan waktu ngejalananinnya kita suka sama dia. Gimana sih?”
Sazi manyun. Tetap kurang puas. “Terserah deh!” Sazi putus asa.
“Eh , Saz, yang tadi itu mangsa kamu yang baru, ya?” selidik Martin sambil senyam-senyum geli berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sazi melotot. “Mangsa apa?”
Martin menjulurkan lidahnya. “Alaah … ngeles, lagi. Aku kan tahu kamu, Saz”
Muka Sazi merah padam di hiasi cengiran lebar. “Keren, nggak? Anaknya baek tuh. Pinter lagi. Terpelajar Tapi gaul. Hehehe …”
Tuing! Martin menoyor dahi Sazi. “Gatel! Masalahnya … dianya suka sama kamu nggak?” ledek Martin
“Lho, kok ngomong gitu?” protes Sazi.
“Tadi itu akal-akalan kamu biar bisa nonton sama dia, kan? Sissy sama Ucha kan kaki tangan kamu.”
Sazi tersenyum tengil karena ketangkap basah lagi. “hihiihi…. Tahu aja. Tapi sukses, kan?”
“Dasar!”
“Tapi, Tin, kamu kan tahu aku. Nggak mungkin deh aku gagal… sebentar lagi dia pasti jatuh cinta sama aku” kata Sazi cengar-cengir
Martin bergidik ngeri.
@adinu justru aku yang terima kasih sudah mampir buat baca
@4ndh0 bakal di lanjutkan sampai tuntas kok.. hehe
@Adam08 terima kasihhhh
@adhite_ semoga tidak bosan yah [-O<