It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dapat bonus!!!
Martin dan David jingkrak-jingkrak kegirangan ketiban rezeki tak terduga. Tiba-tiba aja mereka berdua dapat bonus setengah gaji karena bisa menjebol target deal beberapa klien besar untuk kafe mereka.
Sekarang Martin dan David dengan wajah bersinar-sinar beredar di mall kelapa gading. Tangan mereka sudah menenteng kantong berlabel metro.
“Delapan ratus aja, ya” David ngotot menawar jam tangan yang sudah dikenakannya.
Pelayan toko yang masih berumur belasan tahun itu kelihatan mulai goyah. “Eng ….. Delapan ratus lima puluh udah murah...” katanya. Nadanya nggak setegas tadi.
“Delapan ratus aja lah, Ayo doong… harga perkenalan. Ntar jadi langganan deh…” rayu David manis.
Dan pelayan ABG itu pun menyerah. Ia menerima uang David dan membungkus jam tangan pilihan David. “Tapi benar lho, mas, jadi langganan,” tagihnya penuh harap. “Tadi itu harga nya murah banget”.
David terseyum lebar. “Kalau barangnya bagus-bagus, pasti saya beli di sini deh. Yang pasti harganya harus harga langganan”
Si pelayan nyengir girang. Dandanan seperti orang eksekutif muda tapi begitu nawar kok kayak emak-emak belanja di pasar.
“Gitu caranya nawar…” nasihat David sok begitu mereka menjauh dari kios jam tangan tadi.
“Sadis, lo ah. Kasian tahu, pelayannya. Entar dia dimarahin enci yang punya toko” komentar Martin sambil matanya pesiar ke segala arah.
“Lho, nama nya juga belanja. Nawar wajar doong kalau dia ngasih, artinya dia masih untung” kata David yakin. Nggak mau di salahin.
Martin tipe orang yang nggak tegaan. Dia nggak pernah tega nawar sampai setengahnya kayak David. Biarpun David sudah sering wanti-wanti kalau harga yang ditawarkan pastinya sih udah dinaikkan lima puluh persen, tapi tetap aja Martin nggak tega. Habis yang dipandang muka pelayannya yang kelihatan melas. Coba kalau yang jaga langsung si empunya toko yang kelihatan makmur, pasti Martin bakal lebih sedikit lebih tega.
Dalam waktu setengah jam, dua tangan Martin dan David penuh sama kantong belanjaan. Buat jalan aja mereka susah. Belum lagi David pake acara beli boneka segede bison buat keponakannya. Terpaksa mereka gantian bawanya, karena boneka raksasa itu cukup menganggu keseimbangan kalau ditenteng lama-lama.
Pada awalnya Martin menolak untuk ikut dengan David ke mall ini. Tapi dengan memaksa akhirnya Martin ikut juga. David pergi ke mall itu dengan tujuan untuk membelikan hadiah kepada keponakan kebetulan dia juga dapat bonus. Martin rencananya tidak ingin beli apa-apa. Tapi begitu sampai di sana mereka lupa dengan tujuan awal karena melihat tulisan sale yang sangat besar di depan mall tersebut.
“Ngapain sih beli boneka segede king kong gini?” protes Martin yang dapat giliran menggendong si boneka raksasa.
“Murah tau, Tin! Daripada gue beliin di Toys City, berapa coba harga boneka segede gini di sana? Ponakan gue nagih melulu hadiah ulang tahunnya. Budek gue. Toh juga ini tujuan kita ke sini kan.”
“Ya, tapi beratnya ini lho …” susah payah Martin menjaga keseimbangan badannya.
“Kita makan dulu aja yuk, tin?” ajak David. Mukanya mulai pucat kelaparan. Saking asyiknya berbelanja, mereka sampai lupa kalau dari tadi pagi mereka berdua belum makan apa-apa.
Martin menangguk semangat. “Setuju! Gue udah mo mati rasanya!”
Dengan terseok-seok mereka menuju Hoka-Hoka bento di lantai atas.
Dengan kalap Martin melahap beef teriyaki -nya. Sementara David menghabiskan teh botolnya sekali sedot karena kehausan setengah mati.
“Bonus langsung habis dalam sehari …” kata Martin dengan mulut penuh. “Kayaknya kita udah kena pola hidup konsumtif nih ..”
“Parkiran kita jauh banget, lagi” keluh Martin begitu ingat tempat mareka makan jauh banget dari tempat parkir.
David diam.
“Jangan pura-pura bego, Dav. Habis ini giliran lo manggul buto ijo ini” Martin menujuk-nunjuk boneka raksasa yang dengan asyiknya nongkrong di depan mereka yang asyik makan.
David nyengir. “Kirain lupa”
Martin mencibir galak. “Maaf lahir batin deh kalau gue harus manggul benda nggak berguna ini ..”
Dengan tampang jail Martin mengangkat si buto ijo dan menyodorkan pada David dengan gaya penyerahan hadiah balap karung. “Silahkan diterima, selamat berjuang ya. Jangan menyerah”
Cengiran David berubah manyun. Dengan berat hati dia menerima boneka raksasa itu.
“Silakan …” Martin cekikikan mempersilahkan David jalan duluan
“Aduh!” pekik David karena nggak sengaja menabrak punggung orang di depannya. Semua gara-gara buto ijo raksasa yang menghalangi pandangan David.
Laki-laki yang David tabrak nyungsep ke depan gara-gara disundul buto ijo yang David gendong.
“Sori ya, mas…” David buru-buru minta maaf.
Laki-laki itu menoleh ke belakang. “Nggak pa-pa, nggak pa-pa ..”
“Lho, kamu…”Martin memandangi laki-laki yang David tabrak.
“Lho, Kak … eh .. Martin, ya? kakaknya Sazi?” ternyata betul. Deni!
“Iya...”hebat juga dia masih ingat Martin. Padahal pertemuan pertama mereka waktu itu cukup bikin Martin malu, gara-gara Sazi dengan cueknya menginterogasi Martin soal batalnya pertunangannya sama Gita.
Dengan takjub Deni memandangi belanjaan Martin dan David. Apalagi setelah sadar benda apa yang menabraknya tadi. “Habis belanja?”
Pertanyaan bodoh. Dan memang selalu begitu. Orang kalau menyaksikan pemandangan ajaib dan mendadak speechless pasti bakal melontarkan kalimat bodoh. Misalnya ya tadi itu. Jelas-jelas Martin dan David bawa gembolan segambreng-gambreng, Deni masih nanya “habis belanja?” Ya habis ngapain lagiii? Bercocok tanam???
“Habis makan sih….” jawab David tolol sambil berusaha membenarkan letak si buto ijo. “Lo cowok barunya Sazi yang waktu di Plaza Indonesia itu, kan?” tembak David cuek.
Deni jadi salah tingkah. “Anu, iya, gue yang waktu itu di Plaza Indonesia, tapi gue bukan cowok barunya Sazi,” katanya gugup.
“Baru PDKT?” cerocos David nggak penting. “Awww!” pekik David begitu ujung sepatunya di injak Martin. Lagian… rese banget.
“Eng, ya, oke deh, Den…. Kami mo balik dulu, ya?” buru-buru Martin pamit sebelum omongan David makin nggak jelas.
“Eh!” tahan Deni. Langkah terseok-seok Martin dan David langsung ngerem mendadak. “Parkirannya dimana? Sini deh… biar gue bantuin. Kayaknya belanjaannya banyak banget.” Dengan sigap Deni mengambil buto ijo yang bentuknya paling nggak bersahabat karena besar banget dan nggak bisa di lipat, ditekuk, atau diapain pun untuk mempermudahnya.
“Nggak pa-pa nih?” tanya Martin nggak enak.
Deni tersenyum manis. “Nggak pa-pa. gue nggak tega liatnya. Kayaknya repot banget”
“Emang” celetuk David pendek.
Untung ada Deni. Seenggaknya salah satu dari mereka nggak harus menggendong boneka biadab yang beratnya lumayan itu sampai tempat parkir.
Honda jazz David langsung penuh sesak begitu semua belanjaan masuk. Belum lagi boneka biadab buto ijo yang menghabiskan space bagasi sendirian. Gila, semakin dilihat semakin gede.
“Halo?” David menjawab ponselnya yang tiba-tiba bunyi. “Hah? Kapan? Lagi di… harus, ya? gimana dong? Dimana? Eng .. iya deh, iya deh ..”
“Siapa dav?” Martin menatap wajah panik David penasaran.
“Ita. Sekretarisnya Warna Enterprise. Itu lho, yang mo bikun acara di kafe kita.”
“Klien lo itu?” Martin membenarkan letak beberapa kantong belanjaan di kursi tengah. Deni masih berdiri di situ.
“Yo-i. gue harus ke kantornya sekarang. Bosnya yang dari Malaysia itu lagi ada di sini, dan Cuma punya waktu sekarang .. gimana ya? Pasti bakal lama deh”
“Ya udah… pergi aja. Kok bingung? Klien penting tuh” Martin masih sibuk mengatur letak kantong-kantong belanjaan.
“Terus lo?”
Iya ya… Martin kan nggak bawa mobil hari ini
“Ya udah deh, gue nganter lo dulu, ntar gue langsung ngebut ke kantor warna.”
“Emangnya kantor warna dimana?”
Martin mengigit bibir. “di… Rasuna Said”
Martin melotot. “Gila lo ya mo nganter gue dulu ke kemayoran? Rasuna said kan Cuma beberapa menit dari sini. Bisa telat lo kalau bolak-balik gitu. Udahlah, gue naik taksi aja. Toh boneka buto ijo jelek ini ikut lo”
David kelihatan nggak enak. “Masa lo naek taksi sih...?”
“Biar bareng gue aja” celetuk Deni tiba-tiba. Kontan Martin dan David bengong kompakan.
“Bareng sama lo?” tanya Martin tolol.
Deni mengangguk. “iya. Gue bawa mobil kok. Tapi mobil butut sih ..”
Martin mengerutkan alis tebalnya. “Terus kenapa kalau butut?”
David mengangkat bahu sambil tersenyum lucu. “Ya... butut aja. Nggak senyaman mobil baru gitu.”
Martin memandang David. David memandang Martin. David angkat bahu mengirim sinyal “terserah lo”
“Lo yakin, nih? Dari sini ke rumah gue lumayan jauh terus macet juga” Martin menatap Deni meyakinkan.
Tapi Deni tetap mengangguk mantap. “Iya masa sih gue Cuma basa-basi? Lagian kalau sampai Sazi tau gue ketemu kakaknya di sini dan ngebiarin kakak tersayangnya naik taksi… wah bisa ngamuk dia” canda Deni dengan tampang kocak. “Gue bisa di …” tangannya memeragakan leher di gantung.
Martin tertawa. Sazi memang mungkin banget berbuat begitu. “Oke deh, oke deh... jadi intinya gue pulang bareng lo dalam rangka menyelamatkan diri lo sendiri dari tiang gantung, kan?”
Deni tertawa renyah.
David lega. Dia nggak harus membiarkan sobatnya terlantar.
“Tapi Den, artinya kita harus ngangkut lagi tumpukan belanjaan ini ke mobil lo” mata Martin memandang putus asa ke arah belanjaannya.
Deni nyengir lebar. “Nggak masalah… tapi boneka kebo itu di tinggal, kan?”
Martin tertawa. Tinggal David yang cemberut karena boneka di hina dina. Di katain biadab, buto ijo, sekarang kebo.
Mobil tua yang dimaksud Deni itu Jeep Defender tahun delapan puluhan. Mungkin. Tapi berkat tangan Deni yang kayaknya cinta banget sama mobilnya, si tua ini kelihatan ganteng. Warnanya putih, lengkap dengan bemper, roof rack dan segala macam atribut yang berwarna hitam. Keren. Bungkus jok-nya pun sudah diganti kulit. Kesan mobil perangnya sama sekali hilang. Berganti imej mobil anak muda yang keren dan gaul.
“Ini lo modif sendiri?’ Martin memandang seluruh penjuru mobil.
Deni melirik dari balik setirnya. “Ngerancang sendiri iya. Tapi bikinnya ya minta bantuan bengkel teman. Kebetulan temen gue yang hobi offroad punya bengkel sendiri. Harganya jadi jauh lebih murah lho”
Martin ber-oh ria. “Lo sendiri suka offroad ?”
Deni terkekeh. “Suka sih, tapi pake mobil orang laen. Mobil ini kok rasanya sayang. Habis kerasa banget nabungnya buat bangun ni mobil. Perasaan takuuutt banget kalau lecet, hehehe...”
“Wah lebih disayang daripada pacar dong ya?” goda Martin, bikin Deni gelagapan.
Deni garuk-garuk kepala kikuk. “Ehehe .. ya nggak. Cewek ya cewek, mobil ya mobil, punya tempat yang beda di hati”.
“Alah! Dasar lo. Bisa aja ngelesnya” cibir Martin sambil membolak-balik cd holder Deni. “Lo romantis juga ya” komentar Martin waktu menemukan beberapa cd yang mendayu-dayu.
“Kadang-kadang” tangan Deni kelihatan kekar waktu memindahkan persneling mobilnya. Dia pasti rajin olahraga.
“Omong-omong tadi ngapain di kelapa gading? Lagi cari kado buat pacar?” Martin memutar badannya menghadap Deni sampai seat belt -nya melilit. Cowok ini lucu juga. Seumuran sazi, gampang banget tersipu-sipu.
“Benar nih kado buat pacar?” todong Martin
“Nggak… nggak”
“Habis ngapain doong? Lo ada niat mangkal sambil ngamen, ya? jangan-jangan kalau malem namanya Dini?” goda Martin habis-habisan.
Deni terkekeh-kekeh geli. “Ternyata kakaknya Sazi orangnya asyik banget ya.”
Bisa aja nih cowok! “Jawab aja tadi ngapain di kelapa gading? Pake muji-muji segala. Kalau punya pacar juga nggak pa-pa. Gue nggak bakal bilang deh sama sazi,” kata Martin sambil mengacungkan dua jari tanda swear.
“Lan udah dibilang nggak ada. Gue ke kelapa gading soalnya ada toko video games langganan gue di lantai bawah. Tadinya mo beli cd x-box” jelas Deni
“Ooo… lho, berarti gara-gara gue, lo belum sempet beli donk?”
Deni memindahkan perseneling mobilnya lagi. Bersiap-siap belok ke jalan masuk rumah Martin. “Nyantai aja. Nggak pa-pa. Lain kali masih bisa”
Defender putih Deni pelan-pelan memasuki pekarangan rumah Martin. Pak eko sibuk mencuci serena kesayangannya mama. Honda City sazi belum ada. Anak itu pasti keluyuran lagi. Dasar.
“Gue balik, ya?” pamit Deni.
“Lho… nggak mampir dulu? Minum dulu kek. Ng .. tapi Sazi nya nggak ada sih. Belum pulang.”
“Nggak usah deh. Lain kali aja” tolak Deni halus.
“Nggak ada pesen buat sazi?” tanya Martin lagi.
Deni kelihatan bingung. “Ng... nggak deh. Kalau ada apa-apa kan besok ketemu di kampus”
Iya ya. Bego banget sih, Martin. Tapi ya... kali aja, mereka kan lagi PDKT. Biasanya kalau lagi PDKT kan ada aja alesan supaya ngobrol atau telepon-teleponan. “Oke deh...”
“Eh, Martin” panggil Deni sebelum menutup pintu mobilnya.
“Ya?”
“Anu … kata Sazi, lo kerja di Montgallet, ya?”
Martin mengangguk. “Emangnya kenapa?”
Deni merogoh-rogoh dasbornya. “Nah...” katanya setelah menemukan sesuatu. “Ng... gue kan punya band sama temen-temen. Kalau ada audisi terbuka mau nggak ngabarin kami? Kami pengin banget main di Montgallet. Ini kartu nama gue” Deni menyodorkan kartu nama lecek pada Martin. “Kalau nggak ngerepotin sih …”
Martin tersenyum geli. Biasanya dia selalu menerima kartu nama licin yang kelihatan baru keluar dari percetakan. Baru kali ini ada “klien” yang ngasih dia kartu nama lecek hasil mengaduk-aduk dasbor mobil. “Nggak, nggak ngerepotin. Pasti gue kabarin kalau ada audisi. Kalau ada job manggung”
Deni tersenyum senang. “Makasih banget. Sampe ketemu ya.” katanya sambil menstarter mobilnya lalu berjalan pergi.
Cowok yang baik. Martin setuju kalau dia jadian sama sazi. Kayaknya dia beda sama cowok sazi yang dulu-dulu.
“Cemberut aja… kenapa sih?” Martin melirik Sazi yang sarapan sambil manyun. Papa sama mama sudah selesai duluan dan langsung pergi ke tujuan masing-masing. Papa ke kantor, mama arisan ibu-ibu kompleks. Diantar pak Eko, tentunya.
“Nggak” jawab Sazi pendek sambil menggigit kasar roti cokelatnya.
“Eh, saz...” ucap Martin
“Aku sebeel” sungut Sazi tiba-tiba sebelum Martin ngomong lebih lanjut.
Martin memandang adiknya heran. “Sebel kenapa sih? Pagi-pagi juga...”
Masih manyun, Sazi mengunyah rotinya gemas. “Si Deni tuh!”
“Deni kenapa?” tanya Martin
“Basi!”
“Emangnya kornet?” ledek Martin, mencoba bercanda.
Sazi makin manyun.
“Iya…iya.. sori. Deni kenapa sih?”
“Kemaren aku sebel banget tahu nggak, Tin. Aku udah bilang mo minta temenin dia ke toko buku. Aku udah minta dia nunggu aku selesai kelas. Ehhh… tahu-tahu pulang kelas dia nggak ada. Aku telepon, tebak dia dimana ?
“Nggak tahu” jawab Martin sambil menggeleng .
“Mall Kelapa Gading, Tin”
“Lho, mang knp? Kali aja dia lagi jalan-jalan mungkin. Kamu tahu sendiri kan cowok, biasa begitu. Mungkin ada yang ingin di beli” jawab Martin hati-hati. Sebenarnya Martin tahu kalau kemarin Deni ada di tempat yang sama dengan dia yaitu Mall Kelapa Gading. Tetapi sebaiknya dia mendengar penjelasan dari Sazi dahulu.
Sazi melotot. “Terserah deh… kok kamu belain dia sih, Tin?”
“Siapa yang belain? Orang aku kan Cuma bilang mungkin dia ke sana beli sesuatu. Mungkin beli video games, jalan-jalan atau hanya sekedar menghilangkan rasa suntuk”. Martin jadi semakin yakin sebaiknya ia merahasiakan pertemuan dirinya dan David dengan Deni. Alasannya, seperti di ketahui bahwa pada saat ini Sazi dan Deni dalam tahap pendekatan, sehingga ia tidak ingin melihat adiknya menjadi kecewa.
Bibir Sazi makin maju. “Tapi masa lebih penting mengusir rasa suntuk daripada nemenin aku ke toko buku? Ngeselin banget nggak sih? Kayaknya Deni ribet deh! Nggak segampang cowok-cowok yang dulu. Mana ada sih yang pernah ninggalin aku kayak gini caranya? Bikin penasaran aja!”
“Kayaknya yang satu ini nggak bisa pake cara biasa deh” kata Sazi berapi-api.
“Kamu suka banget sama dia, Saz?” tanya Martin sambil memakan roti srikaya-nya.
“Ya iya-lah! Kalau nggak masa aku sekeki ini?! Sebeeel!”
Martin menghabiskan potongan rotinya. Rupanya Sazi kena batunya. Giliran dia suka banget, eh cowoknya model lempeng kayak Deni. Ya ampun! Berarti ada yang harus martin kerjakan nih! Martin buru-buru melesat ke kamarnya.
“Mau ke mana, Tin?” Sazi terkaget-kaget melihat Martin yang berani mendadak dan lari kencang ke kamarnya.
“Ada yang ketinggalan…” jawab Martin tanpa menoleh. Kalau terlambat bertindak, gawat!
Martin membuka-buka name card holder -nya panik. Dimana dia taruh kartu nama lecek punya Deni?
Dengan kalap Martin menekan nomor ponsel Deni yang tertera di kartu nama.
“Halo?” suara Deni.
“Deni…”
“Ya?”
“Ini Martin…”
“Oh… Martin. Ada apa nih? Ada job? Ada au–“
“Bukaaan…bukaaan…” potong Martin cepat. “Deni, pokoknya lo jangan cerita-cerita sama Sazi kalau gue sama David ketemu lo di Mall Kelapa Gading kemarin. Sazi ngamuk-ngamuk dari tadi.Kalau dia tau gue sama David ketemu lo di sana, bisa tambah ngamuk. Pasti dia bakal tanya gue, kenapa nggak bilang dia? Kenapa nggak ngajak dia?”
“Lho, apa hubungannya sama bilang dia, ngajak dia juga” tanya Deni bingung.
“Ya, kalo gue kasih tau dia, kan dia bisa ikut gabung sama kita kemarin. Lo tau sendiri kan Sazi seperti apa orangnya. Lagian lo juga, kok bisa-bisanya ingkar janji sama Sazi?” jawab Martin menanggapi kebingungan Deni.
Deni diam sejenak. “Memang nggak mau bilang kok. Eh, siapa yang ingkar janji?”
“Lo! Lo udah janjian sama Sazi mo nemenin dia ke toko buku, kan? Kenapa lo ninggalin dia?”
“Ah… nggak janjian. Gue belum sempat jawab, Sazi keburu lari ke kelasnya. Gue padahal mau bilang kalau gue nggak bisa nunggu dia. Sebelum ke Mall Kelapa Gading gue ada latihan band dulu. Gue mau ngehubungin ponselnya, tapi kalau udah di kelas kan dimatiin.”
Dasar Sazi! Rutuk Martin dalam hati. Bikin malu aja. Kenapa sih dia egois begitu, sampa Deni nggak nggak ngasih kesempatan jawan? Kebangetan itu anak!
“Kenapa lo nggak nelepon dia selesai kelas?” tanya Martin lagi.
“Nah itu, gue lupa. Keasyikan latihan, langsung ke Mall Kelapa Gading. Sumpah! Gue lupa. Sori ya?” jelas Deni tulus.
“Kok sori ke gue?”
“Iya. Sazi kan adik lo. Sori… gue nggak ada maksud bohongin Sazi atau apa kok.”
Martin menghela napas. “Ya udah, ya udah… pokoknya jangan cerita ke dia ya? Gue males denger dia ngomel.”
“Sip.”
“Ya udah ya, den? Gue mo kerja. Thanks lho…” jari Martin siap-siap menekan tombol end call.
“Eh, Martin, jangan lupa ya, kalau ada job atau…”
“Pasti… pasti… gue nggak mungkin lupa. Tunggu aja, ya?” potong Martin cepat. “Bye …”
KLIK.
Fiuuhhhhh!!! Akhirnya Martin bisa bernapas lega. Nggak kebayang kalau Sazi sampai tahu. Bisa tujuh hari tujuh malam ngambeknya sama dia.
David asyik lengket-lengket sama Tiara. Kayaknya Tiara sudah masuk jaring laba-laba jantan black widow. Hari ini David mengundang mereka ke apartemennya. Katanya sih perayaan ulang tahunnya. Padahal ulltahnya sebulan yang lalu. Bukan David namanya kalau nggak punya stok alasan. Dia bilang punya uangnya baru sekarang. Padahal alasannya pasti Cuma pengin ngundang Tiara. Berharap si bule bakal pesta sampai malam dan akhirnya nggak pulang. Hahaha…
Yang datang lumayan banyak. Selain Martin dan Tiara, ada beberapa klien David yang diundang. Beberapa teman Tiara juga datang. Yaaahh.. luamyan rame. Lumayan bikin pova, kucing Persia David, ngumpet karena takut keramaian.
“Tin!” tiba-tiba David berdiri di belakang Martin dengan Tiarayang menggandeng tangannya. “Sendirian aja, lo?” tanyanya garing.
Martin menempelkan telapak tangannya ke jidat David. “Udah gila kali ya nanya kayak gitu. Gue kan dari sore udah di sini, bantuin nyiapain nih pesta, dodol. Memangnya gue sama siapa?”
David cekikikan. Kayaknya pengaruh wine nih. “Ihhh… sewot. Eh, Tin, ada yang mo kenalan lho. Dari tadi nanyain lo. High quality bachelor deh!”.
Martin mengerutkan alis. “Siapa?”
“Mrs. Shinaya Sakatanya”
HAH?! Martin melongo. Apa tadi… Mrs. ZXYYXZ? Apa tadi? “Siapa tuh?”
Mata David menjelajah ruangan mencari Mrs. ZXYYXZ tadi. “Tuh dia!” dengan cuek David menunjuk ke satu arah.
Martin panik dan menepuk tangan David yang menunjuk mantap. “Jangan maen tunjuk gitu dong! Tengsin, tahu”
David malah senyam-senyum ala orang mabok. “Eh, nggak boleh ditunjuk, ya? ntar jarinya busuk, ya? Ihhhhh… emangnya nunjuk kuburaaaannn?”
Tiara berusaha menahan David yang berdirinya mulai limbung.
Martin mengikuti arah yang ditunjuk David. “Yang mana sih?” mata Martin menilik empat wanita yang berkumpul dipojok.
“Yang pake dress putih..” bisik David sambil tersenyum aneh.
GLEK! Martin melongo. Bukan Cuma dress -nya yang putih. Rambutnya juga udah mulai di tumbuhi warna putih. “Busyeett.. nenek-nenek lo tawarin ke gue, Dav? Kebangetan!”
“Orang Jepang. Jepuunn…jepuunnn..” jawab David dengan ala maboknya.
Martin bergidik. “Tetap aja nenek-nenek”
“Eh, dia single lho, Tin. Bukan istri orang. Bukan janda!”
“Tapi nenek-nenek!” Martin melotot.
“Punya perusahaan besar. Kliennya Tiara nih, rumahnya banyak. Di Pondok Indah aja tiga”
Martin mendelik. “Tapi nenek-nenek!”
David manyun. “Tapi nenek-nenek, tapi nenek-nenek! Kan high quality nenek-nenek! Warisaaaan!”
Kebangetan.
Tiaramulai penasaran. “What did he say?”
David melirik Tiaramanja. “He said, engg.. Mistress Shinaya is nenek-nenek, you know… and I said she is high quality nenek-neneeekk…” ternyata alkohol juga sukses bikin tata bahasa inggris David jadi kacau.
“What is nenek-nenek?” Tiara makin bingung.
David mulai kesal. “Grandmother, grandmother… old mama, old girrrl!”
Tiara mengangguk-anguk. Kemungkinan sih pura-pura ngerti, dari pada jawabannya makin ribet.
“Gimana, tin? Orangnya baek lho..”
Martin memukul kepala David pelan. “Singting, lo! Tega banget lo jadiin gue pengeruk warisan. Iya kalau dia nggak panjang umur. Lha kalau doi panjang umur?!”
Tahu-tahu Mrs. Shinaya sudah berdiri di dekat mereka.
“How do yo do, Martin? Kayanya sambil membungkuk ala jepang. Matanya mengawasi Martin dengan saksama, bikin gerah. Dasar nenek-nenek genit! Ganjen! PD banget langsung nyapa Martin.
David mengerling-ngerling nakal.
Ragu-ragu Martin membalas uluran tangan si Mrs. ZXYYXZ. “How do yo do…”
Mrs. ZXYYXZ yang bermata sipit, berambut hitam dengan ditumbuhi warna putih, dan keriput itu menatap David penuh arti. Sial! Pasti si nyebelin David ngomong aneh-aneh nih!
“How about dinner next week?” kata-kata itu meluncur mulus dari bibir tipis Mrs. ZXYYXZ. Gila! Tembak langsung nih? Apa nih nenek udah biasa nawar cowok?!
Martin melongo.
Tiara pun melongo.
David cengar-cengir setengah sadar.
Mrs. ZXYYXZ menatap Martin penuh harap.
“Maybe next time” jawab Martin diplomatis dan langsung pura-pura pamit ke kamar mandi.
Hiiii!!!!
BUGH!
Martin menggebuk muka David pakai bantal. David yang tergeletak tak berdaya di kasurnya Cuma cengar-cengir. Misinya gagal total. Boro-boro nginep, Tiara malah tadinya berniat menggotong David ke rumah sakit terdekat. Maksud hari menyasar Tiara, malah David sendiri yang pingsan gara-gara kebanyakan minum. Dasar konyol
Akhirnya Tiara pulang pamit setelah Martin menyakinkan dia yang bakal ngurusin David sampai si konyol ini sadar. Lagi pula, besok hari minggu. Jatah libur Martin dan David. Kecuali ada klien sih.
“Adoooooohhhh…., Martttttiiinnnnnn….., kok llo mmmukkulliinn gue seehh..”tangan David menggapai-gapai segala arah. Maksud hati sih berusaha membalas gubukan Martin.
“Mabok rese lo ah!” Martin menggebuk-gebuk pelan muka David.
“Addoooohhhh….” Rintih David norak. “Tiiiiaarrraa… maannnaaa?”
“Cabut! Misi gagal total. Syukurin!” Martin menyodorkan segelas air mineral. “Minum nih!”
Susah payah David berusaha menyedot air dari sedotan.
“Gara-gara lo. Si mistress keriput itu ngintilin gue terus. Geli, tau nggak. Kira-kira dong, Dav!” Martin mengomeli David yang setengah sadar habis-habisan. Lagian, siapa suruh seenaknya promosiin orang ke nenek-nenek genit bau tanah.
David cengengesan.
Martin menarik kuping David pelan. “Daviidd… dengerin gue. Pake mabok segala sih, lo! Norak! Dengerin gue! Pokoknya lo harus mengklarifikasi ke nenek-nenek temen lo itu, kalau gue ogah dan amat, sangat nggak available buat dia! Jangan sampe tuh nenek-nenek mikir gue jinak-jinak merpati. Lo harus klarifikasi ke nenek bau tanah itu, apapun alasannya. Tanggung jawab lo, Dav” repet Martin geram.
“Davviiddd!”
David berusaha duduk yang benar. “Iyee… iyee.. ntar gue bilangin. Baweeel amat seeeh… ntar gue bilangiiin… ddapet wwwarissan nggak mauuu..”
BUGH! “Sembarangan aja kalau ngomong!”
David cengengesan lagi. “Hihihihi.. iya.. iya sekarang gue mo boboo dulu. Ngantuk niiih!”
“Sini tin, tidur samping gue, buka dong bajunya” ujarnya genit sambil mengedipkan satu mata ke Martin.
BUGH! Pukulan bantal dari Martin sukses membuat David terjerembap ke kasur dan langsung ngorok.
Dasaarrr !
Martin mengganti baju dengan kaos oblong David, lalu ikutan berbaring. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada sms yang masuk di ponsenya. Dari Gita.
Martin aku tetap sayang sama kamu. Semua masih bisa di
perbaiki kan? Kita masih saling sayang. Jangan ikutin emosi
kamu. Love you….
Martin terdiam. Terbayang wajah sedih Gita yang selama ini selalu berhasil bikin dia luluh. Hhh… Martin membuang napas pelan. Keputusannya sudah bulat! Jangan sampai dia goyah sama bujuk rayu basi Gita.
Pip. Martin menekan tombol off. Mematikan ponselnya.
He really needs to sleep.
Mata Martin masih setengah mengantuk waktu sampai ke kafe. Setelah kemarin menginap di rumah David yang terkapar gara-gara mabok, tadi malam dia begadang lagi menyelesaikan proposal yang sudah deadline.
“Martin! Martin!” David memanggil-mangil Martin dari meja sudut dekat kasir. Meja favorit mereka. Kayaknya David sudah sembuh total. Mukanya seger banget. Beruntung amat dia nggak punya deadline apa-apa hari ini.
Malas-malasan Martin berjalan ke arah David. Proposalnya sih udah rampung, tapi capeknya… amit-amit.
“Tin, sini, Tin buruan! Burrruuaan!” tangan David melambai tangan tak sabaran.
Martin menarik kursi di depan David. “Nggak sabaran banget” sungutnya sambil duduk.
“Kita bakal dapet sponsor kelas kakap buat rave party kafe kita” kata David antusias begitu Martin duduk.
“Oh ya? bagus doong..”
David mengangguk-angguk semangat.
Martin memesan segelas air putih pada Toto, waiter yang kebetulan lewat.
David memandangi Martin aneh.
“Kenapa lagi lo ngeliatin gue kayak gitu? Ada yang aneh, ya?”
Bukannya menjawab, David malah senyam-senyum misterius.
“Apa sih, Dav?” tanya Martin penasaran. “Kenapa sih, lo? Gagal indehoi sama Tiara sekarang lo berubah haluan? Gue sobat lo, tapi gue sure ogah jadi pacar lo..”
Dengan muka bete David melempar sedotan yang di puntir-puntir ke arah David. “Sembarangan aja, lo! Gue masih doyan cewek. Lagian Tiara selangkah lagi…”
“Terus? Lo kenapa senyam-senyum aneh?”
Tiba-tiba telapak tangan David menyentuh telapak tangan Martin. Lalu menggenggamnya erat.
“Tuh, kan!” pekik David panik, buru-buru menarik tangannya.
“Dengerin dulu kek! Belum juga sempet ngomong udah histeris. Ge-er amat. Kalau gue lines juga gue nggak bakal naksir lo”
Martin mendelik. “Habisnya megang-megang geli gitu”
“Kan biar dramatis dong..”
“To the point aja, Dav. Ada apaan sih?” Martin makin nggak sabar. Kenapa sih harus pake dramatis segala? Heboh banget ya, kalimat yang siap meluncur dari mulut David?
“Dapet atau nggaknya sponsor kakap buat rave party kita tergantung sama lo” cetusnya serius.
Mata Martin menyipit bingung. “Kok tergantung gue? Emang yang nawarin salah satu klien gue?”
David bersandar lalu melipat tangan di dada sambil pasang tampang sok serius. “Begitulah kira-kira..”
“Lho kok kira-kira? Emang siapa sih” kok ada klien kira-kira segala.
“Jadi si bos perusahaan ini, bakal langsung setuju buat jadi sponsor, asal… jawaban lo juga setuju”
Martin makin nggak ngerti. “Setuju apa?”
“Setuju dinner sama dia”
Dinner? DINNER? Jangan….jangan… “Jangan bilang maksud lo si mistress..”
“Tepat!” David mengangkat jempolnya.
Mata Martin melotot garang. Emang dasar David. Memangnya dia pikun sampai lupa wanti-wantinya kemarin? “David! Gue kan udah bilang, klarifikasi sama si mistress itu kalau gue nggak minat sama dia!!! Sekarang kok dia masih berani ngajak gue dinner? Lo masih nyodor-nyodorin gue ke dia? Kebangetan deh lo, Dav” omel Martin murka. Kadang-kadang David suka kelewatan. Sejak kapan Martin mau di jodohin sama tante-tante… eh, nenek-nenek, malah.
“Iyaaa… tadinya gue mo bilangin sama si Mistress…,” David mulai membela diri, tapi langsung ciut melihat muka garang Martin.
“TADINYA? Berarti lo belum bilang sama dia?!” pekik Martin keras. Keterlaluan! Jadi si kepala putih itu masih nyangka ada harapan? IHHHH!
Wah, ngamuk beneran nih. David menatap Martin panik. “Sabar, Tin, sabar..”
“Sabar? Sabar sepatu lo bolong?”
David merengut. “Kok nyumpahin sepatu gue? Sepatu gue kan tak berdosa”
“Habisnya..”
“Sabar dulu makanya. Dengerin penjelasan gue dulu kenapa sih?”
Jari Martin mengetuk-ngetuk gelas air putihnya kesal. “Apa penjelasannya?”
“Tadinya gue nelepon dia, baru mo nyiapin pesen-pesen sponsor lo. Tapi.. belum selesai gue ngomong, tiba-tiba dia bilang dia mau jadi sponsor rave party kita – Ps: berapa pun jumlah nominalnya- asal, dia bisa dinner sama lo” tampang David ketakutan setengah mati.
Mata Martin melotot makin lebar. “Jadi lo jual gue demi dapet sponsor dari perusahaan dia? Gila! Lo emang udah gila! Gue ogah!” tolak Martin mentah-mentah. “Udah ah! Lo urus aja tuh nenek tua, gue mo ke atas, banyak kerjaan! Kalau mo dinner, lo aja sana dinner” Martin siap-siap beranjak.
“Tin!” tangan David sigap menahan Martin. “tunggu… tunggu..”
Terpaksa Martin duduk lagi. “Apa lagi sih? Udah jelas kan, Dav? Gue ogah dinner sama nenek itu”
“Ehm.. sayang banget lho, tin, sponsor berapa pun nominalnya gituu..”
Martin memutar bola matanya kesal. “Dengan mengorbankan harkat dan martabat sobat lo sendiri?”
“Sebernarnya ada satu kondisi lagi sih, si mistress bakal tetap sponsorin kita tanpa ngerayu lo atau berharap cintanya di bales sama lo. Tapi kayaknya nggak mungkin.”
Omongan aneh David bikin Martin bingung. Maksudnya? “Nah, kalau masih bisa pake persyaratan laen, kenapa nggak pke persyaratan kedua itu aja? Kenapa masih maksa-maksa gue dinner sama dia? Lo emang dasar ya, Dav…”
David terlihat gelisah. “Kondisi kedua itu masih berhubungan sama lo juga..”
Bener-bener deh! “Kok gue lagi?”
“Dia bilang, dia bakal tetep sponsorin kita tanpa harus jadi ehem ehem lo, misalnya aja lo udah punya pacar. Dia bilang dia emang udah jatuh cinta banget sama lo, tapi kalau lo udah punya pacar, dia berprinsip nggak mau ngerebut pasangan orang” beber David.
“Nah, bilang aja gue udah punya pacar. Gampang, kan? Lo kan ahlinya bohong. Masa sepele gitu aja nggak bisa”
“Masalahnya…” David mengerut-ngerutkan bibirnya gelisah.
Martin menatap David penasaran.
“Masalahnya. Hhmm… Gue sih udah bilang kalau lo itu udah punya pacar.”
“Bagus dong kalau gitu” Martin mulai sedikit lebih lega dan minum air putih semuanya dalam beberapa tegukan.
“Tapi.. gue bilangnya lo itu punya pacarnya cowok” David terlihat sangat ketakutan dengan ucapan yang dia keluarkan.
BYYUURRR !!! air yang berada di mulut Martin dengan sukses menyembur keluar membasahi meja di depannya.
“APA dav? Bisa ulang sekali lagi” kata Martin berusaha untuk menyakinkan kembali ucapan yang baru saja keluar dari mulut David.
“Nggak usah di ulang, gue yakin lo 100 persen dengar. Lo kan belum tuli”
“Lo udah gila, ya?” Martin masih shock dengan ucapan David
“Nggak, gue masih waras. Kan lo sendiri kemarin malam bilang klarifikasi ke mistress dengan alasan apapun. Jadi gue pikir pake alasan itu cukup ampuh buat si nenek-nenek itu. Kan jadi dia nggak bakal deketin lo lagi, tin” cerocos David untuk membela diri.
“Terus, berhasil ide gila lo itu?” tanya Martin.
“Berhasil dong.” Ucap David bangga.
“Bagus deh, kalau gitu. Gue jadi nggak mesti di kejar-kejar nenek-nenek itu” kali ini Martin benar-benar lega.
“Tapi, masalah pokoknya bukan di situ, Tin” kali ini David benar-benar sangat takut untuk mengatakannya.
“Masalahnya, lo tau sendiri orang jepang ulet dan nggak gampang menyerah” lanjut David
“Maksudnya?” ujar Martin penasaran.
“Kalau emang bener lo punya pacar, dia tetep pengin dinner sama lo… dan pacar lo. Dia pengin ngebuktiin sendiri. Ngeliat pake mata kepala sendiri. Baru deh dia merelakan cintanya..”
Martin melongo. “Udah sinting kali ya tu nenek-nenek!”
David mengangkat bahu. “Cinta memang gila” komentarnya nggak penting. “Dia nggak mau dibohongi. Kalau emang lo belum punya siapa-siapa, dia mo berjuang sampe titik darah penghabisan. Nggak mo nyerah gitu aja, maksdunya. Tapi kalau dia udah ketemu pacar lo. Ya udah, dia sportif. Nenek-nenek yang keren menurut gue”
Martin cemberut. “Ya.. sayangnya nggak naksir lo” sungutnya sendiri. “Terus gimana dong? Gue nggak sudi dikejar-kejar perempuan bangkotan gitu”
“Gimana ya?” David sok mikir. “Kalau sponsorship -nya jadi, kita pasti dapet bonus lagi, Tin”
Demi mendengar kata “bonus”, kuping Martin langsung berekasi. Siapa yang nggak tergiur sama bonus di kafe Montgallet? Jor-joran dan nggak pernah mengecewakan. Si bos memang orang yang memerhatikan kesejahteraan karyawan banget. “Emang kapan dia mo ngajakin gue dinner?”
“Dia bilang udah pesan tempat di Ichi Resto jumat ini” David menyebutkan nama restoran jepang yang mewah banget di kawasan senayan.
“Jumat ini? Udah pesen tempat? Kok yakin banget dia bakal dinner sama gue?”
David menggedikkan bahu. “Optimis! Jurus awet muda”
Martin meringis. Awet muda dari sisi sebelah mananya? Cuma urusan “bawah” kali yang awet muda? Buktinya bukannya cari laki-laki seumuruan dia, malah nekat naksir Martin yang pantas jadi anaknya. Jangan-jangan cucunya, malah. “Gue ada ide” ujar Martin tiba-tiba.
“Cemerlang nggak?”
“Ah cemerlang nggak cemerlang, yang penting hasilnya, kan?”
David mengangguk setuju.
“Kita cari pacar bohongan aja buat gue. Gampang, kan?” Martin melontarkan ide yang sebetulnya cemen banget. Tapi memangnya ada jalan lain? Dia sih nggak mau kalau harus meladeni ‘usaha sampai titik darah penghabisan’ si Jepang gila itu.
David terdiam.
“Emangnya lo ad ide laen?” tantang Martin
David menggeleng. “Nggak”
“Ya udah. Ide gue aja. Gampang, praktis dan tepat sasaran”
David kelihatan ragu-ragu. “Cowoknya harus benar-benar meyakinkan lho, Tin. Si nenek itu jeli banget. Pasti dia berusaha membuktikan kalau tu cowok benar-benar pacar lo. Kira-kira siapa ya yang pas?”
Iya juga sih. Jangan sampai malah ketahuan bohong. Tengsinnya bisa berkali-kali lipat. Paling nggak Martin harus cari cowok yang wujudnya pantas jadi pacarnya, plus jago acting. “Siapa ya? ada usul?”
“Rian?” David menyebut nama salah satu staf promosi bertampang ganteng dan berpenampilan esmud sekali. Idola cewek-cewek di kantor.. tapi dulu, waktu dia belum nikah gara-gara menghamili anak gadis tetangganya.
“Tampang sih oke. Tapi istrinya yang ABG itu bisa gila kalau tahu suami pujaanya harus mesra-mesra. Dan mesra-mesranya sama laki-laki. Apalagi istrinya lagi hamil gede. Ribet ah!” tolak Martin.
“Iya juga ya, bisa gawat kalau lo beneran suka sama rian. Bisa jadi awal perselingkuhan” gumam David asal.
“Sialan, lo!”
Martin dan David masih berpikir dan asyik dengan pikirannya masing-masing untuk mecari pacar bohongan Martin untuk rencana mereka.
“Kenapa jauh-jauh sih kita cari orangnya?” ujar Martin tiba-tiba.
“Maksud lo?” David mulai penasaran dengan orang yang di maksud Martin.
“Ya gampang. Orang nya ada di samping gue nih” tunjuk Martin ke arah David.
WEWW. David melongo.
“Lo bercanda yah tin, si mistress kan tau kalo gue ini teman lo” terang David.
“Iya juga yah, dia kan udah tau itu waktu acara di apartement lo itu”
“AHA!” tiba-tiba David seperti orang yang baru mendapatkan wangsit.
“Dimas! Dimas!” David menyebut nama salah satu temannya ketika SMA. “Dia pasti mau”. Dimas merupakan salah satu sahabat terdekat martin ketika SMA, bisa di katakan teman yg paling dekat waktu itu. Namun setelah selesai SMA, Dimas melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, sedangkan David di Jakarta. Namun komunikasi di antara mereka masih sangat intens, dan sekarang Dimas sudah kembali ke Jakarta karena ia memang bekerja di Jakarta.
“Yakin lo, dimas mau?”
David mengangguk mantap. “Emangnya kenapa? Dia pasti mau bantuin, Tin. Lo kan tau dia”
Well, dimas oke. Martin tidak keberatan di sangka pacar dimas. Orangnya rapi, macho, tapi berwajah manis dengan garis rahang yang halus. “Oke”.
David tersenyum senang. Masalah mereka bakal segera terselesaikan.
David mengeluarkan ponselnya. Jarinya sibuk menekan-nekan nomor.
“Ya, dav..?” Dimas langsung menyebut nama david begitu mengangkat telepon.
“Lagi dimana, Dim?”
“Di rumah. Apa kabar kamu, Dav?”
“Baik, kamu apa kabar ?”
“Aku baik. Dua hari yang lalu sempet flu sih. Lagi musim, kan. Ada apa nih?”
David menceritakan maksudnya. Berkali-kali dimas terkekeh geli mendengar kekonyolan duo itu.
“Kamu juga sih, Dav, ada-ada aja. Masa Martin mau kamu jodohin sama nenek-nenek?” kata Dimas geli.
“Aku kan tadinya seru-seruan aja. Tahu-tahu si Jepang bau tanah itu beneran jatuh cinta sama Martin. Kamu mau bantuin nggak?” kata David
“Hhmm.. bisa. Bisa. Aku bantuin deh. Jumat ini, kan?” kata Dimas akhirnya.
David mengacungkan jempol ke arah martin tanda berhasil. Masalah terselesaikan. “Makasih ya, Dimas!”.
“Kalau bonusnya turun bagi-bagi ya?” goda Dimas
“Beres. Ya udah ya, Dim…”
“Lho, kok udah?” potong Dimas kecewa.
Akhirnya jadilah David ngobrol panjang-lebar sama Dimas di telepon, dan Martin bersama ice chocolate dan apple turnover -nya Cuma jadi kambing congek sampai David dan Dimas puas bercerita-cerita.
Ini salah satu cerita favorit gw \(´▽`)/
Jujur dulu ga baca sampe ending gara2 gada gadget..
Bersukur bnget di update lagi...
Semoga lekas diupdate ƪ(‾.‾“)┐