It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ikutan love ma pnulisnya
Hahahahhaayyyy
HAH??? jangan2 abi pernah ama arif? :-O
si nabil ama arif tuh bukan witing tresno jalaran soko kulino, tapi witing tresno jalaran ora ono sing liyo.
@Kim leonard,@piocaprio. ah, aku masih betah sama babay. hoho
aku kasih lanjutannya buat yang masih mau baca.
Isal : ah, aku suka gak bisa ngontrol diri kalo inget kejadian itu. Terlebih waktu aku inget gimana cara amam ngeliat aku. Aku takut banget sumpah Bi.
W : ya..itu juga yang w takutin Sal. Tapi ya lambat ato cepet, pertanyaan itu pasti dating. Dan w juga gatau, keputusan w buat nikah desember ntar itu keputusan ato emang ketololan aja
Isal : susah ya cyin jadi bences
W : embwerr..
*****
Akhirnya pertanyaan ini muncul juga. Aku yakin lama-lama amam pasti akan bertanya hal itu, karena memang sampai saat ini aku belum pernah mengajak satupun teman perempuanku ke rumah. Amam memang tahu dulu aku sempat pacaran dengan Tania, yang sekarang masih di Singapura. Tapi aku sudah bilang bahwa aku tak bisa menjalani hubungan jarak jauh.
“Emangnya kenapa mam? Mungkin Isal sedikit terpengaruh teman-teman Isal, kalau pacaran itu lebih banyak mudharatnya. Dan tentu saja amam gak mau kan tiba-tiba ada seorang gadis dateng ke rumah sambil menangis dan mengandung anaknya Isal?” aku mencari dalih, tapi raut tak percaya amam masih kentara sekali. Apa amam curiga bahwa aku ini gay?
“Yasudah. Yang penting kamu jaga diri saja” aku was was dengan pesan agar aku menjaga diri. “Perasaan Aga gak pernah main ke rumah lagi ya sekarang.”
Ah, pertanyaannya merembet ke si Item. Aku tak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Terakhir dia nelpon saat aku sedang ikut acara baksos sama Wildan.
“Mmm..dia udah nikah mah waktu itu. Tapi memang untuk kerabat saja. Sekarang sudah punya anak katanya.” Takut-takut aku menjelaskan. Takut ketahuan bahwa dulu aku pernah suka sama dia. Ah, beginilah perasaan menjadi seorang yang berbeda. Aku belum siap diberondong pertanyaan bila mereka tahu bahwa aku ini gay.
“Oh..terus yang satu lagi, siapa namanya, amam lupa, mm..Habil apa siapa itu”
“Nabil?”
“Iya, Nabil yang waktu itu ngajak kamu ke Garut. Dia main ke rumah waktu itu, berapa kali ya?.” Apa, Nabil main ke rumahku? Aku sedikit terhenyak mendengar ucapan amam barusan. Aku yang memang setahun kemarin jarang pulang, tak tahu bahwa Nabil beberapa kali main ke rumahku. Tapi untuk apa? Kenapa dia mengunjungi keluargaku?
“Iya, waktu itu dia main ke rumah. Katanya kamu emang lagi sibuk, tiap sabtu-minggu, kalau gak lembur, ya ikutan kegiatan social kayak iikut kegiatan kemanusiaan waktu banjir Kerawang, ngunjungin panti asuhan, minta-minta sumbangan gitu..”
Ya tuhan..selama ini Nabil sering mengikutiku? Sampai-sampai dia tahu apa saja yang sering kulakukan? Kebiasaanku sebelum tidur, rutinitas liburku..dan..dia juga tahu bahwa sekarang aku sudah jadi pacarnya Wildan.
“Sal…”
“I-iya mam?”
Amam terlihat ragu-ragu, tatapan sendunya membuatku semakin takut. Takut atas apa yang akan terlontar dari mulutnya.
“Mam, apap siuman..”
Ah, teriakan kakakku menyelamatkanku dari tatapan yang membuatku terpojok itu. Dan kamipun langsung menghambur ke arah apap, dengan pikiranku yang tak karuan.
****
Apap pulang ke rumah sabtu sore, dan kakakku sengaja mengambil cuti dua hari karena masih ingin bersama. Kami memang jarang sekali berkumpul seperti ini. Terlebih saat kakakku mendapat pekerjaan di luar Cikarang. Suasana seperti ini seperti saat aku kecil dulu. Aku membantu Amam memasak penganan kecil, sedang apap menemani kakakku nonton. Apap dan kakak perempuanku memang memiliki hobi yang sama. Keduanya suka main tenis, dan suka sekali menonton pertandingan sepak bola. Berbeda denganku yang lebih senang membantu amam di dapur. Hmm, sepertinya aku dan kakakku memang terbalik jiwanya.
Dan karena aku sudah janji dengan anak-anak panti, minggu agak siangan aku pamit. Tak lupa aku juga mengajak mereka untuk sesekali berkunjung ke panti. Tapi kondisi apap yang masih dalam penyembuhan membuat mereka menunda dulu kunjungannya. Dan akhirnya akupun pulang sendiri ke kostanku. Aku tak mau amam makin curiga bila aku dijemput Wildan.
Dua hari sekali aku pulang ke rumah. Menginap di sana, dan suasana mulai terasa hangat lagi, seperti dulu. Tapi aku masih sering menghindari amam, aku tak mau kami membahas topik itu. Begitupun kakakku, sejak apap bedrest di rumah sakit, setiap hari libur dihabiskannya di rumah.
Tapi sejak saat itu, aku belum pernah lagi bertemu dengan Nabul. Ah, cukup sekali saja aku bertemu dengannya. Sekali bertemu saja hatiku terasa sakit sekali. Dan Gilang pun tak pernah membahasnya lagi. Ya, Nabil itu hanya masa lalu. Aku harus menjalani masa sekarangku, dengan Wildan.
Selepas kumandang adzan isya, aku langsung merapikan dii. Tas selempangku telah tersampir, saatnya kukeluarkan matikku. Tapi baru saja kubuka pintu, aku terhenyak karena seseorang sedang berdiri di depan pintu. Dibalik remang lampu, orang itu tersenyum ke arahku.
“Nabil??? Kamu…ngapain disini?” aku masih meyakinkan diriku bahwa itu benar dia. Itu adalah Nabil.
Dia tak menjawab, hanya berdiri dengan senyum tipisnya. Dan ransel di punggungnya menebar rasa cemas. Ransel yang mengingatkanku pada kejadian setahun lalu. Kejadian saat dia membawaku ke Ujung Genteng.
“Kamu mau kemana Maboy..?”
Aku menengok kanan-kiri, takut-takut Wildan ada disini, walaupun sebenarnya dia sepertinya sudah ada di dalam bis.
“Bil, please, jangan panggil aku Maboy lagi. Aku kan..” aku tak meneruskan kata-kata. Bukan pacar kamu lagi, ujarku dalam hati. Aku harus bisa menjaga batas ini. Ya, sekarang aku sudah jadi milik Wildan. Tapi kenapa aku merasa senang dengan panggilan itu? Panggilan yang membuatku merasa terlindungi? Merasa disayang? Ah, bodoh.
“Kamu mau ikut aku..Sal?” ada tekanan di kata ‘Sal’ yang membuatku kecewa.terdengar munafik kan, aku tak mau dipanggil Maboy, tapi merasa kecewa dengan panggilan Sal? Entah kenapa aku serasa ingin dipanggil Maboy lagi, sama seperti dulu sebelum drama itu muncul.
“Aku mau pulang ke rumah”
“Boleh aku maksa kamu ikut, sekali ini?”
Aku terpaku. Tapi tatap matanya yang penuh harap membuatku lemah. Tidak. Aku harus bisa menolaknya. Aku tak boleh mengkhianati Wildan, sekecil apapun itu.
“Aku..gatau mesti bilang apa. Tapi, aku hanya ingin membayar kesalahanku dulu karena udah ninggalin kamu. Aku..aku mau bikin kamu tersenyum. Sal, aku..minta dengan sangat, boleh?”
Ya tuhan..kenapa aku tak bisa mengendalikan diri? Bangun Sal, bangun bodoh. Dia itu hanya masa lalu kamu…tapi kenapa mulutku gagu, dan kenapa aku mengangguk?
Dia lantas menarik tanganku. Dan aku seperti tersihir olehnya. Dadaku serasa ingin meledak karena menahan rindu yang terus bertumpuk. Aku menahan sakit yang dulu, hanya sendiri, yang terus kutahan dan kututpi dengan tawa bersama Wildan. Ya, aku rindu dia. Aku sayang dia.
Motornya melaju dengan kecepatan gila, sama seperti dulu. Dan aku mulai menutup mataku, dan terasa tetasan itu mengalir sampai pipi. Kudekap badanku, kubaui lagi tubuhnya. Ya tuhan, aku tak bisa bohongi diriku, aku masih sayang sama dia, sampai detik ini.
“Kita udah sampai Sal” aku membuka mataku dalam pendar cahaya lampu kota. Dan aku mengedarkan mataku, mencerna posisiku dimana sekarang.
Dan satu tubuh tinggi tegap, dengan puncak menyala menyadarkanku bahwa sekarang aku sedang berdiri menghadap Monas. Entah kenapa dia membawaku kesini, ke tempat yang buatku tak ada sisi romantisnya. Sebentar, kenapa aku mengaharapkan dia membawaku lagi ke tempat romantic seperti dulu, dan mengisahkan filosofi-filosofi sederhana yang indah? Bodoh.
“Kenapa kita ke Monas, Bil?”
“Kamu tahu tempat ini?”
Aku mendongak, tapi dia masih saja melihat ke puncak monas yang menyala-nyala seperti api itu. Aku diam. Masih berkutat dengan pikiranku pada banyak hal. Pada kejadian-kejadian romantic dulu, saat aku dilabrak, saat terawa dengan Wildan di kostanku, saat berciuman dengan Nabil, saat dibonceng Wildan di Puncak…
“Sal..”
“Hhh, kita..di Monas??”
“Bodoh.” Dia tertawa pelan. “Nenek-nenek lagi koprol juga tahu ini Monas” Aku merengut. “Coba kamu lihat puncak itu. Kamu bisa ngeliatnya kan?”
Melihat apa? Aku mengernyit. Aku segera mengalihkan pandangan, melihat apa yang dia tunjuk. Puncak Monas. Apanya yang aneh? Hanya sebuah patung berbentuk kobaran api.
“Ini soal kisah cinta. Ya, lagi-lagi soal cinta. Cinta sejati. Cinta sejati yang tak banyak orang tahu.”
Kisah cinta? Apa hubungannya Monas dengan kisah cinta? Yang aku tahu Monas dibangun oelh Presiden Soekarno untuk mengenang jasa para pahlawan dalam bentuk kobaran api, yang katanya menunjukan semangat pejuang kita yang tak pernah padam. Lantas apa kaitannya dengan kisah cinta? Dan seperti dulu, dia begitu bias mengiaskan sesuatu yang filosofis dari hal yang tak terduga.
“Kamu gak paham juga?” Aku menggeleng.“Kamu tahu seberapa banyak istri presiden kita yang pertama, yang flamboyant itu?”
Aku menghitung, mengurut nama istrinya tapi ternyata aku tak ingat semua.
“Kamu tahu siapa yang paling dia cintai?”
“Ibu..Fatmawati??” ragu-ragu aku mencoba menjawab. Aku hanya ingat bahwa ibu Fatmawati yang menjahitkan bendera pusaka. Tapi kenapa Nabil tersenyum ganjil?
“Lantas, kenapa dia mengabadikan seorang wanita berambut panjang tergerai, agar bisa dia tatap setiap membuka jendela di pagi hari? Seorang wanita yang memakai mahkota?”
Aku semakin mengernyit mendengar lanturannya. Wanita bermahkota?
“Coba kamu lihat ke atas. Siapa yang kamu lihat?”
Aku pun kembali memerhatikan puncak Monas, dan..ya tuhan. Benar, aku melihat siluet seorang wanita yang sedang duduk bersimpuh. Wanita berambut panjang dengan mahkota di atas gerai rambutnya.
“Ya. Itulah cinta sejatinya presiden kita. Meskipun aku sendiri tak bisa memastikan siapa wanita itu. Banyak yang bilang itu Nyi Roro Kidul. Tapi apa peduliku? Yang kupedulikan adalah, betapa cintanya beliau sama wanita itu sampai-sampai dia membangun sebuah monument untuk buktikan betapa dia cinta. Dilapisi lima puluh kilo emas. Ah, aku ingin seperti beliau. Meski tak banyak yang tahu, tapi aku hanya ingin tuhan tahu, langit tahu, awan tahu, matahari tahu, dan semua tahu bahwa aku cinta, ya, aku cinta.”
Aku terperangah melihat raut teduhnya. Dibalik pendar lampu kota, dia berkedip syahdu. Apa dia ingin menunjukkan bahwa itu kiasan perasaannya padaku.
“Dan kalau aku jadi presiden nanti, aku juga akan membangun satu monument yang jauh lebih tinggi, lebih besar dari Monas, dan dilapisi satu ton emas. Patung seorang..”
“Bil..”
Dia menghentikan racauannya, lantas menatap syahdu ke arahku.
“Aku ingin membangun patungmu..” katanya sambil mengusap matanya.
Dadaku riuh dan mulai terasa panas. Ya tuhan, kenapa dia mengatakan hal itu? Kata-kata yang membuatku ambruk dan serasa ingin memeluknya. Kenapa dia selalu cengeng seperti itu? Mengusap matanya dan dengan tatapan itu membuatku ingin mendekapnya dan kembali menempatkan kepalanya di dadaku?
“Bil..udah malem. Kita pulang ya..” aku tak bias meneruskan ini semua. Ini salah. Kalau ini berlanjut, aku pasti lumpuh dan tak bias mengendalikan diri dan perasaanku.
“Sekarang jam berapa?” Aku memerhatikan jam tanganku. Sembilan lewat beberapa menit.
“Aku masih punya jam sebelum jam dua belas kan? Sebelum bel berbunyi dan kamu kembali menjadi jelek?” dia mengerling ke arahku. Dan aku hanya membatu, berusaha menguasai perasaanku sendiri.
Gerimis turun. Dan aku segera segera berdiri dan memnitanya segera berteduh. Tapi dia hanya diam saja. Dia masih saja terduduk sambil mendekap lututnya.
“Bil, kita berteduh…”
“Bukankah kamu suka hujan? Kamu gak ingat saat kita berlarian menerabas gerimis dulu?”
Ah, kenapa aku selalu punya segala momen dengannya? Segala tempat segala makanan segala film? Ya tuhan..
“Bil, aku gak mau kamu sakit..” dia menoleh cepat ke arahku. Lantas berdiri dan merangkul pundakku.
“Kamu gak mau aku sakit? Kamu masih peduli sama aku?” aku terdiam. “Jawab aku, kenapa kamu masih peduli aku sakit ato enggak? Kenapa tatapan kamu masih kayak gitu? Kenapa dada kamu berdetak kencang? Kenapa?” aku masih membatu. Tatapan matanya yang teduh itu kembali menenggelamkanku.
“Tolong jawab dengan jujur, kamu masih saying sama aku?”
Glek. Tidak, tolong jawab tidak Sal, please..
“Sekarang kamu tutup mata kamu, kamu lihat, siapa orang yang ada di kepala kamu”. Tidak. Aku tak mau. Aku tak mau terjebak permainannya lagi. “Itu fair kan. Kamu tinggal tutup mata kamu, dan bilang, siapa yang kamu lihat disana?” nadanya semakin meninggi dan sedikit mengguncang-guncang bahuku.
Kukeratkan tanganku dan terus mengucap nama Wildan dalam hati, agar wajah yang muncul adalah wajahnya.
Wildan! Wildan! Wildan!
Kututup mataku, sambil terus kusebut namanya.
“Siapa Sal, siapa yang muncul disana?”
Ah, aku kalah. Bayangan wajah Nabil, senyumnya, tawanya, redup matanya saat dia menangis, saat kami berciuman..
“Siapa Sal?” ucapnya lagi. Lirih sekali sekarang.
“Wildan” aku berbohong. Ya, aku berbohong. Tapi bukankah tak selamanya kita harus jujur? Ada kalanya berbohong itu lebih baik daripada katakana yang sebenarnya.
“Wildan ngajarin kamu bohong?” tatap matanya membuatku terhenyak. Aku gemetar. “Kamu dulu pernah bilang, mata gak pernah bias bohong kan?” nafasku memburu. Mataku terasa perih “ Dan aku lihat pupilmu sekarang sedang berbohong, dan dia gagal.”
Entahlah dia melihatnya atau tidak, air mataku rembes dan bercampur dengan gerimis.
“Sekali lagi aku mita kamu jujur, siapa yang kamu lihat waktu kamu nutup mata” ah, kenapa dia memaksaku untuk jujur. “Aku minta kamu jujur, dan kalau jawaban yang kedua masih orang itu, kita pulang. Aku antar kamu pulang”
Aku terpaku. Tidak. Aku tak boleh jujur. Persetan dengan semua ajaran tentang kejujuran.
“Siapa? Wildan?” aku terpaku mendengar suara lirihnya. Dan aku hanya diam saja tak menjawab.
Dia mengedip perlahan, lantas tersenyum dan segera menuju ke motornya.
“Baiklah, kita pulang sekarang..”
“Bil..”
“Kita pulang. Aku sudah gak berhak lakuin ini sama kamu. Aku sudah gak pantas buat bikin kamu senyum kayak dulu”
“Bil..”
“Aku harusnya tahu diri..
“Bil..”
“Aku..aku harusnya..
“Aku lihat kamu Bil..”
“Aku harusnya..”
Aku berlari dan mendekap tubuhnya dari belakang. Tubuhnya gemetar sekarang.
“Aku lihat kamu Myman..aku lihat kamu..”
Dia terdiam dan badannya semakin bergetar. Dia melepas pelukanku dan berjalan maju. Kepalanya tertunduk.
“Kita pulang..”
“Myman..aku masih sayang kamu, dengan sangat, sampai detik ini..” ujarku lirih. Dia menoleh dan langsung mendekapku dan menangis sesenggukan. Dan tanpa kusadari aku semakin merekatkan pelukanku dan terisak. Ya, aku tak bisa bohongi diriku sendiri. Aku sayang dia, aku sayang dia dengan sangat, sampai detik ini.
****
Jamaah hanya kami berdua. Tapi aku tak juga bias khusyu karena mataku tak bias lekang dari menatapnya. Bacaan surat pendeknya memang tak begitu lancer, tapi aku begitu terpukau dengan perubahannya sekarang. Dia berubah. perubahan yang membuatku semakin saying sama dia. Selepas sholat, kami berdua duduk di pinggiran teras. Mesjid ini tak terlalu ramai, mungkin karena memang sedang hujan. Walaupun biasanya mesjid ini penuh dengan orang yang berteduh atau memang sudah terbiasa menginap disini.
“Kamu..sekarang sholat, Bil”
“Ya, seperti kamu bilang dulu, tuhan tahu, dan Dia menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan kuasa-Nya.”
Aku terdiam. Dia mengingat kata-kataku dulu. Kata-kata sebelum drama itu terjadi. Kami berdua duduk mendekap lutut sambil memerhatikan air hujan yang jatuh dari talang air. Gelontorannya sesekali bersahutan dengan bising kereta.
“Kita tunggu sampai hujan reda, baru pulang”
Entah kenapa aku merasa kecewa mendengarnya. Aku masih ingin bersama dia. Habiskan malam dengannya, seperti dulu. Aku ingin bercerita banyak hal, aku ingin berbagi kisah dengannya. Aku ingin mendengar apa dan bagaimana dia sekarang. Apa saja yang kulewatkan selama setahun ini. Dan..kenapa dia masih mengikutiku? Tapi mulutku terkunci. Terkunci rapat karena komitmenku dengan Wildan.
“Bagaimana kabar Wildan?”
Aku mendongak dan membisu. Ah, aku tak mau membahasnya. Membicarakannya membuatku merasa bersalah telah mengkhianatinya. Akupun tak mau bicarakan Arif atau pun Nadia malam ini.
“Setahun kemarin kamu ngebolang kemana?” kualihkan topic, mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang hobynya itu, meskipun aku masih kaku dengan bahasaku sendiri. Tak ada nada merajuk atau nada manja seperti dulu.
“Ngebolang untuk apa? Aku tak punya seseorang yang ingin kutunjukan sesuatu yang baru, sesuatu yang akan membuat terkesima.” Dia mengimbuhinya dengan desah sambil tersenyum perih.
“Wildan udah ngajak kamu kemana aja?” aku memalingkan wajahku. Ah, kenapa dia mengarahkan peembicaraan kami kesitu lagi? Tapi apa dia cemburu? Setahuku, dia tak pernah sekalipun cemburu, pada si Item sekalipun. Lantas, apakah dia cemburu sama Wildan? Baiklah, sepertinya aku harus tahu.
“Dia..ya..kamu tahu lah, dia ngajak aku ke Taman bungan Nusantara, ke panti yang deket terminal Cikarang, ngajak aku ke kumpulan anak pesvanya, ngajar anak-anak jalanan, dan..setiap pagi aku udah disiapin segelas susu sama roti sama dia.” Aku sedikit memicingkan ujung mataku, melihat ekspresinya. Tapi dia hanya diam, dan tersenyum tipis. Ah, kenapa dia tak cemburu?
“Bagus lah. Setidaknya kamu gak segalaw aku. Gak sekalut aku. Gak hilang nafsu makan seperti aku. Gak stalking kamu tiap hari, gak datengin tempat-tempat yang dulu sempat kita datengin..gak..gak bias tidur karena terus mikirin apa yang akan terjadi esok, tanpa kamu, tanpa si kepo…”
Shit. Dia berhasil lagi membuat dadaku sesak. Aku mencoba mengatur nafasku sambil mengepalkan tanganku.
“Bagaiana kabar Arif?”
“Aku gak mau bahas dia”
“Egois. Kamu terus membuatku merasa bersalah, sementara..”
“Aku gak mau kamu mau kita ngobrol dan duduk disini denganku karena iba. Cukup aku yang tahu bagaimana kalutnya saat dia lagi-lagi mencoba bunuh diri. Bagaimana perasaanku setiap kali dia mengancam akan ngasih tahu Nin dan juga semuanya. Cukup aku yang rasa bagaimana rasa bersalahnya aku sama Nadia. Bagaimana perasaanku saat semua memojokkanku dan menyalahkan atas apa yang terjadi sama ku. Cukup aku yang tahu..”
Ya tuhan..aku tak tahu seberapa berat hidupnya sekarang. Aku yakin aku tak sanggup kalau ada di posisi dia.
“Maaf..”
“Maaf buat apa? Kamu gak salah. Tuhan gak salah. Semuanya gak salah. Arif juga gak salah. Yang salah itu aku. Kenapa aku bias terlahir ke dunia ini”
“Bil, kamu ngomong apa sih?” aku melihat kanan kiri, takut orang mendengar percakapan kami.
Dia terengah-engah sekarang.
“Udah hamper jam dua belas. Sebelum kamu berubah jadi jelek, kita tidur sekarang.” Dia membuka ranselnya lantas mengeluarkan sesuatu.
“Kamu pake sleeping bag ini. Tapi kamu ganti baju dulu. Nih..” dia menyerahkan satu lembar kaos dan satu celana training ke arahku. Dan wanginya yang membuatku terhenyak. Dia menyemprotkan parfum ke sukaanku pada kaos itu. Ya tuhan..
Dengan langkah terbata, sesekali kulihat ke arahnya aku menuju kamar mandi, mengganti baju dan celanaku dengan.yang dia kasih. Dan ketika sudah kukenakan, dan aku mematut di depan cermin, aku menatap diriku tak berkedip. Ada rajutan kecil di dada kiriku, SaBil. Sepertinya itu jahitan tangan. Ya tuhan..apa dia menjahitnya sendiri? Aku mengelur jahitan itu dengan ujung jariku. Dan mataku lagi-lagi terasa perih. Ah, aku saying dia tuhan..aku saying dia…
Aku kembali ke teras dan kulihat dia sudah tidur membelakangiku. Aku ikut merapat dan segera memakai sleeping bag yang dia berikan. Tapi sebelum tidur, kurapikan sweater rajutan yang menutupinya, sweater rajutan Nin yang selalu dia bawa kemana-mana itu.
Dan ketika aku mencoba memejamkan mata, aku mendengar dia berbisik di telingaku.
“Happy birthday..”
Aku terhenyak. Ya tuhan. Malam ini..ulang tahunku? Sesibuk inikah sampai aku lupa hari ulang tahunku sendiri? Dan..di hari penting dalam hidupku ini..Wildan yang pacarku sendiri malah tak ingat dan malah pulang kampong? Dan malah mantanku yang mengucapkan pertama?
Dan sebelum kupejamkan mataku. Aku berterima kasih pada tuhan atas kado yang indah ini. Lantas kucium bacu yang kukenakan. Hadiah ulang tahun darinya.
*****
Selepas sholat dia tampak mengemas ranselnya. Hmm, kita memang harus pulang. Ya, hujan sudah reda, dan jalanan masih sepi. Aku memang harus segera pulang.
Aku segera naik ke jok belakangnya dan dia mulai melajukan motornya. Sebentar, kenapa dia berbelok disini? Bukankah arah ke Bekasi itu bukan lewat situ? Ah, mungkin dia mau lewat jalan pintas. Tapi jalanan yang kulewati sekarang tampak semakin aneh. Ini jalan menuju pelabuhan?
“Turun”
Aku turun sambil mencerna tempat ini. Mau apa dia membawaku kesini? Setelah dia parkirkan motornya, kami berjalan melewati jalan yang becek. Sedikit berjinjit aku melintasi jalan ini. Dan dia pun menggulung celananya. Sampailah kami di dermaga. Di tangannya terselip dua buah tiket, dan entah kemana dia membawaku. Sebentar. Waktu itu bayu pernah cerita saat azam mengajaknya kesini. Apa Nabil juga akan membawaku kesana? Ke pulau Tidung?
“Kita mau ke pulau Tidung Bil?” aku mencoba memastikan. Tapi dia hanya mengerling sebentar sambil meloncat ke kapal. Akupun mengikutinya. Aku seperti terhipnotis olehnya, oleh imajinasi tentang romantisnya pulau tidung dengan segala mitosnya.
Dia sedikit merapikan ranselnya, lantas meraih tanganku. Aku hanya bias mengikutinya dan ternyata dia memilih duduk di atas geladak kapal. Langsung menatap laut di depan mata. Dan aku tak bias menahan diri untuk tak memastikan kemana destinasi kita.
“Bil..kit ke pulau Tidung?”
“Kamu pengennya kesana? Ke tempat dengan mitos itu?” Aku terdiam “Aku gak mau ngajak kamu ke suatu tempat dengan mitosnya tentang cinta yang abadi. Buatku, lebih baik aku mengajakmu ke tempat tanpa mitos, karena yang real itu jauh lebih penting.”
Baiklah, lebih baik aku diam saja, karena aku yakin nabil pasti akan membawaku ke tempat yang tak terduga indahnya.
****
“Selamat datang di Pulau Pari..” Dia bisikkan kalimat itu ditelingaku saat kapal hamper merapat. Aku terhenyak sebentar lantas tersenyum penuh arti padanya. Mataku mengerjap beberapa kali. Dan aku tak bisa menutupi rasa exitednya saat kapal ini mendarat di pulau Pari.
“Bil, ini beneran pulau Seribu itu?” Dia mengangguk pasti sambil memaikan kedua alisnya.
Kami berdua lantas turun dan kulihat kapal yang membawaku sudah kembali meninggalkan dermaga untuk melanjutkan perjalanan. Dan hal pertama yang dia lakukan adalah mencuri potoku yang sedang menganga. Sontak aku kaget dan dia langsung tertawa lepas sambil berlari meninggalkanku, dan aku baru sadar bahwa ransel yang dibawanya ditinggalkan juga. Dengan terpaksa aku menaikkan tas itu ke punggung dan..ehek..berat juga. Aih, kenapa sebagai cowok dia tinggalkan aku yang lemah ini dengan ransel besar ini? Ish, dasar.
“Hey, aku cemplungin aja ya ranselnya?!” teriakanku membuatnya menoleh, lantas kembali ke arahku. “Kan aku udah bayarin kapalnya..” Dia mengerling, dan aku merasakan kehangatan seperti dulu. “Dan..” dia meraih tas ranselku. “Im gona do anything for you maboy..” dan gombalannya kembali melambungkanku, membuatku tak tahan untuk tidak mencubit pinggangnya.
Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari sewa sepeda. Tak sulit ternyata karena banyak juga rumah yang menyewakan sepeda dengan tariff lima belas ribu.
Entah siapa yang mulai, tapi tiba-tiba kami saling dulu-duluan. Sama seperti dulu, tertawa, mengejek, merajuk dan tawa itu tak berhenti sampai dia berhenti di depan sebuah warung. Sambil medirikan tenda, dia memesankan dua minuman rumput laut, dan juga dua mangkok baso. Perutku memang sudah lapar. Dan tentu saja aku sudah kenal baik dengan anaconda yang dia pelihara di dalam perutnya.
Tenda sudah tegak, ransel pun sudah dia masukka. Kemudian dia menyuruhku untuk melepas alas kakiku. Dan benar saja, ini pasir putih terlembut yang pernah kutemui. Aku bermain-main sebentar dengan pasir yang gugenggam. Putih. Lembut dan hangat. Aku jadi ingat jam pasir pemberian si Item. Ketika aku sedang sedih, balikkan jam pasir itu. Dan kuanalogikan pasir itu dalam genggaman pasir ditanganku. Kujatuhkan, dan aku tersenyum. Pasir yang jatuh itu adalah segala rupa kesedihanku. Pasir itu habis, saatnya tersenyum dan menikmati sesederhana apapun yang ada di depanku.
Kami menikmati santap siang ini di saung yang menghadap pantai. Melihat rumpunan pohon bakau dan juga kapal yang sesekali melintas. Mendengar deru ombak dan desau angin. Melihat riak pantulan cahaya matahari yang menyilaukan.
“Udah lama aku gak ngerasain makanan seenak ini” katanya rakus. Aku tersenyum kecil. Dan seperti dulu, dia begitu khusyu kalau sedang makan. “Ah, kalau saja tiap hari aku makan sama kamu, perutku pasti jadi ndud” aku tersenyum geli mendengarnya.
“Boleh aku bilang maksih atas ini semua?” dia mengehntikan kunyahannya, lantas menatapku.
“Hmm, kamu kan ulang tahun maboy. Dan aku Cuma bias ngasih hal sederhana ini..”
Aku terdiam.
“Boleh aku manggil..Myman?” dia menatapku tak percaya, dan aku kaget karena dia tiba-tiba mencium pipiku dengan cepat. Seperti dulu. Stolen kiss. Aku mengusap pipiku yang sedikit belepotan dengan kuah baso, lantas merengut. Dia terkekeh pelan lantas berjalan meninggalkanku menuju warung itu. Aku mengedarkan mataku, takut ada yang melihat tadi.
“Teh, basonya nambah lagi.”
Aku memutar bola mataku mendnegarnya. Dia kembali rakus seperti dulu. Dan saat dia berbalik, dia membentuk hati dengan kedua tangannya, lantas meniupkannya ke arahku. Kutangkap dan kutempelkan tanganku di dada, sambil berujar pelan, loph you too Myman…
****
“Ini pantai perawan. Masih asri kan? Dan..ah, pasirnya lembut, tapi masih lebih lembut tangan kamu” aku tak bias menahan geli, dengan sedikit senang tentunya. “Tapi sayangnya kamu udah gak perawan kan sekarang?” aku mendengus sebal karenanya. Haruskah kubilang bahwa, sampai detik ini aktivitas ranjangku dengan wildan tak pernah sampai kesitu? Hanya sebatas menjamah, menggigit dan meremas aja? Ah, abaikan saja.
“Main ayunan yuk?”
Kita pun segera menuju ke beberapa pohon yang diikatkan beberapa jarring yang bias digunakan untuk tiduran. Ah, nyaman sekali ketika kurebahkan tubuhku disana. Aroma pantai, debur ombak, kilau cahaya matahari yang terpantul, desau angin..ah, aku kembali terhipnotis oleh syurga ini. Tapi tiba-tiba aku melihat nabil sudah berdiri di sampingku dan langsung menjungkalkan tubuhku sampai aku terjatuh. Dia tertawa dan langsung berlari sambil mengejekku. Akupun mengejarnya dan saling menyipratkan air lau dengan noraknya. Ah, tak apa. yang lain pun seperti itu.
Senja yang cantikpun dating. Matahari yang tampak kemerahan itu turun perlahan. dan aku merindukan suasana syahdu ini. Saat dia merangkulku seperti dulu. Saat kami membisu menikmati ini semua. Tapi..
“Cbyuurrr..” aku terjatuh dan kudengar dia tertawa.
“Arghht..” semua bajuku basah dan aku merengut. Sementara dia tertawa lepas. Akupu bangkit dan langsung mengejarnya.
“Makanya peluk aku biar aku gak bias macem-macem” dan mau tak mau aku tertawa mendengarnya. Dia berdiri di depanku lantas meraih tangaku dan melingkupkannya di di pinggangnya. Aku tersenyum melihat sikapnya. Ah, dia selalu saja menggemaskan seperti ini.
“Indah ya Maboy?”
“Ya, seindah kamu, gak ding, indahan sunset itu daripada kamu”
“Hmh…”
Dia menengok ke kanan. “Kamu gak mau nyium aku?” aku terlonjak, dan ..”Aku lagi pengen dicium..” rengeknya manja. Aku melihat sekeliling dan..cup. akupun mencium cepat pipinya.
“Lagi..” dia merengek seperti anak kecil dikasih eskim. Aku memutar bola mataku dan ketika aku hendak mencium pipinya, secepat kilat dia membalik tubuhnya dan mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku terlena merasakan hangat hatiku, lembut bibirnya dan suasanaindah ini. Aku memejamkan mataku dan membiarkan kami terlena, memuaskan rasa rindu yang tertahan ini.
******
Hujan mulai deras sejak kami beranjak dari pantai perawan. Tak ada penerangan jalan, tak ada cahaya bulan, kami berdua mengayuh dibawah deras hujan, berharap segera sampai tenda. Aku memaksa Nabil agar terus mengayuh karena menunggu hujan reda itu tak pasti. Sampai di tenda, bajuku basah kuyup dan aku mulai menggigil kedinginan. Dia menatapku khawatir.
“Kamu gapapa Maboy?”
Aku mengangguk, padahal aku mulai merasa badanku panas di dalam, tapi terasa dingin yang tak nyaman. Ah, sepertinya aku akan demam. Dua hari berturut-turut aku kehujanan. Aku harus melakukan sesuatu agar aku tak kedinginan. Aku menggosok-gosokkan tanganku. Ah, sial. Kenapa aku harus demam di saat seperti ini?
Nabil memegang dahiku dan tampak semakin cemas.
“Kamu demam. Kamu buka baju kamu.” Nafasku memburu dan terasa panas saat kuhembuskan. Nabil pun langsung membantuku melucuti bajuku, lantas dia mengeluarkan sweaternya dan mengenakannya di tubuhku. Dia balurkan minyak kayu putih ke seluruh badanku tapi sepertinya itu tak berefek banyak. Aku masih menggigil kedinginan. Dia tampak mengaduk-aduk ranselnya, dengan tampang semakin cemas.
“Anjing, obatnya ketinggalan. Arght..” aku melihat raut kesal bercampur khawatir. “Kamu tunggu disini ya, aku cari obat dulu” dia hendak keluar, tapi aku segera memegang tanganya.
“Jangan tinggalin aku Myman..jangan tinggalin aku..” aku merajuk seperti anak kecil. Entahlah, perasan takut tiba-tiba merasukiku. Aku hanya ingin bersama dia. Ya, aku hanya ingin ada disamping dia.
Dia mengeraskan rahangnya lantas mengeluarkan jas hujan dan segera membalutkan ke tubuhku. Dia mengangkat tubuhku dan dibawah deras hujan, dia berlari sambil menggendong tubuhku, terus berlari dan sesekali terisak. Dadaku terasa panas. Bukan, bukan karena demam yang melandaku, tapi aku tak tahan melihatnya begitu cemas dan kalut saat ini.
“Sabar maboy, bentar lagi kita akan dapat obat. Aku janji, aku janji aku rela nukar nyawa aku demi aku”
Ya tuhan, di bawah deras hujan aku menangis tersedu-sedan mendengar kenaifannya.
*****
Aku terbangun an mendapati sesuatu yang hangat di dahiku. Sebuah handuk basah ternyata yang menempel disitu. Lamat-lamat kudengar obrolan, dan aku mengenali satu suara itu milik Nabil. melihatku berusaha bangun, nabil langsung mengahmbur ke arahku dan membantuku duduk.
“Kamu jangan bangun dulu Maboy, Sal. Kamu istirahat dulu aja”
“Iya, jangan dipaksain.” Seorang bapak-bapak berpeci tampak ikut tersenyum ke arahku.
“Ini diminum dulu the manis nya, sengaja ibu kasih jahe biar anget badannya.” Seorang ibu paruh baya yang agak gemuk badannya mengahmpiriku dengan secangir the yang masih mengepul. Nabil menyongsongnya lantas menyendokkan the dan meniupkannya. Dia menyuapiku seolah aku ini bayi. Ah, malu sekali aku saat ini.
“Maaf, aku jadi ngerepotin..” ujarku tak enak.
“Ah, kamu ini. Tugas kita kan saling tolong menolong. Dan saya malah senang dapat keluarga baru. Bu, tolong ambilkan nasinya. Kita makan dulu.”
“Iya, ini tadi ibu masak ikan, ya lumayan lah buat lauknya.”
“Iya, ayo Pak, Bu, jangan malu-malu” semua tertawa mendengar candaan Nabil yang bukan pemalu, tapi sering malu-maluin itu.
*****
Hujan sudah reda, dan ketika si mpunya rumah meminta kami tidur di rumahnya. Pembawaan Nabil yang supel membuat suasana mala mini terasa hidup. Kami bertukar kisah, lebih tepatnya si bapak bertukar kisah dengan Nabil. Si bapak yang seorang nelayan tampak berapi-api mengisahkan perjalanan masa mudanya mengelilingi nusantara. Jiwa petualangan Nabil pun tersulut. Dengan antusias Nabil memberondong beliau dengan banyak pertanyaan. Sedang aku, hanya sesekali ikut pembicaraan meraka dan akhirnya aku malah asyik bermain dengan si bungsu yang masih duduk di kelas SD itu.
Suasana hangat kentara sekali di rumah ini. Dan aku kembali merasakan suasana penuh tawa seperti dulu, dengan orang yang bahkan tak kami kenal.
“Pak, udah jam dua belas. Kasian, mereka kan harus istirahat..”
“Iya Bu, ah..kalian menginap disini dua atau tiga hari kan?”
Nabil menatapku lantas tersenyum kea rah si bapak.
“Pengennya sih agak lamaan Pak. Tapi kayaknya besok paagi juga kita harus pamit pulang”
Aku melihat ada raut kecewa pada wajah si bapak. Mungkin beliau masih betah dan senang karena bisa bercengkrama dengan orang seberang seperti kami.
“Ah, sayang sekali. Udah, kalian disini saja, seminggu juga gak apa-apa.”
“Ya begitulah si bapa. Sejak si sulung gak pulang-pulang, jadinya kami sering kangen sama dia.”
“Iya, kalian sudah kami anggap anak sendiri.”
“Ya kami juga pengennya lama pak, tapi ya gimana lagi. Kami kan harus kerja juga..”
“Yah..tapi kalau kalian ada waktu, lagi liburan panjang, main aja kesini. Mau seminggu, sebulan atau setahun pun taka pa..”
“Insya alloh pak..”
“Udah Pak, kasian mereka mesti istirahat. Yaudah, kalian tidur di kamar depan ya. Kamarnya si sulung. Kami mau tidur dulu, yuk Pak”
“Makasih Pak, Bu..”
Setelah si bapak dan si ibu masuk ke kamar mereka, tiba-tiba aku merasa kikuk. Sudah lebih dari setahun, dan kini kami harus tidur sekamar lagi.
Dia berdiri lantas mengulurkan tangannya ke arahku. Aku masih diam saja.
“Ah, kamu masih manja kayak dulu.”dia sedikit jongkok lantas merangkul pahaku. Aku seperti terhipnotis dan tak melawan. Dan aku malah melingkarkan tanganku ke lehernya. . Dia membopongku ke kamar tidur, dan mata teduhnya terasa menentramkan sekali.
Dengan lembut dia menurunkan tubuhku, dan kami pun lantas rebahan. Senyap. Suara serangga malam tak terdengar. Angin seperti tak ada yang berhembus. Yang terdengar hanya deru nafas kami berdua. Perasaanku tak karuan. Dan sialnya, hawa dingin mulai terasa. Mungkin ini efek hujan yang mengguyur dari tadi petang. Kami berdua saling meoleh, dan entah siapa yang mulai, kini kami berdua saling melumat. Ah, lagi-lagi pikiranku sudah dikuasai setan cabul. Dan dia, atau aku barangkali, semakin beringas. Ciumannya turun ke leher dan ketika kancing bajuku hamper terlepas, tiba-tiba terbayang wajah Wildan. Ya tuhan. Cukup. Sudah cukup. Ini sudah terlalu jauh. Aku tak boleh mengkhianati Wildan terlalu jauh.
“Mymannhh..”
Dia berhenti mencucup putingku dan menatapku dengan nafas memburu. Aku menggelengkan kepalaku, tanda aku tak mau meneruskannya lagi. Dia merajuk, tapi aku tetap menggeleng. Akhirnya dia bangkit dengan raut kecewanya.
“Maaf, aku gak bisa…”
“Kamu masih sayang sama aku?”
“Apa mataku berbohong soal itu? Ini masalah…komitmen. Aku..aku..gak mau berbuat terlalu jauh. Mungkin aku naïf, aku munafik karena aku rindu kamu dengan sangat, rindu tingkah nakal kamu, rindu..rindu semuanya “ aku tidak menemukan kata yang pas untuk kata ‘permaianan ranjangn’-nya yang melemaskan, yang membuatku kelojotan seperti dulu meskipun tanpa ada yang masuk-dimasuki.
“Ya, aku ngerti. Dan buatku, hati kamu lebih penting daripada sekedar tubuh kamu.”
Aku mendekpanya dari belakang. dan aku membaui tubuhnya lagi, dan aku terbangun masih sambil memeluknya.
****
Tangannya menggenggam erat tanganku di kapal motor Kerapu ini. Setelah bangun agak telat, dan perpisahan yang sedikit dramatis, kami pamit pulang. Dan berhubung kami ketinggalan kapal besar, akhirnya kami pulang dengan kapal kerapu ini.
Tak sampai satu jam kami sudah sampai di pelabuhan tanjung Bening. Kami lanjutkan sampai ke tempat motor Nabil diparkirkan. Dan sepanjang jalan kami berdua lebih banyak diam. Aku dirasuki rasa bersalah yang sangat karena telah mengkhianati Wildan.
Ah, bagaimana kalau Wildan melihatku dibonceng Nabil? ah, aku sebaiknya minta diturunkan saja di terminal. Aku tak mau ada orang yang mengenalku, sedang dibonceng Nabil dan akan menyulut masalah baru nanti.
********************
Setelah membuka pintu kamar, aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan, tapi dia langsung masuk dan tanpa banyak bicara langsung naik ke atas ranjang dan menarik selimutnya. Dan hal seperti inilah yang paling kubenci. Dia selalu saja seperti ini. Pasti ada yang sedang mengganjal pikirannya saat ini. Apa ini ada kaitannya dengan kesehatan ibunya? Mungkin.
Aku hanya bisa duduk dipinggir ranjang sambil menatap tubuhnya yang terbungkus selimut. Dia pasti lelah, dan lebih baik besok saja hal ini kami bicarakan. Sekarang lebih baik aku tidur dan berharap tuhan menghadirkan keindahan dalam mimpiku.
Suara kokok ayam terdengar saling menyahut. Dingin masih merayapi bumi, membekukan semua mahluk. Mataku membuka dengan perlahan dan sekarang aku melihat satu lembar selimut telah menutupi tubuhku. Rupanya dia semalam telah menyelimutiku.
Aku segera bangun, tapi tak mendapatinya disampingku. Aku segera bangkit dan mencarinya. Kulihat dia sedang menyeduh kopi susu. Bau wangi tubuhnya menandakan bahwa dia telah mandi.
Dia sedikit kaget ketika tahu bahwa aku sudah berdiri di belakangnya. Dia mencoba tersenyum dan menyerahkan cangkir yang masih mengepul itu padaku.
“Maaf buat semalam. Kepalaku terlalu pusing. Sekarang kamu minum dulu ya kopi susunya.”
Aku menyesap kopi susu itu lantas menaruhnya kembali diatas meja. Aku belum sholat shubuh. Aku lantas mengambil air wudlu kemudian menggelar sajadah untuk segera sholat. Tapi saat aku megenakan sarung, dia segera menggenggam tangannya.
“Tunggu. Kita shubuh berjamaah” katanya cepat dan segera berjalan cepat ke kamar mandi hendak mengambil air wudlu.
Aku tersenyum melihatnya. Dia memang jarang sekali melaksanakan sholat, terlebih sholat shubuh. Dan aku tak pernah memaksanya. Kadang dia hanya memandangku saat hendak sholat, tapi aku selalu pura-pura sibuk melakuan apa saja.
Aku tersenyum melihatnya yang sedang memakai sarung. Dan hanya tertawa geli karena melihat lipatan sarungnya yang tak rapi. Dia memang tak pandai memakai sarung, dia selalu bilang, tapi tak apalah, yang penting kan menutup aurat. Ah, yang lebih penting aku sholat, terserah tuhan mau menerima pahalaku atau tidak, dan aku hanya geleng-geleng dibuatnya.
Setelah sholat, aku mulai mengaji sekarang, melantunkan ayat-ayat suci itu dengan tertib. Dia hanya diam mendengarkan, menunduk. Dan sekarang dia merebahkan kepalanya dipahaku. Dia tersenyum ke arahku, kemudian kulanjutkan membaca ayat-ayat suci itu sambil mengusap rambutnya.
Setelah selesai kuraup wajahny dengan kedua tanganku lantas meletakkannya dimeja kecil.
“Du..maaf karena aku belum bisa gantikan posisi Nabil sama Aga di hati kamu.”
“Sstt..kamu ngomong apa sih Ta..Aku sayang kamu, dan kamu tahu itu. “Aku mengernyit. Apa dia tahu kejadian kemarin? Ah, tak mungkin.
“Apa lebih baik aku mundur Du?”
“Kamu ngomong apa sih Ta? Jangan ngomong yang enggak-enggak deh.”
Kataku lantas berdiri. Dadaku bergemuruh. ada perasaan takut melandaku. takut kalau Wildan tahu kemarin aku mengkhianatinya.
“Aku memang cinta kamu dengan sangat, tapi kalau kamu gak juga bahagia hidup samaku, buat apa aku paksain? Bukankah lebih baik aku lepasin kamu hidup dengan pilihan kamu, aku gak mau kamu terpaksa hidup sama aku, dengan kesederhanaanku, dengan sifat kekanakanku”
Aku terdiam mengeratkan rahangku. Kenapa dia bicara seperti itu?
“Kadang aku ingin marah sama kamu, kenapa kamu terlalu jujur sama aku. Apa kamu gak tahu kalo aku cemburu setiap kali kamu nyebutin nama Aga dan nabil? Tapi inilah resiko mencintai. Kadang aku merasa aku gak layak buat kamu. Aku tak punya sesuatu yang special, sesuatu yang akan kamu kenang nantinya. Tak seperti Aga yang kamu kenang dengan mengaji setelah shubuh, atau bersepeda ketika kamu ingat Nabil. “
“Kamu ngomong apa sih Ta?" aku merasa mataku perih sekarang. kenapa dia bicara seperti itu?
“Aku..aku gabisa Du. Aku gak bisa..” dia menutup mukanya sekarang dan kulihat otot tangannya mengeras. ah, kenapa harus ada pertengkaran di pagi hari?
“Preettttt..tetetetet…selamat ulang tahun..” secara serentak Gilang, Bayu dan Azam masuk sambil membawa kue tart dan dengan topi kerucut di atas kepala mereka. aku ternganga dengan perasaan ingin meledak.Ah, entahlah, aku harus merasa lega atau bagaimana sekarang. Tapi tadi perasaanku sudah tak karuan. Aku takut Wildan beneran tahu bahwa kemarin aku sempat mengkhianatinya. Aku sampai hampir jujur sama Wildan bahwa kemarin aku dibawanya ke pulau Pari. Tapi untungnya ternyata itu adalah kejutan. Kejutan yang membuatku hampir mati.
“Haha. Liat Ay mukanya Isal. Huhu, yaoloh Sal..muke lo udin kayak apipah..”
Aku masih mengatur nafas sekarang. Ah, perasaanku tak karuan sekali dan badanku sedikit gemetar karenanya. Yap, aku harus kembali menguasai diriku sendiri. Everything is fine. Wildan gak tahu. Ya, mereka tak tahu aku kemarin seharian bersama Nabil. Ah, ternyata begini rasanya selingkuh.
“Sory ya Du..aku telat ngucapinnya. Kemaren emang saking kalutnya waktu denger mamah masuk rumah sakit, aku buru-buru pengen nyampe Bandung.”
“Huh. Iya, kita juga mau ngasih sureprise juga kan gak ada si Onyonnya..”
“Yes, ntar malem kita makan enyak donk Kang. Yeyeye, lalala, yeyeyelalalala. “ kata Gilang sambil menirukan gerakan penonton Dahsyat yang super alay itu, dan langsung disambut cibiran Bayu.
“Sekarang kamu tiup lilinnya Sal”
“Tapi byasose cyin, make a wish duyu lah..yey mayones samiun tuhan, yey hepi salma selamiun..”
“Ih, bahasa yey, rumpita tralala deh..” Wildan menimpali dengan ikut-ikutan gaya lebay Bayu.
“Huah..aku terjebak di planet mana ini..” Gilang berteriak sambil mengacak-acak rambutnya.
Dan semua riuh tertawa, sedang aku hanya bisa berdoa dalam hati agar tuhan memberiku kebahagiaan yang lepas. Dan bodohnya, aku mohonkan agar bahagia itu datang dari dia, Nabil.
*************
Isal : hemeh banget lah Bi. aku juga bingung waktu itu. Tapi yang namanya hati tuh gabisa boong. Aku sayang dia, dan..aku kangen dia banget. Toh kita udah lama banget gak ketemu. Dan..ah..
W : fuh. Terus, wildan?
Isal : …