It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku dapat melihat dengan jelas wajah Will dari pantulan cermin kamar mandi yang sedang kuhadap, walaupun tidak dalam jarak dekat. Setelah sepuluh menit yang lalu aku tak kunjung mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi, saat itu pula aku tahu bahwa Will masih belum melakukan apa yang kukatakan. Sekarang, dia hanya berdiri diam di sana dengan pandangan kosong seolah tidak menyadari kehadiranku di sini. Dia juga masih terlihat lesu dan tidak bersemangat, tidak berubah sama sekali sejak aku melihatnya pertama kali ketika dia dan Sarah pulang dari Gangnam. Dia memang tersenyum, tapi aku tahu senyum itu hanyalah kamuflase yang dia ciptakan agar aku berpikir keadaan tidak seburuk yang kukira.
Aku melangkah pelan mendekat ke arahnya, membuatku berhasil mendapatkan perhatian darinya karena pandangan kami bertemu melalui cermin yang ada di hadapannya. Will menolehkan kepalanya ke samping ketika tangan kananku sudah menyentuh bahunya. Dia masih tak bersuara saat aku mengusap kulit punggungnya dengan ibu jariku sampai pada akhirnya aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya, memeluknya dari belakang.
Sampai sekarang aku masih tidak berani mengungkit hasil pertemuannya dengan keluarga Choon Hee karena hanya dengan melihat gelagatnya yang sama sekali tidak menunjukkan sebuah kebahagiaan, aku sudah bisa menerka sendiri walaupun tidak tahu bagaimana persisnya. Jadi, kata-kata seperti ‘lebih baik kamu mandi dan istirahat dulu’ keluar pertama kali dari mulutku daripada pertanyaan seperti ‘apa semuanya baik-baik saja’ saat aku membukakan pintu rumah untuknya. Sangatlah keterlaluan jika aku sampai tega membahas langsung dan menanyakan semua yang telah terjadi jika pada kenyataannya beban yang ditanggungnya terlihat semakin berat. Aku memang ingin sekali Will membagi beban itu denganku, tapi akan kulakukan dengan cara lain, kali ini dengan caraku sendiri tanpa memintanya secara langsung.
Aku mengecup lehernya, membuatnya memejamkan mata untuk sesaat. “Bukankah tadi aku menyuruhmu untuk langsung mandi, Will?”
“Tadinya aku memang ingin mandi, tapi di saat yang sama kamu justru membuka pintu. Tentu saja aku tidak mau kamu melihatku dalam keadaan telanjang.”
Aku tertawa pelan, begitu juga dengannya. “Bukankah aku berhak untuk itu?”
Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan kembali meluruskan padangannya pada cermin untuk menatap langsung banyangan wajahnya sendiri. Tidak lama setelah itu, aku merasakan tangannya mengusap pelan lenganku yang masih melingkar di lehernya.
“Aku minta maaf, Tim.”
“Will, untuk malam ini bisa aku mendapatkan peranku lagi? Kita bisa bertukar posisi karena kamu jauh lebih membutuhkannya. Tidak ada yang dibahas kecuali kita berdua, oke?”
Kali ini, aku memang sedang memaksa Will. Aku memaksanya untuk kembali bersikap egois, hanya memikirkan kami berdua dan tidak menghiraukan yang lain. Aku melakukan itu karena memang tidak ada pilihan lain dan kuharap Will mampu menangkap maksudku, walaupun dia seperti enggan untuk berkomentar.
“Will, malam ini kamu butuh pengalih perhatian.”
Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan, seperti sudah mengira bahwa cara itu tidak akan berhasil mengingat apa yang telah dia alami seharian ini. Mungkin, dia tadinya berpikir bahwa kata terakhir yang terucap dariku setelah ini adalah memintanya untuk tidur cepat. Tapi itu tidak akan kulakukan. Membayangkan Will berbaring di tempat tidur dengan gelisah, sama sekali tidak ada dalam rencanaku malam ini. Jika lelah pikiran berkemungkinan tidak akan membantunya untuk tidur cepat sehingga dia tidak bisa menikmati waktu istirahatnya dengan tenang dan pulas, salah satu cara tersisa yang bisa kulakukan untuk membantunya adalah membuat fisiknya lelah. Setidaknya, aku akan merasa sangat berguna di saat-saat seperti ini mengingat selama tiga hari terakhir akulah yang selalu bergantung padanya.
“Bukankah seharusnya jika aku sedang tidak tenang karena ada masalah yang mengangguku, kamu akan memberiku waktu untuk sendiri dan berpikir, Tim? Sama seperti apa yang selalu kamu lakukan ketika kita di Assen.”
“Ya, tapi sepertinya aku akan membuat pengecualian kali ini. Lagipula itu cara lama, Will. Sekali-kali aku ingin memakai caramu.”
“Tapi, Tim...”
“Will, kamu benar-benar membutuhkannya. Aku jamin kamu pasti bisa melakukannya. Selama ini, bukankah aku selalu hebat dalam hal itu? Jadi, mau mencobanya?”
“Tapi kamu tahu kalau aku tidak mungkin pernah bisa untuk berhenti memikirkan Anthony, Tim. Apalagi besok adalah hari terakhir.”
“Tapi kamu tidak mungkin memikirkan jalan lain untuk menghadapinya jika pikiranmu sedang kacau malam ini, Will. Satu hal lain yang harus kamu tahu bahwa aku tidak akan tinggal diam.”
Sekali lagi pandangan kami bertemu melalui pantulan cermin. Sebelumnya aku memang selalu mengijinkan Will masuk ke dalam diriku melalui tatapannya, kemudian merubuhkan pertahananku dari dalam dan membuatku selalu kalah dengan mudah terhadap semua keinginannya. Tapi malam ini, aku tidak akan mengalah. Sekaran gaku memang sudah menantang Will secara terang-terangan dan mau tidak mau kali ini dia akan kesulitan untuk menguasaiku. Aku memang tidak akan pernah bisa menjamin semuanya akan beres begitu aku ikut campur. Aku juga tidak tahu apakah justru nantinya keadaan akan memburuk setelah aku terlibat lebih jauh. Tapi, setidaknya aku sudah ikut berusaha dan tidak membiarkan Will melakukan semuanya seorangdiri.
Aku sebelumnya juga mengeluhkan ketidaktahuanku tentang apa yang akan kuperbuat jika sampai mendapat kabar buruk dari pertemuan Will dan keluarga Choon Hee. Tapi entah mengapa saat aku menantang Will beberapa saat yang lalu dan menguatkan diriku agar tidak tinggal diam, seolah saat itu pula aku sudah tahu apa yang harus kulakukan untuk memulainya. Mungkin semuanya akan ditentukan hanya dalam hitungan dua puluh empat jam sebelum Ibu Will dan Anthony tiba di Seoul. Tapi, jika Young Min saja bisa dan sampai berani mengambil sebuah keputusan yang bertentangan dengan apa yang dia pegang teguh sebelumnya hanya dalam hitungan tiga detik, maka siapa yang akan tahu bahwa satu hari besok semuanya akan berubah. Siapa yang akan tahu bahwa hanya dalam satu hari, aku bisa mengatasi semuanya. Sama seperti Young Min, aku hanya perlu yakin pada diriku sendiri bahwa aku bisa melakukannya. Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang kurasakan atau apa yang kupikirkan jika hal tersebut benar-benar terjadi. Setidaknya, sampai detik ini aku masih menganggapnya sulit untuk kulakukan, jika aku memang harus benar-benar melakukan sesuatu.
Kesadaranku pulih seketika karena Will memutar tubuhnya hingga menghadapku. Tanganku sudah tidak bisa lagi melingkar di lehernya atau menyentuh pundaknya. Sebaliknya, kedua tangannya sudah berada di atas bahuku, mencengkeramnya sedikit kuat karena sepertinya aku telah berhasil membuatnya kesal
“Aku sudah bilang berapa kali soal ikut campur?” Dari nadanya berbisik padaku, dia tidak terdengar sedang kesal, melainkan lebih menunjukkan rasa cemasnya seperti biasa. “Kamu pikir aku akan membiarkanmu ikut campur begitu saja?”
Kami pernah membahas hal ini sebelumnya dan semuanya berakhir begitu Will meyakinkanku bahwa tidak ada sama sekali maksud untuk menganggapku sebagai orang asing yang memang tidak perlu ikut campur.
Aku masih diam, memandang dalam-dalam kedua mata abu-abunya sampai pada akhirnya dia menambahkan, “Apa aku harus mengingatkanmu lagi, Tim? Selama aku mengenalmu, memang kamu selalu bisa mengatasi masalah yang terjadi di antara kita. Aku yang mudah kesal dan cemburu, aku yang boros, aku yang marah-marah untuk hal sepele dan apapun itu. Tapi yang kita hadapi kali ini adalah keluargaku, Tim. Dan sejauh yang kutahu, semua hal yang berhubungan dengan keluargaku selalu dengan mudah membuatmu panik. Kamu tahu apa yang kumaksudkan? Aku sudah bilang padamu sebelumnya.”
“Dan kamu akan selalu membiarkanku tidak tahu apa-apa atau tidak melakukan apa-apa seperti orang lumpuh? Kamu melarangku pergi dari rumah ini ketika mengetahui kesehatan ibumu sedang tidak baik, menyuruhku untuk tidak menghindar, dan menyuruhku untuk menganggap ini rumahku, kalian keluargaku. Tapi sampai sekarang kamu masih tidak membiarkanku ikut campur?”
Kedua tangannya terlepas dari pundakku dan Will melipatnya di depan dadanya, memandangku lekat seperti berusaha untuk kembali menjebol pertahananku. “Itu berbeda dan kamu tahu itu, Tim. Aku memang ingin kamu menghadapi mereka, bukan menghadapi masalahnya dan memikirkan jalan keluarnya. Kamu tahu apa yang kutakutkan jika kamu sudah merasa panik? Aku takut kamu berubah menjadi orang paling baik sedunia begitu saja. Aku takut kamu tidak lagi bisa berpikir tenang sehingga mungkin saja kamu justru mengorbankan diri agar masalah yang sekarang selesai dengan mudah. Dan kamu mengorbankan diri itu sama artinya kamu mengorbankan kita.”
Aku terpaku di tempatku berdiri, terasa beku. Aku berusaha kembali memikirkan semua hal yang tengah terlintas di kepalaku. Kesehatan ibu Will yang sedang tidak baik, pernikahan Anthony yang terancam, Young Min yang masih terjebak perasaannya padaku, Will yang selalu berusaha melakukan semuanya seorang diri, dan kepulangan kami ke Korea yang bisa saja sia-sia. Semuanya memang tidak baik dan bukan masalah remeh, dan apakah itu yang ditakutkan Will jika aku benar-benar menghadapi semuanya secara langsung? Apa aku selemah itu di matanya? Apakah perjuanganku setahun yang lalu membawanya ke Assen belum cukup membuktikan bahwa aku adalah orang yang kuat?
“Katakan saja kalau aku berlebihan, tapi aku hanya takut jika pada akhirnya kamu akan melepasku, Tim. Lihat saja contoh kecilnya, kemarin kamu ingin jauh dari sini hanya karena mencemaskan keadaan ibuku yang bisa saja memburuk, padahal itu belum pasti. Lalu apa yang terjadi jika kamu sampai menghadapi langsung masalah yang lebih besar, terlebih sampai mengambil sebuah keputusan? Apa kamu akan menyerah? Kamu pikir aku akan membiarkan itu terjadi begitu saja?”
Mulutku terkunci, tenggorokanku terasa sakit, lidahku menjadi kelu secara tiba-tiba. Aku tidak bisa berucap untuk membela diri, seolah Will telah kembali berhasil menghancurkan tembok-tembok itu. Tembok yang mustahil untuk kebangun lagi karena semuanya melebur menjadi debu. Dia memang tidak terlihat meragukanku, tapi mungkin rasa cemasnyalah yang menimbulkan pikiran yang tidak-tidak itu, sama seperti apa yang pernah terjadi padaku. Tapi, apa yang dikatakan Will dalam kalimat terkahirnya, sama sekali tidak ingin kupikirkan. Aku yakin bahwa masih ada sedikit kekuatan yang selalu membuatku bertahan dan mempertahankan Will, mempertahankan apa yang kami perjuangkan. Tidak terpikirkan olehku sama sekali tentang melepasnya ataupun menyerah pada keadaan. Aku tidak selemah itu. Maksudku, apa aku terlihat selemah itu?
“Bagaimana dengan setahun lalu? Apa itu belum cukup untuk membuktikan semuanya?”
Will menghela napas panjang kemudian mengalihkan pandangannya pada langit-langit kamar mandi tepat di atasku. “Maaf, Tim. Tapi kali ini aku tidak akan mengambil resiko sedikitpun. Tidak setelah apa yang kita alami.”
Entah kenapa, ada sedikit rasa kesal yang muncul sehingga aku menaikkan nada bicaraku secara spontan. “Lalu bagaimana dengan Anthony? Bagaimana dengan ibumu?”
Pada kenyataannya apa yang kukatakan sedikit bertetangan dengan apa yang kumau. Sama seperti Will, aku juga ingin mempertahankannya. Tapi apa yang baru saja terucap, menandakan munculnya kemarahan pada diriku sendiri karena satu alasan, mempertahankan Will bisa jadi berarti melukai keluarganya. Seegois-egoisnya kami, aku memang harus menyadari bahwa keadaan setahun lalu berbeda dengan sekarang. Tidak ada masalah saat itu kecuali penolakan keluarga Will terhadapku. Tapi sekarang, lebih dari sekedar itu. Jika Will ingin menjawab pertanyaanku, aku ingin mendapatkan jawaban yang memuaskan. Paling tidak, aku bisa menerima jawaban itu untuk memuaskan diriku sendiri yang tengah kebingungan.
“Dengar, Tim. Untuk mendapatkanmu, aku dulu sudah meninggalkan dan mengecewakan mereka. Tapi untuk mendapatkan mereka, aku tetap akan mempertahankanmu, hanya itu. Mungkin sekarang tidak semuanya berjalan sesuai apa yang kuinginkan, tapi walaupun sulit aku tetap akan memikirkannya. Dan selama itu, aku minta kamu benar-benar tidak melibatkan diri. Aku sudah bosan mengingatkanmu,Tim. Apa aku perlu menyekapmu di dalam kamar sampai aku bisa menyelesaikan semuanya?”
Will nampak lebih bebas sekarang karena sebuah senyuman lebar sudah dia pamerkan padaku. “Aku tidak suka jika kamu membuatku merasa tidak berguna seperti ini, Will.”
Kedua lenganku kembali di raihnya, kemudian tubuhnya mendekat. “Asal kamu selalu bersamaku, Tim. Aku robotnya, kamu baterainya. Memangnya apa yang bisa kulakukan jika kamu tidak bersamaku?”
Tiba-tiba, Will nampak berpikir, “Enng... apa pengandaianku tadi cukup keren?”
Tawa lirihnya telah berhasil membuatku ikut tertawa, karena kata-kata romantisnya yang selalu gagal. Sebenarnya aku masih merasa buntu, dan mungkin Will merasa bahwa kali ini dia kembali berhasil mengalahkanku. Tapi, aku sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu, besok, dan tidak ada yang bisa menghentikanku.
“Jadi, apa sekarang aku boleh mandi, Tim?”
Will meraih handuk yang tergantung di dinding dekat cermin di belakangnya, kemudian dengan isyarat kedua matanya, menyuruhku untuk meninggalkannya sendirian.
“Tidak, tapi kita akan mandi.”
Keningnya berkerut, “Bukannya kamu sudah mandi? Kenapa ingin mandi lagi?”
“Bukan itu tujuan utamanya, Will,” Aku melepas bajuku di hadapannya. “Dan kamu tahu apa maksudku.”
****-****
Sarah mematikan televisi begitu aku sudah duduk di sampingnya. Aku memutuskan duduk dalam satu sofa karena dengan begitu jarak kami yang dekat akan membuatku tidak memerlukan suara yang sedikit keras untuk bicara padanya. Jarak kamar Will yang berada di lantai dua dengan ruang tamu memang sangat jauh, tapi tetap saja aku ingin bicara dengan Sarah dengan hati-hati.
“Kakak sudah tidur, Tim?”
Aku menggagguk, “Ya, sangat lelap. Dia terlihat kelelahan sejak tiba di sini.” Aku berharap Sarah tidak sedikitpun merasa risih atau berpikir macam-macam padaku ketika aku mengatakan hal itu.
“Ya, aku bisa melihat itu tadi.” Sekarang, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius. “Jadi, ada apa, Tim?”
“Sarah, aku mohon kamu menceritakan semua yang terjadi hari ini. Aku tidak mau melewatkannya sedikitpun.”
Dia terdiam dan menunjukkan ekspresi herannya. Mungkin dia mengira Will telah menceritakan semuanya padaku. Tapi pada kenyataannya aku bahkan belum dan tidak tega untuk bertanya pada Will. Atau jika kulakukan, aku hanya takut Will akan menyembunyikan beberapa hal dariku, atau mungkin dengan sengaja membuat cerita agar aku berpikir bahwa keadaan masih baik-baik saja, tidak seburuk yang sebenarny aterjadi.
“Dan besok, apa kamu bisa membantu mempertemukanku dengan Choon Hee? Kamu temannya, kan?”
“Memangnya kenapa kamu ingin bertemu dengan Choon Hee? Apa kakak tidak melarangmu?”
Aku membenarkan posisi dudukku, “Soal itu, bisa kamu merahasiakannya dari Will? Aku sendiri yang akan memberitahunya setelah bertemu dengan Choon Hee,” Aku mengambil napas sejenak, dan berusaha mengatur detak jantungku yang mulai tak terkendali. “Aku harus bicara dengan Choon Hee, karena kupikir pasti ada yang bisa kulakukan selain diam seperti patung.”
love this quote!
pengen make, tp blm ada orang yg tepat.. #curcol
#tarik bang @abiyasha @arieat
@andhi90 @n0e_n0et @Adra_84
@masdabudd @Ozy_Permana @rarasipau
#kaburrr sbelum dikampak te es
#siapin pecut
#siapin lilin
argghh..
lagi...
perkosa aku bang perkosa aku!
Bener2 saling melengkapi TIM n WILL.
aduhh.. kaya'nya aku mau baca ulang dari awal deh.. tapi cari waktu biar otak bener2 fresh dulu #sediain panadol dulu ahh#
bdsm kali rara....
@rarasipau
)
#senyummanis
klo baca karyax kang @wessel pasti btuh konsentrasi tinggi, jg aku baca ntar ya kang, soalx skrg lg mumet bnyak fikiran, sayang klo baca tp gk bisa mncerna critax... tetep lanjut yak...yg bnyak kekekkkk
#nglunjak
iya itu maksudnya )