It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tapi klo bner ada, maap ya bang @sumanto enggak ada maksud apa2. suer.... bcanda bang becanda,
#kasih sosis
#eh
haghaghag
yg ni kapan apdet?
aku masi nungguin lo..
*masi males baca yg baru2
Aku smpen dulu buat baca nanti...
Eh ini penulisnya kak @wessel ? Atau kak @totalfreak? Haha, sempet bingung td, avanya sama... (^ム^) kirain kak @totalfreak ganti nama... -_-||
tp sama2 pinter nulis..
ayo sel, lanjutkan!
xixixi ;;)
@totalfreak sama @wessel sama kok. cuma beda kepribadian aje. gitu ceritanya
Terakhir aku update cerita ini (bbrapa minggu yang lalu... atau bulan) ada sekitar 9 orang yang baca. Jadi hari ini, di antara 9 reader yang sekiranya masih pengen baca lanjutan cerita ini, sekarang udah ada update nya. Bagi yang udah enggak berminat, ya.... ya.... udah. Hehehe (buat yuzz dan masdabudd , gak ada alasan buat enggak baca, walaupun kalian enggak suka dan tersiksa)
Kira-kira masih nengok gak ya? Rarasipau? Ozy? Andi? Arieat? Adra? Noe? Siapa lagi? Bang Abi mungkin?
Ini adalah update trakir dari part 2. Jadi, udah jalan 60%. Daaaan susunan kalimatnya masih tetep ribet, jadi harap sabar ya karena sampe ending bakal kyak gini terus.
Dan klo lupa cerita trakir kemarin gimana, agar enggak baca ulang, aku kasih review dikit....
Part 1:
Tim dan Will memutuskan kembali ke Seoul dan meninggalkan kehidupan sempurna mereka di Assen untuk mendapatkan restu dari keluarga Will atas pernikahan mereka. Sebelum mereka bertemu dengan Ibu Will yang tengah berlibur di Jeju dengan Anthony (adik Will), mereka mempunyai setidaknya empat hari (5 hari terhitung dari hari mereka tiba di Seoul) untuk bersiap-siap, atau.... berusaha mengatasi masalah lain yang sekiranya bisa diselesaikan.
Part 2:
Seoul, Hari ke-1:
Hal yang tidak disangka terjadi. Tim mendapat satu kejutan besar dari Will, dimana Sarah (adik perempuan Will) mengatakan ingin membantu Tim dan Will mewujudkan tujuan mereka walaupun Sarah belum sepenuhnya dapat menerima pernikahan mereka. Tim baru mengetahui bahwa selama di Assen, Will tidak pernah berhenti berusaha meyakinkan Sarah dan membuat Sarah terbiasa dengan kehidupan mereka.
Seoul, Hari ke-2 :
Sarah memberitahu Tim tentang kesehatan ibunya yang memburuk selama beberapa bulan terakhir sepeninggalan ayahnya serta karena jauh dari Will selama satu tahun. Hal itu menyebabkan Tim menjadi panik dan memutuskan untuk menjalankan rencana awal, yaitu tidak tinggal serumah dengan Will. Namun, Will selalu bisa meyakinkan Tim untuk tetap tinggal.
Tim bertemu dengan sahabat lamanya yang sampai sekarang masih menaruh hati padanya, Kang Young Min. Selain masalah yang berkaitan dengan keluarga Will, Young Min adalah masalah lain yang harus mereka selesaikan. Namun, keteguhan hati Young Min membuat keadaan menjadi rumit.
Seoul, Hari ke-3 :
Young Min membuat sebuah keputusan besar yang bertentangan dengan pendiriannya selama ini dalam waktu singkat, hanya untuk Tim. Memutuskan untuk mulai melupakan perasaannya pada Tim dan mencoba menerima pria lain, Kim Jung Shik.
Masalah baru terkuap. Pernikahan Anthony terancam gagal setelah dia mengaku kepada keluarga Choon Hee (tunangannya) tentang keadaan keluarganya, tentang Will dan penikahannya dengan Tim. Will memutuskan untuk bertemu secara langsung dengan keluarga Choon Hee di Gangnam, berusaha mencari jalan keluar. Namun, pada akhirnya, semuanya tidak berjalan baik, tidak berjalan sesuai rencana.
Di sisi lain, Tim tidak ingin tinggal diam. Dia ingin melakukan sesuatu untuk membantu Will, setidaknya agar dia tidak mengaggap kehadirannya tidak berguna sama sekali, tidak ingin membiarkan Will mengatasinya seorang diri, tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi saat Ibu Will dan Anthony pulang dari Jeju 2 hari lagi.
**** - ****
Wajahnya terlihat tidak tenang dan gerak-gerik tubuhnya selalu gelisah ketika melihatku keluar dari ruangan Dokter Choi, tidak hanya hari ini, tapi semenjak dia mulai mengantarku ke rumah sakit sepuluh tahun lalu. Aku tidak bisa mengukur sebesar apa rasa kuatirnya padaku, tidak bisa menebak secara pasti apa saja alasan yang membuatnya selalu bersikap seperti itu. Tapi, dia bisa membuatku menjadi orang yang selalu merasa mendapatkan perhatian yang besar dari seorang... teman. Mungkin, jika dulu aku tidak bertemu dengan Will, atau cinta itu bisa tumbuh di hatiku dari hubungan persahabatanku dengan Young Min, aku yakin bahwa bukan Will yang ada di sisiku saat ini.
Dia berdiri begitu menyadari kehadiranku, menatapku seolah tidak ada lagi kesabaran yang dia miliki hanya untuk menungguku berucap. Untuk sesaat, aku kembali teringat dengan Dad, tentang kesamaan mereka ketika menunggu hasil pemeriksaan kesehatanku. Juga, ketidaksabaran mereka untuk melihat sebuah senyuman dariku atau kata-kata yang memberitahu mereka bahwa aku baik-baik saja, bahwa aku seratus persen dalam keadaan sehat.
“Bagaimana hasilnya?”
Aku akan menjawab pertanyaan itu jika Young Min tidak merebut kertas di tanganku secara cepat dan paksa. Dia seolah akan selalu terlebih dulu memberiku vonis mengidap kanker sebelum melihat sendiri hasilnya.
Dia terdiam untuk beberapa saat, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat menelusuri deretan huruf yang ada di sana. Tidak lama setelahnya, kedua mata itu terpejam, sementara tangan kirinya sudah meremas kertas yang dipegangnya. Dia menatapku dengan penuh kelegaan walaupun aku masih melihat raut kesal di sana.
“Tim, bisa kamu ubah ekspresi wajahmu yang sok sedih itu lain kali saat keluar dari ruangan Dokter Kang atau Dokter Choi? Sengaja ingin menakutiku?”
Aku tidak menghiraukan keluhan itu, melainkan berjalan mendahuluinya. “Aku ingin membuat kesan dramatis karena melihatmu cemas seperti itu kadang menjadi hiburan yang menyenangkan. Lagipula kamu seorang dokter, Young Min, masa tidak bisa membedakan ekspresi pasien antara yang benar-benar putus asa dengan ekspresi yang dibuat-buat?”
Dia sudah berjalan di sampingku, rasa kesal yang semakin besar dapat kulihat dengan jelas dari caranya menatapku sekarang. “Itu karena aku belum punya banyak pengalaman. Lalu, bagaimana dengan hasil lab?”
“Soal itu, aku sudah bilang pada Dokter Choi untuk memberitahumu kalau hasilnya sudah keluar. Bisa kabari aku kapan-kapan? Mungkin saja entah karena apa atau karena hidupku yang memang sial, pada akhirnya aku benar-benar mengidap kanker.”
Desisan kesal dan pandangan mata yang semakin tajam dari Young Min sudah cukup menjadi penyebab helaan napas keluar dari mulutku sekarang, secara halus dan agak sedikit panjang.
“Aku hanya bercanda, Young Min. Menurutmu itu tadi tidak lucu?”
“Lalu, apa kamu sedang melihatku tertawa?”
Mendengar sindiran halus itu, aku justru tertawa. Aku harus kembali mengingat bahwa semua candaan yang mengandung unsur kematianku atau sesuatu yang mendekati itu, justru akan membuatnya marah. Bahkan jika aku mengkombinasikan berbagai macam kata yang bisa membentuk sebuah candaan yang paling lucu atau basa-basi yang sangat basi sekalipun, yang akan kudapat dari Young Min sebagai wujud timbal balik adalah wajah tegang dan kesalnya. Dia bahkan tidak akan mau tersenyum hanya untuk menghormati usahaku. Berbeda jika hal seperti itu kulakukan pada Ilse, Joris, ataupun Nicky. Alasan yang kupakai bahwa candaan itu sangat umum dipakai oleh orang-orang, akan selalu ditolaknya mentah-mentah.
Aku kembali menarik napas dalam-dalam sambil mengamati langit-langit koridor rumah sakit yang berwarna putih cerah dengan cahaya lampu yang hampir menyilaukan kedua mataku. “Aku tidak bermaksud membuatmu mengingatnya. Tapi, kalian sama. Kamu dan Dad, apa karena kalian sudah melihat langsung orang yang kalian cintai meregang nyawa itu cukup membuatmu membenci kata kematian? Atau perpisahan?”
“Aku benar-benar tidak suka membahasnya dan kamu tahu itu, Tim.”
Aku berhenti melangkah, membuat Young Min yang sudah berjalan dua tiga langkah di depanku berbalik dan memandangku dengan penuh tanya, mungkin karena melihatku tersenyum. “Aku sepertinya sudah berpikir terlalu jauh, maaf.”
“Kalau begitu jangan dipikirkan. Apa kamu tidak ada kerjaan lain sampai-sampai bisa berpikir sejauh itu?”
Aku mendekat ke arahnya, menggapai pergelangan tangannya untuk melihat jam tangan yang melingkar di sana. “Baiklah kalau begitu. Masih banyak waktu sebelum kita ke Gangnam menemui Choon Hee. Jadi, kamu tidak ingin mentraktirku kopi di kantin?”
****-****
“Terima kasih.” Aku meraih cangkir kopi yang baru saja diberikan Young Min padaku, memutar-mutarnya pelan tanpa berniat untuk meminumnya sekarang. Mataku terpejam begitu aku merasakan kepulan asapnya menyentuh wajahku, sehingga tidak ada yang kulakukan lagi selain mencoba menikmati aromanya.
“Sampai sekarang aku masih tidak percaya kalau Will membiarkanku mengantarmu menemui Choon Hee. Bukannya kamu bilang kalau dia menyuruhmu untuk tidak ikut campur terlalu banyak?” Young Min duduk tepat di sampingku sembari meniup pelan kopinya, lalu meminumnya sedikit demi sedikit.
“Itu karena Will tidak tahu kalau aku akan bertemu dengan Choon Hee. Maksudku, dia tidak tahu apa-apa.”
Raut terkejut langsung terlukis di wajah Young Min begitu aku memberitahu hal yang sebenarnya. Tidak hanya pada Will, hari ini aku juga berbohong pada Young Min. Aku harus melakukan itu semua karena kalau tidak, aku yakin hanya akan terkurung di dalam kamar Will entah sampai kapan, menjadikannya benteng perlindunganku yang sudah pasti akan membuatku selalu diam dan seperti tidak berguna sama sekali.
“Lalu bagaimana bisa kamu keluar dari rumah itu, Tim? Kamu memakai alasan apa?”
Aku mengedikkan bahuku karena sudah mengira kalau pertanyaan itu pasti akan diutarakannya. “Itu mudah. Kita tadi berangkat pagi, jadi yang perlu kulakukan hanyalah membuat Will tidak bisa bangun pagi. Sudah kubilang kalau dia tidak tahu apa-apa. Sarah akan memberitahunya kalau aku ada di Asan, bersamamu, menemui Dokter Choi. Hanya itu yang dia tahu.”
Mulut Young Min sedikit terbuka dengan ekspresi wajahnya yang masih setengah kaget. Tapi, sedetik kemudian dia tertawa. Mungkin, dia tertawa bukan karena aku mengatakan hal yang lucu, tapi mungkin lebih karena rasa ketidakpercayaannya atas apa yang kulakukan hari ini pada mereka.
“Kamu membuatnya... tidak bisa... apa?”
Detik ini, aku sudah tahu kalau dugaanku salah. Tadinya, kupikir dia akan lebih menaruh perhatian besar pada rencanaku secara keseluruhan, bukan hanya tentang ‘membuat Will tidak bisa bangun pagi’. Mungkin, baginya, dia telah berhasil melihat sisi lamaku muncul lagi, dengan bicara tanpa rem, apalagi kalau bukan tentang urusan ranjang.
“Lupakan saja, kurasa itu tidak perlu dibahas.”
Young Min menggelengkan kepalanya, kemudian sedikit menggeser tubuhnya sehingga dia duduk lebih dekat denganku. “Tidak perlu dibahas bagaimana, Tim? Memangnya apa yang akan menjadi bahan obrolan dua orang teman akrab yang keluar bersama-sama saat salah satu atau keduanya sudah menikah? Jadi, ceritakan padaku. Apa bocah itu... hebat? Dan aku masih heran, bagaimana kalian... melakukannya? Apa kamu sering mengalah? Kurasa itu tidak mungkin. Tapi...”
Aku merasakan tenggorokanku gatal karena ucapan Young Min. Pandangan berharap darinya masih tidak berubah sama sekali, seperti tidak sabar untuk menunggu jawabanku. Aku langsung menyandarkan punggungku pada kursi yang kududuki dan mengalihkan pandanganku pada taman luas yang terletak persis di sebelah kantin. Aku ingin sekali tidak menanggapi pertanyaannya karena rasa tidak nyaman yang terus menerus menyerang dadaku.
“Itu urusanku dengan Will, Young Min. Kamu tidak perlu tahu.”
“Kenapa sekarang kamu begitu kaku, Tim? Bukannya dulu kamu yang paling semangat kalau membahas masalah seperti ini?”
Aku menggelengkan kepalaku pelan dan pasti. “Aku tetap tidak mau cerita. Paham?”
Young Min menghela napasnya dengan cepat dan keras, seakan aku telah berhasil membuatnya kesal untuk yang kesekian kalinya. “Kamu benar-benar sudah berubah, Tim.”
Aku mengetuk meja sedikit keras dan suara yang kuciptakan berhasil membuat perhatian Young Min kembali berfokus padaku setelah dia sempat melamun untuk beberapa saat. “Lupakan itu, ceritakan saja padaku apa yang terjadi kemarin malam. Kamu... dan Jung Shik.”
Ekspresi Young Min saat ini, persis dengan ekspresi Will ketika dia pulang dari Gangnam. Apapun itu, aku berani bertaruh bahwa Young Min tidak akan memberitahuku kabar baik, maksudku kabar yang dia kira akan kuanggap sebagai kabar buruk.
“Jung Shik tidak bisa membantuku, Tim. Mungkin aku harus menemukan orang lain atau untuk sementara aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Kuharap kamu tidak bertanya alasannya.”
Kami melakukan hal yang sama, mengetukkan jari telunjuk kami pada bibir cangkir kopi masing-masing. Bedanya, padangan Young Min tertuju pada cangkir kopinya, sementara pandanganku sepenuhnya tertuju pada Young Min. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku bahkan belum bisa menentukan bahwa apa yang dikatakan Young Min tadi adalah kabar baik atau kabar buruk.
Jika aku sudah bisa percaya dan benar-benar menganggap bahwa keputusan Young Min kemarin adalah apa yang sebenarnya dia inginkan, maka yang dikatakannya tadi bisa kusimpulkan sebagai kabar buruk sehingga aku akan memilih kata-kata penyemangat untuk memotivasinya. Tapi, aku bisa saja menganggap itu sebagai sebuah kabar baik dengan memakai alasan bahwa dia adalah seorang yang berpendirian teguh dan keras kepala atas perasaannya padaku. Aku bahkan melihat sendiri rasa lega di wajahnya ketika dia bilang bahwa sudah merasa sangat cukup dengan membiarkan perasaannya padaku tetap hidup di hatinya sementara kami hanya berteman. Mungkin, apa yang kulihat sekarang adalah wajah kecewanya, tapi aku tidak pernah tahu apakah ada sebuah kelegaan di dalam hatinya atau tidak. Sebesar apapun tekad atas keputusannya kemarin, yang namanya terpaksa tetaplah terpaksa.
“Young Min, apa kamu kecewa?”
Satu pertanyaanku kali ini mungkin cukup lancang. Setelah kemarin aku merasa sudah memojokkan posisinya, sekarang aku mengulangi hal yang sama. Tapi sialnya, aku menyadari hal itu beberapa detik setelah pertanyaan itu keluar dari mulutku.
“Tidak. Tidak sepenuhnya.”
“Tidak sepenuhnya?”
“Tim.” Aku sedikit terkejut dengan penekanan nada yang dia ciptakan saat menyebut namaku dengan tajam, tegas, seperti membentak walaupun ekspresi wajahnya terlihat biasa-biasa saja. “Ini masalahku, bukan sesuatu yang harus selalu kamu cemaskan. Kamu sendiri mempunyai masalah yang lebih rumit. Jadi, lebih baik kamu menaruh semua perhatianmu pada masalahmu sendiri.”
Kami saling menatap, aku enggan untuk mengalihkan tatapan mataku dan begitu juga dengan Young Min. Aku bisa mengartikan kalimat terakhirnya sebagai peringatan agar aku tidak terlalu mencampuri masalah perasaannya lagi, sama seperti apa yang Will katakan padaku kemarin malam. Lagi-lagi, aku membenci situasi seperti ini karena membuatku merasa tidak berguna, walaupun aku kadang paham bahwa mereka melakukan itu agar aku tidak terlalu merasakan beban yang besar.
“Pikirkan saja apa yang akan kamu katakan setelah bertemu dengan Choon Hee nanti.”
Kali ini, aku memutuskan untuk mengikuti kemauan Young Min sekalipun aku ingin sekali membantah kata-katanya tadi. “Tidak ada yang ingin kukatakan padanya. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi kemarin saat Will dan Sarah ke Gangnam. Sudah kubilang kan kalau sampai saat ini mereka memilih untuk merahasiakan semuanya padaku? Aku tidak yakin kalau pertemuan mereka kemarin hanya membuat keluarga Choon Hee memilih untuk memikirkan semuanya kembali. Pasti ada yang lain dan aku harus tahu.”
“Kamu ingin bantuan dariku? Maksudku, untuk bicara pada Choon Hee. Kamu tidak terlalu mengenalnya kan?”
Aku tersenyum karena sesuatu yang lucu berhasil menggelitikku. “Kamu terlihat percaya diri, Young Min. Kenapa? Karena Choon Hee adalah mantanmu?”
Dia menatapku dengan pandangan bosannya. “Tim, jangan mulai.”
Setahuku, di Korea, hanya ada lima orang yang tahu tentang keadaan Young Min yaitu aku, Will, Jung Shik, Dokter Kang In-Su, dan Choon Hee, mantan kekasihnya. Aku dulu sempat menyarankan padanya untuk mempertahankan hubungannya dengan Choon Hee kalau tidak mau karirnya menjadi dokter terganggu. Tapi, dia memilih jalan lain. Dia lebih memilih mengaku dan bersembunyi karena merasa sangat kejam pada Choon Hee, sama seperti apa yang dilakukan Will pada Jin Hee. Dia memang sangat hati-hati dan entah kenapa sampai sekarang masih terlihat seperti tidak mempunyai masalah, kecuali masalah perasaannya padaku.
Berbeda dengan keadaanku dan Will sekarang yang bisa dibilang kacau. Seperti fakta bahwa pernikahanku dengan Will sudah banyak yang tahu, diluar keluarga atau teman-teman dekat kami. Akibat dari itu semua, Anthony harus terseret dan itulah maksud Young Min tentang masalah yang lebih penting untuk kupikirkan.
“Tunggu sebentar, Tim.”
Young Min berdiri, berjalan menjauh dariku sementara pandangannya tidak terlepas pada telepon genggamnya. Dia terus berjalan ke luar kantin, ke arah taman dan berhenti tepat di depan pohon buah kesemek. Pandanganku tetap tertuju padanya karena aku merasa mulai sedikit panik ketika melihat kembali gerak-geriknya yang sedikit tidak nyaman. Kadang, dia melirik ke arahku beberapa kali kemudian kembali membelakangiku.
Sesaat setelah panggilan telepon itu berakhir, Young Min tidak langsung kembali menghampiriku. Dia masih diam di tempatnya berdiri, masih membelakangiku, dan kadang kulihat pundaknya naik turun dengan gerakan yang kentara, sepertinya gerakan menghela napas yang berat. Aku memang tidak tahu apakah ada kaitannya denganku atau tidak. Aku juga tidak tahu siapa yang tadi menelponnya, tapi sekarang ini entah karena apa, aku seperti sudah mulai menyiapkan diri untuk mendengar kabar buruk yang lain.
“Dari siapa?”
Young Min kembali duduk di kursinya, kemudian melamun untuk beberapa saat sampai akhirnya dia memberitahuku, “Dari Sarah.”
Rasa terkejut berhasil menyengatku. Jika tadi itu telepon dari Sarah, berarti memang benar ada kaitannya denganku karena aku sudah bilang padanya Sarah untuk menghubungi Young Min kalau ada yang harus kuketahui.
“Memangnya ada apa?”
“Sarah sudah memberitahu Choon Hee kalau pertemuan kalian dibatalkan.”
“Dibatalkan?” Nada bicaraku sudah meninggi, bukan karena marah tapi karena rasa terkejut yang semakin lama semakin besar. “Kenapa bisa dibatalkan?”
“Karena ada hal lain yang lebih penting. Kamu harus pulang sekarang, Tim.”
“Apa maksudmu aku harus pulang? Apa yang terjadi?”
Young Min memukul meja dengan kesal, sementara sedari tadi seperti enggan untuk menatapku. “Karena Will menyuruhmu pulang.”
“Aku tidak mengerti. Kenapa kamu bicara setengah-setengah seperti itu, Young Min? Kenapa Will menyuruhku pulang? Apa karena tahu kalau aku akan bertemu dengan Choon Hee?”
“Kamu bilang Ny. Shin dan Anthony akan pulang dari Jeju dan tiba di Seoul besok malam, benar?”
Aku mengangguk mantab, tapi masih belum mengerti tentang semua kalimat yang dia ucapkan karena antara satu kalimat dengan kalimat yang lain tidak ada kaitannya sama sekali, berputar-putar tanpa kejelasan maksud.
“Kamu salah, Tim. Sekarang, mereka sudah tiba.”
Dadaku terasa dihantam palu yang besar berkali-kali. Kedua kakiku terasa lemas dan tanganku sedikit bergetar. Panik, gugup, terkejut, tidak siap, tidak ada lagi hal yang bisa membuatku tenang kali ini. Perutku terasa sedikit mual sehingga kopi yang kuminum sekarang rasa-rasanya ingin kumuntahkan. Mengaharapkan Will ada di sini sehingga aku bisa memegang tangannya adalah keinginan yang sia-sia.
“Dan Dokter Lee sekarang ada di sana.”
“Dong Sun? Ada di sana?”
Young Min mengeraskan rahangnya, “Bagaimana aku harus mengatakannya?”
“Young Min, apa ada hal lain yang terjadi?”
“Hal lain? Apa aku harus memberitahumu semuanya sekarang? Tidak bisa kita langsung pulang saja?”
“Katakan saja, Young Min!”
Kali ini, dia memutar tubuhnya menghadapku. Kedua tangannya bergerak dan menyentuh bahuku, seperti ingin memberiku kekuatan.
“Tim sudah terlambat. Pernikahan Anthony... sudah dibatalkan secara sepihak oleh Keluarga Choon Hee. Mungkin, seperti perkiraanku kemarin bahwa Ayah Choon Hee tetap bersikap kaku dan nama baik keluarganya lebih penting.”
****-****
Dengan mengaku pada keluarga Choon Hee lebih awal, itu sama artinya Anthony memberikan pilihan pada mereka. Anthony mungkin ingin memberikan waktu kepada keluarga Choon Hee untuk mempertimbangkan semuanya karena bagaimanapun juga pernikahan bukan soal dia dan Choon Hee saja, tapi soal dua keluarga yang akan bersatu dan saling menerima. Jika pada akhirnya orangtua Choon Hee tetap menyetujui pernikahan anaknya dengan Anthony, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk merasa kecewa jika pada akhirnya berita tentang jati diri Will atau tentang pernikahan kalian sudah muncul ke permukaan.
Tapi jika pada kenyataanya seperti apa yang kukatakan sebelumnya, maksudku jika orangtua Choon Hee masih bersikap kaku, mengagungkan nama baik keluarga, dan tidak bisa berpikir terbuka, maka kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah batalnya pernikahan Anthony dan Choon Hee. Jangan heran dengan sikap orangtua yang seperti itu, Tim karena mungkin saja memang masih ada.
asikkk udah apdett.. panggil panggil pulakk... )