It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
thx bgt buat @alabatan yg udh bikin cerpen itu, skrg gw jd punya semangat lagi.. meski umur gw msh 17 thun tp gw udh b'pikir utk meninggalkan dunia pelangi walaupun gw msh blm tau gmna caranya. gw gmw ngecewain ortu gw.. dan dari cerpen PERHIASAN DUNIAKU u udh ngasih semangat harapan baru bahwa masih ada jalan utk kembali ke kodrat kita... sekali lg makasih buat @alabatan
@masdabudd .bukan. w gak ikut fp apapun. paling cuma nitip cerita aja di temen. kayak ckp sama dkn
Langsung aja welah dibaca cerpen bagian pertama.
SECANGKIR KOPI UNTUK ABAH
Senja meniupkan anginnya pada daun-daun terserak di halaman belakang rumahku. Menebar hawa dingin yang membuatku merekatkan jaket yang kugunakan. Jingga sudah meraja di barat, dengan awan kelabu-keemasan yang memesona, meski tak nampak hewan-hewan yang kembali ke peraduannya. Kursi besi yang panjang ini masih saja hangat, karena satu cangkir kopi dan sebatang rokok yang menemaniku menikmati momen menghipnotis ini.
Aku menyesap kopi yang masih mengepul di tanganku ini sambil tersenyum kecut. Aromanya menebarkan wangi yang membuatku terdiam beberapa saat, membuatku pikiranku kembali pada beberapa waktu sebelum aku hijrah ke kota ini. Masa dimana aku menikmati momen-momen mengesankan bersama sosok hebat itu. sosok yang mengajarkan aku pada banyak hal, pada banyak petuah hidup. Sosok tegar yang pendiam, sosok jenaka yang arif. Ah, mataku selalu saja basah setiap mengingat sosok itu. Abah.
Kini pikiranku bermain-main dengan masa kecilku, masa dimana abah menggendongku di punggungnya selepas mengunjungi makam ibu. Ketika itu aku bertanya, apa aku bisa sekolah di tempat belajarnya Habibie, idolaku dulu. Abah yang waktu itu bahkan tak mampu belikan aku mobil batman yang kuingin hanya diam saja. Tapi ketika kami berdua melintasi kebun jambu milik kami, beliau menjunjung tubuhku dipundaknya, menyuruhku memetikkan beberapa buah jambu yang telah ranum.
Kami berdua terduduk diatas batu besar menghadap barat, menikmati momen dimana alam menjalankan titah tuhan, menenggelamkan siang dan menghadirkan malam. Beberapa butir ranum itu kukumpulkan dalam raupan tanganku, lantas kugosok jambu itu dengan kaosku. Abah mengusap rambutku dan tersenyum tipis padaku.
“Lihatlah bagaimana alam mengajarkan banyak hal pada kita. Maha karya tuhan ini mengajarkan esensi hidup. Matahari mengajarkan kita untuk tanpa pamrih. Burung mengajarkan kita pada kerja keras dan kasih sayang. Angin mengajarkan kita untuk menebar kesejukan pada setiap yang ditemuinya. Belajarlah pada alam jika kamu ingin menjadi bijak, karena alam mengajarkan apa itu esensi bahagia dan cinta”
Aku yang waktu itu masih terlalu muda untuk memahami kalimat yang dalam itu hanya terdiam, berusaha mencerna apa yang dimaksudkan abah.
“Hidup itu untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk meminta atau bahkan mengiba. Belajarlah pada daun yang menghidupi satu pohon. Bahkan dia rela mengorbankan dirinya saat kemarau menjelang. Dia gugurkan dirinya untuk menjaga inangnya, dia korbankan dirinya untuk hewan-hewan kecil. Dan kamu De, jangan pernah takut untuk berkorban, karena tuhan menghitung segala keikhlasan kita. Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih hebat”
Aku terpana mendengar kalimat hebatnya itu. Ayahku yang pendiam, kini berapi-api membekaliku ilmu hidup.
*****
23. Ah, umurku sudah lebih banyak tiga tahun dari waktu dulu abah menikahi ibu. Lagi-lagi aku teringat ketika abah mengisahkan lahirnya kakakku yang sulung dengan berapi-api. Meski sekarang si sulung itu telah menjadi seorang yang brengsek. Entah apa yang membuat abah begitu sabar menghadapi anak yang seperti setan tingkahnya.
Abah selalu bilang padaku bahwa menjadi seorang ayah adalah kebanggan seorang lelaki. Cinta seorang ayah pada anaknya tak beda dengan cinta ibu pada kami. Meski mereka berdua menunjukkannya dengan cara mereka sendiri. Seorang ayah itu harus kuat, mengimbangi ibu yang perasa. Seorang ayah harus tetap tenang mengimbangi ibu yang mudah menangis. Bila dia marah, bukan tak sayang, tapi dia beritahu bahwa kita salah dalam bertingkah.
Dulu begitu sering aku tertidur saat menonton tv. Tapi saat mataku terbuka, aku sudah berselimut diatas kasur. Aku juga sering menangis saat mobil kulit jerukku dirusak oleh temanku, tapi esoknya sudah ada mobil dari kayu dengan roda karet bekas sandal dan bisa mengapung. Abah tak banyak bicara, tapi tatapannya mengajarkan banyak hal padaku. Senyumnya meredakan tangisku. Abahku yang hebat. Abahku yang istimewa. Untuk lelaki sederhana dan guru keihklasanku, dengan sangat kuucapkan, aku sayang engkau.
Aku masih ingat saat abah yang pendiam itu tertawa bangga saat aku pulang membawa piagam. Aku menjuarai lomba pidato bahasa inggris waktu itu. Sampai merah padam wajahku menahan malu, karena abah menceritakan pada setiap orang yang ditemuinya. Lantas mengadakan syukuran sederhana karenanya, meskipun kutahu itu terlalu berlebihan untukku. Tapi aku begitu senang dibuatnya.
Tapi senja yang gemericik itu aku tertunduk, tak mampu menatap wajahnya yang sendu. Satu kabar tak baik sampai di telinga abah. Entah dari siapa kabar itu bermula. Anak yang selalu dibanggakannya telah menyalahi kodrat. Aku yang pendiam ini menyukai sesama. Beliau tak menamparku seperti dugaku. Juga tak mengusirku dengan sarkas seperti syakku. Beliau hanya duduk diam memandang keluar jendela, memandang rintik-rintik air yang jatuh dari atap. Pandangannya kosong. Senyum sederhana itu tak lagi nampak dari bibirnya.
Aku tak mampu menyangkal karena berita itu absah. Aku yang harusnya bersimpuh, mencium kakinya hanya mampu diam, hanya bisa mengusap air yang terus mengaliri pipiku. Mata kelabu beliau tampak berkedip beberapa kali, lantas terlihat satu tetes air matanya jatuh. Abah yang tegar dan mengajariku untuk pantang menangis, kini tumbang. Hari ini beliau kalah.
Harusnya abah memukuliku, menendangku atau bahkan melemparku. Itu lebih baik daripada melihat beliau diam dan mengusap matanya. Melihat jakunnya naik turun dengan desah nafasnya yang berat. Pemandangan itu terasa membekukan paru-paruku yang penuh oleh sesal.
“Tolong buatkan secangkir kopi untuk Abah, De”
Kalimat itu meluncur dari mulut abah dengan bergetar. Sedikit parau dan seolah menahan nafas karenanya. Aku mengusap pipi yang sepertinya takkan kering senja ini. Bergegas ke dapur dan segera menjerang air. Tanganku gemetar saat menuangkan air mendidih pada cangkir yang sudah kububuhkan tiga sendok gula dan tiga sendok kopi. Takaran kesukaan abah. Tiga untuk jumlah anaknya, tiga lagi untuk wanita yang dia cintai dalam hidupnya. Ibuku yang sekarang sudah ditempatkan tuhan di syurga, Asni kakak perempuanku yang telah diboyong suaminya di kota, juga nenek yang telah melahirkan sosok hebat ini.
Aku masih berdiri disampingnya, menanti tangan ringkihnya meraih cangkir itu, membauinya dengan tersenyum lantas menyesapnya perlahan. Pandangannya masih tertuju pada hamparan hijau. Tapi tatapan kosong itu melanglang buana, terbawa pikirannya yang berkutat membayangkan cercaan dari kerabat, hinaan dari khalayak. Bahkan mungkin titah untuk segera meninggalkan tanah tempat aku hidup karena kenistaan yang tak kuingin ini.
Kini tangannya meraih cangkir itu, bibir bergetarnya mulai menyesapnya. Aku sesak melihatnya. Tapi riak kopi itu membuatku ambruk, bersimpuh dan memeluk kakinya tanpa mampu berkata-kata. Aku hanya sesenggukan tanpa mampu menderas permohonan ampun. Seribu ucap itu mengalir lewat mataku. Sejuta maaf itu mengalun lewat isakku.
Beliau tak berucap cukup lama, hingga meluncurlah satu kalimat dari bibirnya yang kisut.
“Kamu kurang menambahkan satu sendok gula, De”
Pahit. Kenyataan pahit itu beliau biaskan lewat takaranku. Kalimat sederhana yang menggambarkan betapa kecewanya beliau pada anak yang digendongnya sedari kecil. Betapa nistanya aku membalurkan lumpur ini ke wajahnya yang teduh. Beliau mengusap rambutku lantas meraih pipiku. Aku menatapnya dalam remang mataku.
“Tapi satu yang kita lupa. Bukankah kopi pahit itu adalah obat agar kita tetap terjaga, menjaga harta kita yang paling berharga? Menjaga agar kita mampu berdiri di sepertiga malam terakhir? Kopi pahit adalah sebagian jalan hidup. Kamu adalah anak bumi, kamu juga anak matahari dan anak angin..dan kamu adalah anak abah yang hebat”
****
Senja itu turun dengan perlahan. Meninggalkan siang yang mendung, menuju malam yang menenangkan. Aku masih bersimpuh di kaki abah, menolak beranjak meski panggilan merdu itu saling bersahutan. Abah bangkit dan menuntunku. Menimbakan air wudlu untukku. Dan aku tak mampu berhenti terisak ketika beliau memakaikan sarung untukku. Melilitkan kain itu dipinggangku, persis saat aku belajar sholat saat lima tahun. Beliau menggelarkan sajadah untuk kami berdua, mengimamiku dan melantunkan ayat-ayat itu dengan pelan, tak mampu mebaca keras karena getar bibirnya.
Selepas meraup wajahku, aku mendekap abah. Membaui wangi tubuhnya. Wangi yang mengantarku pada imaji dimana ayah menggendongku saat aku baru lahir, mengadzaniku di telinga kiriku, mendendangkan iqomat di telinga kiriku, menjunjungku setinggi mungkin saat aku baru belajar berjalan. Menuntunku melewati pematang sawah, dan deretan itu masih terus berputar dan tak terputus.
Abah merangkulku. Tersenyum getir dengan mata sembab.
“Di dunia ini banyak yang tak berlaku seperti ingin kita karena kedudukan kita hanya sebagai mahluk. Apapun dan bagaimanapun kamu, darah abah mengalir dalam tubuhmu. Sebelum datang mereka yang akan merajam tubuhmu dengan batu, sebelum darah mengucur dari kepalamu, carilah tanah dimana kamu akan menjadi sebaik-baik manusia. Dirikan gubuk-gubuk tempat mengajar anak-anak matahari, tebarkan ilmu pada pewaris para raja. Purnama menjadi saksi bahwa aku adalah abahmu. Aku ridho atas engkau”
Aku mendesah, masih enggan melepas pelukan dari tubuhnya yang bergetar. Aku tahu beliau sayang dengan teramat padaku. Tapi kenistaanku mengharuskanku pergi meninggalkan beliau sendiri digubuk ini. harusnya aku menjaganya selepas si brengsek itu menginap di hotel prodeo, dan kakak perempuanku tak kuasa menolak titah suaminya ikut ke rantau. Aku yang selayaknya mengurusnya, memandikannya saat beliau sakit, memasakka bubur untuknya, melap kotorannya. Harusnya aku tetap disini mendampingi masa tuanya. Tapi kenistaan ini membuat kami harus berjarak. Membuatku harus membiarkannya dengan kehidupan sebatang kara.
*****
Kumandang adzan disela-sela deru mobil kembali mengingatkanku bahwa aku harus kembali menghadapnya. Memohonkan ampun pada-Nya atas ketidakmampuanku menjaga hati. Memintakan syurga pada abah yang memang pantas mendampingi ibu disana. Memohonkan Dia kirimkan seribu malaikat untuk menjaga beliau, memohonkan segala yang terbaik untuk guru keikhlasanku, guru ketegaran dan juga guru kehidupanku.
@BB3117 . emang lemes abis ngapain?
@sip..emang aku mau kasih dukungan buat apapun pilihan yang akan teman" ambil.
ZAMRUD
Suara gelak tawa masih terdengar renyah dan menimbulkan gema yang indah. Aku melongok dari ruang kerjaku, memundurkan sedikit lantas menjinjitkan kursi yang kusenderi dan tersenyum lega. Bola karet itu menggelinding di atas lantai, lantas terpatul-pantul dengan lincahnya sampai sudut ruang tengah. Aku menarik nafas dalam-dalam lantas menghembuskannya dengan pelan. Rasanya letih itu lenyap setiap mendengar tawa renyah anakku yang sekarang sedang asik tertawa sendiri dengan bolanya. Lalu aku kembali pada berkas-berkas yang masih menumpuk di atas meja.
Tapi bingkai foto di depanku begitu menggodaku untuk meraihnya. Kujangkau bingkai itu dengan tanganku, lantas mengusapnya lembut dengan ujung jemariku. Mengusap gambar wajah dan senyum ceria dua anakku yang sedang mengapitku. Renaldi yang sedang anteng memegang bola kesayangannya, dan Sigit yang lucu sedang mencium pipiku. Aku kembali tersenyum sambil mengusap foto yang di ambil tiga tahun lalu.
Renaldy, anakku yang istimewa. Istimewa karena di usianya yang sudah menginjak tiga belas tahun, dia hidup dalam dunianya sendiri. Menurut dokter, anakku yang manis itu menderita Down Syndrome. Suatu penyakit kelainan mental yang banyak menjangkiti. Kadang aku ingin marah saat anak lain mengatainya idiot. Perasaan seorang ibu pasti akan terluka setiap mendapati anaknya diteriaki seperti itu. Kenapa mereka tak punya rasa empati? Toh kami tak meminta tuhan menjadikannya seperti ini. Tapi tidak, sekali-kali aku tak akan mengutuki anugerah tuhan ini meskipun sekarang suamiku entah dimana. Dia terlalu pengecut untuk menjalani hidup seperti ini.
Biasanya aku baru bisa menemaninya bermain selepas mengerjakan tugas kantorku yang menumpuk ini. Di setiap hariku, sebisa mungkin aku tak lembur. Lebih baik kerjaanku yang belum selesai aku kerjakan di rumah sambil menemani dan mengawasi Renaldy, anakku yang manis. Tapi rasa penasaran melandaku saat tak kudengar racauannya. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke ruang tengah, tempat Renaldy bermain.
Dia tampak asik sekali dengan pensil yang dipegangnya, bukan, bukan di pegang, tapi digenggamnya. Dia begitu senang dengan apa yang dia lakukan. Menggambar. Dia paling senang menggambar. Aku sering tertawa senang setiap melihat hasil gambarnya. Mulutnya sering menggumamkan sesuatu yang tak jelas.
Detak jam yang menempeli dinding mengingatkanku, bahwa Sigit belum juga pulang. Padahal sekarang sudah jam tujuh petang. Meskipun tadi pagi dia bilang bahwa dia akan pulang lebih sore dari biasanya, dan akan diantar oleh kakak temannya, tapi tetap saja aku merasa tak tenang. Ah, ternyata benar kata ibuku dulu, seorang ibu akan masih mengkhawatirkan anaknya walaupun dia sudah besar. Tapi belum, Sigit masih kelas lima SD, dia masih putra kecilku, walaupun sekarang dia sudah enggan kucium pipinya saat kuantar ke sekolahnya. Dia juga selalu tak mau saat aku membekalinya makanan dari rumah. Dan aku juga pernah melihatnya berjalan berdua dengan seorang gadis seusianya saat hendak menjemputnya. Ah, rupanya anakku itu sudah mengenal yang namanya cinta.
Aku mendongak ke arah pintu karena terdengar suara ketukan kemudian terbuka dan muncullah raut muka cemberut dari Sigit. Dia terlihat lelah sekali. Aku menghampirinya dan mencoba melepaskan tas yang tersampir di pundaknya. Tapi dia melepaskannya sendiri dan menaruhnya diatas lantai tanpa berkata sedikitpun. Tak ada cium tangan seperti kemarin, tak ada binar matanya menceritakan kejadian disekolahnya yang membuatku tergelak dan kadang mengernyit. Kali ini dia langsung melepaskan sepatu juga kaos kaki yang dia kenakan dan bergegas masuk ke dalam kamarnya tanpa bicara sedikitpun kepadaku.
Mungkin anakku kelelahan dengan acara sepulang sekolahnya tadi.
Tapi naluri seorang ibu menghantarkan langkahku ke kamarnya. Saat pintu kamarnya kubuka, kulihat dia sudah menelengkupkan badannya di atas kasur yang dibalut sprai bergambar Spiderman, tokoh super hero kesayangannya. Baju seragam masih melekat di badannya. Padahal biasanya dia yang selalu langsung mengganti seragamnya tanpa mau kubantu.
“Kenapa tidak dilepas dulu seragamnya sayang..Mamah bantu lepaskan ya..” aku mencoba mendekatinya lantas duduk ditepi ranjang.
“Aku sudah besar Mah..”
Itulah kalimat yang keluar dari mulutnya. Tapi aku seorang ibu dan dia tetap anakku. Seorang ibu pasti akan merasakan apa yang bahkan tak diucapkan oleh anaknya. Hanya seorang ibu yang mampu memahami apa yang diucapkan oleh anaknya, bahkan yang masih belum fasih bicara sekalipun.
Kini dia pura-pura tertidur memunggungiku sambil memeluk guling. Aku menjangkaunya, duduk disampingnya sambil mengusap rambutnya. Biasanya dia akan berbalik ke arahku dengan lipatan kedua telapak tangannya dibawah pipinya sambil tersenyum manis. Memintaku menceritakan kisah para sahabat Rosul atau mengisahkan kisah legenda yang waktu itu diceritakan oleh kakeknya di kampung, atau merayuku agar membelikan kaset film yang banyak tentang super hero. Tapi tidak saat ini. Dia masih pura-pura tertidur.
Tapi tentu aku lebih tahu desah nafas saat dia tertidur.
“Makan dulu sayang, tadi mamah sudah masak nugget kesukaan kamu. Yuk...”
Sigit tak bergeming.
“Mamah tadi lihat robot-robotan Spiderman loh, satu buat kamu, satu lagi buat Kak Enaw..”
Enaw adalah panggilan untuk anakku, Renaldi.
Dan sekarang tubuhnya berbalik ke arahku, masih dengan tampang cemberutnya. Aku kembali mengusap rambut halusnya yang sekarang berjambul. Aih, aku selalu ingin tertawa setiap melihat anakku yang tumbuh kembang setiap harinya. Tadi pagi dia tampak berlama-lama di depan cermin, terus saja membetulkan rambutnya yang dia buat berjambul. Dia pasti sedang jatuh cinta. Anakku yaang baru menginjak kelas luma SD sudah jatuh cinta.
“Anak mama yang ganteng, kenapa cemberut terus...?” aku mengelus pipinya yang tampak menggembung lucu. Dia hanya merengut lantas terduduk menghadapku. Mata bulatnya terlihat indah.
“Anak perempuan yang dikucir itu namanya siapa..?” tanyaku mulai menggodanya. Sekarang pipinya tampak memerah. Dia tersipu. “Namanya Linda kan?”
Lagi-lagi dia tersipu. Apakah dia akan bilang bahwa anak perempuan itu adalah pacarnya? Hmm..dia terlalu kecil untuk pacaran. Apakah efek dari tayangan televisi yang tidak mendidik itu menyebabkan hampir semua anak tumbuh dewasa sebelum waktunya?
“Dia temen aku Mah...” suara manjanya itu akhirnya keluar juga dari mulutnya.
“Lantas, kenapa anak mamah yang pinter ini cemberut..? Ayo dong, cerita ke mamah.” Ucapku sambil mengusap rambutnya. Sekarang matanya tampak mencelot ke atas dan badannya bergoyang kanan-kiri dengan lucunya, lantas terkekeh sendiri.
“Menurut mamah dia cantik gak?”
Alisku mengerut. Tak bisa kusembunyikan senyum geliku mendengar pertanyaannya. Tapi bukankah seorang ibu sudah seharusnya menjadi labuhan pertama anaknya? Seorang ibu itu adalah madrasah, gudang segala apa yang ingin diketahui anaknya. Aku tak akan marah mendengar pertanyaan seperti itu. Seorang anak harus tahu tentang dunia luar dari ibunya. Bahkan ketika anakku bertanya tentang sex, aku akan menjelaskan padanya, tentu saja dengan bahasa yang bisa diterima anak seumurnya.
Bukankah kita harus mendidik anak sesuai dengan zamannya? Toh hal itu jauh lebih baik daripada dia mencari jawaban di luaran yang sering tak beretika. Dan disini aku harus menjalankan peranku sebagai seorang ibu, juga sebagai seorang ayah sekaligus. Aku harus mengarahkan putraku pada jalur yang selayaknya.
“Menurut mamah, dia itu anak yang cantik. Dia itu yang juara satu itu kan?” Dia mengangguk cepat, mengiyakan pertanyaan retorisku. “Nah, seorang wanita itu pasti akan suka sama anak laki-laki yang pintar. Jadi Igit harus belajar yang rajin biar bisa pintar. Kalau dia gak bisa mengerjakan soal, Igit kan bisa ajarin dia.”
“Iya gitu Mah?”
“Selain itu wanita juga suka anak yang rajin, yang kuat. Makanya kalau libur, kamu olehraga di rumah, bantuin mamah..” Dia terkekeh mendengar celotehku.
“Menurut mamah, kalau aku sudah pintar, rajin, terus rambut aku di model spike begini, dia bakal suka aku?” pertanyaan lugu yang menggelitikku. Dan aku hanya mengernyit menahan tawa. Ah, anak zaman sekarang bahasanya pun sudah canggih sekali. Dan aku hanya bisa mengangguk.
“Tapi...tadi aku kesal mah sama temen aku. Dia terus saja ngeledek aku karena Kak Enaw..” raut cemberutnya kembali muncul. Jadi ini yang membuatnya pulang dengan raut cemberut seperti tadi.
Inilah hal yang sering kami alami. Sigit selalu menjadi korban ledekan teman-temannya. Bahkan dulu dia pernah berkelahi dengan teman-temannya saat dia terus saja diledeki karena memiliki kakak seperti Enaw. Sampai di rumah dengan baju kotor dan raut kusut, dia akan langsung masuk kamar sampai aku membujuknya, dan menjelaskan secara perlahan tentang apa yang Enaw alami.
“Kenapa sih mah Kak Enaw seperti itu? Kenapa kakakku gak kayak yang lain? Ivan sering cerita kalau dia sering dibantuin ngerjain PR matematika sama kakaknya. Dia juga sering main bola sama kakaknya, main PS bareng...” Sigit berceloteh terus, membandingkan Renal dengan kakak-kakak temannya yang lain.
Dadaku mulai riuh, ada sedikit sesak dalam hatiku. Tapi aku tak boleh marah. Itu adalah rasa yang manusiawi, apalagi oleh anak seumuran Sigit. Dia pasti menginginkan sosok kakak yang kuat, yang bisa menemaninya belajar, melindunginya saat dia dijahili anak-anak nakal, hal yang tidak bisa dia dapat dari Renal.
“Sekarang Mamah mau nanya sama Igit. Kalo Igit punya berlian, apa yang akan Igit lakuin?” Raut wajahnya sedikit mengendur. Dia terlihat berpikir sejenak.
“Aku bakal jaga berlian itu mah. Aku gak bakal biarin berlian itu diambil, atau dicuri oleh siapun. Aku bakal terus ngelindunginya..”
“Nah..kakakmu itu adalah berlian yang tuhan hadiahkan buat mamah, buat Igit juga. Tuhan nyuruh mamah buat ngejaga, terus ngelindungin dia. Igit mau bantu mamah kan buat jaga Kak Enaw, berlian yang tuhan titipin ke mamah?” aku mencoba menjelaskan padanya dengan silogisme sederhana. Tapi anakku ini adalah anak yang cerdas. Dia pasti akan terus memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang merepotkan sampai dia puas dengan jawaban yang dia terima.
“Berlian itu kan istimewa mah. Kalau Kak Enaw istimewanya apa coba?”
Aku tertegun, kehabisan kata. Aku tak mampu menderas kata-kata untuk menjelaskan betapa istimewanya Renal bagiku. Lantas aku mendengar pintu kamar kembali terbuka. Dan Renal masuk ke adalam kamar dengan langkahnya yang tak sempurna. Dia tampak tertawa riang dengan mulut basah. Di tangannya terkibar-kibar selembar kertas. Setelah sampai di tepi ranjang, dia menjangkauku, kuusap bibirnya yang basah dengan kaosnya. Dengan gerakan tangan yang ringkih dia mengulurkan kertas itu ke arah Sigit. Sigit menatapku dengan tatapan heran. Lantas tangannya meraih kertas gambar itu dan dia segera menunjukkan gambar itu padaku.
Rasa sesak muncul saat gambar seorang yang berkerudung, sedang menuntun dua anak di kanan kirinya. Anak dengan rambut jambul dan juga anak yang sedang tertawa lebar. Aku lantas mendekatkan badan Renal, mengelus dan mencium rambutnya, kemudian mencium pipi Sigit.
“Lihat, Kak Enaw udah ngasih hadiah gambar ini buat Igit. Bukankah Kak Enaw itu hebat?” Sigit memandangku sebentar, lantas tersenyum manis.
“Sini Kak Enaw naik. Kak Enaw, ini Igit? Masa Igit rambutnya jelek begini..? Kan sekarang Igit udah di spike..” Enaw hanya terkekeh dan aku mengelus rambutnya lagi. Dia memang anakku yang istimewa.
“Sudah, sekarang kita Igit mandi dulu, terus makan. Jangan tidur malem-malem ya, besok kan kita mau jalan-jalan...”
“Beneran mah..? Asik..kak, besok kita jalan-jalan...”
“Apa mamah ajakin mamahnya Linda sekalian ya..” aku menggodanya.
Dan Sigit semakin tersipu. Dia tertawa malu-malu. Bilang jangan tapi matanya merajuk. Ah, aku adalah seorang ibu paling bahagia di dunia, karena tuhan telah menitipkanku satu zamrud, dan juga satu berlian untukku. Tuhan tahu zamrud itu harus kujaga. Akan ada makna dari setiap yang dia takdirkan. Akan ada kebahagiaan dari setiap cobaan yang Dia hadiahkan untukku.
JIWA-PERAK-JIBRIL (Keping 2)
Jibril meregang melepas Perak. Batinnya merana. Hatinya meluap oleh tangis yang tertahan. Piring-piring itu tetap penuh, kasur-kasur bulu angsa itu tetap terpentang. Seluruh kastil redup, seolah sayap ribuan malaikat yang pekat melingkupi seluruh istana, menahan berkas-berkas sinar matahari yang biasa menelisik masuk. Jibril hampa tanpa Perak, meresahkan Raja yang teramat sayang pada putra terkasihnya.
Dikisahkan rasa rindunya yang membuncah pada selembar kertas. Jemarinya menderas, bibirnya lirih berucap, matanya menghujaninya dengan tetes air mata, mengiringi rindu yang tak tertahankan. Perak telah menawan jiwanya. Ksatria berbaju zirah itu mengacaukan pikirannya.
“Aku memetik serat senja lalu ku jadikan latar warna sajakku kali ini. Sore ini aku merindu, entah pada siapa, mungkin pada kesempatan bercinta yang tak ku punya, atau rindu pada ketulusan yang tak pernah ada.”
“Hujan itu sebuah syair, lahir dari kegundahan musim , di tulis secara sederhana oleh terik lalu di dengungkan lagi kebumi untuk memberi warna pada bunga-bunga. Segamblang itulah cintaku padamu, Ku tulis dari kegugupanku untuk memberikan nada pada bibir yang berhenti berkata-kata." Jibril melagu merindu.
Raja berderit melihat Jibril yang merana berkalang tikar, menatap kosong kelam yang terhampar, meratap nama Ksatria yang kini entah dimana. Duka Jibril telah melukai hatinya. Tak rela Raja melihat cendawan itu memupuk mata Jibril sampai bengkak. Tiraninya mengutus sekawanan ksatria untuk membawa Perak. Dikerahkan semua untuk kembalikan senyum Jibril yang sekarang berkalang bumi.
****
Lain bumi lain awan. Di hutan tempat Jiwa dan Perak menyemai cinta, hari demi hari berbulir-bulir tawa dan godaan yang indah. Di saat senja hampir menyambangi, Perak melenggang sekerat rotan, memangku sebakul buah ranum penuh cinta untuk Jiwa. Tapi sayang, sekawanan pion ksatria bertitah Raja itu menghadang, menebar ancaman atas hidup Jiwa. Perak harus kembali ke istana, agar Jiwa tak hangus di pancung salib membara.
Perak tak bisa berkata, sekawanan ksatria itu merentang panah menyala ke arah gubuk itu, api hampir mengelilingi gubuk tempat tubuh mereka bersandar. Lagi dan lagi Perak larut dalam dilema. Cintanya teramat menggunung pada Jiwa. Kasihnya teramat luas pada penyair malam itu.
Merpati tersedu, Perak mengelus perdu dengan tangan kasarnya, meneladani cinta di pelataran, menyisir sayapnya yang di tumbuhi bulu-bulu perak. Sebelum genap tangis dalam diam mengalahkannya, Perak meminang sebait sajak dalam lipatan. Meminta Merpati pagut dalam janjinya.
“Jika kali ini aku harus melenggang kaki, bukan tak lagi mencintainya, aku telah melakukannya dengan sebentuk keberanian sederhana, bukan karena membencinya alasan kupergi, aku hanya tak bisa berlama-lama dengan sebentuk jiwa yang terlalu sering membuatnya mengurai air mata. Pegang kokoh janjimu wahai Merpati, aku selalu mencintanya dalam tiap detik waktu, dalam tiap detak jantungku. Namanya tersemat dalam setiap dalam desah nafasku, bayangnya tercetak dalam kedip mataku"
Perak berlalu dengan sendu yang dalit. Merpati kelu dalam duka yang larut, janjinya pada Perak mengosongkan pikirannya. Tak terkira bagaimana Jiwa menjalani harinya tanpa Perak.
Jiwa memerangkap dirinya di gubuk itu, menanti Perak yang akan datang dengan rotan di pundaknya, atau dengan menjangan yang terjaring. Tapi matahari telah surut di barat, bulan menggantinya dengan sabit yang melintang, seorang diri tanpa gemintang yang mengedip-ngedip dengan genitnya. Gelisah mulai melecut kalbunya, pikirannya pekat, sepekat malam ini.
Bulan menghilang, berganti gerimis yang rintik. Hanya doa yang terpanjat di setiap malamnya atas Ksatria berbaju zirah itu.
*****
Perak melenggang ke istana yang megah dan gemerlap oleh zamrud, menginjak lantai istana yang memantul mengilau seperti tebaran topaz. Gerbang kamar Raja itu berkasturi, berhadang zirah bertombak runcing, serta kipas berbulu-bulu yang turun melambai-lambai.
“Bilakah semua harus tunduk pada kodrat dan kelumrahan, sungguh, ketetapan titahku adalah musuh sejatimu. Bermain-mainlah dengan indah masa kecilmu. Bukankah aku menyapihmu sedari kecil? Bukan, bukan karena kasih yang menyawang, tapi demi Jibril yang memohon agar kami memberinya kawan, meski kalian dipisahkan jarak karena abdimu pada negeri ini”
Tapi murka Raja tak mampu goyahkan tekadnya atas Jiwa.
“Lalu pada siapa aku meminta pembelaan? Aku tak punya lagi secuil asa. Lalu kuusik saja ketenangan langit jingga dan sekawanan bidadara yang memagut namanya diantara kehadiran jelaga. Lewat sebaris syair, sendu itu dia biarkan bergulir.. Rindu adalah saksi dari adanya cinta di dadanya, bukan padaku ia bertumbuh, tapi karena adanya dirimu." Raja kini mengiba, meminta asa pada Perak yang kokoh.
“Hatiku telah terpaut padanya. Bukankah ujung laut selalu nampak manyatu dengan langit, namun merekat dikalang bumi. Itulah kami, tak pernah melarut sampai kapanpun. Bukankah cinta tak selalu harus memiliki?” Perak kukuh pada tekadnya, melepas pandangan pada hamparan
Raja mengiba pun tak bisa lunturkan cintanya yang kokoh atas penyair berhati embun itu. Sampai Raja mengajaknya menyusuri lorong gelap menuju kamar Jibril yang menyepi di puncak menara, berkawan gelap dan hawa yang basah.
Pintu kayu lapuk itu terbuka. Perak terenyuh, sayap Jibril yang dulu terentang dari ufuk ke ufuk sekarang rontok, tubuhnya kisut dan matanya cekung. Iba meraja dalam pikir Perak. Sendu bertahta dalam kisaran hatinya. Tak disangka Jibril merana ditinggal olehnya. Tak dinyana Jibril yang rupawan sekarang raib pesonanya karena duka. Jibril beku saat matanya menangkap sosok yang dipujanya. Dia hanya diam, tapi mercon itu meledak-ledak dalam hatinya. Perak menyongsong Jibril yang pipinya basah oleh rindu. Bibir keringnya bergetar.
“Dibalik garis embun yang beranjak pergi, pada lapisan gerimis yang bergegas memudar, Aku menjerit tanpa suara, merintih tanpa lenguhan, menangis tanpa airmata. Sepi menyerangku tanpa belas kasihan, di hunuskannya aku dengan seribu kesenduan beracun.” Jibril mengadu.
Perak terdiam. Rindu Jibril padanya telah menyesap raganya, meraup senyumnya. Jibril berkawan sepi, berteman air mata. Tapi hati Perak hanya untuk Jiwa seorang. Jiwa yang lembut hatinya, pagutnya yang melemaskan, dan syairnya yang melarutkan. Dia tak bisa berjarak dengan Jiwa, tapi tak mampu lukai Jibril yang sekarat.
“Bagaimana mungkin aku menyetarakan cinta yang kupunya saat ini dengan banyaknya bait yang bisa kubangun di atas sebuah sajak, jika penatnya siang dan terik yang memapar terus melipatgandakan jumlahnya? Aku akan menjadi langit yang mencurah hujan untukmu. Aku akan menyerupa mega yang meneduhkan pandanganmu. Cepatlah memelukku biar kutunjukkan rindu yang tak bisa lagi digambarkan puisi.”
Perak merengkuh Jibril dalam enggan, menciumnya dalam kekakuan bercinta. Batin Jibril memagut puja dan puji pada dewa-dewi yang bertahta di nirwana, mengagungkan cupid-cupid yang lucu yang sekarang memanahinya dengan mata panah merah keemasananya.
Jibril kembali hidup. Hanya ksatria berzirah perak itu yang dia inginkan, bukan yang lain. Senyumnya kembali hidupkan istana yang sempat redup. Terompet bersahutan, kalkun-kalkun montok itu tersaji mengepul di atas meja, memenuhinya yang telah menampuk segala rupa buah dari penjuru negeri, menyambut senyum Jibril.
******
Musim bergulir. Dan di dalam semak yang membelukar, pohon-pohon yang dulu rindang sekarang meranggas, menggugurkan semua helai hijau itu yang sekarang berlarian diterpa angin. Seperti Jiwa yang hampir ikut meranggas, tapi keyakinannya atas Perak membuatnya selalu saja menunggu datangnya sang penawan hatinya saat senja. Sampai purnama berganti sabit, sabit menghilang dan bulan baru muncul, tapi Perak tak jua kembali. Dan dibawah remang rembulan, gemintang bertebaran, dan awan tipis yang mengabut, dia menjinjitkan kakinya diantara serak-serak daun. Terus mencari kabar atas ksatria yang merajai pikirannya.
Merpati juga luput lidahnya. Dia hanya sendu menatap Jiwa yang gelisah setiap pagi dan senjanya, menyaksikan malamnya yang penuh doa dan ratap. Setiap sudut telah dia jejaki, semua gua telah dia telusiri, setiap hewan bernafas tak luput dari pertanyaannya atas Perak, tapi hanya bisu yang ditemuinya. Berlembar-lembar kulit kayu itu berderas syair rindunya atas Perak sang Ksatria. Jiwa tak tahu bahwa Merpati dirudung janji pada Perak, dia tak boleh berputih lisan pada Jiwa bahwa dia ke Azzuri demi mengganti nyawa Jiwa yang terancam.
****
Selusin purnama telah melintang. Perak hampir terlupa pada Jiwa yang merintih. Iba itu mengubah diri jadi sebentuk rindu di setiap harinya. Rindu itu berkontemplasi jadi sekerat rasa yang tak dimengerti Perak. Jibril membelah hati perak lewat sisi manusianya. Perak mengawaninya mengajari para anak matahari. Menemaninya menghias telaga yang kini berbunga-bunga di tepinya. Menikmati malam dengan kecipak air dibawah purnama yang serupa cermin. Merebahkan diri pada hamparan dan menghubungkan titik-titik yang berkerlap-kerlip dengan genitnya.
“Seperti bulir dalam telisik, air mata ini menggenang dan membanjiri Sahara. Bukan, bukan nestapa yang melanda, tapi bahagia ini tuhan tampiaskan dalam pusaran hidupku. Aku mencoba memerciki lautan lewat syahdu yang mendera. Mengalun nada dalam puja-puji tak terkira. Satu desah nafaskmu makin menjulangkan sukmaku.”
Perak terlena dalam rengkuhan hangat Jibril, melupa Jiwa yang lintang pukang mencarinya.
@romeoborneo. hehe. makasih dah nyempetin baca ya