It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
BENG BENG
Matahari menyembul di timur laut, tampak kemerahan seperti bayi yang baru lahir, menggemaskan. Hangatnya sampai menguapkan butir-butir embun yang dengan tenangnya hinggapi pucuk rumput-rumput berdaun jarum itu. Hawa dingin mengabut itu kelur dari mulut kecilmu, menandakan hari ini memang cukup dingin. Bahkan membuatmu semakin merekatkan jaket yang membalut tubuh ringkihmu.
Tapi hari ini senyuman manis itu nampak jelas terkulum di bibir manismu yang jarang mengeluarkan kata itu. Kamu acuhkan segelas susu hangat yang dijerangkan oleh ibumu. Kamu hanya mengambil apa yang diletakkan ibumu disamping pisin tempat gelas itu tegak.
Dua bungkus lebih tepatnya. Satu untukmu, dan satu lagi untuk seseorang yang pasti sudah duduk di bangku kelas yang sedang dituju olehmu. Dan ini adalah bungkus ke tujuh yang akan kamu serahkan seperti hari kemarin. Sebuah pita kecil yang manis diikatkan di tengahnya, pita biru muda yang meliuk terlipat indah itu.
Kamu meraih sepeda putih mengilat yang tergolek di belakang rumahmu, mengayuhnya dengan riang bahkan bersiul-siul penuh nada. Nafasmu tersengal saat mendaki tanjakan, tapi lagi-lagi senyuman itu tak juga lepas dari bibirmu. Senyuman itu sudah tercetak sedari shubuh tadi, meskipun gigimu gemelutuk karena bekunya shubuh hari ini. Senyum manis tanpa syarat. Kayuhanmu tak juga mengendur bahkan semakin menderas jalan berbatu sesaat setelah nampak ujung bubungan sekolah itu. Kamu harus segera kesana, mendahului siswa-siswa lain.
Selepas mengusapnya dengan kain perca dan mengunci sepedamu, dan tak lupa kamu sematkan secarik kertas yang wangi baunya dan bertulis tanganmu, kamu berlari menuju ruang kelas itu. Tanah masih basah oleh air yang baru disiramkan petugas yang sudah tampak tua itu. Bahkan sapaan penjaga sekolah itu juga hanya lalu ditelingamu. Ya, kamu tuli saat ini. Kamu gagu saat ini. Yang bisa kamu lakukan hanya dua hal, tersenyum dan berlari menderas jalan.
Nafasmu semakin memburu saat pintu kelas itu terbuka. Kamu menyeka bulir-bulir keringat di dahimu dengan handuk kecil yang selalu diselipkan ibumu di saku belakang celanamu. Benar saja, seorang anak lelaki tampak sedang membaca buku sendirian, di sudut kelas yang masih sepi ini. Karena kamu tahu, dia akan selalu paling awal duduk di bangku itu, mendahuli kawan-kawanmu yang lain. Menumpang mobil kolt dan bersanding dengan sayur-sayur yang hendak ke ke pasar.
Lagi-lagi kamu tersenyum, mencoba bersikap tenang sambil berjalan menjangkau kursi disebalah kawanmu yang sedang menggenggam buku. Kamu duduk tanpa bersuara. Tak mau mengganggu keasikan karibmu itu. Tapi deru nafasmu tentu saja terdengar olehnya meskipun kamu telah sekuat tenaga mengatur hembus nafasmu. Detak jantungmu yang berdegup seperti musim lebaran pun juga pasti terdengar oleh kawanmu itu. Dan kamu masih tersenyum bahkan saat kawanmu memalingkan muka darimu.
Tangan putihmu mengangsurkan apa yang tadi dibalut dengan pita biru muda tadi. Lagi-lagi kawanmu itu mendengus seolah kamu tadi telah begitu berisik didepan telinganya.
“Beng Beng lagi? Ini sudah kali ketujuh kalinya kamu memberiku sebuah beng beng. Dan..apa ini? Kenapa kamu membalutnya dengan pita? Kamu...aneh”
Pandangan jijik itu dengan ujung bibir tertarik sebelah tak melunturkan senyum itu. Dan kamu mengangsurkan kembali dan dengan mendengus-dengus kawanmu menarik kasar, bahkan hampir memustukan pita kecil itu dan melemparkannya ke kolong meja dengan kasarnya. Matamu yang kecil itu sedikit meredup, tapi senyum itu kamu usahakan tak berkurang sesentipun.
Dan kini kamu meninggalkan kawanmu yang kembali menenggelamkan dirinya dalam buku yang sedang dijelajahi oleh matanya yang gelap itu. Kamupun melenggang meninggalkannya sendiri sambil memainkan tali tas yang melintangi pundakmu.
*****
Suasana kelas masih ramai, seperti biasa. Tapi kamu hanya duduk di sebuah bangku taman di depan kantor sekolah itu. Kamu tak tahu bahwa kawanmu tampak mencari-cari sosokmu, sosok yang minggu lalu dia tinggalkan dan lebih memilih bertukar tempat duduk dengan kawan yang lain demi menghindarimu. Kawan yang kesehariannya tampak begitu enggan di dekatmu kini merasa gelisah karena tak mendapatimu di ruangan kelas. Tak ada acungan tanganmu yang bisa menjawab pertanyaan guru tentang fungsi organ-organ tubuh. Tak ada sipu malumu saat guru memuji nilai sempurnamu. Tak ada tawa renyahmu saat dia menceritakan cerita-cerita lucu.
Kamu tak tahu itu, karena sekarang kamu sedang menunggu ibumu keluar dari ruang kecil yang sedikit mewah dari ruang yang lain itu, mengahadap orang yang berwenang paling tinggi atas apapaun di sekolahmu.
Tak terhitung berapa kali kamu memandangi jam tangan itu, jam tangan yang kawanmu pilihkan saat kamu memintanya untuk menemanimu jalan-jalan mencari jam tangan. Karena kamu bilang kamu butuh jam tangan sekarang, demi tahu jam berapa saja kamu harus segera berangkat untuk les. Padahal kawanmu tak pernah tahu bahwa hari itu adalah hari ulang tahunmu.
Dan akhirnya kamu bernafas lega karena ibumu telah nampak, mengapit berkas dibawah ketiaknya. Sebuah tas juga tersampir di lekuk sikut ibumu, menghiasi gelung raut ibumu yang masih tampak energik itu. Ibumu itu tampak cantik dengan rok selutut dan sepatu berhak rendah.
Ibu dan juga kepala sekolahmu dan juga beberapa guru tampak menghampirimu. Mengusap rambutmu yang keemasan itu.
“Kami semua akan sangat kehilanganmu Nak. Kamu yang rajin ya belajar di sekolahmu yang baru. Dan SMA negeri ini akan sangat-sangat merindukan siswa sepertimu”
“Sering-sering lah main ke SMA ini Nak, meskipun kamu tak lagi bersekolah disini tapi kami yakin, teman-temanmu akan sangat merindukanmu.”
Dan lagi-lagi kamu hanya membalas dengan sunggingan senyum. Tak mau berkata-kata, padahal aku tahu dadamu sesak bukan buatan. Kamu tetap kukuh memegang janjimu pada kawanmu itu untuk tak pernah lagi menangis, seperti janjimu tujuh tahun yang lalu saat kamu dikelilingi berandal-berandal berseragam putih-biru itu.
*****
Aku yakin kamu masih ingat, suatu sore yang teduh tujuh tahun lalu. Kelas lima SD lebih tepatnya. Saat kamu melenggang riang selepas belajar bersama kawanmu, kamu tersentak oleh hadangan beberapa berandal bercelana seragam biru. Mengulurkan tangannya meminta uang yang setiap harinya ibumu selipkan di saku bajumu. Kamu merengut, karena kamu rela tak jajan bersama yang lain demi membeli sesuatu esok hari bersama kawanmu.
Tapi akhirnya kamu hanya bisa menangis beteriak-teriak diantara derai tawa berandal berusia tanggung itu yang memegangi kedua tanganmu. Kamu masih meronta, memelas dan mengiba agar uang kamu tak diambil olehnya. Tapi kamu waktu itu masih terlalu kecil untuk melawan. Dan kamu hanya bisa tersungkur sembari menangis sampai akhirnya kawanmu yang berambut kriting gimbal itu datang.
Dia datang dan terus memarahimu sambil menggendong tubuhmu. Dan di ujung isakanmu, kamu tersenyum mendengar ocehan kawanmu tentang kamu yang begitu lemah. Dan saat itu, kamu memegang janji, janji yang kamu pegang sampai saat ini. Bahwa kamu tak akan pernah menangis lagi.
Dan hari itu pula, kamu mulai merasa bingung dengan apa yang kamu rasakan dalam hatimu. Kamu bertanya-tanya, apakah ini cinta? Tapi definisi cinta sendiri masih tak lazim untuk anak sekecil kamu saat itu. entahlah, hanya kamu yang tahu apa yang kamu rasakan.
****
Lagi-lagi kamu hanya tersenyum. Memandang ke arah kelas yang kemarin masih sempat kamu tertawa di dalamnya. Menerawang saat kawanmu mencontek tugas dan saat kamu menjelaskan rumus yang berderas-deras. Aku tahu dadamu sesak, dan kulihat tanganmu mengepal saat mengingat semua kenangan yang tercetak setahun ini.
Tapi sayang, kamu tak melihat bagaimana raut bekas kawan sebangkumu itu. Bagaimana rupa gelisahnya saat gurumu yang sedang berdiri di depan kelas memberi tahu seluruh kawan sekelasmu, bahwa kamu akan pindah sekolah dari sini, meninggalkan dia dengan kebingungan atas perasaannya. Meninggalkan dia dengan rasa bersalah karena mengacuhkanmu belakangan ini. Meninggalkan dia dengan penolakan atas rasa yang selama ini membuncah dan membuat kalut dirinya.
Kamu tak melihat matanya yang tampak memerah saat dia berlari menghambur ke arahmu saat guru di kelasnya telah menutup pintu. Ya, kamu hanya tersentak saat kawanmu yang kamu sayangi itu merangkulmu erat. Badanmu tampak bergetar saat yang lain ikut memberondongmu dan mengelu-elukanmu. Kamu yang selama ini tak banyak tingkah. Kamu yang selama ini kadang mereka ledeki karena keenggananmu bermain bola. Kamu yang selama ini sering disoraki seperti Batman dan Robin dengan kawanmu itu karena kalian berdua serenteng dan tak terpisahkan. Dan satu tetes air matamu akhirnya jatuh, menitik di pundak kawanmu yang sekarang masih tersedu.
Dan saat kawanmu menarik tanganmu, kamu hanya berusaha menyesuaikan langkahnya, tergopoh-gopoh mengikuti langkah panjangnya. Kalian berdua terdiam di bawah pohon kersen yang berbuah merah kecil-kecil itu. Kamu meraba batangnya. Mengingat saat dulu kawanmu mengulurkan tangannya hendak membantumu naik ke dahannya. Meyakinkanmu bahwa ketinggian itu adalah hal indah dan bersensasi. Mengingat saat kawanmu menantangmu bergelayut paling lama di dahan itu. Dan kamu tertawa lirih.
Kawanmu membersihkan daun-daun yang terserak lantas duduk bersandar ke batang kersen itu, seperti bulan-bulan lalu sebelum dia menjauh darimu. Dia memeluk lututnya dan dia menangis tanpa suara. Kamu tak tahu bahwa sesal itu meledak-ledak dalam dadanya. Marah dan takut itu bercampur aduk tapi tak mampu dia ucapkan. Dia juga ingin katakan bahwa dia merasakan hal yang sama sepertimu. Tapi kelumrahan tak mengizinkan dua insan berkelamin sama bahagia mereguk indahnya asmara.
Kamu ikut duduk disampingnya. Memegang bahunya yang kokoh. Kamu mengangkat wajahnya, menyeka keringat dan air matanya dengan handuk yang selalu terselip di saku celanamu. Dan senyum terbaikmu kamu ulaskan di bibir tipismu. Senyum yang membuat kawanmu meraih tanganmu dan menciuminya, membasahi tanganmu dengar linang air matanya. Dia tak lagi peduli pada pandangan kawan-kawan sekelasmu.
Dan kalian berdua hanya diam. Diam yang sesak. Diam yang menjelaskan banyak hal, banyak rasa dan banyak kenangan. Kalian berteriak lewat tatapan mata, lewat desah nafas, lewat erat genggaman tangan. Dan ulasan senyum terakhirmu tersungging, dengan tangan mengulur, menyerahkan sebuah benda kecil di genggam tanganmu.
“Ambil kunci ini. Aku akan menemani setiap harimu. Aku akan menemani kamu di tiap pagimu, mengantarkan dengan derasku. Ya, aku akan menggendongmu. Mengantarkan kemanapun kamu hendak pergi. Membuatmu melesat diantara jalan berbatu dan terjal liku jalan ke rumahmu.”
Kawanmu hanya menatap matamu yang kini mulai merah. Dan dia mengeluarkan tujuh bungkus Beng Beng dalam sebuah plastik bening. Tampak olehmu, satu bengbeng berbalut pita biru muda.
“Tujuh bungkus Bengbeng ini mewakili tujuh tahun kebersamaan kita. Tujuh tahun perasaan yang kusemat dalam hatiku. Dan hari ini, aku pamit. Dan maaf karena aku mencintaimu tujuh tahun ini..”
*****
Kamu tampak melihat ke arah jendela mobil yang dikemudikan ibumu yang cantik itu. Tak menjawab setiap pertanyaan yang ibumu lontarkan. Tak tersenyum mendengar liburan yang ibumu tawarkan. Aku tahu pikiranmu tak ada di dalam ragamu. Kosong. Pikiranmu melayang menikmati tujuh tahun kamu bersama karibmu itu.
Tapi kamu tak tahu, sekarang kawanmu sedang tersedu di samping sepeda yang kamu hadiahkan padanya pagi ini. Dia meratapi penyesalannya. Dia mengutuki keegoannya. Dan dia tak mampu berkata-kata. Dia selalu bilang padamu bahwa dia tak pernah mau menerima apapun dari kamu, karena miskin baginya bukan berarti mengiba. Dan kamu tak mendengar janjinya untuk membuatkan kotak indah berukir untuk tujuh bungkus Beng Beng darimu.
Dan kamu tak mendengar bagaimana dia lirih menyematkan nama Beng Beng pada sepeda putih yang hadiahkan padanya, sepeda yang kamu beli dari uang tabunganmu selama tujuh tahun itu.
END
Aku meletakkan carrier-ku diatas kursi besi di halte ini. Bus yang membawaku kesini sudah melaju meninggalkanku bersama asap hitam yang mengepul, mengotori udara di bawah langit yang masih memendarkan warna jingga keemasan. Kutengok jam tanganku, jarum panjang itu masih anteng berputar, sedang jarum pendek tebalnya masih berkisar di angka empat. Senja sebentar lagi mengunjungiku. Dan awan gemawan itu tampak seperti cendawan kejinggaan yang indah. Angin juga menghembusi kulit wajahku dan menimbulkan sensasi dingin yang menyejukkan.
Akhirnya aku kembali ke tanah kelahiranku.
Ah, aku harus segera sampai ke rumah. Aku sudah rindu dengan ibuku, sosok yang sangat berjasa dalam hidupku.
Ojeg yang telah mengantarku sampai ke depan teras rumahku sudah berlalu, meninggalkanku yang sedang mengulum senyum, menanti raut terkejut ibu saat mendapati aku, anaknya yang sudah hampir setahun ini tak pulang. Tiga kali ketukan pintu rasanya sudah cukup untuk memberitahu pada ibu bahwa ada orang di teras ini. Dan aku semakin mematut diri saat telingaku menangkap suara langkah tergesa ke arah pintu tepat di depan hidungku.
Aku harus terlihat bugar dan menawan di depan ibuku.
Benar saja. Ibu terlonjak kaget dan langsung memelukku sebelum aku sempat mencium kedua tangannya yang sudah mulai keriput itu. Aku sampai malu sendiri ketika kecupan bibir ibu mendarat di dahiku. Rasanya aku sudah terlalu tua untuk dikecup oleh seorang ibu. Tapi jujur aku senang sekali dengan tingkahnya. Menyambut dan membuatku merasa dirindukan kepulanganku adalah hal yang indah.
Ternyata aku yang seperti ini masih menjadi anak dimatanya.
Aku hanya duduk sambil menggeleng memerhatikan ibu yang tampak sibuk sendiri, berlalu-lalang sambil tertawa-tawa. Menaruh beberapa toples dan juga secangkir teh manis hangat sambil memberondongku dengan banyak sekali pertanyaan. Aku pun menanggapinya dengan menahan tawa. Ah ibu, kau masih saja seperti dulu. Bertanya ini itu, bercerita tentang siapa, kapan dan begini-begitu. Menyindirku tentang anak gadis tetangga yang terus saja menanyakanku. Dan mengatakan perubahan raga dan rupaku sampai membuatnya pangling tadi. Aku tersipu lagi di depan ibu. Tersipu bahagia.
“Selalu saja kamu tak pernah bilang kalau akan pulang. Dan rasanya setahun itu amat sangat lama sampai-sampai ibu tadi tak mengenalmu. Kamu semakin terlihat putih Nak, terlihat rupawan sekali bak bentang pelm di televisi itu, siapa itu...ah, kamu mirip Rezky yang di Putri Tertukar itu..”
Aku terkekeh mendengarnya. Pujian yang terdengar konyol itu memang harus kuakui sedikit membesarkan ruang di lubang hidungku. Ibu memang penyuka sinetron, seperti lumrahnya ibu-ibu lain. Dulu sering sekali ibu mengomel selepas nonton sinetron, atau setelah menonton berita tentang kawin-cerai para selebritis. Dan aku hanya diam mendengar celotehan ibu sembari masak.
Kami bertukar kisah, tentang siapa-siapa teman sekolahku dulu yanng sudah menikah dan punya anak. Tentang sanak dan tetangga yang telah meninggal dunia, bahkan tentang ternak-ternak yang sebenarnya tak perlu dicakapkan ibu. Tapi aku bahagia. Bukankah hal tak penting menjadi begitu menarik bila kita cakapkan dengan orang tersayang?
Sampai akhirnya ibu bergegas ke dapur. Ibu menjerang air untuk mandiku, karena ibu tahu, air di kampungku sekarang terasa seperti air es yang akan membuatku gemelutuk, meskipun dimuka senja.
“Tapi sayang, adikmu sekarang sedang PKL di kota. Sekarang dia semakin tinggi, bahkan hampir mengalahkan tinggimu” ibu bicara sedikit keras dari dapur.
Adikku. Ah, aku memang rindu dia. Rindu dia dengan sangat. Tapi ibu tak tahu bahwa aku sengaja pulang sekarang karena aku sudah tahu bahwa adikku tak ada di rumah. Dan malu-malu harus kuakui bahwa aku merindukan adikku yang begitu pandai membuat masalah, membuatku gusar sampai kadang membuatku menangis... entahlah, apa aku terlalu lancang untuk merindukannya. Tidak. Aku tak boleh merinduinya. Rindu yang kurasakan ini harusnya bisa kubatasi, serta kulabeli dengan jelas. Dia itu adikku.
Aku segera melenggang ke arah kamarku, yang juga kamar adikku sekarang. Kuhempaskan carrier-ku diatas kasur tanpa ranjang itu. Kain penutupnya sekarang sudah berganti menjadi kain bergambar logo klub sepakbola kesukaan adikku, Mancester United.
Aku ingat, dulu aku menghardik adikku yang terus saja mengejek kain penutup kasurku yang bermotif Winnie The Pooh. Dia juga terus saja meracau tentang poster-poster yang kutempeli dinding kamarku dengan idolaku, Marshanda. Juga kliping bergambar artis-artis serta lirik-lirik lagu penyanyi bersuara emas, Mariah Carey. Dan aku hanya bisa mengadu pada ibu. Ibulah yang akhirnya melerai kami berdua.
Itu lima tahun lalu.
*****
Tapi awal aku menghindari adikku adalah setelah kejadian itu, kejadian di dua tahun kemarin. Setelah lulus sekolah, aku memilih hijrah ke kota, mencari penghasilan sendiri demi membantu ibu yang berjuang menghidupi kami selepas ayah pergi dan kakak perempuanku yang sudah dibopong ke rumah suaminya di kota.
Waktu itu aku merantau sudah hampir setahun. Selepas gajian, aku menyengaja pulang kampung, layaknya para perantau lainnya. Aku sudah berikrar untuk membelikan baju batik dan juga kebaya untuk ibu, agar saat kondangan beliau semakin terlihat cantik. Tentu saja ibuku harus terlihat cantik.
Tak lupa, aku juga membelikan sebuah sepatu buat adikku. Adikku memang sangat menyukai sepatu, dan sudah lama ibu tak membelikan dia sepatu baru.
Setelah tak bertemu adikku selama hampir setahun lepas, aku mendapati seorang anak berbadan jangkung, berkulit putih sedang tersenyum ke arahku di depan pintu. Menyambutku dan meraih tas yang tersampir di pundakku. Dia menyalami dan mencium tanganku. Tuhanku. Adikku yang berandal itu sekarang telah tumbuh, menjelma menjadi seorang yang...ah, terlalu berlebihan kubilang rupanya sempurna layaknya Yusuf, tapi dia telah memesonaku. Aku menahan nafas dan semakin lama menahan kedip.
Bodoh. Dia itu adikku sendiri. Darahnya mengalir dalam darahku.
Sesaat setelah itu aku menjadi gagu. Aku bingung dengan apa yang kurasakan. Aku memang punya rasa cinta yang unik, tapi kenapa tuhan mengujiku lagi lewat adikku?
Tapi adikku yang dulu berandal itu semakin bertingkah. Kulihat ada bekas tindik di telinga kirinya. Tapi saat ini dia pasti tak memakainya karena itu akan membuat ibu murka. Rambutnya berantakan sekali, tapi justru berantakan itu malah semakin membuatnya terlihat liar. Liar yang menawan. Dan satu yang membuatku tak bisa berhenti memerhatikannya. Dia memasang barbel di lidahnya. Beberapa kali dia memainkan barbel itu dengan lidahnya sendiri, dan semakin mengingatkanku pada seseorang yang sekarang sudah pergi kemana. Orang yang mengenalkanku pada nikmatnya bertukar lendir.
Saat itu ibu terus aja mengoceh di depanku. Bertanya banyak hal tentang kota. Seberapa besar Istiqlal itu, atau lebih tinggi mana Monas dengan gunung yang ada di kamungku. Tapi aku terus saja mencuri-curi pandang pada adikku yang sedang duduk di dipan sambil memainkan gitarnya, dengan segelas kopi mengepul di sampingnya.
Dan malamnya, aku dibuat gelisah karena kami berdua bersisian. Aku tak mampu menyurutkan debar jantungku yang terasa kencang sekali. Apalagi saat adikku membalikkan wajahnya, bertanya padaku tentang bagaimana hidup di kota itu. Bagaimana rasanya naik Hysteria di Dufan. Dan bertanya apakah aku pernah bertemu drummer atau gitaris band kesukaannya, Netral. Juga pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku beku.
Aku kelu. Diam dan gagu.
*****
Dan sekarang, kamar ini tampak begitu berbeda dari tahun kemarin. Poster-poster Avenged Sevenfold, Valentino Rossy dan juga OI menempeli dinding kamarku. Dan aku sedikit kaget karena posterku ternyata tak dibuang, hanya dipindahkan ke tempat yang tak begitu terlihat. Dia begitu pandai menempatkan segala sesuatu itu agar terlihat artistik. Bukan indah, tapi terlihat berseni. Aku juga mendapati beberapa action figure pemain bola idolanya, dan juga tokoh-tokoh manga kesukaannya. Dia memang pecinta kartun kelas wahid. Terutama Naruto dan juga One Piece.
Dan saat aku menjangkau sebuah meja pendek itu, aku mendapati buku-buku pelajarannya yang tak terlalu rapi, disandingi sebatang lampu belajar yang tampak melengkung. Itu lampu belajarku dulu. Di depan meja belajar itu tampak satu papan stereofoam yang ditempeli jadwal pelajaran dan juga beberapa potonya, termasuk foto kecilnya bersama cukup banyak perempuan yang cantik. Tak dinyana adikku yang rupawan ini akan menjadi seorang pewaris jiwa Cassanova.
Panggilan ibu dari dapur menyadarkanku. Aku harus segera mandi, walaupun sebenarnya terasa malas sekali. Aku yang biasa mandi berlama-lama, disini rasanya baru saja segayung air menyentuh kulit, aku sudah ingin memakai handuk. Tapi setidaknya air hangat yang dijerangkan ibu tak terlalu menyiksa, walaupun kata menyiksa terlalu berlebihan.
****
Matahari yang menyembul dibalik bukit terasa hangat, terlebih suara bebek-bebek yang cerewet saling bersaing dengan cicit burung yang bertengger di dahan beluntas. Ah, pagi hari di kampungku itu seperti surga. Tadinya aku hendak mengunjungi kawan-kawanku di kota, tapi tak sengaja aku mencuri dengar saat ibu sedang menelpon seseorang.
“De, cepatlah kau pulang Nak. Kakak kau pulang. sudah lama kau tak nampak kakak kau kan?”
Dan aku mulai gelisah mendengar percakapan antara ibu dan adikku di telpon. Aku kalang kabut. Jujur aku tak mau melihat adikku, bukan aku tak rindu, tapi aku tak mau mengagumi adikku sebagai sosok lain. Rasa ini saja sudah salah, apalagi aku harus mencintai adikku sendiri. Dosa dan nista ini berlapis-lapis sampai aku tak tahu harus meminta ampun seperti apa pada tuhan.
Aku segera bergegas memberesi pakaianku dan berbohong pada ibu bahwa perusahaan tempatku bekerja menyuruhku untuk segera kembali ke kota. Mendesak, itu kata yang tak bisa dibantah ibu. Ibu pasti tak ingin aku mendapati masalah dengan perusaan. Dan rasa bersalah melingkupiku karena aku harus berbohong pada orang yang mengandung dan menyapihku.
Tak lama aku mendapati ojeg datang ke rumahku karena tetanggaku berbaik hati mencarikannya. Kulihat raut sedih ibu. Masih ingin melepas rindu, ujar beliau. Tapi apa daya, aku tak ingin bertemu adikku.
*****
Cukup lama aku berdiri disini, di sebuah halte tempat menunggu bus yang akan membawaku ke kota. Tapi saat aku melihat ada bus yang harus kunaiki, aku melihat ada seorang yang tampak menuju ke arahku. Mataku mengerjap beberapa kali untuk memastikan siapa orang itu. Tidak, dia adikku. Aku berdo’a dalam hati agar bus itu segera menepi di depanku agar aku langsung masuk dan tak menemuinya.
Tapi sorot mata orang yang sekarang berhenti di depanku membuatku sedikit gelagapan. Pandangan tajamnya tampak rumit sekali.
“Kak...”
Aku mencoba tersenyum. Dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku lantas menciumnya.
******
Aku masih memegang pinggangnya. Tak berani berkata sedikitpun. Kami berdua masih menikmati bisu yang sunyi. Bisu yang membuatku merasa mengerut dan megap-megap. Tapi jalan berbatu ini membuatku hampir bertanya-tanya, kenapa dia membawaku ke tempat itu lagi, tempat dulu kami selalu diajak oleh ayah saat awal musim hujan.
Dan akhirnya kami berdua duduk di atas batu besar, batu dimana dulu kami berdua selalu ternganga saat ayah menceritkan sebuah kisah epik masa lalunya yang hebat. Bagaimana beliau hidup pada masa pemberontakan dan juga kegetiran selepas Orde Lama dilengserkan. Intonasi suara ayah serta temponya yang tak teratur justru membuatku semakin melekat padanya.
Aku memandangi hamparan kemuning padi yang seperti serakan emas, terbelah oleh jalan setapak dan sungai-sungai kecil. Beberapa pohon kelapa nampak seperti tuhan tempatkan pada letak yang begitu nikmat dipandang mata. Saung-saung beratap jerami tampak coklat mengilat ditimpa cahaya matahari. Para petani tampak seperti semut, berjalan tergopoh-gopoh dengan karung beras di tangan dan bakul di punggung.
Aku mengerjap.
“Kenapa Kakak selalu lari dariku?”
Kalimat pertama itu menohok sangat pada hatiku. Kenapa? Kalau aku berkata yang sejujurnya, apakah kamu masih akan bertanya lagi, ujarku dalam hati.
“Aku tak pernah tahu apa yang membuat kakak selalu menghindariku. Apa kakak malu mempunyai adik berandal seperti aku?” dia bicara tapi wajahnya membelakangiku. “Kenapa kakak selalu lari dariku? Kenapa kakak tak pernah mau bercengkrama denganku barang sehari dua hari? Kenapa Kak?”
Aku hendak membuka mulut dan mengatakan penyangkalan, tapi lidahku tercekat. Aku gagu dan tak bisa berkata-kata. Lidahku seumpana direkatkan ke langit-langit. Tapi aku harus memberi penjelasan. Aku tak mau dia berpikir aku tak menyayanginya atau mungkin malu karena dilekatkan nama saudara pada dia yang berandal.
“Kamu sudah besar ya sekarang...” ucapku yang membuatnya menoleh tajam ke arahku. Dia memicingkan mata seperti mencari-cari jawaban dalam mataku.
“Aku memang sudah besar Kak, tapi seberapa besar dan dewasa pun aku, aku tetap dan akan masih menjadi adikmu. Aku butuh nasihat dari seorang kakak, aku ingin diajari dan berbagi cerita dengan kakak” dia mencelos dan aku tak tahu harus berkata atau berbuat apa.
“Apa karena kakak sibuk? Apa karena kakak malu? Atau karena kakak...suka aku?” tatapan matanya melunak dan perasaanku ambruk sekarang. Dia menyadarinya. Dia sadar bahwa aku mempunyai rasa yang unik, dan tak bisa menahan diri dari mengaguminya.
“Aku faham Kak, bertahun-tahun hidup serumah dengan kakak aku sudah bisa tahu apa dan bagaimana kakak itu. Apa aku pernah pedulikan kakak yang...seorang gay?” dia terdengar berhati-hati menyebut kata yang tabu itu. Satu kata yang akan menghantarku pada hujatan dan cercaan.
“Aku tak peduli Kak. Bodoh kalau aku membenci kakak, orang yang paling dibanggakan ayah dan ibu, orang yang sudah banting tulang demi aku sekolah, demi menghidupi ibu... Durhaka bila aku membenci kakak..”
Itu adalah pujian yang terasa menohok hatiku.
“Tolong jangan lari lagi dari aku Kak, karena apapaun dan bagaimana pun, orang yang ada dihadapanku tetap kakakku...”
Tak terasa mataku yang dari tadi terasa perih, kini sudah mengalirkan air mata. Mendengar hal itu membuat ulu hatiku terasa sakit.
“Aku mohon, menginaplah semalam ini. Aku ingin menghabiskan malam yang langka ini bersama ibu dan juga kakak.”
Akhirnya aku mengalah pada egoku. Benar, aku terlalu egois. Harusnya aku lebih kuat dan lebih bisa mengatur perasaanku. Aku kakaknya, aku harus kuat. Aku tak boleh larut dalam rasa yang menjebak ini.
Dan malam itu, adikku memintaku membuatkan opor ayam kesukaannya, menunjukkan foto-fotoku saat liburan dan meminta untuk mengajarinya menggunakan piranti tercanggihku. Kami bertiga bercengkrama yang hangat, bercerita dan berbagi tawa. Dia berceloteh dan sesekali ibu mendengus saat dia mencelos kenakalannya.
Aku bahagia tuhan, aku bahagia meskipun hati ini terasa sakit. Aku bahagia karena Kau limpahkan semua karunia yang bahkan aku sendiri tak mampu mengingkarinya. Terlalu baik Kau pada mahluk sepertiku. Terlalu pengasih Kau pada orang yang selalu memunggungi-Mu. Tak banyak yang mampu aku mintakan pada Engkau, cukup Kau jaga agar aku tak menyayangi adikku dengan porsi lain. Cukup limpahkan apa yang terbaik untuk ibu. Jaga dan lindungi adikku agar ia tak seperti aku nantinya.
BLACK SWAN
Aku berada disini, dengan sebuah spatula di tangan, menghadap ke arah wajan yang mengepul. Bau wangi tercium dari piring-piring yang terhidang di balik tudung saji. Masih hangat untuk mengisi perut ibu dan juga adikku yang mungkin sekarang masih di tempat megah itu. Ah, aku harus menyajikan makanan paling enak hari ini. Karena hari ini adikku yang cantik itu akan menghadapi hari besar. Wisuda.
Tadi pagi dia sudah nampak begitu cantik bak bidadri yang sering berwara-wiri di atas pelangi. Dia bahkan membilas tubuhnya sambil melantunkan nada-nada indah di balik ulas senyumnya. Aku hanya bisa ikut tersenyum untuknya. Aku pasti ikut berbahagia di setiap derai tawanya. Tak lain dengan ibu. Beliau juga tampak cantik dengan baju encim berwarna coklat mudanya. Pagi inilah senyum terbaik ibu sunggingkankan, membuat ibu nampak seperti lima tahun lalu, saat tiba-tiba ayah pulang dan menghadiahi ibu sebuah baju terbaiknya itu.
Aku masih mematut kerudungku di depan cermin besar rumah ini. Dan ini kulakukan entah untuk ke berapa kalinya. Dan aku kembali menaburkan bedak itu ke pipiku, membuat diriku merasa cantik. Tak lupa kusemprotkan dari botol itu ke bajuku, membuatku girang saat mencuim wangi dari ujung lengan bajuku. Tentu saja, aku harus tampil cantik dan harum di depan adikku saat dia pulang nanti. Biar dia betah berlama memeluk aku bahagia ini.
Senja mulai turun. Tapi tak ada lembayung jingga yang menghiasi barat. Tak nampak burung-burung yang kembali ke peraduannya. Hanya suara serangga malam yang mulai bernyanyi dengan bahasanya. Tapi kenapa sampai senja begini ibu dan juga adikku belum juga pulang? Ah, pasti yang namanya wisuda itu berlangsung cukup lama. Karena saat aku mencuri dengar percakapan mereka, seratusan orang yang akan di wisuda. Ya, pasti wisuda itu ramai dan penuh derai tawa.
Tepat lima menit sebelum panggilan tuhan berkumandang dengan merdunya diiringi tabuhan bedug di surau, aku mendengar suara dari dua orang yang paling kusayang melebihi diriku sendiri, sekarang sedang bercakap-cakap di depan rumah. Tak ada tawa ibu seperti tadi pagi, tak ada nada merdu yang terlontar dari mulut kecil adikku. Dengan tergesa aku segera menjangkau daun pintu, dan langsung mendapati raut adikku yang masam ke arahku.
“Ibu mau mereka membatalkannya? Ibu kan tadi lihat sendiri bagaimana dia dan juga keluarganya.” Kata adikku, tapi matanya menghujam ke arahku.
Ibu hanya mengalihkan pandangannya ke arahku yang sekarang sedang bingung. Aku tak tahu apa yang terjadi tadi saat wisuda. Karena saat ibu menawariku untuk ikut, aku lebih memilih tinggal disini, menghidangkan makanan terbaik untuk adikku. Dan tentu saja aku tak mau membuat mata teman-teman adikku mengernyit saat menatapku. Aku tak mau adikku dibuat repot untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kawannya nanti.
Ibu tampak berusaha tersenyum ke arahku. Aku tahu beliau hendak mengatakan sesuatu tapi seakan ada kunci yang kokoh di mulutnya yang penuh petuah itu. Dan sekarang aku seperti patung. Tak tahu apa yang sedang terjadi antara ibu dan juga adikku yang cantik itu. Tapi di pikiranku tentang wisuda sekarang berubah. Wisuda itu pasti menegangkan.
Aku berusaha meleraikan mereka dengan membuka tudung saji di atas meja yang menghamparkan masakan terbaik yang ku buat sepanjang masaku, lebih banyak dari lebaran kemarin malah. Karena bagiku wisuda adikku itu lebih raya dari lebaran puasa. Gerbang menuju kesuksesan adikku. Gerbang yang akan mengantarkan adikku yang cantik dan cerdas ke kantor-kantor atau instansi pemerintah yang megah itu. Tapi adikku hanya berlalu ke kamarnya dengan pintu berdebam. Sedang ibu tampak berusaha menjaga senyumnya padaku. Beliau mengelus pundakku dan mendudukanku di kursi kayu itu, menghadap meja dan memintaku makan. Adikku terlalu lelah kata ibuku.
Ternyata wisuda itu sangat melelahkan dan melunturkan selera makan seseorang.
Tak ada kepulan lagi dari atas piring-piring saji. Semuanya telah dingin sedingin senyum ibu. Kupandangi piring ibu yang hanya berkurang satu sendok. Apa aku tadi terlalu banyak memasukkan garam? Ataukah ayam yang kumasak itu terlalu alot? Ataukah belum matang? Mendapati rautku ibu langsung menyuapkan lagi sendoknya.
Kami berdua makan tanpa banyak bersuara. Karena sedari kecil, saat aku hendak bertanya, ibu selalu menempelkan jari lentiknya diatas bibir. Aku sedikit merengut. Tadinya aku hendak meminta adikku untuk menunjukkan foto-foto saat wisuda itu. Aku yakin adikku adalah yang tercantik diantara deretan gadis-gadis lain di aula kampus itu. Aku yakin senyum riangnya terlukis indah di balik layar kamera digital yang kuhadiahkan tahun lalu. Kamera yang ditunjuk olehnya saat kami berdua jalan-jalan di mall tempo hari. Dan aku menabung gajiku selama beberapa bulan untuk menghadiahkannya sebagai kado ulang tahunnya.
Beberapa kali aku menengok ke arah kamar adikku yang dari kamarnya terdengar musik yang berdentum-dentum. Ibu tak menoleh, padahal biasanya ibu akan memarahinya karena maghrib bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan musik. Beliau akan mengingatkan untuk mengambil air wudlu dan segera menghadap tuhan. Dan juga mengingatkan bahwa tetangga kami yang cerewet itu sering mengocehkan hal itu.
Ibu menyuruhku untuk sholat karena Maghrib terlalu pendek untuk berlama-lama makan. Segera kurapikan piring kotorku dan memisahkan sisa nasi ibu, padahal dulu ibu selalumarahi kami semua yang menyisakan makanan. Menyia-nyiakan rejeki dari tuhan, dan makanan yang tersisa pasti akan menangis bila tak dihabiskan. Begitulah kata-kata ibu dulu. Tapi aku tak banyak bicara, aku hanya menaruhnya di dapur dan kembali merapikan piring-piring di bawah tudung saji itu, berharapa adikku akan makan saat perutnya merasa lapar.
Aku melenggangkan kakiku untuk mengambil air wudlu. Menjangkau air yang dingin membekukan itu untuk membersihkan diriku. Di balik cermin, terpantul wajahku yang gelap itu masih berbulir-bulir air wudlu. Memperlihatkan diriku yang sudah berumur 33 tahun.
Aku memang tak secantik adikku. Aku tak memiliki hidung bangir seperti hidung adikku. Aku juga tak punya bibir tipis dan mungil itu, juga lesung pipit pada pipinya yang halus bak pualam itu. Aku tak punya kaki yang jenjang dan tubuh ramping seperti adikku. Adikku adalah duplikasi ibu saat muda, cantiknya ibuku bahkan masih kentara saat ini. Benar kata orang, aku mewarisi segala ayahku yang sedari tujuh tahun lalu sudah disisi tuhan.
Aku juga tak secerdas adikku. Aku tak pernah berdiri di podium sambil membacakan pidato perwakilan siswa. Tak ada piala atas namaku di dalam lemari. Tak ada piagam yang memajang namaku diatas piagam yang berjejer di dinding ruang tamu ini. Semua atas nama adikku yang indah itu.
Aku kembali teringat bahwa waktu itu terus berjalan, dan tak lama lagi isya akan menjelang.
Langkah kakiku terhenti ketika aku berada di depan pintu kamar adikku. Dentuman musik itu berhenti. Digantikan suara adikku yang menyalak-nyalak.
“Ibu. Umur kakak sudah tiga puluh tiga. Dan sampai sekarang pun tak kudengar ada lelaki mendekatinya, bahkan supir truk sekalipun. Kalau aku terus saja menunggunya menikah, selamanya aku tak akan menikah Bu”
Aku terdiam. Tubuhku terasa kaku. Mendengar perkataan adikku rasanya aku ingin berlari ke kamarku. Tapi serasa ada paku besar yang menancapi kakiku sampai tembus ke ubin. Dan hanya desah ibu saja yang kudengar.
“Dia itu tahun depan akan menjadi seorang dokter spesialis Bu. Apa itu tak tahu bagaimana hebatnya seorang dokter? Aku akan menjaadi istri seorang dokter Bu. Belum lagi keluarganya juga tadi sudah mendesak. Katanya dia akan ditempatkan di luar kota. Sekarang apa lagi yang Ibu tunggu?”
Aku pun mendengar suara hempasan saat beliau terduduk di ranjang adikku. Desahnya seakan menanggung berat atas tanggung jawab seorang ibu. Ibu dari dua anak perempuannya. Dan suara serak ibu mulai terdengar, setengah berbisik.
“Harta peninggalan ayahmu telah habis terjual demi membiayai sekolahmu. Kakakmu yang tak tamat SMA itu tak pernah mengeluh selepas bekerja, demi siapa? Itu demi membeli baju karena kamu selalu merengak minta dibelikan baju olehnya.”
Tak apa Bu, aku bahagia bisa melakukan itu semua demi adikku, jeritku lirih dalam hati.
“Kamu tahu, kalau saja dulu kamu tak mengalami kecelakaan dan butuh uang yang banyak untuk operasi, mungkin sekarang kamu sudah punya keponakan yang berlari kesana-kemari dan meramaikan rumah ini”
Aku tertegun mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat itu keluarga kami sedang dirudung bahagia. Atmosfir bahagia itu melingkupi setiap malamku. Aku akan menikah. Meski calon suamiku tak setampan dan sehebat sangka orang, tapi aku bahagia karena dia seperti ayahku, sederhana dan tak banyak bicara. Rencana telah dimatangkan, waktu sudah ditentukan. Tapi kabar duka datang menghinggapi keluarga kami.
“Kamu tak tahu betapa kalutnya kakakmu saat itu. Kamu adalah apa yang paling disayangnya. Dia jahitkan baju lebaran untukmu, dia belikan buku tebal untukmu. Bahkan dia rela membatalkan pernikahannya yang tinggal seminggu itu demi membiayai biaya berobatmu...kamu tak tahu itu karena kamu sedang terbaring di rumah sakit...”
Akhirnya paku itu tercerabut dan dengan badan gemetar aku berlari ke kamarku, menghamparkan sajadah menghadap kiblat dan memakai mukenaku yang putih gading dan sedikit lusuh. Mataku perih. Tapi tidak, aku tak boleh menangis. Seorang kakak itu harus kuat demi adiknya. Siapa yang akan melindungi adiknya bila aku adalah kakak yang lemah? Aku tak boleh menangis karena aku seorang kakak.
Aku mengangkat kedua tanganku dengan mata terpejam. Aku hanya bisa melantunkan ayat demi ayat dalam hatiku, karena mulutku sekarang terasa keram. Dan saat telunjukku mengacung keras menunjuk kiblat, aku kalah. Air mataku deras membasahi mukenaku. Selepas kedua tangan meraup wajahku setelah salam terakhirku, aku merundukkan wajahku mencium sajadah. Menangis tersedu dan menumpahkan segala keluh kesahku pada tuhan. Tuhan yang maha adil. Tuhan yang maha tahu. Ya, Dia tahu kenapa sampai saat ini Dia belum mempercayakanku seorang imam. Dia tahu bahwa aku belum bisa jadi makmum yang baik untuk suamiku kelak. Dia mengingatkanku untuk masih harus menjaga adikku dari kejamnya zaman.
Tapi sekali lagi, aku seorang kakak. Seorang kakak itu harus kuat demi adiknya.
Aku kembali duduk dan menyeka air mataku. Dan mataku terbelalak menangkap raut wajah sendu di sampingku. Satu tetes air mata menitik di ujung matanya yang hitam pekat itu. Bibirnya bergetar, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi aku hanya berusaha mengusap air matanya, takut merusak riasannya dan mengurangi cantiknya. Tidak, dia harus tetap menjadi adikku yang cantik.
Tapi sesaat sebelum tanganku menyentuh pipinya, dia memelukku erat. Tubuhnya berguncang-guncang dan suara tangis itu terasa menykitkan dadaku. Dadaku terasa penuh oleh air mata yang tertahan selama bertahun-tahun, yang hanya mampu sedikit tercurah di sepertiga malam terakhirku.
“Maafin adek Kak. Maafin adek yang tak tahu diri ini...”
Hanya itu yang mampu kudengar disela isak tangisnya. Dua kata itu mewakili semua kata yang sudah kumaafkan bahkan sebelum kata itu terlontar dari bibirnya. Dua kata itu tak selayaknya terucap dari bibirnya. Karena bagaimana pun dia, aku adalah kakaknya.
*****
Aku sedang memainkan bulir-bulir tasbih di sela jemariku. Aku tersenyum sambil menatap sebuah kado kecil yang tadi kuambil dari dalam lemariku, sebuah kotak kecil berisi apa yang selama ini dia inginkan. Tampak adikku yang kini sedang berdiri sambil menunduk menghadap tuhan. Dan selepas dia mengucap salam, dia duduk disampingku. Tanpa banyak kata aku mengangsurkan kotak berbalut pita warna merah muda ke arahnya. Dia tampak tertegun dan menatapku penuh arti. Matanya kembali bening oleh air mata. Dan kini dia kembali memelukku. Kubisikkan di telinganya..
“Selamat ulang tahun adik tercantikku..”
Dia tak menjawab, hanya sengguk tangisnya di pundakku yang kudengar.
Aku berdiri dan merengkuh dua mushaf kitab suci. Memilihkan surat ar Rohman dan dia membacanya dengan suara lembutnya juga lengkingnya yang indah. Dialah adik yang kubanggakan.
Berulang-ulang dia melafalkan dengan fasih huruf berbahasa arab itu dengan sedikit terisak..
“Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadzdzibaan...”
Dan aku berujar dalam hati, “sungguh, nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan???”
Adikku mencium takjim tanganku, dan aku hanya mampu mencium keningnya. Mengahturkan segala do’a terbaik untuknya. Memintakan apa-apa yang bisa membuatnya selalu tersenyum. Memintakan pendamping yang gagah untuknya. Dan sampai waktu itu datang, aku akan tetap mendampinginya. Selama waktu itu aku ingin menjadi kakak terbaik untuknya.
END
*****
Cerpen ini aku buat saat aku ingat kakaknya teman CLOPP-ku. Aku masih ingat dulu saat aku masih STM, setiap aku ke rumah kawanku untuk ‘numpang makan’, kakaknya temanku selalu kegirangan. Dia selalu melenggang ke warung dengan riangnya dan membuat masakan seadanya yang bagiku terasa lezat sekali karena itu dimasaknya dengan bumbu cinta dari hati. Dia selalu bilang bahwa dia telah menganggapku selayaknya adiknya sendiri.
Di balik sikap polosnya, dia adalah seorang kakak yang yang amat sangat baik hati dan terlihat cantik dari lembut hatinya. Senyum sabar itu tercetak saat dia membantu memakaikan gaun pengantin untuk adik perempuannya. Tangis ikhlasnya tercermin dari bening bulir air matanya yang jatuh saat melihat walimatul urs adik perempuannya. Dan sekali lagi, cerpen Karena Aku Seorang Kakak aku persembahkan untuk Teh Imas, kakak perempuan yang layak mendapat gelar kakak terbaik di dunia, bersama kakak perempuan kandungku.
Lagi-lagi aku mendengar suara tangis dari rumah semi permanen di belakang rumahku. Aku yang sedang asik membaca dengan terpaksa melepas kacamataku dan juga menghempaskan novelku diatas meja. Kusingkap selimutku dan segera turun dari ranjang hangatku. Ini sudah kesekian puluh kalinya aku mendengar tangisan di malam hari. Tangisan yang disertai bentakan yang menyalak-nyalak. Dari nada yang terlempar ke telingaku itu aku tahu, bahwa suara yang menyalak-nyalak itu adalah suara Rania, teman kecilku dulu. Sedang tangis yang terdengar menyayat hati itu adalah suara anak kecilnya yang manis, Raja.
Aku bergegas memakai sandal kamarku dan berjalan ke arah dapur. Dengan sedikit memanjat kursi kayu, aku melihat lampu rumah Rania menyala. Dan bayangan tubuhnya itu menunjukkan dia sedang berkacak pinggang ke arah anaknya yang mungkin dia dudukkan diatas meja. Tangannya terus saja menunjuk-nunjuk ke arah anak itu yang terdengar berusaha menahan tangisnya. Kasihan Raja. Anak itu terlalu manis untuk menangis.
******
Benar kata orang, masa kecil adalah masa pencarian jati diri. Masa dimana kita dibentuk oleh lingkungan, terlepas dari apa dan bagaimana komposisi kromosom dan hal-hal genetis lain. Dan karena rumah kami berdekatan, membuat kami sangat karib.
Waktu memainkan kuasa atas perannya. Dan zaman pun bergulir dengan semestinya. Himbauan pemerintah dan juga tuntutan tingginya pendidikan yang kulalui, aku diharuskan orang tuaku untuk mengejar pendidikanku di kota. Aku berkerudung karena tuntutan kurikulum pendidikanku. Aku juga punya pacar karena ejekan temanku. Dan aku menghabiskan liburanku di dapur bersama ibuku. Sedang dia, dia lebih memilih merantau di kota orang.
Hubungan kami pun renggang dengan sendirinya. Dia tak pernah lagi mengajakku main layangan, seperti saat kami masih SD dulu. Dia tak lagi mengajakku menginap di mesjid bersama anak laki-laki lain. Tak ada acara mandi di sungai dengan pelepah pisah sebagai tunggangan wajib. Dan tak ada acara menonton bahkan bermain bola melawan kampung tetangga.
Bertahun-tahun, tak ada kabar tentang dia. Dan kepulangannya setelah lima tahun lalu membuatku sedikit tersentak dengan penampilannya. Berambut pendek dan berkaos tanpa leher serta selalu berlevis pendek belel itu sama sekali tak menunjukkan bahwa dia wanita. Dadanya pun rata. Tak pernah kulihat dia menggunakan anting-anting atau perhiasan lain. Hanya sebuah gelang dari tali-temali warna hitam yang melingkari pergelangan tangannya.
Pernah aku mendengar selentingan dari kawanku yang pernah bekerja di kota dengan Rania. Dia bilang bahwa Rania itu adalah seorang lesbian. Aku sendiri tak pernah mau bersangka buruk atasnya. Walaupun dari penampilan dan sikap dinginnya pada lawan jenis begitu kentara. Tak berani kutanyakan langusng padanya, karena aku takut hal itu justru semakin membuat jarak antara kami.
*****
Lagi-lagi aku berlari ke rumahnya, memastikan ucapan ibuku bahwa Rania akan segera menikah. Aku yang merasa pernah dekat dengannya langsung ingin memburunya. Bertanya tentang keabsahan cerita ibuku.
Dia hanya dingin menanggapiku. Tak ada raut bahagia yang tersirat dari seorang calon pengatin. Tak ada roman gelisah karena hendak merubah status di tanda pengenal, atau tak ada antusias untuk memilih apa yang membuatnya terlihat cantik saat menduduki kursi pelaminan. Dia begitu beku. Tatapannya dingin menebar rasa enggan berlama-lama dengannnya.
Dan satu langkah sebelum kulewatkan pintu rumahnya, terdengar lirih dari bibirnya yang hitam itu.
“Biarkan ayahku bahagia dengan memainkan perannya, walaupun aku akan menjadi patung”
Langkahku terhenti. Kutolehkan kepalaku dan tak mendapati dirinya dia atas kursi. Dia melenggang ke kamarnya dan menutup pintu hingga berdebam. Aku menghela nafas panjang. Ya, kuasa seorang ayah masih melingkupi atas anak gadisnya, tanpa pilihan.
******
Kabar gembira kembali kudengar saat aku menyempatkan pulang selepas ujian tengah semester. Rania melahirkan. Dan saat aku menyengaja ke rumahnya, kulihat bayi mungil itu tampak menangis di pelukan Ibunya Rania. Atmosfir bahagia tampak melingkupi rumah ini, bahkan tawa itu terdengar sampai belasan meter dari rumah semi permanen yang sederhana itu. Ayahnya Rania yang berkumis tebal itu tampak begitu ingin menggendong cucu pertamanya tapi tak jua dibolehkan neneknya si kecil. Sedang Rania sendiri tampak tersenyum kaku ke arah tetangga-tetangga yang ingin melihat matahari kecil keluarga besar Rania, si anak tunggal.
“Dengarkan kalian semua, akan kunamai cucuku ini dengan nama Raja. Dia akan menjadi jagoan di kampung ini. Dia akan mempersembahkan piala-piala untuk ibu-bapaknya, juga akan membantu mengangon ternak domba-domba kakeknya” celos ayah Rania bangga.
“Hush, tak akan kubiarkan cucuku yang manis ini mengangon kambing. Dia harus belajar sampai sarjana biar seperti Habibie. Dia akan menjadi dokter seperti Pak Habibie Pak..” sergah ibunya Rania tak mau kalah.
Dan tawa itu semakin riuh. Sedang ibu Rania hanya merona saat tahu bahwa Habibie itu bukan dokter gigi seperti yang dia tahu. Tak apalah, yang penting cucunya itu harus sehebat Pak Habibie, idolanya.
Tapi lagi dan lagi, manusia hanya punya mau, tuhan yang punya kehendak. Raja yang diharapkan tumbuh menjadi seorang pemain bola kini malah asik dengan boneka beruang pemberian tetangganya saat dia berulang tahun. Satu hal yang membuatku sedikit rikuh, Raja kecil itu terlihat lebih asik dengan mainan boneka-boneka serta buku cerita peri, daripada mobil-mobilan yang dihadiahkan kakek neneknya.
Di usia yang baru menginjak empat tahun, dia terlihat manis, bahkan kontur wajahnya dan juga proporsi tubuhnya tercetak jelas betapa ‘cantik’nya dia. Mata bulat dengan bulu mata lentik, bibir mungil dan kedip matanya menambah elok parasnya. Apalagi sebuah lesung pipit menghiasi pipinya yang seperti pualam itu.
Selepas kerja, aku sering mendapati dia sedang bermain di rumah tetangga Rania yang punya anak seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Hanya bila sedang bermain dengan anak tetangga sajalah Raja bisa tertawa lepas. Bermain puteri-puterian, masak-masakan bahkan Raja sering terlihat asik dengan bedak dan juga lipstik yang diambil diam-diam dari kamar Ibu si anak perempuan yang rambutnya panjang ikal itu.
Dalam diam aku selalu berpikir, bilakah Rania adalah seorang lesbi, apakah itu berpengaruh secata genetis pada anaknya? Apakah secara hormonal Raja itu adalah kebalikan dari induknya? Entahlah, hanya tuhan yang tahu.
Satu malam di penghujung tahun, kabar duka membawa awan gelap ke rumah sederhana Rania. Ayahnya Raja meninggal dunia saat sedang bekerja. Selepas jasadnya dimakamkan, Raja masih saja menangis memanggil-manggil bapaknya. Entahlah apa yang dia tangisi. Aku tak tahu apakah anak sekecil itu faham arti kehilangan. Yang aku tahu, selain dengan anak tetangganya Riska, hanya di gendongan ayahnhya saja Raja tertidur. Dan kepergian ayahnya pasti membuat dia takut. Ya, aku yakin Raja semakin takut menjalani harinya. Dia takut tak akan ada yang melindungi dia saat ibunya membentaknya. Tak ada yang membelikan lagi mainan.
Aku tak pernah menemukan dengan pasti apa yang membuat Rania seperti ini. Padahal Raja sendiri adalah seorang anak yang baik. Dia selalu tersenyum riang saat aku lewat didepan rumahnya. Kadang aku aku menyempatkan membeli beberapa permen warna-warni atau chiki-chiki untuknya. Tapi Rania, selalu saja membisu saat melihatku. Dan saat aku pergi, kembali teriakannya yang serak itu dia tujukan untuk Raja.
Kasihan Raja. Di usianya yang baru menginjak empat tahun itu dia telah berkawan dengan imajinasinya, karena Rania, ibunya tak memperbolehkan dia meninggalkan rumah. Tapi terus saja menemani anaknya dengan teriakan dan hardikan yang menyalak-nyalak. Dan diusianya yang masih terlalu kecil itu, dia harus kehilangan seorang ayah.
*****
Tangisan itu semakin melengking memilukan. Pikiranku kacau. Mendengar anak kecil menangis itu adalah siksaan untuk telinga seorang wanita yang tak juga kunjung dianugerahi anak sepertiku. Walaupun aku tahu bahwa orang lain tak punya hak atas urusan rumah tangga orang lain, termasuk orang tua sekalipun, tapi naluri seorang ibu yang meledak-ledak dalam diriku membantahnya. Dengan tergesa aku menghampiri rumah Rania.
Suara tangis itu masih bersisa isak, tapi jelas sekali anak itu menutup mulutnya dengan tangan gemetarnnya. Sedang Rania terus saja mengoceh ini-itu. Menyemburkan hal yang tidak sepatutnya didengarkan oleh anak seusia Raja.
Dengan ragu aku mengetuk lantas membuka pintu. Rania menghujamkan pandangan marahnya padaku. Aku langsung menghambur ke arah Raja yang tampak tersedu. Untuk alasan yang tak jelas mataku meneteskan air mata. Raja mendekapku erat sekali. Seolah aku telah menyelamatkan dia yang hampir saja jatuh ke sumur kelam tak berdasar. Giginya gemelutuk dan tangannya mencengkram kuat ujung kerudungku. Badannya gemetar hebat.
Aku mencoba masuk ke dalam diri Rania lewat matanya. Dibalik merah matany, ada kesakitan dalam dirinya. Ya, aku yakin dia tak menghendaki ini. Dia sayang Raja. Aku yakin itu. Dan akhirnya dia menjatuhkan tubuhnya diatas kursi kayu. Lalu dia menangis sesenggukan. Kali pertama dalam hidupku aku menyaksikan seorang Rania yang kokoh seperti baja itu menangis sesenggukan. Sendu tangisannya memintaaku untuk mengerti dirinya. Desah berat nafasnya meminta pertolonganku atas ini semua.
Aku mendekati Rania sambil memangku Raja yang juga ikut menangis. Dia meronta ingin aku menjauh dari Rania ibunya. Tapi aku tak bergeming. Rasa ibaku pada Rania yang dulu begitu dekat denganku membuatku mengelus rambutnya yang kasar itu.
“Kenapa harus begini Ta, kenapa? Kenapa aku harus terlahir seperti ini?”
Kalimat pertama yang membungkam mulutku. Aku tahu kalimat itu mewakili penolakan identitasnya sedari kecil. Dia adalah laki-laki, itu yang dia yakini. Tapi kodrat telah membunuhnya untuk menjalani kehidupan selayaknya tubuh yang dia punya. Menikah, melahirkan, membesarkan anak.
“Apa aku salah Ta? Aku hanya ingin anakku kuat. Aku ingin anakku menjadi seorang jagoan..Jangan sampai dia menyesali hidup seperti aku. Dia harus tumbuh menjadi seorang anak yang bisa dibanggakan dan jadi harapan keluargaku. Tidak seperti aku. Tidak seperti aku Ta...”
Lagi-lagi mulutku terkunci, ludahku terasa pahit sekarang. Telingku berdenging mendengar serpihan kalimat yang terlontar dari bibirnya yang bergetar.
“Hidupku palsu Ta. Kamu tahu itu. Kamu tahu, aku tak bisa menjalani hidup seperti kelumrahan selayaknya wanita. Kenapa tuhan menciptakan aku seperti ini? Kenapa aku tak suka melihat boneka disekitarku? Kenapa aku lebih suka berkejaran menerabas ilalang dan memburu layangan? Apakah ini salahku Ta? Tolong jawab pertanyaanku Ta..” dia mengangkat kepalanya. Tatapan sendunya terasa menusuk hatiku. Suaranya Lirih. Tenggorokanku tercekat.
Itulah isi hatinya yang dari dulu ingin dia teriakkan saat dia dipaksa menikah.Dia ingin didengarkan. Dia hanya ingin didengarkan tanpa dihakimi. Itu yang ingin dia katakan pada ayahnya. Tapi ketakutannya atas durhaka membuatnya bungkam, menelan bulat-bulat setiap kata yang ingin meledak.
“Dan sekarang..aku tak tahu harus bagaimana menjalani hidupku ke depan. Aku harus tetap hidup Ta. Aku ingin tetap melanjutkan hidupku. Jauh dari pandangan sinis orang-orang. Jauh dari omongan di belakang ibu-ibu gendut itu.”
Aku mendesah pelan. Sering kudapati ibu-ibu menggun jingkan Rania saat memberondong tukang sayur yang lewat. Mata mendelik-delik, meracau ini itu menebar berita. Aku hanya bungkam karena tak tahu harus bagaimana karena kenyaan di permukaan terlihat seperti itu.
“Kalau aku masih sahabatmu, tolong aku Ta. Aku titip Raja padamu. Tolong kamu bilang pada dia nanti, aku pergi bukan karena tak sayang dia. Aku sayang dia Ta, aku cinta dia. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri, belajar menerima aku apa adanya.”
Aku hanya mengangguk sambil mengusap pundaknya. Raja semakin melolong saat Rania berusha membelainya.
“Bisikkan padanya sebelum tidur bahwa aku Rania, ibunya...”
*****
Setahun setelah kepergian Rania, Raja menjalani hidupnya di sisiku, menemani hari-hariku yang sering ditinggal suamiku keluar kota. Membuat ramai rumahku yang dulu tampak sepi. Senja menutup siang yang sudah bosan dengan teriknya. Suara adzan terpantul-pantul dari atap ke atap, membahana dari seluruh sudut kampung. Jendela di setiap rumah tertutup rapat dan lampu-lampau neon mulai dinyalakan mengganti peran matahari.
Selepas mengajari Raja mengaji dan membantunya mengerjakan tugas dari TK tempat dia belajar, kami bermain-main dengan mainan pemberian suamiku. Dan sekarang dia harus segera tidur agar dia tumbuh besar. Tapi tumbuh untuk menjadi siapa aku tak tahu. Apakah dia akan tumbuh selayaknya anak laki-laki seusianya atau tumbuh sesuai jiwa yang menghuni raganya. Entahlah, aku hanya mampu memohon campur tangan tuhan atas segalanya.
Kupandangi malaikat kecil yang lucu itu. Dia masih asik dengan boneka beruangnya. Dia makin terlihat manis saat berbicara sendiri dengan bonekanya. Dan sekarang dia menoleh ke arahku.
“Ibu, aku mau tidur dulu ya..tapi tolong ceritakan lagi kisah Puteri Tidur seperti kemarin ya Bu..”
Aku tersenyum tipis. Lantas ikut berbaring di sampingnya sambil mengusap lembut rambut keemasannya. Aku menceritakan kisah itu, berulang-ulang, diselingi antusias pertanyaannya tentang banyak hal sampai aku kerepotan menjawabnya. Dan akhirnya kututup ceritanya dengan sebuah kecupan di dahinya.
“Raja jangan panggil ibu ya, ingat, ibu Raja namanya Rania...”
Raja merengut, lantas kembali menyunggingkan sebuah senyum indah dari bibir tipisnya.
“Iya, ibu Raja namanya Rania, tapi bunda Raja namanya Sagita. Raja sayang Bunda..” katanya sambil menaikkan selimutnya hingga ke dagu.
Dadaku bergemuruh setiap mendengar ucapan sayangnya padaku. Dan entahlah, apa aku sanggup menghadapi saat dimana Rania kembali dan mengambil Rajaku nanti. Apakah aku siap kehilangan harta paling berharga ini?
END
Mereka selalu bilang bahwa cinta itu sederhana. Mungkin. Karena yang aku tahu juga bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana mengulaskan senyum di pagi hari. Tapi semua itu tampak tak mudah saat aku membuka mata, bahkan saat aku membuka jendela, menunggu sinar matahari yang akan menguapkan embun pagi. Semua menjadi tak sama sekarang, karena aku lagi-lagi harus menjalani hidup dengan kepalsuan.
Kamu tahu, tiga bulan ini bukan waktu yang mudah bagiku. Tiga bulan itu terasa seperti bertahun-tahun hidup di dalam dunia yang aku takuti. Bukan, bukan seperti yang dikisahkan di dongeng-dongeng tentang dunia yang kejam. Bukan tentang panggung sandiwara yang sarkas itu. ini adalah tentang realita, saat aku memilih untuk kembali pada kodratku.
Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu itu. Tapi ini tetap saja tak mudah bagiku. Hidup satu atap dengan orang yang tidak ada dalam imajinasiku tentang sebuah keluarga. Aku memang tak mendapatimu saat mata ini terbuka karena kamu sedang membuatkanku teh manis di dapur. Dan lagi-lagi aku harus menghembuskan nafas kecewaku.
Kamu datang dengan senyum terbaikmu dengan secangkir teh manis yang masih mengepul, menebarkan aroma teh melati ke sluruh ruangan ini. Mengalahkan aroma basah dari luar, aroma embun yang sedang menunggu datangnya cahaya matahari.
Aku mencoba membalas senyummu. Aku tak mau kamu sedih karena melihat rautku yang tak segar pagi ini. Benar, aku tak bisa memicingkan mataku semalam. Aku dirudung sejuta rasa. Rasa yang melanda semenejak kita berdua mengikrarkan janji hidup bersama, dalam suka dan duka.
Semua itu karena hal klasik yang melanda orang sepertiku. Usiaku yang hampir menginjak kepala tiga telah membuat orang tuaku resah. Selalu saja sama, gunjingan para kerabat dan juga tetangga yang mengusik ketenangan hari-hari orang tuaku. Tentang aku yang sudah mapan tapi belum juga ingin menikah.
Ingin. Aku juga ingin menjalni kehidupan normal seperti kebanyakan yang lain. Aku juga ingin mengajari anakku naik sepeda, aku ingin mengajak putriku membeli baju pesta. Tapi ini tak mudah. Aku tak pernah punya rasa itu pada lawan jenisku. Aku selalu dilanda rasa sepi bila tak berada dekat pria itu. Pria yang telah membuatku tak bisa lepas dari dekapannya yang kokoh dan hangat itu.
Sampai akhirnya kamu dikenalkan ibuku. Katanya kamu adalah putri dari kerabat yang tinggal di kota kecil itu, yang mengahabiskan masa remaja di pesantren. Kamu tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Aku malu. Aku malu pada tuhan yang telah begitu baiknya padaku menganugerahkan jodoh sepertimu. Kamu tetap melayaniku selayaknya seorang isteri. Padahal aku belum pernah menyentuhmu sejak dari malam pertama yang katanya seperti nirwana itu. Aku hanya bisa mengecup keningmu, meskipun yang ada dalam pikirku adalah pria itu.
Kamu tak tahu betapa takutnya aku bila kamu katakan yang belum pernah terjadi itu saat mertuaku yang penuh harap itu bertanya apakah kamu telah mengandung. Aku takut. Tapi rasa takut itu tak bisa membuatku ereksi untuk menghamilimu. Rasa takut itu justru membuatku terus saja memicingkan mata sepanjang malam, membuatku pusing saat bangun tidur.
“Diminum dulu Mas, teeh manisnya. Mumpung masih hangat”
Lagi-lagi suara lembutmu kamu lontarkaan padaku. Suara yang sama sejak pagi setelah ijab kabul itu. Aku menghampirimu, meraih cangkir itu dan menyesapnya pelan. Ah, memang masih hangat, tapi tak kunjung menghangatkan hatiku, meskipun ulasan senyummu tak pudar sedikitpun.
Aku menghempaskan pantatku diatas kursi. Berusaha mengatur nafas. Aku bahkan tak berani menoleh ke arahmu sekarang. Aku malu. Aku begitu malu karena kamu masih saja tersenyum tulus padaku.
“Kenapa kamu tak meninggalkanku De setelah tahu yang sebenarnya?”
Aku beranikan membuka mulutku sekarang. Tak tahan aku harus begini. Kadang aku ingin kamu meninggalkanku, agar kamu terbebas dari derita ini. Mana ada istri yang rela menemani suami yang tak pernah menjamahnya? Mana ada istri yang tahan dengan sikapku yang beku? Aku yakin kamu sama seperti wanita lain yang punya hati yang rapuh. Aku tahu kamu mengaharapkan kehangatan dari seorang suami. Tapi sayangnya itu tak kamu dapatkan dariku.
“Aku istrimu Mas. Aku telah berjanji pada tuhan untuk mendampingimu dalam kondisi apapun. Apapun dan bagaimana pun kamu, kamu tetap suamiku Mas, imam dunia akhiratku..”
Lagi-lagi aku ingin berteriak, tapi semua teriakan itu tertahan didadaku dan sekarang ingin meledak.
Kenapa kamu begitu bodoh? Aku tak pernah mencintaimu dan takkan pernah bisa. Aku hanya mencintai pria itu. aku hanya merasakan kedamaian dan kebahagiaan bersama pria itu, kamu tahu itu. Dan aku hanya bisa berputus asa menanggapi kegigihanmu.
“Kamu berhak mendapat seorang suami yang lebih layak De. Bukan suami sepertiku yang seorang..gay..”
Aku menutup wajahku. Badanku bergetar saat kamu memegang pundakku, lantas mengusapnya dengan lembut, memberikan sedikit pijatan disana, berusaha menyamankanku. Padahal kamu tahu usaha itu takkan pernah berhasil. Aku merindukan usapan dari pria itu, bukan dari kamu. Aku merindu dekapan dadanya dan bisa bermanja-manaja disana, memainkan bulu-bulu itu, menjadi nakal dengan puting itu.
“Tuhan itu tak pernah salah menyisipkan rasa Mas. Bukankah ketika tuhan berkehendak, tuhann tinggal bilang, ‘kun fayakun’? jadilah, maka jadilah. Dan bukankah tuhan itu mendengar do’a seorang ibu? Tapi do’a seorang istri itu juga didengarkan oleh tuhan Mas. Dan aku adalah seorang istri. Aku akan mintakan yang terbaik untuk suamiku.”
Dan kalimatmu itu telah berhasil membuat mataku mengabut. Kamu terlalu tulus sampai-samapi aku berpikir bahwa tuhan tak adil terhadapmu. Harusnya kamu mendapat seorang lelaki gagah. Bukan seorang lemah sepertiku, seorang lelaki yang menjadi bahan cemoohan karena sikapku. Kamu harusnya mendapatkan seorang lelaki yang bisa membimbingmu, bukan aku yang bahkan tak pandai mengaji ini.
“Sekarang Mas ambil air wudlu dulu. Dede siapin dulu sarung dan sejadahnya. Kita shubuh dulu ya. Abis itu kita belajar tadarus lagi..”
Ah, tuhan itu terlalu baik pada mahluk durjana sepertiku. Tuhan mengirimkan seorang bidadari untuk seorang yang telah dilumurkan lumpur oleh iblis, bukan, lumpur hitam itu kubalurkan oleh diriku yang tak bisa bertahan dari godaannya yang menawarkan kenikmatan semu.
“Aku tak minta banyak hal sama Mas. Aku cuma minta keteguhan hati Mas. Biarkan campur tangan tuhan membantu kita Mas. Dan aku akan tetapa menunggu atas campur tangan tuhan itu.”
Tangan halusmu menarik lembut tanganku, mengahantarku ke kamar mandi. Membersihkan ragaku dengan air wudlu sebelum menghadap-Nya. Dan baik hatimu untuk mengjariku mengaji telah mencampurkan air mudlu itu dengan air mataku.
Ah, aku harus bergegas. Fajar sebentar lagi muncul.
Sajadah tergelar, sarung terlipat rapi diatasnya, menungguku untuk melilitkannya ke pinggangku. Dan entah kenapa setiap kali aku melihatmu mengenakan mukena, tampak cahaya itu terpancar dari wajahmu. Apakah itu karena senyum tulusmu? Entahlah. Mungkin tuhan telah menaburkan sebagian cahaya rembulan itu di wajahmu.
Kamu kembali mengangguk, membuyarkanku dari kekaguman atas pancaran wajahmu yang meneduhkan, dan aku berjalan sedikit ke depanmu. Mengangkat kedua tanganku dan mulai meminpinmu untuk mendirikan sholat. Melapalkan surat-surat pendek dengan terbata-bata, karena baru tiga bulan kamu mengajariku.
Kedua tangan meraup wajahku, mengamini doa-doa yang sebenarnya tak tulus itu. Apa aku tulus saat berdoa agar aku kembali ke jalan kelumrahan? Entahlah. Lagi-lagi aku hanya bisa entahlah.
Dan sekarang jemarimu begitu indah tertatih-tatih dengan tongkat kecil, menunjuki huruf-huruf arab yang seperti cacing itu. Tapi berkat kesabaranmu aku mulai terbiasa membaca dari kanan ke kiri. Sampai aku memintamu untuk membacakan dengan lagammu yang indah, melanjutkan dengan terjemahannya yang menyusup pelan-pelan ke adalam hatiku.
Kamu masih membacanya dengan senyum saat aku berjalan ke arah nakas, mengambil sebuah kotak kecil yang terbalut pita. Menghampirimu dan memilih rebahan dipahamu. Kamu tersentak kaget dan mengakhiri bacaanmu, menutup mushaf yang tak pernah berdebu itu. Matamu terbelalak saat kuangsurkan kotak itu. Dengan ragu kamu membukanya. Dan aku begitu menikmati raut bingungmu, jemari bergetarmu dan gerak saat gigi atas menggigit-gigit bibirmu. Kamu belum terbiasa dengan ini, aku tahu itu.
Aku bangkit. Menunggu momen saat kamu terkesiap melihat apa yang ada di kotak itu. Benar saja, matamu membulat sempurna saat itu, kamu menatapku tak percaya.
“Sekarang, bolehkah aku mengucapkan selamat ulang tahun untuk perhiasan duniaku?”
Kataku sambil merentangkan kedua tanganku. Kamu mendekapku erat, dan mulai sesenggukan. Aku mencium keningmu dengan lembut, seraya berdo’a dalam hati agar rasa itu segera tumbuh dengan segera, agar aku bisa menjadi seorang imam yang bisa membahagiakanmu.
Aku mungkin memang bukan seorang suami yang baik sekarang. Tapi aku tak akan pernah melewatkan hari ini, hari dimana tuhan telah menurunkan seorang bidadari untukku. Hari dimana tuhan telah mencipatkan perhiasan dunia yang terindah, mengalahkan indahnya zamrud dan memesonanya safir biru.
Aku lantas bangkit dan segera mengunci pintu dan juga menutup jenedelaku, segera mengibaskan gorden itu agar serangga luar tak bisa mlihat ke dalam sini.
“Dan sekarang, apakah aku boleh menjalankan tugasku sebagai seorang suami?”
Inilah tekadku. Aku harus mencoba saat ini. Bukankah tuhan ada membantuku lewat campur tangan-Nya? Kamu tampak tersipu sambil mengusap pipimu yang basah. Kamu menjadi kikuk sekarang. Tapi, apa aku sudah kesiangan untuk ‘menjadi seorang suami’ sekarang? Hey, bukankah serangan fajar itu begitu dahsyat? Itulah yang sering diceritakan teman sekantorku. Bahwa alam telah membuat seorang lelaki menjadi begitu hebat di pagi hari.
Aku melihatmu terkesiap saat aku mulai menanggalkan helaian yang menutupi ragaku, menyisakan kain tipis yang menutupi bagian intimku. Aku segera menepuk kasur yang kududuki, dengan kerlingan mata padamu.
Kamu dengan ragu mulai bangkit, berjalan dengan kikuk ke arahku. Dan lagi-lagi kamu terkesiap saat aku menarik tanganmu sampai kamu terjatuh di dadaku, dan kamu terkekeh pelas saat tonjolan itu mengganjal perutmu.
“Ayolah De.. Ada lilin yang harus segera dede tiup sekarang..”
Kamu mulai memutar bola matamu, dan sungguh, itu terlihat indah sekali. Lalu sunggingan senyummu membalas kerling nakalku. Kusibakkan selimut itu tapi kamu kembali menariknya.
“Ah, aku lupa, aku belum mengajarimu salam ‘itu’, sebentar..”
Kamu beringsut dan aku menghela nafas. Lalu aku mulai mengikuti apa yang kamu lapalkan. Tapi belum juga selesai, aku sudah mendaratkan bibirku dengan tergesa, berusaha menikmati keindahan ini, keindahan yang dulu sempat dikenalkan oleh pria itu.
Dan sekarang kusibakkan selimut beludru ini, agar kalian tak melihat gerakan indah yang kami sertai dengan lenguhan. Agar kalian tak melihat gigitan, jamahan, remasan, dan jerit tertahan itu. Ah, kalian tak akan menyaksikan bagaimana aku melihat surga itu.
END
***
Cerpen ini aku buat untuk orang-orang yang bertekad meninggalkan dunia pelangi.
Banyak diantara kita yang sudah bertekad untuk mengakhiri dunia kelam ini, tapi terganjal ketakutan-ketakutan. Kita pasti akan tetap berdosa dengan membohongi istri kita, keluarga kita dan banyak sekali orang. Bahkan perceraian itu sudah diambang mata. Tapi satu hal yang kita hiraukan. Kita masih punya tuhan.
Ketika hati kita telah bulat, yakinlah tuhan akan menunjukkan jalan. Memang tak mudah. Dan yang merintangi itu sudah siap menghadang, tapi ingat, campur tangan tuhan itu tak bisa ditolak siapapun.
Kuhirup aroma laut yang segar ini. Ah...segar sekali. Kuedarkan mataku menyapu seluruh sudut kapal ini, kapal motor yang membawa kami semua ke Pulau Tidung, salah satu pulau di gugusan Kepulauan seribu. Kutengok teman-temanku, mereka masih asyik dengan lembaran kartu remi di tangan. Sementara penumpang lain terlihat mulai menggosokkan balsem ke pelipis mereka.
Kutengok lagi laut yang terhampar hijau kebiruan. Bunyi deburannya bermain indah di telingaku, mendebarkan jantung dan membuatku merasa nyaman. Buih-buih air laut yang putih bergelembung-gelembung halus terlihat lucu sepergi gelembung air sabun di pasar malam.
Dan disela hiruk pikuk para penumpang, mataku menangkap seseorang yang sedang berdiri di samping pintu kapal. Lamat-lamat dalam ingatanku muncul bayangan seseorang. Seseorang yang sewindu yang lalu membiaskan logikaku antara benar dan salah tentang cinta. Ya, dia membuatku terperosok dalam lingkaran cinta yang abu-abu.
Aku mulai berjalan ke arahnya karena sekarang rasa penasaranku telah mendominasi. Dari sudut mataku tampaklah dia dengan senyum bersahajanya melihat perputaran roda kemudi itu. Dia memerhatikannya seperti melihat adegan sirkus yang memesona.
“kamu ke tidung juga, Riz?” tanya dia tiba-tiba tanpa melihat ke arahku.
Aku sedikit tersentak kaget. Dia memanggil namaku?
“jangan bilang kamu lupa sama aku Riz..” katanya dengan senyum anehnya yang semakin meyakinkanku pada seorang anak yang dulu begitu dekat denganku.
Aku tersenyum mengenang, lalu menghampirinya dan kemudian menjabat tangannya yang terasa kokoh dan kasar. Kita memang satu SMP dulu. Aku ingat, waktu sekolah dia yang tinggi kurus ini paling sering telat masuk kelas. Dia siswa yang paling ditunggu karena waktu itu dia jualan gorengan di kelasku. Cukup aneh memang. Seorang anak laki-laki mau jualan gorengan dan pernak-pernik anak gadis. Tapi dia terlihat cuek meskipun sering dijadikan olokan meskipun hanya candaan diantara teman sekelas dulu. Dan jujur saja, dulu aku sempat menaruh hati padanya. Bukan karena secara fisik dia sempurna, tapi karena kesederhanaannya.
Dia mengajakku duduk dipinggiran kapal sambil menjulurkan kaki ke bawah, merasakan buih-buih air laut yang terhempas. Terasa lembut sekali, lembut yang dingin.
Kami bertukar kisah. Tentang apa dan kenapa. Tentang kapan dan bagaimana. Tentang kenapa dia berhenti sekolah dan meninggalkanku tanpa pamit. Dia hanya terdiam tanpa berani menatapku. Dan aku tak bisa sembunyikan rasa kecewaku karena dulu aku begitu mengharapnya, meski harap itu masih tersimpan dalam doa-doa kecilku.
“eh, lihat, ada pelangi” katanya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah buih di kakiku dan mengembalikan pikiranku yang telah terlempar ke satu windu yang lalu.
Mataku mencari-cari pelangi ke arah yang dia tunjuk. Dan benar saja, untuk pertama kalinya aku melihat pelangi di antara percikan gelombang yang terhempas dan meloncat-loncat dengan indahnya seperti sirkus Russia. Dan ketika kutengok, dia tampak tersenyum manis ke arahku. Sejak dulu aku selalu dibuat kagum oleh cara pandangnya melihat sesuatu. Itulah dia, dia selalu bisa melihat keindahan yang tersembunyi dibalik kesederhanaan.
Sekarang kulihat dia melihat jam tangannya, lalu bergumam pelan.
“masih jam setengah delapan. Mau ikut sun bath?” tawarnya dengan binar mata yang membuatku penasaran, seolah dia akan memeperlihatkan padaku sebuah mutiara hitam yang diambil di palung Banda.
Dan tanpa menunggu persetujuanku, dia menarik tanganku lalu berjalan di pinggiran kapal yang penuh dengan dus-dus dan karung-karung bawaan penumpang kapal dan tersenyum ganjil ke arahku.
Aku hanya diam mematung. Melihatku yang hanya diam saja, diapun naik lalu mengulurkan tangannya ke arahku. Akupun menyambutnya dan dengan susah payah aku naik. Dia mengenakan kaca mata hitam lalu merebahkan badannya dan menopangkan kepalanya diatas lipatan tangannya dibawah hangatnya matahari pagi. Aku tersenyum melihatnya. Dibalik kesederhanaan hidupnya, dia masih bisa berlagak seperti orang kaya.
“siapa bilang cuma orang kaya aja yang bisa sun bath diatas kapal pesiar..”
Aku tersenyum geli melihatnya bertingkah seperti itu. Terlihat norak memang, tapi selama itu bisa buat kita tersenyum, kenapa tidak?
Kuedarkan mataku dan seluruh penjuru mata angin masih memantulkan cahaya matahari yang hangat dan semakin melambungkan bahagiaku. Ternyata inilah hidup bagi orang seperti dia. Dan sepanjang perjalanan kami mengenang masa-masa sewaktu kami SMP. Saat aku paling susah kalau disuruh olahraga, saat aku diboncengnya sampai ke rumahku, saat dia masuk kelas dengan senyum anehnya. Benar kata Einstein, relativitas waktu itu ada. Waktu terasa cepat saat kita habiskan bersama orang yang kita rindukan. Tak terasa dua jam setengah perjalanan tak cukup untuk mengenang kebersamaan kami dulu.
Setelah kami turun, aku langsung diseret kawan-kawanku untuk mengabadikan momen menginjakkan kaki di pulau ini. Aku dengan enggan berpose dan baru sadar bahwa mataku tak menangakap lagi kemana kakinya melangkah. Aku sedikit kecewa karena mungkin hampir tak ada waktu untuk mencari dimana dia menginap.
Setelah merapikan barang di homestay, aku dan kawan-kawanku memutuskan untuk istirahat dan siap-siap berenang selepas ashar. Dan setelah makan siang dan sholat ashar, aku dan kawan-kawan langsung menuju ke destinasi pertama, Jembatan Cinta. Kawan-kawanku tampak antusias dan tampak berlarian ke jembatan cinta yang fenomenal karena mitosnya. Aku hanya tertawa dan bersorak tanpa berani ikut meloncat seperti yang lain. Dan ketika kawan-kawanku mengajak untuk naik banana boot, mataku menangkap seorang dia. Aku yakin itu Daffa. Dia sedang berdiri bersama seseorang diatas keramba yang mengapung di tengah laut.
Dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan saat dia tampak keasikan melihat terumbu-terumbu karang dengan kacamata sederhananya di sekitar keramba. Itulah dia, dari dulu sampai sekarang selalu bisa mencari bahagianya sendiri, dia dengan keapaadaannya telah memerangkap hatiku.
Malamnya, aku tak bisa pejamkan mata karena otakku penuh oleh dia dan kenangan masa kecil kami. Ya, aku harus kesana. Aku harus temui dia. Akhirnya kukayuh sepedaku dan kulajukan ke Jembatan Cinta. Dalam keremangan cahaya bulan aku lihat dari jembatan ke arah keramba yang terapung itu.
Dan ternyata dia sedang mencumbu malam dan merasakan liarnya angin laut. Dia tersenyum ke arahku lalu menjemputku dengan sampan.
Sesampainya di keramba dengan kaki masih gemetar karena untuk berjalan ke arah saung, aku melewati dua bilah bambu yang di kirinya lautan, sedang kanannya kolam ikan kerapu.
“apa yang membawamu kesini?” tanya dia sambil menggelar tikar disamping saung.
Aku hanya diam. Apa perlu aku bilang padanya bahwa aku ingin menghabiskan malam ini bersamanya?
“aku..hanya ingin menanyakan satu hal” jawabku sambil berusaha mengumpulkan keberanianku.
Kami kembali diam karena aku yakin dia tahu apa yang akan kutanyakan. Lalu tanpa kata dia melemparkan pancingan ke tengah laut. Setelah itu dia duduk sambil memeluk lututnya dan memandang jauh ke laut lepas.
“boleh aku bertanya sekarang?”
“gak boleh” jawabnya singkat.
“waktu itu kenapa kamu pergi tanpa pamit?” todongku tanpa menghiraukan larangannya.
Dia kembali diam. Diam yang sunyi. Diam yang membuatku resah menunggu jawaban.
“apa kamu pergi karena aku?” desakku.
Dia masih saja memandangi bintang yang seperti ditaburkan oleh ribuan malaikat yang menjaga langit.
“kamu dari dulu sampe sekarang gak hilang-hilang yah cerewetnya”
“hey, aku gak cerewet. Aku Cuma minta sebuah alasan”
“Kamu tahu ayahku meninggal sejak aku SD. Dan ibuku yang perantau itu hanya punya aku. Aku yang menjadi sulung punya kewajiban untuk menghidupi empat adikku. Dan pasti ada hal yang harus dikorbankan. Biarlah aku hanya mengenyam sekolah sampai SMP, tapi adikku harus bisa melanjutkan sekolah mereka..”
Aku terdiam. Aku tahu dia paling tidak suka dikasihani. Pantang sekali untuk mengharap iba. Aku ingat pesannya dulu, jangan biarkan orang mengiba padamu, buatlah mereka tersenyum melihat senyum tegarmu.
“hidup itu adalah bertahan. Bukan hanya untuk pemenuhan materi, tapi untuk mempertahankan agar kebahagiaan itu tetap ada disekitar kita, disekitar orang yang kita cintai, karena kebahagiaan kita bisa kita cari lewat sesuatu yang sederhana.” Lanjutnya dan aku hanya diam mendengar ucapannya.
“eh, sepertinya pancingan kita dapat ikan” katanya tiba-tiba lalu beringsut ke arah pancingannya.
Dan acara selanjutnya adalah bakar ikan diselingi candaan mengenang masa lalu. Dia tertawa puas saat ingat aku yang ujian praktek dribbling bola basket seperti seekor monyet memainkan kelapa, atau tentang dia yang masuk kelas seperti orang pindah rumah. Dan sampai makan selesai pun, tawa itu masih berderai dan melambungkan kebahagiaanku. Kebahagiaan dengannya yang indah, dengan dia yang dulu pernah membuatku kehilangan tawa.
Setelah itu kami berdua berbaring menopangkan kepala diatas lipatan tangan sambil menatap bintang yang berkedip-kedip dengan genitnya.
“eh, kalau nanti kamu mati,kamu mau tinggal di bintang yang mana?” tanyaku.
“aku mau berlarian di rasi bintang layang-layang..”
“kenapa di rasi bintang layang-layang?” tanyaku penasaran.
“karena aku ingin bebas seperti layang-layang itu. Layang-layang yang tak punya tali kenur, bebas berlarian tapi selalu menjadi petunjuk bagi mereka yang mampu membaca langit. “
“boleh aku ikut bersamamu menghuni rasi bintang layang-layang itu?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
Dia memandangku sebentar lalu menarik selimutnya. Angin malam berhembus semakin kencang. Lalu dia menyelimutiku dan aku beringsut kesisinya. Aku tak perlu menunggu jawabnya. Aku hanya ingin bersisian dengannya, agar aku merasa damai, agar aku bisa mengecap bahagia, dengan orang yang mengacaukan logikaku.
******
Matahari mulai merangkak naik diatas Tidung Kecil. Warna emasnya terlihat indah. Kupandangi air laut yang jernih memamerkan terumbu-terumbu karang dan ikan kecil warna-warni yang berenang mengitari terumbu itu dengan lucunya.
”matahari itu terbit untuk memberikan harapan pada seluruh mahluk. Ia menyempurnakan shubuh dengan begitu hangat.”
“kenapa matahari harus merangkak naik?” keluhku sambil masih memandangi ikan-ikan kecil di bawahku.
Daffa menoleh lalu mengernyit.
“kenapa Riz?”
“aku...berharap ribuan malaikat menahan agar matahari tak merangkak naik.”
Dia tertawa pelan. Tawa yang sebetulnya tak harus keluar dari mulutnya karena membuatku semakin tak mau melepasnya.
“kamu akan pulang hari ini?”
“aku kan kesini hanya ingin buktikan pada adik-adik baruku di panti, bahwa..meskipun kami miskin, tapi kami bisa merasakan bahagia. Terlahir miskin itu bukan pilihan, tapi hidup bahagia adalah keharusan”
Aku kembali diam mendengar kata-katanya.
“Kamu percaya mitos Jembatan Cinta?” tanyaku lagi.
“bila berjalan beriringan sambil berjabat tangan, cintanya akan abadi?”
Aku mengangguk pelan.
“boleh aku menjabat tanganmu ketika mengantarmu ke dermaga?” pintaku padanya.
Kami berdua lantas berdiri dan dengan ragu aku menjabat tangannya dan dia menggenggam erat tanganku. Kami berdua terdiam. terdiam yang indah. Biarlah genggaman tangan ini yang menyampaikan isi hati kami. Biarkan cahaya matahari pagi ini menjadi saksi dan angin yang berhembus mengabarkan pada seluruh mahluk bahwa aku mencintanya.
*****
Aku masih memandangnya saat dia menggenggam tiket pulang, dia tersenyum dan menghampiriku lalu menjabat tanganku.
Aku hanya diam dan tak ingin melepasnya. Rahangku mengeras dan kulepas genggaman tangannya dan langsung menghambur ke sepedaku. Kukayuh sepedaku sekuat yang aku bisa. Tidak, aku tidak mau kehilangan dia lagi.
Sesampainya di homestay, kulihat beberapa temanku sedang membuat kopi susu. Mereka menatapku heran ketika aku menghampiri mereka.
“aku..pulang duluan ya. Kakekku sakit” kataku ragu-ragu.
“loh, kok? Bukannya masih ada dua hari lagi?”
Untuk kesekian kalinya berbohong menjadi senjataku. Aku sudah tak peduli benar dan salah. Aku hanya ingin mengejar bahagia. Bahagia itu harus dikejar, bukan ditunggu. Selanjutnya kami sedikit berdebat tentang ini dan itu. Tapi akhirnya aku diizinkan pulang lebih dulu.
Dan setelah kupakai tas punggungku, akupun segera berlari ke parkiran dan langsung menyambar sepedaku. Kukayuh sepedaku sekuat tenagaku. Dan setelah sampai di dermaga, kulihat Daffa sedang duduk di kapal. Dia kebingungan melihatku terengah-engah dan menghambur ke arahnya.
“aku akan ikut tinggal di rasi bintang layang-layang, dengan atau tanpa izinmu. Dulu kamu pergi tanpa menjabat tanganku. Aku gak mau itu terulang lagi. titik””
Dia menatapku dengan tatapan merindu lalu tersenyum.
“banana boot seru loh. Gak nyesel..?”
“aku masih punya pisang di rumah, banyak lagi” kataku sambil mengerling padanya.
Dan akhirnya kapal pun melaju dengan cantiknya. Kulihat hamparan raut dengan riak-riak kecil gelombangnya mulai memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan. Kuperhatikan yang lain mulai tertidur. Lalu aku menyenderkan kepalaku ke punggungnya. Dia menoleh sebentar.
“kamu ngantuk?” katanya pelan. Pelan yang terdengar syahdu di telingaku.
“iya..” jawabku pura-pura walaupun sebenarnya aku belum mengantuk.
Aku hanya ingin memeluknya, membaui tubuhnya yang sudah lama sekali tak kucium. Dan damai yang telah lama tak kurasakan kini mulai menggetarkan dadaku. Biarkan debur ombak itu menyuarakan isi hatiku yang telah kugenggam sewindu yang lalu. Biarkan camar itu melagukan nada-nada dengan harmoni cinta yang beterbangan melontarkan rinduku bersama bintik-bintik air yang mengapung ke langit.
“bangun..kita sudah sampai..” katanya tiba-tiba.
Aku terlonjak, benar saja, semua pengunjung telah bersiap-siap untuk segera turun dari kapal. Setelah kupakai tas punggungku dan memegang tangannya, kami berkelit dengan jalanan yang becek, lalu naik angkutan yang mengantarkan kami ke stasiun Kota.
“sekarang kita mau kemana?” tanyaku.
“kita naik kereta yang menuju ke bintang layang-layang..”
“hey..”
“hahaha. Asal kamu tau, aku itu..pengamen..”
“aku gak peduli”
“aku tinggal dibedeng sama anak-anak jalanan”
“aku bisa kunjungi kamu setiap minggu. Aku hanya ingin bersama kamu, setidaknya mendampingi kamu sampai ke bedeng” lanjutku meyakinkan bahwa aku sanggup hidup dengan kesederhanaannya.
Dan ketika kereta melaju, kami melihat beberapa orang yang tampak lusuh sambil membawa alat musik seadanya, Daffa tersenyum dan langsung bergabung bersama mereka. Dia bertepuk tangan dan aku hanya ikut menyanyi dengan kikuk. Dan disela-sela nyanyian itu, dia berbisik padaku.
“inilah hidup, terlepas dari apa dan bagaimana cara kita bertahan hidup, satu hal yang kamu harus ingat, berjuanglah hidup untuk orang banyak, raihlah kebahagian bersama orang-orang disekitarmu. Jangan raih kebahagaianmu sendiri karena itu egois.”
Dan disela-sela musik petik dan tetabuhan dan nada-nada lagu yang terlontar, kupanjatkan syukurku dan juga ikrarku, bahwa aku akan mencari bahagia bersamanya, mencoba bertahan dalam bahagia yang sederhana.
dan ada satu cerpen buatan temen w yang paling w suka. kado ulang tahun dari temen gila w, endah ramadhita.
SELAMAT ULANG TAHUN PAPA
Orang selalu saja meributkan hal-hal aneh. Seperti malam ini, tepat tanggal dua belas, bulan dua belas tahun dua ribu dua belas. Kulihat berandaku penuh sekali dengan doa-doa dan juga impian konyol. Atau begitu berlebihan dengan memaksakan keadaan. Ribuan bayi yang selayaknya masih menunggu waktu untuk lahir, dipaksa mbrojol pada tanggal itu. Pasangan muda-mudi janda-duda beramai-ramai memasang janur pada tanggal itu. Kenapa kebanyakan orang-orang memuja tanggal yang dianggap keramat itu? Apakah mereka tak makan bangku sekolah?
Dan saat teman-temanku yang keranjingan kata-kata ciyus-miapah mengajakku untuk nongkrong, aku tak indahkan ajakkan mereka. Mungkin karena aku dibuat pusing oleh adikku yang masih SD sudah keranjingan Morgan dan begitu centil menirukan gaya Cherrybelle. Rasanya aku ingin melemparnya dengan sendal.
Langkahku gontai saat masuk ke kamar. Rasanya tak ada yang menarik saat ini. Lalu iseng kuacak-acak susunan buku di buffet kecil itu. Setidaknya bisa membunuh waktu penat yang menderaku saat ini.
Dan buku agendaku yang berwarna cokelat itu tampak menonjol, membuatku meraihnya. Ah, baiklah, mungkin aku bisa mengenang serpihan masa laluku. Kubuka lembar-lembar yang sudutnya mulai keriting itu. Dan tanganku berhenti di lembar berisi tanggal itu. Tanggal yang menyimpan momen yang tak pernah lekang dari memoriku.
*****
Jakarta
3:46pm, 7 januari 2011
'BRAKK'
Suara itu sontak membuat ku hampir terlonjak.
Huh. Itu pasti suara mama yang belakangan mulai merasa jenuh oleh papa.
Papaku adalah seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Yap, sudah hampir 3 tahun papa memilih berhenti dari pekerjaannya, melatih sepak bola. Waktu mama tanya alasanya, papa tidak pernah mau menceritakannya. Mungkin mama hanya pusing sebab aku harus membayar beberapa keperluan di sekolah karna sudah mendekati ujian akhr sekolah.
Sedangkan mamaku hanya seorang pegawai di perusahaan konveksi.
Hari ini, aku berniat untuk bilang kalau uang pendalaman materiku harus di bayar esok, tapi rasanya aku tak sanggup untuk mengutarakannya. Aku tak mau menambah beban pikirannya karena adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar juga membutuhkan biaya. Apalagi si mungil keponakanku yang telah lebih dulu di tinggal oleh kedua orang tuanya juga tak boleh luput dari perhatian.
Ya, kakakku sudah lebih dulu pergi meninggalkanku. Dan setelah kakakku meninggal, laki-laki sialan yang menikah dengan kakak ku pergi begitu saja.
Sejak kepergian kakakku aku semakin dingin oleh sosok laki-laki yang selalu aku panggil
'papa'
*****
Jakarta
3:47pm, 16 april 2011
Aku lulus !
Yeah, aku lulus!!!
Walau ada sedikit rasa sedih ketika semua sibuk mendaftar dan mencari universitas,aku malah sibuk mencari lowongan pekerjaan untuk orang yang baru lulus sekolah menengah atas tanpa keahlian.
Dan lagi laki-laki itu tetap tak bergeming ketika ku tanya kapan akan mengambil ijazahku yg seharusnya bisa aku ambil sendiri jika tak ada tunggakan apapun. Apa mungkin karena dia tahu aku punya rasa unik dan tak seperti anak lelaki kebanyakan? Entahlah, tapi rasanya Ingin rasanya aku berteriak dan menangis di hadapan nya..
Tapi..
cih. .
Aku tak sudi
****
Jakarta
3:48pm, 8 juni 2011
“Dede bukan pengemis Pa! Dede kan anaknya papa,bukan om. Dede kan cuma pengen papa ambil ijazah dede. Dede butuh kerja buat bantu mama skarang, papa malah suruh dede ke rumah om, minta bantuan sama om. Kalo papa ngak bisa biar dede yang usaha sendiri'”
Lalu sekarang, apa aku masih punya seorang papa?? Bahkan dari aku mash menginjak sekolah dasar,belum pernah aku melahat papa ku mengambil rapor ku atau sekedar memenuhi undangan rapat wali murid. Entah dia peduli dengan anaknya atau tidak, aku sudah tidak peduli padanya.
****
Jakarta
4:00pm, 17 agustus 2011
“Pa, kamu mau sampe kapan kaya gini terus? Kamu kepala keluarga. Kerjaan kamu tiap hari cuma dirumah. Anak-anak juga udah pada mulai dewasa.. Jangan salahin aku kalo mereka nantinya bakal berani sama kamu. Mereka udah bisa berpendapat Pa”
Waktu makan sahur, yang biasanya tentram dan penuh canda seperti tahun-tahun sebelumnya, tiga tahun ini sudah tak pernah aku rasakan lagi. Dulu, meski kami dan papa berbeda keyakinan, papa selalu menghormati kami menyantap hidangan sahur yang sederhana ini. Bahkan saat hari raya idul fitri pun, papa menyempatkan menemani kami untuk silaturahmi pada para tetangga. Tapi sekarang, rasanya aku ingin melemparkan centong nasi ini ke arahnya.
****
Jakarta
4:30pm, 6 september 2011
Mama tidak pernah menyuruh ku untuk menunda kuliahku,meski harus berjalan dengan kepala, rela ia lakukan asal aku kuliah.
Ah betapa aku begitu mencintainya
Dan aku sekarang bekerja di toko milik kakak sepupuku. Meski gajinya tidak sebesar mereka yang berkerja di gedung-gedung pencakar langit itu,tapi aku bersyukur, karena aku bisa sedikit meringankan biaya kuliahku.
Tanggal ini, papa berulang tahun. Biasanya aku lalui dengan kemeriahan kecil atas ulang tahun papa ku. Banyak yang sering ia ceritakan kepada kami. Mulai dari masa kuliahnya di IKIP, bergabungnya di Persija Timur, sampai pertemuanya dengan mama ia ceritakan.
Tapi, sudah tiga tahun ini rasanya sudah tidak menarik lagi !!
Tak ada lilin,tak ada kue, tak ada kado.
Sunyi
Sepi tanpa suara tawa atau candaan. .
****
Jakarta, 4:32pm, 15 oktober 2011
Ini sudah menjadi rutinitas kami, pergi ke makam kakakku tercinta yang sudah menginjak satu tahun kepergiannya menghadap sang Illahi. Tapi, entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu, sehingga sampai detik ini, dirinya tak pernah menginjakan kakinya di makam kakakku.
Selepas solat ashar, aku mendengar suara seperti benda terjatuh. Lalu dengan tergesa aku mendekati asal suara itu. Tapi aku tidak menemukan sesuatu yang terjatuh itu sampai akhrnya aku melihat sosok papaku yang sudah tidak sadarkan diri di dalam kamar mandi.
*****
Jakarta, 4:38pm 21 oktober 2011
RSUD PASAR REBO
Sudah hampir seminggu papa ku dirawat dirumah sakit ini, karena waktu hanya rumah sakit ini yang paling dekat dengan rumah kami.
Tadi pagi tak sengaja aku mendengar percakapan mama dengan dokter yang menyatakan kalau papa terkena stroke. Tubuh sebelah kanannya tidak berfungsi maksimal,dan harus menjalankan therapy.
Dan seperti itulah keadaan papa. Hanya tidur, dan semua harus kami bantu.
Iba ?
Mungkin
****
30 desember 2011
Papa mash terkulai lemah tak berdaya. Penyakitnya bertambah parah. Dan sekarang kesabaran mama terus diuji, mulai dari memandikan sampai membersihkan buang air bersih dan besarnya. Ketika kutanya mengapa mama begitu sabar,beliau cuma menjawab
“Papa udah dikasih jalan nya sendiri sama Allah. Mama musti sabar, papa kan suami mama. Mungkin ini saatnya kita harus coba nerima dan ikhlas. Coba pelan-pelan maafin papa. Papa juga kan bukan nggak pernah ngasih kita kebahagiaan Dek. Kamu gak ingat dulu Papa yang ngajarin kamu naik sepeda? Papa yang menjulang kamu di pundaknya saat kamu mau metik mangga?”
Aku kembali pada kenangan masa kecil. Lantas aku tersadar bahwa apa yang mama bilang itu benar. Sebuah keharusan bagiku untuk merawat orang tuaku sendiri. Lalu dalam sujud aku memohon ampun,berdoa dan berucap
“Aku memaafkan papa ku ya Allah”
Setelah itu kucium tangan papaku dan meminta maaf pada nya.
Diam. . .
Tapi aku sadar ia menangis, karena memang papaku tak bisa bicara karna sakit.
****
4:53pm, 2 september 2012
Papaku mulai membaik. Ia sudah bisa duduk tanpa bantuan kursi roda, bahkan sudah bisa makan sendiri. Aku senang dan selalu setia mendorong kursi roda ini menuju gereja. Menemani papa ku masuk. . .dan menunggunya diluar. . .Aku tahu, beliau punya do’a terbaik untuk kami. . .
Papa menyayangi kami.
*****
5:04pm, 5 september 2012
Malam ini papa begitu bahagia, karna untuk pertama kalinya kami berkumpul kembali di hari ulang tahun papa. Aku bahkan yakin kalau kakakku turut hadir, karna hawa yang panas ini mendadak sejuk. Sejuk sekali. Dan senyum kakakku almarhum telah terwakili oleh si kecil Raisya.
Aku membeli sebuah cupcake kecil, walau hanya berisi 8 buah tapi aku memesannya dengan sebuah tulisan 'love u dad'. Papa suka memakai kalung, lalu aku memberinya kalung dengan namanya 'Kelly'.
Entah apa yang ada dipikiran mama. Tiba-tiba mama berucap, “mumpung semuanya lagi ngumpul, tuh minta maaf sama papa. Sana gih, salim”
Tanpa curiga kami hanya mengikuti saran mama. Apa salahnya meminta maaf , toh kami memang banyak salah.
Dan malam ini entah mengapa aku enggan sekali beranjak dari sisi papa. Aku yang biasanya selalu kesana kemari entah itu online atau sekedar ber.sms ria ku lakukan disamping papa.
Aku hanya ingin disamping papa.
*****
5:13pm
6 september 2012
Pagi ini aku bangun. Walaupun sebenarnya aku tidak bisa memejamkan mata sama sekali tadi malam. Lalu aku mengambil handphone dan ternyata ada seorang temanku yang menelpon. Kulihat mama masih memegangi tangan papa dan sesekali kulihat papa memeluk mama.
Sekitar pukul 11 mama berteriak histeris waktu kulihat papa sudah menutup matanya tanpa bernafas. . .
Papa sudah pergi
Kenapa aku malah menerima telpon itu?
Kenapa aku tidak disisinya waktu beliau akan pergi?
Betapa dingin wajahnya
tangan nya
serta kakinya
apa aku boleh menggantikannya ?
Kosong. . .
Sepi. . .
Hanya air mata yang menjawab kedatangan orang-orang itu.
Aku ingin marah, tapi pada siapa?
Aku menyesal, hanya mulai menerima mencintainya di detik-detik terakhr kehidupannya.
Tapi sekarang aku butuh.
Aku butuh
Untuk pertama kalinya dalam hidup ku, aku sangat membutuhkan papa ku.
Ya, aku butuh sekali papa.
Sebelum papa pergi papa selalu memeluk mama. Mungkin ada yang ingin ia sampaikan, tapi tak bisa ia ucapkan. Tapi mama mengerti kalau papa bilang , “tolong jaga anak-anak, aku pergi duluan. Aku sayang mereka”
****
5:22pm, 7 september 2012
Hampir setahun tanpa suara
Tanpa pernah bilang, “ini sakit”
Tanpa pernah bilang , “ini sakit ya tuhan”
Aku tahu dalam kesunyianmu , kamu mengatakan, “aku mencintai kalian”
Aku dengar dikesunyianmu itu, kamu bilang, “aku ingin terus bersama kalian”
Papa. .
Hidup harus terus berjalan
Yang hidup harus tetap hidup
Percayalah, kami punya cinta yang tulus dan banyak untukmu.
Do’a kami takan pernah putus untukmu
Hal yang paling ku syukuri, aku masih diberi kesempatan untuk memberikan papa kebahagiaan dihari ulang tahunnya yg sudah tiga tahun tak ia rasakan. Semoga ini bisa menjadi kado terindah papa
Can say happy birthday papa n goodbye
THE END_
maaf buat yang gak kemensyen. w copas soalnya. hehe
jangan lupa..kripiknya...
aku lebih suka cerpen yang ngebahas tentang papa and kakak cewek yang berkorban untuk adik nya,,menyentuh bangggeeetttttt
yg Kamu Tetap Kakakku, menyadarkanku bahwa harus mensyukuri siapapun sodara kita, sempat terlintas di benak, mengapa aku g punya adek cowok aja? Tapi aku ingat satu hal, dulu aku yg meminta adek cewek, yah, dy tumbuh dewasa dan cantik, mungkin aku g pernah cerita kekuranganku, tapi sepertinya dy satu2nya yg tau dan mau menjaga privasiku, dan aku bersyukur punya adek sperti dy,
ya Perhiasan Duniaku,
semoga suatu saat aku mampu melangkah dijalan yg memang mampu mengubah hidupku menjadi lebih baik,
yg Selamat Ulang Tahun Papa,
mungkin mulai detik ini aku harus memulai mengurangi amarah dan benciku terhadap seorang Bapak, meskipun selama ini masih mampu menahannya dalam batin ini,
yg laen Alhmdlah dah baca Bi,