It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kpn apdetnya??? jgn lama2 ya.. :-* :-* kasih cium smangat dlu
@gaudeamus @nero_dante1 @silverrain
@gaudeamus biarin walau cuma flashback.. kan masa depannya gak ada cerita! ahaha!! jd mahasiswa smt 2 aja belagu!! :P wkwkwk )
nanti dibikin lebih baik lagi deh
dan buat para penggemar PUM maaf kalau gak sesuai hayalan kalian, namanya orang punya imajinasi masing" kaann
minaaa segini dulu dah
sate kambing?? buat apaan? ntar darah kula lho?!
ah yujii, tolong! aku mau dibully sama @gaudeamus
#ngumpet di punggung yujii :P
(Modus dikit)
iya kah?? #purapuralupa
ehh, @gaudeamus @nero_dante1 , daripada kalian rebutan Yuji, yg ujung2nya saling melukai n' ga ada yg dapetin doi, mending kalian jadian aja deh!! )
@ularuskasurius @obay @4ndh0 @congcong @nero_dante1 @beepe @boyzfath @hwankyung69 @danze @callme_DIAZ
@hades3004 @chibipmahu @gaudeamus @noe_noet @abyan_alabqary @bintang96 @kebohenshin @yui_yoshioko
apdett
Klek
!
Dengan sigap aku segera berhenti bermain saat kudengar suara pintu terbuka.
Siapa yang datang malam malam begini?
Aku menghela nafasku saat sosok yang masuk langsung memamerkan giginya.
Ia mengangka sebuah bungkusan plastik berwarna putih dari tangannya.
"Marco?"
"Kenapa berhenti? Lanjutin aja mainnya."
Dia tersenyum, memamerkan deretan giginya yang selalu membuatku iri.
Lagi lagi dia datang kemari.
Apa kurang dia setiap hari terus membuatku salah tingkah?
Dia selalu membuatku gugup bila dia tersenyum, dia bisa dengan mudah merangkulku di sekolah, mengalungkan tangannya saat kami berjalan beriringan ke kantin, dan dia bahkan membuatku berkali kali ditegur karena melamun memikirkan keadaanku.
Ya!
Ini semua karena dia!
Perasaanku sekarang benar benar aneh setiap kali aku melihatnya.
Ada perasaan panas yang tidak nyaman di dalam dadaku, setiap kali dia tersenyum, setiap kali dia menyentuhku, dan setiap kali dia merangkulku dari belakang kalau kami sedang berkumpul bersama anak anak gank lainnya.
Perasaan aneh, seakan dadaku berdegup keras, dan terasa begitu aneh.
Perasaan apa ini?
Aku saat ini sedang berusaha mati matian menutup perasaan itu, dan itu hanya bisa kulakukan bila dia sedang tidak berada di dekatku.
Seakan aku sekarang sedang membangun tumpukan bata untuk benteng, tumpukan itu selalu hacur berantakan setiap kali dia muncul dan tersenyum.
Dan tidakkah dia tahu kalau aku sedang berusaha keras memperbaiki perasaanku?
Kenapa dia malah semakin mendekatiku?
Atau dia menyadarinya dan dia memang tidak memberiku kesempatan untuk menghilangkan perasaan ini?
Karena semakin aku berusaha mengambil jarak darinya, dia malah semakin gencar mendekatiku.
Seperti saat ini, saat tadi siang aku pulang dengan menuruni talang air, menghindari keluar dari ruang kesenian lewat pintu depan karena aku tahu dia pasti akan menyeretku untuk makan bersamanya, yang walaupun sebenarnya bisa kutolak dengan mudah, tapi mulutku selalu berkhianat saat dia mengajakku, dan sekarang dia datang kemari?
Aku sungguh tidak habis berpikir kenapa aku seakan kehilangan gigiku saat aku berada di depannya.
Apabila saat ini yang datang adalah Benny dan Gege, mungkin saat ini aku sudah melempar mereka keluar dari beranda dengan alasan lancang karena mendatangiku larut malam begini, tapi tadi kenapa aku malah menyambutnya, dan apa tadi aku tersenyum saat dia tersenyum padaku?
Apa yang sebenarnya kurasakan darinya?
Walaupun aku merasa nyaman saat aku berada di dekatnya, tapi tetap saja, aku harus mengkategorikan perasaan ini sebagai mengganggu, karena sensasi aneh yang tidak nyaman selalu muncul bersamaan dengan perasaan itu.
Sebenarnya aku punya satu buah kata yang munkin kupikir bisa jadi pengganti yang baik untuk kata ini, tapi aku sendiri tidak berani mengatakannya, karena kupikir itu sama sekali tidak benar.
"Yujii...?"
"Ah! Iya?!"
"Kamu melamun! Ngapain sih! Itu lagu apa...?"
Aku mendengus sebal padanya.
Kumatikan mp3 yang tadinya bermain beriringan dengan permainan fluteku.
Marco langsung terlihat sebal, dia mengerutkan dahinya dengan ekspresi menyebalkan seperti biasa.
"Loh, ditanyain kok malah dimaatiin lagunya sih! Kamu pelit!"
Sial.
Dia benar benar menguji kesabaranku.
Ingin rasanya tanganku ini meremas mulutnya dengan gemas, dan membanting tubuhnya ke lantai satu,.
Kuulangi.
Ingin rasanya.
Sayangnya jangankan untuk membantingnya, menarik atau mencengkramnya dengan amarah pun tubuhku tak mampu.
Disini aku baru benar benar merasakan saat dimana otakku bagaikan tawanan dalam tubuhku sendiri, memberikan perintah pada tubuhku, tapi seisi tubuhku tidak mematuhinya, dan otakku pun tak mampu melakukan apa-apa untuk memaksa tubuhku.
Yang bisa pikiranku lakukan sekarang hanyalah melihat, kemana hatiku memimpin seluruh anggota tubuhku untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Tanganku, kakiku, bibirku, semuanya tak bisa kukuasai.
Heran.
Sudah puluhan orang kuhabisi di tanganku, tapi kenapa untuk satu cecunguk kecil ini aku tak bisa?
Padahal tubuh kurus ini bisa dengan mudah aku patahkan jadi dua, atau mungkin aku remukkan jadi bagian kecil.
Seperti yang biasa aku lakukan pada "dia".
Oh, iya, apa sudah ada yang menemukan "dia" di dalam lemari tv ya?
Mungkin belum.
Biarlah, "dia" pasti perlu untuk berkemah diluar kamarnya sekali sekali.
Aku kembali tersenyum padanya, kemudian menggeleng.
Tersenyum?
Buat apa aku tersenyum?!
"Ngapain kamu kesini malam malam? Kamu gatau ini jam berapa?"
"Jam 8 kan? Belum malam lah, kenapa sih?"
"Kamu bawa apaan itu?"
"Cap cay!"
Dia tersenyum lebar, memamerkan lagi deretan giginya.
Marco kemudian mengambil posisi duduk di depanku, sembari meletakkan makanan itu di hadapan kami berdua.
"Ngapain lagi kamu beli cap cay terus dibawa kesini?"
Ujarku berusaha untuk berbicara seketus yang kubisa, tapi tampaknya gagal karena dia tetap tersenyum.
Tapi otak udang di hadapanku ini memang ga punya perasaan sih ya?
"Ya buat kita makan lah...!"
"Kita? Aku ga perlu dibawain makanan..!"
Marco tampak sedikit terhina karena perkataanku, dia mendecak sebal, sambil mengetuk ketuk lantai.
"Heh, aku udah bawain makanan kamu malah bilang ga perlu, bilang makasih kek!"
Marco dengan kesal menatapku, tapi aku tetap tak ambil pusing.
"Aku punya mie instant! Jadi aku ga perlu kamu kasih makanan pun ga apa apa!"
Marco mendelik, dia mencebikkan bibirnya, kemudian memajukkan mukanya sampai ke depan mukaku.
"Heh, denger ya! Mie instant itu ga sehat! Kamu ga boleh lagi makan mie instant! Nanti mie instantmu kusita!"
Aku menaikkan alisku tinggi mendengar perkataannya.
Siapa dia bisa mengaturku?!
Sigh!
Kenapa sih!
Aku kok cuma bisa diam menerimanya?!
Padahal "dia" yang tadi siang menggedor kamarku pinjam gunting dan mengganggu tidurku pun tak kubiarkan lolos.
==================flashback=====================
Aku berjongkok tersenyum di depan meja TV, menatap sosok ketakutan yang meringkuk terlipat di dalamnya.
"Kamu tahu kan? Aku ga suka tidurku diganggu?"
"MMMhh! Mmmhh!!"
"Kamu udah tau pun, masih dilakuin, dan kamu gedor pintu, bikin aku bangun kagetan, harusnya kamu bersyukur aku ga potong kepalamu....!"
Sosok itu mengangguk. Tangan , lutut, dan kakinya tampak terplester dengan kuat, sementara aku membuatnya berjongkok bertumpu di ujung ujung jari, sementara tubuh atasnya meringkuk karena lemarinya cukup rendah.
"Ya, sekarang nikmati aja ya, oia, saranku, jangan bergerak terlalu banyak, soalnya silet dan gunting itu ga akan ragu menusukmu kalau kamu berani meregangkan badan atau kalau tumpuanmu lepas...."
Ujarku menunjuk silet di sekeliling tubuhnya.
"Oh, tadi kamu mau pinjam gunting kan Ge...?"
"Mmmhh Mmmhh...."
Gege tidak mampu menjawabku, karena buah pear yang aku sumpalkan di mulutnya, sekarang dia terlihat seperti babi panggang, tapi lebih buruk.
Rambutnya teracak, lehernya terikat tali lasso yang siap menggantungnya andaikan dia gagal berjinjit atau terpeleset dari tempatnya berjinjit sekarang.
Di siku dan tumitnya sebuah silet siap menusuknya bila dia berhenti berjinjit, dan wajahnya tampak penuh dengan ketakutan.
"Ini guntingmu, semoga cepat ada yang menemukanmu..."
ujarku sambil memasangkan gunting sehingga ujungnya tepat berada di depan dahinya.
"Aku pergi dulu, Ge."
kututup laci tv itu, kukunci, dan kulempar kuncinya ke dalam aquarium.
========================end of flashback===========================
Ya, aku bisa melakukan semuanya dengan mudah, tanpa bepikir malah.
Tapi kenapa untuk satu monyet ini aku ga bisa?
Apa sebenarnya yang aku pikirkan?
Sejak kapan aku jadi begitu patuh padanya?
Aku tadi malah menganguk kalah saat dia bilang mau mengambil mie instantku.
Kuputar tubuhku, kuambil tiga buah piring, bersama dengan dua pasang sendok dan garpu, kemudian kubuka bungkusan di depanku.
"Gelasnya mana? Piringnya kurang satu! Aku juga beli ayam tepung..."
Anak sialan.
Marco memerintahku sambil menaikkan dagunya, bertingkah angkuh sambil menunjuk ke arah lemari peralatan makanku.
Aku kembali meraih piring dan dua buah gelas, meletakkannya di depan kami.
"Aku mau air es..."
"Ga ada es disini!"
"Yah, payah sih..."
Kugertakkan gigiku dengan sebal, dan kutatap marah, membuatnya mundur dan segera mengatupkan tangannya meminta maaf.
Yah, setidaknya aku masih bisa menggertaknya.
Not bad.
Aku masih mendelik ke arahnya, tapi pikiranku sudah mendahuluiku menelusuri lekuk lekuk tubuhnya.
Rambutnya tampak di spike dengan sangat rapi malam ini.
Memangnya dia mau kemana?
Kacamata putihnya pun tampak berbeda, terlihat lebih keren, apa baru diganti?
Bau shampoo khas ini, dia baru mandi? Dia pakai shampoo apa?
Baunya, membuatku mabuk.
"Yujii? Kamu mau melamun sampai kapan...?"
Aku tersentak kaget.
Dan begitu aku sadar, wajah kami hanya terpisah satu kilan.
".............................."
Aku segera menundukkan wajahku, dengan panik aku menutupi rasa gugupku, menyibukkan diriku membuka dan menuangkan makanan ke piring.
"Y... Yuji....."
Aku kembali menatapnya dengan gemas.
"Apa lagi sihh?!"
"Anu, kamu mau makan itu semua...?"
Marco melirik ke arah bawah.
aku mengikuti arah pandangnya
Astaga!
Aku menuangkan semua isi bungkusan ke satu piring.
2 porsi nasi, satu kantong cap cay, dan sebungkus ayam tepung, semuanya bertumpuk jadi satu di satu piring.
"......................................"
"Ini gara gara kamu ngajak aku ngomon terus, Marco!"
"Heh! Aku ga ngajak kamu ngomong!"
"Yaudah bentar!"
"Udah udah gausah dipisahin, sepiring berdua aja!"
"Ha?"
Aku?
Makan sepiring berdua...?
WHOA!!!
APA YANG BARUSAN TERLINTAS DI KEPALAKU!
Makan sepiring berdua kan sudah biasa.
Ya kan?
"Yaudah, ayo makan, dimana sendoknya tadi?"
"Sendoknya kamu timbun..."
Aku lagi lagi harus tersipu malu, saat menyadari sendok dan garpu yang aku ambil ternyata sudah ikut berkanjang menjadi pondasi tumpengan akbar hasil mahakaryaku.
"Yaudah, nih, sendok garpu baru aja...."
Marco menerima sendok garpu baru yang aku serahkan, dan mulai menyendok makanan dari gunungan itu dengan hati hati, agar tidak ada yang jatuh ke lantai.
Aku ikut mengambil sendok, kemudian bersama dengannya menyendoki tumpukan makanan itu.
"Kenapa kamu mendadak bawain aku makanan sih?"
"Nanya lagi! Habisnya kamu selalu makan mie instant!"
"Aku suka kok!"
"Heh! Malah melawan lagi! Kamu diperhatiin malah ngomel sih?"
Perhatiin?
Dia barusan bilang dia merharikan aku?
Aku ga salah dengar?
"Ngapain kamu merhatiin aku?"
"Ngelunjak lagi! Udah makan aja sekarang!"
"Meow..."
Kami saling berpandangan, sebuah suara mendadak memecah keheningan.
"Suara apa barusan?"
Aku mengankat bahuku, sambil memasang telingaku.
"Meong.... Meong..."
"Kamu bawa kucing kesini, Marco?"
"Enak aja! Kamu pikir aku tarzan apa?"
"Kan aku cuma nanya, lagipula mana ada Tarzan bawa kucing. . ."
"Oh, iya, kamu pikir aku si buta dari goa hantu apa?!"
"Si buta bawa monyet, bukan kucing..."
"Oh..."
Marco terdiam, dan suara itu kembali terdengar, sangat dekat.
"Hmm, kok suaranya rasanya dekat banget ya...?"
Aku mengangguk membenarkannya, segera kuletakkan sendok itu, dan berdiri mencari ke sekelilingku.
Marco mengikutiku, menyisir sekeliling kamarku, dimana sebenarnya asal suara itu?
Aku sudah memutari kamarku, tapi tampaknya sosok kucing yang dicari tak juga muncul.
"Dimana sih...?"
Aku membuka beranda depan, suara mengeong itu terdengar semakin keras.
"Kayaknya disini, Marco..."
Aku memicingkan mataku, menyisir beranda dengan penerangan seadanya, dan menangkap sosok seekor kucing kecil di dalam saluran air hujan.
"Loh? Ada anak kucing disini?!"
Dengan segera kuhampiri anak kucing itu, kemudian dengan perlahan aku menariknya dari dalam saluran air.
"Woah, basah kuyup! Induknya kemana? Kok ga ada?"
Kuangkat bayi itu, sementara Marco dengan panik membukakan pintu untukku.
"Wah, kedinginan, Marco, ambilkan handuk kecil di dalam lemariku di laci bawah dong..."
Marco segera melesat ke arah laci, dan kembali membawa sebuah handuk berwarna kuning cerah.
Aku mengeringkan anak kucing yang tampak basah itu dengan handuk itu.
"Wah, kayaknya kedinginan, kamu ga ada handuk lagi Yujii?"
Aku menggeleng, ikut kebingungan melihat anak kucing yang tampak lemas kedinginan itu.
Marco mendadak melepaskan tee shirt putih panjangnya, kemudian membalutkannya pada anak kucing yang sudah kering itu, sementara aku terbelalak, menatap tubuhnnya yang sekarang hanya terbungkus singlet hitam.
Sexy...
HEI!
Apa yang kupikirkan barusan?!
Aku segera mengalihkan pandanganku, tapi mendadak anak kucin kecil itu merankak keluar, dan mengendusi jari kakiku.
"Wah, lucu banget!"
Marco merangkulkan tangannya di bahuku, lagi lagi aku merasa panas karena merasakan kulitnya menyentuh leherku.
Perasaan macam apa ini?!
"Dia cocok tuh sama kamu! Kayaknya kita jadi punya peliharaan nih sekarang!"
Marco tertawa lepas, kemudian mengelus kepala kucing kecil itu, dan dibalas dengan dengkuran kecil.
"Sini sini sama Papa...."
Marco tertawa senang saat kucing itu memainkan jarinya, sementara tangan satunya masih merangkulku erat.
"Oke! Deal! Kita pelihara!"
Deal?
kapan aku setuju?!
"Oke, Aku jadi Papanya, kamu jadi Mamanya!"
Aku membelalak mendengar perkataannya.
"Kapan aku setuju! Lagipula kenapa harus aku yang jadi mamanya?"
"Lhoh! Mukamu kan cantik! Masa papanya cantik! Sudah, Aku jadi papanya, kamu jadi Mamanya! Oke! Nih, ma, Gendong!"
Aku masih melongo tak percaya, saat anak kucing itu mendadak diletakkan di pangkuanku, dan Marco merangkulku semakin erat.
"Nanti esok kucarikan susu, kayaknya dia masih usia menyusu deh...."
Ujar Marco.
"Yujii, mau kita kasih nama siapa anak kita? Hahahahaha!"
Marco tertawa lepas.
"Hmm, kukasi nama Rex aja, gimana? Keren kan?"
Marco terus mengoceh, sementara aku tidak bisa berkonsentrasi karena pikiranku terbelah belah.
Rangkulan tangannya.
Kulitnya yang terasa hangat di tengkukku.
Harum khas tubuhnya, aroma shampoo ini.
Dan
Anak kita?
Aku mulai gila....
Anak kucing itu tidur di tanganku, sambil memain mainkan mp3 ku, sehingga tanpa sengaja menekan tombol play, memainkan kembali lagu yang tadi aku mainkan.
Aku dan Marco terdiam, mendengarkan alunan musik yang sesekali diselingi dengkuran dan suara anak kucing di pangkuanku.
Can You Feel The Love Tonight
from: The Lion King
Music: Elton John
Lyrics: Tim Rice
There's a calm surrender to the rush of day
When the heat of the rolling world can be turned away
An enchanted moment, and it sees me through
It's enough for this restless warrior just to be with you
And can you feel the love tonight
It is where we are
It's enough for this wide-eyed wanderer
That we got this far
And can you feel the love tonight
How it's laid to rest
It's enough to make kings and vagabonds
Believe the very best
There's a time for everyone if they only learn
That the twisting kaleidoscope moves us all in turn
There's a rhyme and reason to the wild outdoors
When the heart of this star-crossed voyager beats in time with yours
papa marco mama yujii anaknya rex...
kasian banget dewa kematian jadi nama kucing #poor.alvin
)
masi ada beberapa typo brendyy....
Marco kok km ndak pernah bawa makanan ke rmh ku sih. Aku cemburu...