It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
soalx aku penasaran sama hubungan Qori sm sadam,,, btw kayax qori belok ya? #sotoi
Aku sedang lari sore dilapangan komplek perumahan ku. Sendirian. Tadinya, aku ngajak Kak Qari agar ada yang nemenin aku. Tpi, dia ada tugas kelompok yng harus dia kerjain di rumah temannya. Ya disinilah aku, lari sore sendirian.
Beberapa hari ini, Kak Qari agak pucat. Aku juga sering ngelihat dia mual dan terkadang dia ngeluh sakit kepala pada ku. Namun, setiap ku tanya, dia selalu jawab. 'Kakak gak papa, Dam. Paling cuma masuk angin biasa aja.' Apa dia gak tahu, kalau aku sangat meng-khawatirkan-nya?
Setelah pulang dari panti asuhan 2 minggu lalu, aku jadi lebih mudah untuk mengikhlaskan Mama dan Papa. Ternyata masih banyak orang yang tidak seberuntung aku. Seperti, Niko dan Nita, yang selalu tersenyum walau mereka tidak pernah melihat wajah wanita mulia yang melahirkan mereka dengan taruhan nyawa. Begitu juga dengan pria yang merupakan penanam benih di tubuh wanita tersebut. Niko dan Nita tetap bisa tersenyum. Sudah sepantasnya aku untuk bersyukur, karena denga begitu cepatnya aku telah di berikan orang tua pengganti yang sangat menyayangiku bagai anak kandung mereka.
"AUWWH." ketika tiba didekat lapangan basket, tiba-tiba sebuah benda bundar besar 'mendarat' tepat diatas kepalaku yang membuat kepalaku pening seketika.
Aku berusaha mengenyahkan rasa pening tersebut dengan diam dan menekan kepalaku yang terkena benda bundar tersebut.
Lalu...
"Dam, kamu gak papa 'kan?" Seorang pemuda menatapku dengan sepasang mata amber-nya dengan tatapancemas. "Dam kamu gak papa 'kan?" Ulangnya. Karena, dari tadi aku hanya diam tidak merespon pertanyaannya.
"Ah. Aku gak papa kok Lev. Cuma rada pusing aja." Jawabku sembari mengulas senyum tipis.
Ya, pemuda bermata indah tersebut memang Levi adanya. Murid baru yang terkesan dingin di kelas.
"Maaf banget ya, Dam. Itu, tadi sepupu aku gak sengaja ngelempar bola kekamu." Sembari menunjuk pada seorang cwok yang menatap kami tepatnya aku dengan tatapan yang tidak dapat ku artikan. Karena, biasanya yang menatapku seperti itu hanya Kak Qari.
"Kak, sini dong. Minta maaf sama teman aku.!"
"Males. Gak penting juga!" Dengan selesainya ucapannya, dia membalikkan tubuhnya membelakangi kami dan segera meninggalkan lapangan basket.
Sombong sekali orang itu. Sudah tahu salah, tapi gak mau minta maaf. Percuma aja punya tampang dan body diatas rata-rata kalau kelakuan minus. Sma aja denan menurunkan point penting.
"Maaf sekali lagi, Dam. Dia baru putus sama pacarnya. Jadi, ya, sikapnya jadi aneh gitu. Tapi aslinya dia baik kok."
Baik?
Kelakuan seperti anak autis dibilang baik?
Harusnya tadi aku ngehajar dia habis-habisan, supaya bisa minta maaf atas kesalahan yang telah dia buat.
"Oh, gak papa kok Lev. Aku ngerti kok. Langitnya udah mulai gelap nih. Aku pulang dulu, takutnya Bunda ntar nyariin lagi."
"Aku anter ya, Dam? Kamu kayaknya masih pusing gitu."
"Gak. Gak perlu Lev. Rumah aku dekat kok. Kan ini komplek rumah aku juga."
"Yakin?" Levi seperti menyangsikan ku untuk pulang sendirian. Tapi, aku terus menyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Akhirnya dia menyerah, dan membiarkan ku pulang sendirian.
Levi aneh banget. Di sekolah dia dingin banget. Tapi, disini, dia bisa ramah dan hangat banget. Semua kesan dingin yang ia tunjukan di sekolah hilang tak berbekas. Apa dia punya kepribadian ganda ya? Ah... Entahlah. Buat apa juga aku memikirkannya? Bikin pusing aja. Baiknya kau pulang aja kerumah. Dari pada Bunda menyiapkan pasukan satu batalion untuk mencariku karena hari sudah senja namun aku belum juga sampai ke rumah.
***
Aku menelepon Nenek. Guna mengabarkan bahwa aku akan liburan ke Aceh. Aku sudah sangat merindukan Nenek-ku dan juga tanah kelahiran ku ini.
Aku juga menanyakan alamat Nenek disana. Maklum saja, aku sudah lama sekali tidak pulang ke Aceh. Ini kepulangan pertama ku sendirian tanpa Mama dan Papa.
"Ia, Dam. Nenek akan masakin Masam Jingnya khusus untuk cucu kesayangan Nenek. Kamu pulang kesini sama siapa, Dam?"
"Kayaknya, Adam bakalan sendirian, Nek. Soalnya Adam belum bilang sama Ayah dan Bunda tentang rencana ini, Nek."
"Rencana apa, Dek?" Tiba-tiba Kak Qari sudah duduk di sebelah ku. Sambil menunggu jawaban yang belum ku lontarkan padanya.
"Udah dulu ya, Nek. Assalamu'alaikum."
"Wa'alikumsalam."
Kak Qari masih setia menggu jawaban ku. Jadi, mau tidak mau aku harus menjelaskan rencan liburanku ke Aceh padanya. Dia tidak setuju aku pergi sendirian, jadi, dia juga ingin ikut bersama ku kesana. Dia takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika aku berangkat sendirian.
Jadi aku hanya menganggukkan kepalaku sebagi tanda bahwa aku setuju dia untuk ikut pergi bersama ku.
***
"Bunda, bawaan udah cukup. Nanti ribet di pesawatnya. Belum lagi nanti transit di Medan terus naik Bus." Aku terpaksa menghentikan gerakan tangan Bunda yang sangat berambisi untuk memenuhkan semua kardus yang ia punya dengan berbagai jenis barang.
Sebenarnya, bukan karena repot dipesawat dan di busnya, tapi lebih kepada ggengsi. Takutnya nanti orang lain malah mengira kami adalah korban bencana alam yang terpaksa pindah dari kota ini karena sudah kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.
Ini saja sudah 5 kardus besar yang Bunda isi dengan barang-barangnya. Sedang aku masih melihat ada sekitar 9 kardus yang kalah besarnya yang belum terisi. Apa jadinya, kalau semua kardus itu kami bawa kedalam pesawat? Bisa-bisa bagasi pesawatnya hanya cukup untuk barang bawaan kami.
"Ia, Bunda. Ntar kami susah di pesawat dan busnya." Kak Qari ikut membela ku. Mungkin dia juga bingung melihat Bunda-nya memasukkan begitu banayak barang kedalam kardus-kardus itu.
"Ya sudah kalau kalian maunya gitu." Sembari mengelem kardus terkahir Bunda melanjutkan. "Jam berapa kalian akan berangkat ke bandara?"
"Sekitar jam 7, Bunda. Soalnya pesawatnya take-off jam 9. Takutnya jalan ke bandara macet." Memang jalan ke bandara selalu macet. Butuh perjuangan ekstra besar untuk mencapai bandara dari rumah. Belum lagi ditambah traffic light yang terkadang sangat lama berubah menjadi hijaunya.
"Yasudah, sekarang kalian tidur. Supaya besok segar dan kalian gak telat bangunnya."
Tanpa disuruh 2 kali kami sudah pergi meninggalkan ruang keluarga menuju kekamar masing-masing. Karena terlalu lelah setelah menemani Bunda menyiapakan semua keperluan yang akan kami bawa ke Aceh.
Takengon, Aceh Tengah I'm coming....!
***
@Elnichie : Ini udah di lanjut bro.
Colek2 yang pernh ngoment ah...
@bponkh @hehe_adadeh @Gabriel_Valiant @dheeotherside
wah pst akan tumbuh cinta trlarang !
Udara dingin Negri di Atas Awan ini langsung menusuk tulang ketika aku keluar dari bus yang kami tumpangi. Takengon saat pagi memang terasa sangat dingin. Jadi, tidak heran jika nantinya kami tepatnya aku akan bergelung lebih lama dibawah selimut selama beberapa hari di pagi hari.
Di dalam bus tadi, kami hanya tidur. Karena, kami melakukan perjalanan pada malam hari. Sehingga yang terlihat hanya kegelapan di kiri-kanan jalan setelah kami keluar dari area perkotaan.
Namun, ketika aku membuka mata, aku langsung berdecak kagum. Aku memandang takjub pada keindahan alam yang kulihat dari balik jendela bus ini.
Mentari yang tampak malu-malu mulai menjalankan tugasnya sebagai penerang bagi bumi ini. Pemandangan hutan dengan pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang dan jurang-jurang disisi lainnya menjadi satu kesatuan yang sangat mempesona.
Ini sudah dekat, batinku.
Takengon tidak akan pernah kehilangan eksistensinya untuk membuat siapapun takjub akan keindahan alam yang ia suguhkan. Negri di Atas Awan, keindahanmu amat sangat sulit untuk diabaikan dan dilupakan.
Dari terminal bus, kami menyetop becak untuk membawa kami ke rumah Nenek. Awalnya, Nenek menawarkan agar kami dijemput oleh supirnya, tapi, aku menolak secara halus. Aku ingin menikmati indahnya pagi ini denganbecak -simbol kedaulatan ekonomi rakyat bagi daerah Takengon. Lagi pula, di kota tempat tinggal ku, aku tak pernah naik becak demikian pula halnya dengan Kak Qari.
Kak Qari terlihat amat sangat bahagia pagi ini. Dia terus berceloteh bahwa ia sangat senang berada di kota kelahiranku.
Sejak tadi, dia asyik memandang takjub kearah berpetak-petak sawah yang kami lalui. Bagiku, tidak ada menariknya sama sekali, karena sawah itu saat ini tengah dibajak oleh para petani menggunakan traktor dan kerbau. Menurutku, yang menakjubkan dari sawah adalah ketika semua padi yang ditanami sudah berwarna hijau kekuning-kuningan.
"Nanti, Kakak pengen ngebajak sawah pake kerbau, Dek. Mau ya?"
Dasar orang aneh! Apa enaknya membajak sawah? Ck ck ck
Awalnya, aku ingin sekali menolak keinginan konyolnya itu. Sudah dipasrikan akan sangat kotor dan berlumpur. Belum lagi bau kotoran kerbau yang sangat menyiksa indra penciuman.
Tapi, karena melihatnya sangat bahagia dan sangat berhasrat untuk melakukan hal konyol itu maka, aku hanya menganggukkan kepalaku. "ia. Terserah Kakak aja."
Kebetulan sekali sawah Nenek sekarang sedah dibajak juga. Jadi, nanti aku bisa mengajaknya kesana saja.
Setibanya di rumah. Agaknya Nenek terkejut begitu melihatku datang tidak sendirian. Karena aku tidak memberi tahu sebelumnya bahwa aku akan datang bersama Kak Qari.
Tapi ketekejutan itu hanya berlangsung sesaat. Kemudian Nenek menghamburkan tubuh rentanya kearah ku dan memelukku erat. Sangat erat. Hingga aku kesulitan bernafas. Lalu dia melepas pelukkannya dariku lalu memeluk Kak Qari. Ya, Nenek memang sudah sangat dekat juga dengan keluarga Om Aditya maksudku Ayah-ku.
Nenek menyarankan agar kami makan terlebih dahulu. Namun, aku ber-alasan bahwa kami sudah makan di pemberhentian terakhir di Lhokseumawe tadi.
Aku menyerahkan barang-barang bawaan yang diberi Bunda pada Nenek yang disambut dengan wajah cerah secerah bulan purnama. Lalu, beliau menyuruh kami untuk beristirahat. Beliau tahu kalau kami sudah sangat letih. Duduk selama 10 jam cukup untuk membuat kami berpatah-patah-kan. Jadi, aku dan Kak Qari langsung naik kelantai 2 dan masuk kekamar ku yang memang sudah disediakan Nenek sejak aku mengabarkan bahwa aku akan berkunjung kesini.
"Kakak mau mandi dulu atau mau langsung tidur aja?" Tanyaku ketika sampai dikamar sambil meletakkan koper ku di dekatlemari pakaian.
"Kakak langsung tidur aja, Dek. Lelah banget." Kak Qari naik ketempat tidur yang King Sizeku.
"Ya udah. Adam juga mau langsung tidur. Badan Adam rasanya pada remuk semua."
Dengan itu aku naik kekasur dan membaring tubuhkan tepat disamping Kak Qari yang mulai menutup matanya. Dan aku 'pun mengikuti menutup mata. Tak lama kemudian aku pun telah terbuai dalam mimpi yang panjang.
***
Sore hari, Kak Qari memaksaku untuk merealisasikan keinginannya untuk membajak sawah dengan kerbau. Pada-hal cuaca sore ini agak sedikit mendung. Namun, dia tetap bersikeras untuk pergi sekarang.
Maka dari itu, aku meminjam motor bebeknya Bang Muhdan -tukang kebunnya Nenek, untuk ku pakai pergi kesawah.
Bau tanah bercampur lumpur langsung menggelitik hidungku ketika aku tiba ditepi sawah.
Setidak suka apapun aku terhadap lumpur, tapi, jika bersama Kak Qari aku akan sangat menikmatinya. Hanya dengan melihatnya tersenyum sudah mampu mengubah tata kehidupanku.
Kak Qari langsung berlari ke tengah sawah setelah menggulung denim birunya setengah betis. Dia terlihat berbincang-bincang dengan Abang yang sedang bekerja membajak sawah dengan kerbaunya. Lalu, Abang tersebut naik ke tepi sawah dan Kak Qari mulai menaiki kursi yang ditarik dengan kerbau tersebut.
Beberapa kali kulihat Kak Qari terjatuh dari kursinya.
Tiba-tiba dia melihat kearah ku yang masih berdiri di tepi sawah sambil memandang lekat kearahnya. Mungkin dia baru ingat kalau dia kemari bersama ku.
"Dek, ayo kesini! Seru banget ngebajaknya." Serunya.
"Gak ah, Kak. Adam gak suka lumpur."
"Ah, gak seru kamu, Dek." Lalu tanpa disuga dia turun dari tunggangan nya dan berlari kearahku yang memandangnya heran bagaiman dia bisa berlari secepat itu dengan kaki penuh lumpur?
Kemudian, dia merai tangan kananku yang tergeletak pasrah di samping tubuhku, menarikku untuk berlumpur ria bersamnya.
"Kak... Adam gak mau. Jorok ini. Bau lagi.!"
"Kamu kayak cewek aja.! Pokonya kamu harus mau!"
"Huwaaa..."
Tiba-tiba aku terjatuha menimpa Kak Qari yang berjalan didepan ku sambil memegang tangan ku agar aku tidak kabur.
Tanpa ku sadari bibir ku tepat beada dibibir penuhnya yang merah merona. Terasa kenyal dan bercampur rasa lumpur yang terciprat kemana-mana akibat jatuhnya kami tadi. Tubuh Kak Qari tercetak jelas ditubuhku. Dan bagian bawahku bergerak seketika.
Samar ku dengar suara tawa Abang -yang diajak Kak Qari bicara tadi. Lalu, dia berjalan kearah kami dan membantu untuk kembali berdiri. Karena dengan keadaan badan yang dipenuhi dengan lumpur dapat dipastikan akan sangat sulit bagi kami untuk bangun.
Dapat kuliha rona merah samar di wajah Kak Qari. Apa dia menyadari kalau bibir kami tadi bertemu?
Awan mendung yang sejak tadi menggantung diangkasa, mulai menurunkan rintik air membasahi bumi dan tubuh berlumpur kami.
"Kak, kita disini aja dulu. Adam ingin main hujan. Udah lama banget Adam gak main hujan." Kataku buruu-buru. Sebab, Kak Qari sedang mengedarkan padangannya untuk menemukan tempat kami untuk berteduh.
"Ntar kamu sakit, Dek."
"Gak bakalan, Kak. Tadi sebelum kesini, Adam udah minum multivitamin kok. Jadi, Adam gak gampang sakit."
"Ya, terserah kamu ajalh, Dam. Lagian bisa bersihin badan kita yang penuh lumpur ini."
Aku hanya mengulas senyum tipis untuk membalas ucapan Kak Qari tadi.
Kulihat Abang tadi sudah pergi membawa kerbau kekandangnya yang ada didekat pematang sawah. Mungkin supaya mudah untuk ngebajak sawah.
Aku dan Kak Qari bagai anak kecil yang baru pertama kali di ijinkan untuk main hujan. Momen indah dengan nya ini, tidak akan pernah ku lupakan. Akan abadi selamany di mindaku.
Bersama Kak Qari, pelipur laraku, semua akan terasa lebih indah.
Setelah cukup lama kami bermain dengan rahmat Tuhan ini, dan badan kami sudah bersih dari lumpur kami pulang kerumah. Kak Qari memaksa untuk membawa motor karena dia takut aku kedinginan dan bisa sakit.
Begitu dia telah menyalakan motor, aku duduk dibelakangnya. Kulingkarkan tangan ku kepinggang agak naik sedikit kedadanya, dan ku rekatkan tubuh ku ke punggungnya dan kusandarkan kepalaku ke pundaknya agar ia tidak terlalu kedinginan. Kak Qari tidak memperotes apa yang ku lakukan. Karena dia tahu, aku melakukannya karena huja memang cukup deras sekarang.
***
Nenek langsung panik begitu melihat kami datang dengan keadaan basah kuyub dan badan menggigil kedinginan. Lalu Nenek menyuruh kami untuk mandi menggunakan air hangat dari shower yang sudah di stel ke level warm.
Aku dan Kak Qari mandi di kamar mandi yang berbeda. Kak Qari mandi di kamar mandi yang ada di kamar ku, sedang aku mandi di kamar mandi di lantai 1.
Sebenarnya aku sangat ingin mandi bareng Kak Qari, sambil saling sabun menyabuni tubuh kami. Tapi aku takut untuk memintanya padanya.
To Bad...
***
@Arya_Boyz : Ini sambungannya bro.
@callme_DIAZ : Maaf maslah itu. Ini tulisan pertma ku, jadi ya it's hard for me to make it perfect. Tapi, aku bakal usahain untuk gak lompat-lompat lagi. Thx dah mampir...
@Yuzz : Jejak apa ini?? Heheh
@Dimz : liat ntar aja gemana jadinya. Jadi cinta terlarang atau tidak. Ini udah aku lanjut.
@fauzhan : Liat ntar aja, geman jadinya.
@pokemon : Ini udah aku lanjut.
Colek-colek ah yang udah penah ngoment...
@bponkh @hehe_adadeh @Gabriel_Valiant @dheeotherside @Elnichie
Need more comment, to make it perfect....
Hehehe