It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Riduan berdiri dengan geram dari kursi makannya. Kami sedang makan malam di apartmentku dan aku memutuskan untuk memberi tahu hubunganku dengan Om Willynya. Nasi di piring makannya masih belum habis, makannya belum selesai. Tetapi dia berdiri dan sekarang menatapku dengan geram. Aku masih duduk di kursi makanku.
”Kamu selingkuh dengan Om Willy!?” Teriaknya.
Aku menatapnya tajam. Sedikit terkejut dengan sikap kagetnya yang menurutku berlebihan. Aku membayangkannya bereaksi bermacam-macam. Tetapi melompat berdiri dan meneriaki aku? Sedikit di luar dugaanku. Matanya geram seperti singa yang ingin menerkam dan mencabik-cabik tubuhku.
”Padahal kamu tahu dia berkeluarga!”
”Ya. But it’s over now.”
”But, why? Tega banget kamu!”
Aku tidak ingin menceritakan detail kejadian di Bogor malam itu. Aku juga tidak merasa perlu membela diri, apalagi dengan memburukkan sang Om Willy nya.
Riduan melangkah ke kamar mandi. Menutup pintunya dan aku mendengar air mengalir dari keran wash basin.
Aku mematung di kursi makanku. Berpikir bagaimana aku harus mengucapkan kata maaf. Berpikir apakah aku harus mengucapkan kata maaf. Aku bahkan belum memberitahunya bahwa semalam pak Willy tidur di sini.
Oh my God!
Aku bakal dibunuhnya.
Aku mencuci tanganku di kitchen sink. Makan malamku juga belum selesai. Tetapi setelah melihatnya bereaksi seperti itu hilang sudah seluruh selera makanku. Padahal di meja tersedia take-away chinese food dari resto yang terkenal enak dengan masakan bebek panggangnya.
Riduan keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Rupanya ia tidak hanya mencuci tangannya. Ia juga mencuci muka dan membasahi rambutnya. Semoga kesegaran air mampu menghilangkan nafsunya untuk membunuhku.
Aku berjalan ke arah sofa dan ragu-ragu menempatkan pantatku di sana. Akhirnya aku duduk di sampingnya. Ia masih menatap televisi tidak memperdulikan kehadiranku di sisinya. Aku yang harus mulai.
Aku mengambil remote control dari tangannya. Kulitku bersentuhan dengan kulit tangannya. Aku selalu menikmati sentuhan-sentuhan kecil seperti ini. Bahkan dalam saat seperti inipun aku masih menikmatinya. Aku mematikan TV dan kemudian meletakkan remote controlnya di atas meja rendah di depan kami.
Aku memegang tangannya. Menariknya menghadapku. Aku ingin memeluknya, tetapi aku lebih ingin menjelaskan semua perasaanku kepadanya pada saat ini.
”Aku gak minta kamu untuk bisa ngertiin perasaanku ke pak Willy.” Aku menatap matanya dalam-dalam. Ia juga menatapku dengan diam.
”Semuanya sudah selesai dan gak ada apa-apa lagi antara aku dan pak Willy.” Lanjutku.
Dia masih diam.
Silent treatment.
”Gak ada yang tau hubunganku dengan pak Willy. Tapi aku mau jujur ke kamu, Ri.”
Dia terus menatapku.
Masih diam.
”Aku harus jujur ke kamu karena ...” Aku terdiam. Kata-kata itu tidak mau keluar.
”Karena?” Kali ini dia bertanya.
I love you...
”Karena kamu keponakannya.”
”Ok.” Katanya. Meraih remote control TV dan menyalakannya kembali.
Ok?
”Masih ada lagi.” Kataku. Semuanya harus selesai malam ini.
”Semalam pak Willy tidur di sini.”
Riduan menoleh menatapku kembali. Kembali geram. Tangannya masih memegang remote control. Aku ingin merebutnya, takut ia akan menjadikannya sebagai senjatanya. Mungkin aku terlalu banyak nonton film-film pembunuhan.
”Dia tidur di kamar tamu?”
”Di kamarku.”
”So, kamu bilang meeting dengan Om Willy artinya sama dengan tidur dengannya.”
Aku terdiam. Memang kebodohanku.
”Kamu bohong waktu kamu cancel dinner kita kemarin.”
”No. Aku memang sama pak Willy.”
”Yeah! Silly me.” Dengusnya sinis dan beranjak berdiri.
Aku menarik tangannya, mencegahnya berdiri meninggalkanku.
”Gak terjadi apa-apa semalam, Ri. Please... trust me.”
Dia duduk kembali dan menatapku dengan sedih.
”Tell me how.” Katanya melepas pegangan tanganku.
Dia meninggalkan aku dan masuk ke dalam kamarku. Aku menatap televisi dengan mata nanar. Robbie Williams sedang menyanyikan lagu eternity.
Close your eyes so you don't feel them
They don't need to see you cry
I can't promise I will heal you
But if you want to I will try…
Aku mematikan televisi.
Nada-nada melankolis itu membuatku bertambah sedih.
***
Aku tidak jujur kepadanya.
Aku harus meminta maaf kepadanya.
Meskipun aku mengatakan yang sebenarnya bahwa aku memang bersama pak Willy kemarin, tetap saja aku tidak jujur kepadanya. Dan bahkan di dalam pikiranku semalam aku telah siap untuk kembali berselingkuh. Sampai kemudian muncul bayangannya. Bayangan seorang Riduan dan cintanya kepadaku. Yang menguatkan aku untuk bisa menolak pak Willy.
Aku tidak berencana menceritakan detail bagaimana pak Willy tidur di kamarku kemarin malam. Tetapi Riduan bisa saja membayangkan pak Willy menciumku serta tidur di dalam pelukanku sepanjang malam, yang tentu menyakitkan hatinya bila ia mencintaiku.
Berarti ia memang mencintaiku.
Aku merangkak naik ke ranjang. Ia masih memunggungiku. Aku memeluknya dari belakang dan mencium rambutnya. Dia tidak bergerak. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya dan membisikkan permintaan maafku.
”Maafin aku, Ri.”
Kemudian aku mencium pipinya.
Dan baru aku sadar pipinya basah.
Air mata.
Hatiku tiba-tiba seperti disayat-sayat.
Ngilu di ulu hatiku.
Aku membaliknya dan memeluk wajahnya di dadaku.
”Please jangan sedih. Aku memang salah. Maafin aku, Ri.” Kataku bertubi-tubi.
Suaraku bergetar.
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya yang di pangkuan tanganku. Aku mengecup matanya yang terpejam. Mencoba menghapus air matanya dengan bibirku.
”Aku sayang kamu, Ri... .” Bisikku.
”Ada yang harus aku ceritakan ke kamu tentang Om Willy.” Katanya perlahan dan menatapku dengan tatapan yang aneh. Aku mencari perasaannya di sana, tetapi tidak menemukannya. Aku tidak dapat mengartikan tatapannya..
Ia menghindarkan diri dari tatapanku dan memandang ke depan. Aku memegang tangannya, memandang wajahnya dari sampingnya dan memusatkan seluruh perhatianku untuk mendengarkannya bercerita.
Riduan berumur 8 tahun ketika pak Willy mulai tinggal di rumah orang tua Riduan. Ibu Riduan adalah kakak pak Willy. Waktu itu pak Willy masih terseok-seok membangun karir dan pekerjaannya. Ia harus tinggal di rumah kakaknya itu untuk ikut menumpang hidup di sana. Orang tua Riduan bukanlah orang yang kaya. Rumahnya tidak besar dan pak Willy tidur di kamar Riduan selama kurang lebih 2 tahun ia tinggal di sana.
”Entah bagaimana mulanya...” kata Riduan saat mulai menceritakan pelecehan seksual itu. Pelecehan seksual seorang paman kepada keponakannya yang masih berusia 10 tahun.
Aku menggigil.
Riduan terus bercerita.
Datar hampir tanpa emosi.
Aku mencengkeram tangannya dengan lebih keras.
Tidak berani sedikitpun membuka mulutku untuk bersuara.
Aku lebih mendekatkan diri seolah masih ingin melindunginya dari predator itu.
Sampai akhirnya ia menutup ceritanya.
”Om Willy pergi meninggalkan rumah kami setelah beberapa kali kejadian itu. Dia tidak pernah bermaksud menyakiti aku, Jun.” Ia menatap mataku seolah sedang membela pamannya. Ia menyebut itu sebagai kejadian. Aku ingin mengoreksinya bahwa kata yang seharusnya dipergunakannya adalah pelecehan. Tetapi aku tetap diam tak bersuara.
”Aku bahkan menyayanginya.” Katanya dan matanya kembali menerawang jauh.
Tentu saja kamu menyayanginya. Kamu masih seorang bocah yang tidak tahu apa-apa. Di kepalaku terngiang ucapanku kemarin malam Pak... you know I love you. I always will.
Aku bergidik ngeri.
”Sampai sekarang aku masih suka bertanya-tanya apakah aku akan menjadi seperti ini kalau tidak ada kejadian itu.” Ia kembali menatapku seolah mengharapkan aku punya jawabannya.
Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa.
Aku masuk ke dalam duvet dan menariknya tidur dalam pelukanku. Aku memeluknya erat-erat tanpa kata-kata. Ia membaringkan kepalanya di dadaku. Aku ingin mendekap dan melindunginya terus seperti ini, sampai maut datang menjemputku. Tidak akan ada yang boleh menyakitinya tanpa berhadapan denganku. Tidak juga pamannya.
”Please jangan bicara apa-apa sama Om Willy tentang ini.”
Aku diam.
Aku sedang membayangkan makian apa yang akan aku lontarkan kepada pedophil itu.
”Please, Jun... promise me.” Seolah-olah ia dapat membaca pikiranku yang sedang menyusun beberapa skenario untuk memaki pak Willy.
Ia mengangkat kepalanya menatapku. Wajahnya sekarang di atas wajahku.
”Itu cuma masa laluku. I need to forget it.”
Aku membalas menatap matanya,
Semakin mencintainya.
Semakin dekat dengannya.
”Ok. I promise.” Kataku setengah berbisik.
”Thank you.” Ia mengecup bibirku. Aku memagut bibirnya, menciumnya.
”I love you.” Kataku perlahan setelah melepas ciumanku.
”I love you too.” Katanya dengan tatapan penuh arti. Kepedihan yang tadi begitu membayang dimatanya telah sedikit berganti dengan sinar mata penuh kasih.
Ia kembali membaringkan kepalanya di atas dadaku.
Aku mendekapnya dengan sepenuh ragaku.
Sepenuh jiwaku.
***
kapan masalahnya muncul ya....
May he rots in hell...
Well, salah satu korban pedo.
-hiks-
(walah, jadi curhat)
tapi ternyata beda banget jadinya.... suka deh ama cara yg diambil jun... terkadang bohong adlh pilihan terbaik tp jujur masih jdi pilihan yg lebih baik^^
eh sumpah, so sweet bgt end part ini... senyum2 saya jadinya hihihi :P jun keliatan 'laki' di sini #lah terus kemaren apa?
lanjut ya!!! i am waiting...
Aku udah baca dari kemarin2 tapi lupa mau komen.
Alamakjam! Kok jadi begitu ya? hehehe. Well, sbnrnya, ini konflik utamanya apa ya? Kayaknya cuma berkisar antara Jun-Pak WIlly-Riduan doang dan yang dibahasa juga cuma itu2 aja. Will there be any big surprise?
Oh ya, nemu kalimat yang agak gak sinkron kayaknya. Di updatean kedua, ada dua kalimat ini :
Aku mengambil remote control dari tangannya - Terus selang beberapa lama, ada kalimat ini : Tangannya masih memegang remote control
Minor sih sebenarnya, tapi cukup buat bikin orang ngeryitin dahi karena bingung. Atau, aku yang bingung ya?
Anyway, lanjutkan ceritamu
”Ok.” Katanya. Meraih remote control TV dan menyalakannya kembali.
Kayaknya kang Abi ga konsen pas bacanya jadi ga teliti deh. Kang Abi bacanya jgn sambil ngelamun donk? :-)
@callme_DIAZ @Gabriel_Valiant @pokemon @Leehan_Kim @nes16 @Beepe @bponkh @different @DItyadrew2 @Abiyasha @dewaa91 @Rikky_kun @totalfreak @AgungPku @GULALI @yeltz @tama_putra @AwanSiwon @Kidi_Cev @Tsu_No_YanYan @boneng @ @EdgarRadithya @arieat @Rafiz @obay @justPJ @dhar @Venussalacca
Makasih dah mampir n ngasih komen. Terutama komen2 yg bikin semangat. Really appreciate it. Thanks