It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku memasuki lobby hotel yang berlangit-langit sangat tinggi itu dan menemuinya di Lounge. Ia sedang duduk membaca koran Jakarta Post hari itu di sudut kesukaannya. Aku sering menemuinya di sini dan tahu tempat duduk favoritnya. Di mejanya segelas draught beer masih berisi setengahnya dan semangkuk kecil kacang goreng di samping gelasnya. Aku menghampirinya dan langsung duduk setelah meletakkan ransel laptopku di samping kursi.
Dia melihatku dan meletakkan korannya. Seorang waitress menghampiri meja kami dan aku memesan satu gelas draught beer untukku.
Kami tidak berbicara sepatah kata pun. Di sudut Lounge seorang penyanyi wanita, yang kelihatannya masih belia, menyanyikan lagu-lagu slow oldies dengan iringan grand piano. Suaranya berat dan sexy.
”Mau dinner dimana, Pak?” Kataku memecah kebisuan.
”Kamu mau bicara apa?” Tanyanya sambil menatapku. Mencurahkan seluruh perhatiannya seolah-olah aku sangat-sangat penting baginya. Itu salah satu kelebihan Pak Willy yang kami kagumi. Ia selalu membuat teman bicaranya merasa sangat dipentingkan.
”Saya nggak tau musti mulai darimana.” Kataku agak bingung. Terus terang saja aku tidak mempersiapkan apa-apa. Aku hanya ingin bicara mengenai malam itu.
“Mengenai malam itu.” Kataku kemudian.
”Hmmm.” Gumamnya kemudian meraih gelas birnya dan meneguknya.
”Saya ingin tahu bagaimana kelanjutannya.” Kataku berusaha sehati-hati mungkin. Berusaha berbicara se-casual mungkin seperti sedang membicarakan soal pekerjaan.
”Saya tidak mengharapkan apa-apa.” Lanjutku kemudian.
Kalau tidak mengharapkan apa-apa, lalu mengapa harus ada percakapan ini? Bingung.
Waitress tadi datang membawa segelas draught beer di nampan bulat kemudian meletakkan birnya di depanku sambil mempersilakan. Aku mengucapkan terima kasih dan menunggunya menjauh.
”Maksud saya, I’m ok with whatever you want.” Lanjutku lagi, berusaha untuk tidak terdengar seperti dialog sinetron murahan.
Pak Willy menatapku tajam. Aku mengangkat gelas bir dan meneguknya.
“Semua salahmu, Jun. That’s what you get when you flirt.” Katanya dengan nada tajam.
Aku hampir tersedak.
What the @#$%!
”I’m kidding.” Katanya dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
I don’t like this. Definitely not.
“Yeah. Very funny.” Kataku cemberut.
Dia memajukan badannya mendekat ke arahku. Masih sambil tersenyum geli, ia memandangku.
”I have an idea. Daripada dinner di luar, gimana kalau kita pesan room service aja?” Sekarang ia memandangku dengan lembut. Sinar matanya penuh bujukan. Definitely flirting.
Berapa perempuan yang pernah diajaknya seperti ini?
Atau berapa laki-laki lain?
Penyanyi wanita itu melantunkan lagu Frank Sinatra.
Love is a many splendored thing,
It’s the April rose, that only grows in the early spring.
…..
“Saya suka lagu ini.” Kataku perlahan. Mengalihkan pembicaraan. Hatiku sudah lega. Aku datang kemari hanya untuk memastikan bahwa ia tidak lupa dengan malam itu. Dan dia tidak lupa. Dan itu cukup buatku.
Love is nature’s way of giving, a reason to be living.
The golden crown that makes a man a king.
…..
”Wah, kamu juga suka Frank Sinatra?” Tanyanya tersenyum. Bukan lagi tersenyum geli.
”Lumayan. Tapi cuma lagu ini yang paling saya suka.”
Once on a high and windy hill,
In the morning mist, two lovers kissed and the world stood still,
…..
“Kenapa?” Tanyanya
“Gak tau kenapa. Suka aja. Lyricnya bagus.”
When you touched my silent heart and taught it how to sing
Yes, true love’s a many splendored thing.
…..
”Selain Sinatra siapa lagi yang kamu suka?”
”Robbie Williams.” Jawabku
”Nice.” Komentarnya
”Avril Lavigne.” Kataku lagi
”ABG.” Komentarnya lagi. Aku tertawa.
”Wah, Bapak tau Avril Lavigne juga.” Aku menggodanya.
“You think I’m very old.” Katanya berlagak cemberut.
Aku tertawa. “No, I don’t.”
I think you’re hot. Lanjutku dalam hati.
Dia menatapku lagi masih mencondongkan badannya ke arahku.
”Saya ambil kamar dulu. Kamu selesaikan billnya.” Perintahnya setengah berbisik.
Dia kembali 15 menit kemudian. Memberiku amplop kunci dan berjalan meninggalkan aku setelah memerintahkan untuk menyusulnya 10 menit kemudian.
Aku menelusuri lekuk tubuhnya malam itu.
Dia menelusuri lekuk tubuhku malam itu.
Malam itu, malam pertama ia mencium bibirku.
Malam itu dan malam-malam lainnya.
Di hotel ini dan hotel-hotel lainnya.
Di tempat-tempat yang hanya kami berdua yang tahu.
*******
Singapore, 14 bulan yang lalu.
Stasiun MRT Orchard di Singapore selalu ramai dengan orang-orang yang berjalan cepat dan terburu-buru. Aku mengikuti arus orang-orang yang beriringan menuju antrian keluar ke arah Takashimaya. Sebelum pulang ke Jakarta aku selalu menyempatkan diri membeli beberapa buku di toko buku Kinokuniya di lantai atas mall Takashimaya. Berjalan-jalan di dalam toko buku Kinokuniya yang luas memberi kesenangan tersendiri bagiku. Aku bisa menghabiskan berjam-jam waktuku di sana. Hari ini aku punya waktu sekitar 3 atau 4 jam untuk menikmati buku-buku tersebut.
Aku sedang browsing buku-buku novel thriller kesukaanku, mencari novel John Grisham terbaru dan NEXT dari Michael Crichton ketika mendengar suara anak kecil memanggil namaku.
”Om Jun!” Aku menoleh melihat anak perempuan mungil berusia 7 tahun dengan kuncir dua di rambutnya berlari ke arahku.
”Hey, little angel.” panggilku berjongkok menyambut pelukannya.
”Wah Vita, kamu semakin tinggi sekarang.” Kataku dan ia tersenyum lebar memamerkan gigi-gigi kecilnya.
Ervita anak Pak Willy, cantik dan mungil dan manja pada semua yang dikenalnya. Aku beberapa kali hadir di pesta ulang tahunnya dan lumayan sering berkunjung ke rumahnya. Dan pada pertunjukan pentas Natal yang lalu, aku hadir di gerejanya untuk melihatnya berperan sebagai malaikat kecil yang lucu. Tidak seperti anak-anak orang kaya yang lain, Vita tidak dibiasakan dilayani oleh baby sitter yang selalu tergopoh-gopoh melayani majikan kecilnya. Mungkin itu sebabnya Vita dan kakaknya selalu well-mannered dan menyenangkan.
Ibunya, berjalan menghampiriku di belakang Vita. Aku berdiri menyalami Ibu Kristine, istri pak Willy, dan mencium pipinya kanan dan kiri. Istri pak Willy ini cantik dan rapi seperti biasa. Terlihat ramping untuk usianya yang mendekati kepala empat. Dandanannya sederhana, rambutnya dibiarkannya tergerai ke pundaknya.
”Apa kabar kamu, Jun? Lama gak pernah ke rumah, malah sekarang ketemu di sini.” Sambutnya ramah.
”Iya nih, mbak. Banyak kerjaan terus.” Alasanku meminta maaf. ”Mbak Kris baik-baik aja kan?” Sejak pertama berkenalan dengannya, ia tidak mau dipanggil Ibu.
How can I come to your house now? I’ve been f*cking your husband for months now.
Mbak Kris mengangguk mengiyakan sambil tersenyum. Vita menarik tanganku mengajakku ke tempat buku anak-anak. Aku mengikutinya dengan membawa beberapa novel di tanganku yang sudah kupilih tadi, mbak Kris berjalan di sampingku.
”Enggak. Mbak cuma berdua sama Vita. Rico di rumah neneknya. Willy di KL ikut conference entah apa” Jawabnya.
“New Age Marketing.” Jelasku.
“Maybe.” Katanya tak acuh. “Jelas lebih penting itu buat dia daripada nganterin check-up anaknya.” Lanjutnya perlahan menoleh ke arahku, mungkin tidak ingin Vita mendengar mamanya kesal terhadap papanya.
“Ohh.” Aku menjawab sebisaku menyembunyikan rasa tidak enak yang tiba-tiba bergolak di perutku.
Vita melepaskan gandengan tanganku dan mulai mencari buku, kemudian duduk di lantai karpet yang memang disediakan untuk anak-anak membaca di sana. Ada 3 orang anak-anak lain sedang membaca buku dan seorang ibu-ibu menemani anaknya membaca.
“Asma nya Vita ya, Mbak? Hasilnya gimana?” Aku tahu Ervita punya asma dan secara berkala orang tuanya membawanya check-up ke Singapore.
”Baik, kok.” Katanya tersenyum ”Cuma routine check-up aja.” Matanya yang kelihatan lelah seperti mencoba menenangkan kekuatiranku atas kesehatan Vita.
Aku merasa menjelma menjadi ular berkepala dua.
Atau kepalaku terasa terbelah dua.
Aku merasa pusing.
”Syukurlah.” Kataku menghela nafas. Kelihatannya seperti aku merasa lega. Padahal nafasku terasa sesak. Inikah perasaan bersalah?
”Mbak Kris, aku musti jalan sekarang. Aku pulang ke Jakarta hari ini.”
”Oh, ok. Flight jam berapa?”
”Siang.” Kataku berbohong. Masih banyak waktu sebenarnya. Tapi kepalaku sekarang mulai berdenyut-denyut.
Aku menghampiri Vita yang sedang asyik membuka-buka buku ceritanya, berpamitan dengannya dan memeluknya serta mencium pipinya yang menggemaskan.
Ketika aku berdiri kembali hendak berpamitan dengan ibunya, aku menatap mata mbak Kris yang terlihat benar-benar lelah.
”Jun.” Panggilnya tidak mengacuhkan perhatianku. ”Akhir-akhir ini Willy suka ngomongin saya nggak?”
Kemanakah arah pertanyaan ini?
Sebuah jebakan?
Aku berusaha keras menyembunyikan perasaanku yang tidak enak.
”Pak Willy kan gak suka ngomongin orang, Mbak.” Kataku tersenyum.
”Di kantor, dia paling dekat denganmu, kan?” Tanyanya lagi.
Aku makin gelisah. Untung aku sudah pamitan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tetap menyembunyikan semua perasaanku.
”Iya, sih. Tapi Pak Willy jarang banget ngomongin mbak Kris. Aku aja gak tahu kalo Vita lagi check-up di sini. Pak Willy gak cerita.”
“Memangnya ada apa mbak?” Tanyaku menyelidik.
Mbak Kris menggeleng perlahan. “Gak apa-apa, kok.” Terlihat sekali ia memaksakan senyumnya.
Kepalaku semakin berdenyut-denyut.
Aku melihatnya mencoba menyembunyikan helaan nafasnya. Aku melirik jam tanganku.
”Sorry, Mbak Kris, aku bener-bener musti jalan nih. Nanti kita ngobrol lagi di Jakarta, ya. Mbak kapan pulang?” Kataku lagi, kemudian memeluknya dengan sopan. Menempelkan pipi kiri dan kananku di pipinya untuk berpamitan.
”Minggu depan. Hati-hati di jalan ya.” Katanya tersenyum.
Aku memanggil Vita dan melambaikan tanganku. Ia membalas lambaianku dan tersenyum lebar. Anak yang manis dan cantik. Yang ayahnya berselingkuh denganku.
Aku merasa jahat.
Aku mengantri di kasir untuk membayar beberapa novel baruku.
Aku merasa kotor.
Aku berjalan menuju stasiun MRT dengan beban berat di kepalaku.
***
Hampir pukul 11 malam ketika handphoneku berdering, berarti hampir tengah malam di KL.
”Saya sendirian di kamar.” Katanya setelah aku mengucapkan kata hello. ”I wish you were here.”
”Tadi siang saya ketemu mbak Kris di Singapore.” Kataku tanpa basa-basi.
“Oh, dimana?” Tanyanya.
“Kinokuniya, Takashimaya.” Setelah itu kami terdiam beberapa saat.
“Saya sudah nelpon mereka. Hasil check-up Vita baik kok.” Katanya kemudian.
“You should fly to Singapore tomorrow. Spend sometime with them” Aku tahu besok pagi penutupan konferensi itu, dan ia akan terbang ke Jakarta siang harinya.
“Why?” Ada nada heran yang tidak disembunyikannya.
“I don’t know.” Aku pusing. Nada suaraku tidak sabar. “I just think you should.”
“Take a week off. Ajak mereka jalan-jalan.” Kataku lagi.
“Mana bisa. Kerjaan kan lagi banyak, Jun.”
”Saya bisa handle. Kalau ada yang urgent saya bisa telpon Bapak.” Aku bersikeras, dengan nada setengah memaksa. Aku tetap memanggilnya Bapak. Dan tampaknya ia tidak pernah keberatan.
Hening sejenak.
Dia sedang berpikir.
“Are you ok, Jun?”
No, I’m not.
I’m f*cking someone else’s husband
A little girl’s father.
“Yup, I’m ok. Saya cuma pengen Bapak nemanin Vita di Singapore. They need you there.”
”Ok, I guess I can fly to Sin, tomorrow.”
“Thank you, Pak.” Kataku perlahan.
”Besok pagi saya urus flightnya.” Kataku lagi.
”Gak usah. Saya go show aja. Cuma 1 seat gak bakal susah.” Aku menghela nafas dalam. Beban beratku terangkat. Membayangkan Vita dan Mbak Kris yang gembira melihat ayah dan suaminya menyusul ke Singapore terasa melapangkan dadaku.
”Great, then. Trus conference nya gimana?” Dan pak Willy bercerita tentang conference dan rekan-rekan barunya yang ditemuinya di sana. Beberapa network baru yang bisa dijelajahi nanti sepulangnya ia ke Jakarta. Aku kemudian menceritakan meetingku dengan Singapore Tourism Board dan juga dengan beberapa media promosi di sana.
Sampai hampir satu jam kita berbicara, sampai kemudian aku mengingatkannya bahwa besok ia masih harus bangun pagi-pagi dan untuk tidak lupa mengeset alarm dan men-charge handphonenya.
“Jun.”
”Hmm?”
”I love you”
”Good night, Pak. Sleep tight.”
Ini bukan pertama kalinya ia mengucapkan kata itu. Dan juga bukan pertama kalinya aku menghindar menjawabnya.
Do I love him too?
Why does it sound so wrong?
Or maybe I just want him for sex,
If only it makes it so right…
***
Ketukan pada pintu kantorku membuyarkan lamunan panjangku. Riduan membuka pintu kantorku dan masuk dengan wajah berseri-seri. Rambutnya sedikit berantakan, dasinya telah dikendurkan dan kancing kemeja di lehernya terbuka satu. Matanya bersinar-sinar penuh semangat.
”I’ve got us a very good deal.” Katanya membuka percakapan.
Aku meraih map hijau di hadapanku yang berisi file personalianya dan memasukkannya ke dalam laci meja kerjaku, menyembunyikannya dari hadapannya.
Riduan menyodorkan folder plastik bening berisi beberapa kontrak dengan media yang ditemuinya sore ini. Sambil duduk di hadapanku ia mengeluarkan isinya sambil menjelaskan satu per satu dengan bersemangat.
Pikiranku masih setengah melayang. Aku mencoba berkonsentrasi mengikuti penjelasannya. Tetapi aku lebih menikmati suaranya yang nge-bass daripada isi kata-katanya. Aku lebih menikmati antusias semangatnya daripada isi penjelasannya.
“Jun.” Panggilnya.
“Hmm?”
“You’re not listening.”
“Sorry…” Kataku tergagap. “Kita bahas besok aja ya… Kepalaku rasanya penuh banget hari ini.”
Riduan tersenyum mengangguk, membereskan kembali files-nya
Manisnya senyuman itu.
Memabukkan.
“Aku lapar.” Kataku mulai membereskan laptopku.
“Dinner bareng?” Ajakku.
”Like a date?” Tanyanya sambil tersenyum.
“If you say so.” Jawabku tertawa.
”Ok. Aku beresin meja sebentar.” Katanya sambil berlalu meninggalkan kantorku tanpa menutup kembali pintunya.
***
Mungkin dia berpikir seperti aku juga.
Bahwa akan ada kelanjutannya setelah dinner.
Well, it’s a date, isn’t it?
Membayangkan kelanjutannya saja sudah membuatku hampir terengah-engah.
Membuat celanaku sesak.
Aku memesan sirloin steak, dengan black pepper sauce. Aku butuh sesuatu untuk stamina, kalau-kalau saja ini akan menjadi malam yang panjang. Lagipula aku memang lapar. Berdekatan dengan Riduan selalu saja membuat pikiranku menjadi liar. Apakah karena memang fisiknya yang indah. Padahal aku berani bersumpah pada saat ini yang kurasakan lebih dari sekedar fisikal.
Maybe it is love, maybe it is lust.
Maybe there is only a fine thin line between those two.
Senyumnya,
Tatapan matanya,
Tawa candanya,
Selalu membuatku ingin menciumnya.
Ingin memeluknya.
Ingin menelanjanginya.
Hhhhh...
”Lagi diet?” Tanyaku.
Dia tersenyum lebar. ”Gak lah. Tadi sore sebelum balik kantor ditraktir bakmie sama Santi di depan kantornya.”
Santi?
”Anak buahnya Ibu Rita yang ikut kita lunch di Shangri-la.” Jelasnya ketika melihat tanda tanya di mataku.
”Ohh.”
Santi yang centil itu.
Aku memesan segelas red wine, dan ia memesan segelas draught beer. Ia meminta saladnya untuk dihidangkan bersama-sama dengan pesananku. Waiter itu mengulangi pesanan kami kemudian berlalu meninggalkan kami.
”Jadinya kamu cuma nemenin aku makan.” Kataku.
”Nyopirin juga.” Balasnya.
Aku tersenyum geli.
”Kalo gitu birnya gak boleh nambah. Aku boleh nambah red winenya”
”Go ahead. I’d love to see you drunk.” Jawabnya tersenyum, menatap mataku dalam-dalam.
What’s the plan?
Supaya kamu bisa membopong aku masuk ke kamarku?
Pasti aku takkan melepaskan rangkulanku.
***
Dinner bersamanya benar-benar menyenangkan. Apapun yang kami bicarakan selalu menjadi menarik. Dan perhatian dalam tatapan matanya yang dalam menatapku benar-benar melambungkan sukmaku. Di depannya aku merasa bisa menjadi diriku seutuhnya. Tanpa sedikitpun aku merasa harus berpura-pura.
Tatapan matanya itu begitu terasa mencintaiku. Dalam dan tulus. Dan ada sirat kekaguman dalam sinar matanya saat menatapku. Apa yang dikaguminya dari aku? Apakah karena aku atasannya? Aku bahkan tidak merasa berhak untuk dikaguminya. Aku yang kini mengaguminya setulus hatiku. Kekagumanku kepadanya telah mengalahkan pikiran-pikiranku yang melecehkannya secara fisik. Aku juga tidak tahu bagaimana aku harus menjabarkan kekagumanku.
Mungkin karena tulusnya senyumannya kepadaku.
Atau ketegarannya menghadapiku selama ini.
Atau mungkin tatapan matanya yang membuatku mabuk kepayang.
Apa lagi yang membuatku ragu?
Sudah pasti ia mencintaiku.
Sudah pasti aku mencintainya.
Pengaruh 3 gelas wine pun tidak mampu membuatku memulai untuk mengatakan bahwa aku mencintainya. Rasanya kata-kata ”I love you” tidak cukup menggambarkan perasaanku kepadanya saat ini. Perasaan yang melambung dan hilang menyatu dalam tatapan matanya. Aku ingin menatap matanya berlama-lama tanpa harus berkata-kata. Seolah-olah kata-kata akan mengurangi kedalaman perasaanku kepadanya. Seolah-olah kata-kata hanya akan memotong besarnya perasaan yang kurasakan saat ini. Seolah-olah kata-kata... memang hanya sekedar kata-kata.
Aku bahkan tidak perduli beberapa waiter memperhatikan kami dan mungkin bertanya-tanya dalam hati mereka. Ada apa dengan dua lelaki yang dinner berhadapan dan saling memandang dan tersenyum penuh perasaan. Atau beberapa tamu lain yang melirik ke arah meja kami. Mind your own business!
Aku memang tidak perduli.
Aku hanya perduli senyumannya
Aku hanya perduli tatap matanya.
***
Gak nyangka tny jun sama pak willy itu pnh ada hub khusus. Jangan2 riduan tw jun kyk gitu dr pa willy lg.
rerus mo pacaran ma keponakanya...
+1!
Aku cuma nangkap terlalu banyak detail kecil yang sebenernya nggak perlu. Istilahnya apa ya? terlalu cepet pace-ny kalu menurutku. Kalau boleh kasih saran, mgkn diilangin part yg gak berhubungan sama apa yg mau diceritain.
Di komen sebelumnya, pgn bilang ini tapi kelewatan :
- ”Ngapain tidur di situ? Di sini aja” Katanya.
“Ranjangnya buat bertiga juga cukup.” Katanya lagi.
- "I don’t know.” Aku pusing. Nada suaraku tidak sabar. “I just think you should.”
“Take a week off. Ajak mereka jalan-jalan.” Kataku lagi.
***
Aku perhatiin, banyak banget dialog kayak gini. Maksudku, bukan dialonya tapi penempatan tanda bacanya. Di beberapa tempat, aku kadang bingung, ini yang ngomong siapa sih? Karena kamu sering ganti paragraf ketika karakter yg ngomong masih sama. Kayak contoh diatas.
Mgkn bisa dibuat kayak gini?
- "Ngapain tidur disitu? di sini aja," katanya. "Ranjangnya buat bertiga juga cukup."
- "I don’t know.” Aku pusing. “I just think you should. Take a week off. Ajak mereka jalan-jalan," kataku dengan nada suara tidak sabar.
Jadi, kamu nggak perlu ganti paragraf untuk setiap dialog yang adaa karena di banyak tempat, kamu ganti paragraf ketika yg ngomong masih orang yg sama. Itu sekedar contoh aja sih, something like that. Aku sih bisa bedain, cuma kadanng juga bingung
Anyway, updateannya jangan banyak2 dong, hehehe. jadi agak ngebut bacanya Keep writing!