It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
I really don’t need it.
Aku mencoba menegaskannya dalam hatiku.
Berulang kali.
Morning meeting yang dipimpin oleh Pak Willy, membosankan seperti biasa. Penuh dengan kata-kata positif serta wejangan-wejangan yang tidak perlu. Tetapi aku senang memperhatikan reaksi-reaksi rekan-rekan kerjaku. Ada yang mengangguk-angguk seperti mengiyakan. Ada yang sibuk menulis-nulis di buku catatannya. Ada yang menatap Pak Willy dengan pandangan tidak jelas. Riduan hanya menunduk menatap ujung meja di depannya. Apa yang dipikirkannya?
Aku duduk di samping pak Willy, menunggunya menyerahkan morning meeting ini selanjutnya kepadaku seperti biasanya. Riduan duduk di seberang meja yang berisi 12 orang ini, tidak tepat di hadapanku. Tetapi cukup strategis tempatnya untuk bisa selalu menatapku atau aku menatapnya.
Tidak sekalipun ia menatapku. Sesekali ia memandang pak Willy, tidak sekalipun ia melirikku. Aku berusaha memperhatikannya hanya dari sudut mataku.
Kemudian pak Willy mempersilakan aku mengambil alih meetingnya. Aku meminta beberapa laporan update singkat dari beberapa pending matters dari beberapa Sales Manager. Kemudian menjelaskan secara singkat beberapa prospect penjualan yang sedang kita kejar. Menugaskan beberapa orang untuk menangani beberapa project pemasaran dan meminta tenggat waktu dari mereka. Riduan tidak menoleh kepadaku satu kalipun selama aku berbicara.
Beberapa kali aku melihatnya sibuk menulis catatan di buku di depannya. Tidak ada indikasi yang terlihat rekan-rekan kerjaku kalau sesuatu sedang terjadi di antara Riduan dan aku. Karena memang dia adalah personal assistantku maka wajar saja ia membuat catatan-catatan untuk setiap perkataanku. Kemudian salah seorang rekan bertanya tentang proyek penjualan yang sedang aku tangani, yang presentasinya dibuat Riduan kemarin. Aku meminta Riduan menjelaskannya. Aku bisa saja menjelaskannya. Tetapi aku ingin melihatnya berbicara.
Riduan menjelaskan dengan singkat. Eddy, rekan yang bertanya tadi mengangguk-angguk menerima penjelasannya. Dia memang selalu senang mengangguk-angguk. Aku melirik pak Willy di sampingku yang memandang Riduan dengan bangga selama Riduan berbicara. Kemudian pak Willy menoleh kepadaku tersenyum. Aku melihat ucapan terima kasih dalam senyumnya.
Aku menutup morning meeting setelah menjawab beberapa pertanyaan lagi. Dan mengucapkan, ”Have a productive day.” dengan nada setengah bercanda.
Setelah itu aku sibuk memeriksa beberapa laporan. Riduan sesekali muncul di ambang pintu menanyakan beberapa hal mengenai tugasnya. Aku juga mengingatkannya memesan tempat di restoran untuk makan siang untuk 8 orang usai presentasi nanti. Now, the question is, apakah aku akan memintanya untuk ikut mobilku, atau aku ikut mobilnya, ataukah kita bawa mobil sendiri-sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk memakai mobil kantor dengan sopir. Di luar kebiasaanku sebenarnya. Aku biasanya lebih suka menyetir mobil sendiri, kecuali bila aku pergi ke tempat yang jelas-jelas susah untuk mendapatkan tempat parkir dan tidak memiliki valet parking service. Beberapa kali Riduan menumpang mobilku tetapi tidak sekalipun aku pernah menumpang mobilnya.
***
Aku sendiri sekali-kali merokok. Social cigarette smoker. Tapi aku belum pernah melihat Riduan merokok. Aku mempersilakan tamu-tamu kami untuk duduk. Aku duduk di sebelah Pak Rahmat, Direktur Utama perusahaan yang akan mengontrak jasa konsultasi pemasaran dari perusahaan kami. Di sebelah kananku Riduan, dan kemudian di sampingnya seorang wanita, Ibu Rita, berusia di awal 30an, manager pemasaran perusahaan mereka diikuti beberapa staff mereka lainnya.
Waiter restaurant menuangkan air minum di gelas kami, dan mempersilakan kami untuk mengambil makanan di buffet restaurant. Aku mengajak Pak Rahmat untuk mengambil makanan dan menunjuk counter makanan Jepang. Kami berjalan beriringan dan kemudian berpencar. Riduan berjalan dengan Ibu Rita dan seorang staff perempuannya menuju ke counter makanan India. Aku dan pak Rahmat mengambil sushi dan sashimi sambil saling mengomentari pedasnya wasabi.
Kami berdua kembali ke meja kami terlebih dahulu. Yang lain masih berkeliling mengambil makanan mereka dari banyak meja buffet yang disediakan. Pak Rahmat ternyata juga bukan orang yang suka banyak makan. Setelah duduk di meja, pak Rahmat bertanya, atau mungkin mencoba menawar kembali, mengenai terms pembayaran jasa perusahaan kami. Aku menjelaskannya dan meyakinkannya bahwa terms pembayaran yang kami ajukan adalah yang terbaik yang dapat kami lakukan. Pak Rahmat tertawa dan berjanji akan menanda-tangani surat kontrak perjanjian kami dan mengirimkannya besok pagi.
Kemudian sambil menikmati hidangan, kami bicara banyak hal tentang kebijakan politik dan nama baik Indonesia di mata negara lain. Seolah-olah kami lebih tahu dan lebih baik serta lebih pantas menggantikan jabatan Menteri Luar Negeri.
Riduan kembali ke meja kami berdua dengan perempuan, staff penjualan, bawahan Ibu Rita, kalau tidak salah Santi namanya. Ibu Rita masih belum kembali, mungkin masih sibuk memilih dari sekian banyaknya makanan yang dihidangkan di banyak meja buffet. Entah apa yang tadinya mereka bicarakan, mereka masih tertawa-tawa pada saat kembali ke meja. Kelihatan sekali kalau Santi sudah merasa sangat akrab dengan Riduan. Dan Riduan dengan sopan meladeninya. Tiba-tiba aku menjadi kurang suka melihat Santi. Aku sadar itu pikiran yang salah. Tetapi tetap saja aku kurang suka, tanpa ingin mencari tahu penyebab sesungguhnya.
Kurang lebih satu jam kami berada di Satoo restaurant dan kemudian mereka berpamitan. Pak Rahmat menjabat tanganku, mengucapkan terima kasih dan kembali berjanji akan mengirimkan kontrak perjanjian kerja kami ke kantorku besok pagi. Aku mengucapkan terima kasih dan bercanda bahwa aku sendiri yang akan datang menagih kalau dia melupakan janjinya. Kemudian yang lain menyalami aku dan Riduan untuk berpamitan pulang.
Aku duduk kembali setelah mereka menjauh pergi, meneguk air putih di hadapanku sementara Riduan meminta bill kepada waiter yang paling dekat dengannya dan memberikan kartu kreditnya. Sekarang tinggal kami berdua menunggu waiter tersebut kembali mengantarkan bill makanan kami. Aku memainkan garpu di tanganku menusuk sisa anggur di piring dessertku. Riduan menoleh berkali-kali ke arah waiter tadi menghilang untuk mengambil bill.
Gerah karena ditinggal berdua saja denganku?
Kemungkinan besar begitu.
Aku meraih kotak Marlboro putih di depanku, mengambil satu batang dan menyelipkannya di bibirku. Riduan duduk di kursi di sampingku dengan posisi kursi yang sedikit dijauhkan. Satoo restaurant sudah tidak seramai tadi. Aku melirik arloji di tanganku. Jam 13:22.
Aku menyalakan rokok dan menghembuskan asap pertamanya ke udara. Sedikit menengadah. Riduan menggeser sedikit pantatnya menjauh di kursinya.
”Lama sekali billnya.” Katanya
”Sabar aja.” Kataku mengulurkan rokokku ke asbak, memutar ujung abunya yang baru sedikit di tengah asbak. Membuat bara nya sedikit lancip seperti ujung pensil warna yang menyala.
”Riduan.” Aku memanggilnya tanpa menoleh. Masih memandang asbak dan ujung rokokku. Ini yang aku suka dengan aktifitas merokok. Kita, para perokok, selalu punya kegiatan dengan tangan, mulut dan mata kita untuk sebatang rokok yang menyala. Pengalih perhatian. Namun begitu aku selalu membatasi kegiatan merokokku. Tidak merokok di kantor, di apartment, apalagi di kamar tidur.
Riduan menoleh. “Ya, Pak?” jawabnya sopan. Ia lebih menghadapku sekarang.
“Aku pikir…” Sekarang aku menatap matanya. “Aku akan menyerahkan project ini ke tanganmu.”
”Sepenuhnya.” Tegasku. Aku melihat matanya yang tajam berkilat. Alisnya sedikit bergerak. Senang? Terharu? Yang jelas bukan heran ataupun marah.
“Tentu saja masih di bawah pengawasanku. But, it’s gonna be your first project. Your baby.” Kataku menambahkan. Menegaskan. Dengan sedikit nada… don’t screw it up.
“Of course.” Dia tersenyum senang. Aku merasa seperti ada yang mengalir sejuk di dalam dadaku melihat senyumnya. I made the right decision.
“Jun..” Dia memanggil namaku.
“Thanks. I won’t let you down.” Lanjutnya tegas dan penuh antusias.
Sudah. Sudah. Jangan berlebihan, deh. Memangnya kamu mau memelukku sekarang? Aku tersenyum.
“You deserve it.” Kataku meyakinkannya. “Kamu ikut ngurus ini sejak awal. You’re the best man for the job.”
Waiter datang membawa bill kami di dalam sebuah folder kulit dan menyerahkannya kepadaku.
Hehehe, tampangku kelihatannya memang lebih boss dari pada Riduan. Mungkin karena warna kulitku lebih terang. Atau gayaku lebih bossy dan lebih charming? Seharusnya seorang waiter lebih berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan kecil seperti itu. Untung memang aku atasan Riduan. Kalau sebaliknya, bukankah itu bisa sedikit menyinggung perasaan. Aku menerimanya, membuka folder itu, memeriksa sebentar angkanya dan menyerahkannya ke Riduan.
Riduan menanda-tangani struk kartu kredit dan billnya dan waiter tersebut mengambil beberapa copy serta meninggalkan sisanya di dalam folder kulit tersebut, kemudian beranjak pergi tanpa mengucapkan terima kasih. Tidak semua karyawan hotel berbintang lima memberikan pelayanan berkualitas bintang lima.
Riduan membuka dompet memasukkan bill makanan dan struk kartu kredit ke dalam dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan dan sepuluh ribuan dan menyelipkannya ke dalam folder tersebut.
“Jun.” panggilnya. Dia masih duduk tanpa menunjukkan tanda-tanda untuk siap berdiri.
Aku duduk kembali, setengah menghadap dia sekarang.
Setelah aku memberimu project, kamu memanggilku akrab sekarang, huh?
Kiss ass?
Aku mulai bisa meledek dan melecehkannya kembali di dalam pikiranku sekarang. Lebih baik begini, daripada dia yang menguasai pikiranku. It’s good to be back. Kembali ke seorang Junaedi yang membayangkan seorang Riduan hanya sebagai sebuah obyek, sebuah mainan, tempat celaan, meski hanya dalam pikiranku.
Aku masih menatapnya menunggu. Tampaknya ia sedang mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.
“Saya mungkin datang ke apartmentmu semalam karena saya ingin menunjukkan bahwa saya perduli dengan pekerjaan saya...” Ia berkata sambil menatapku.
“Sebagian mungkin memang karena performance appraisal saya besok.”
Tadi pagi tegas-tegas kamu bilang katanya bukan! Ini hanya dalam hatiku.
Aku masih menunggu kelanjutannya. Tetapi herannya aku tidak merasakan sesuatu perasaan yang berlebihan menguasai hatiku. Ataukah karena ini di tempat umum. Atau karena tadi pagi dia bilang this conversation is over.
“Tapi Jun,... aku mencium kamu bukan karena kamu atasanku.” Katanya terus menatapku. Aku mencari tahu kalau-kalau ada perubahan dalam sinar matanya. Sinar matanya tulus.
”Shhhh” aku tersenyum sambil melirik mengingatkan bahwa kita sedang di tempat umum.
”I know.” Kataku menatap matanya meyakinkannya sambil beranjak berdiri.
Aku berdiri sementara dia masih duduk. Aku membungkuk sedikit mendekatkan wajahku. Aku tahu pasti nafasku bau rokok. Tapi aku tidak perduli.
”But you haven’t kissed me.” Kataku perlahan sambil tersenyum. Wajah kami tidak terlalu dekat. Tidak akan ada yang curiga. Hanya dua rekan kerja yang sedikit bergurau setelah business lunch yang membuahkan hasil baik.
Aku melihat wajahnya sedikit berubah. Setengah ingin tertawa, setengah terkejut atau sedikit gregetan barangkali.
Aku berjalan meninggalkan meja.
Dia mengikuti di belakangku.
This conversation is over.
Bedanya ini berakhir jauh lebih menyenangkan daripada pagi tadi.
***
Kami tidak pernah berbicara lagi mengenai kejadian malam di apartmentku itu. Riduan tetap berlaku sopan, bekerja bahkan lebih bersemangat dari yang sudah-sudah. Barangkali sudah sejak pertama pun ia begitu, hanya mungkin pada saat itu aku hanya terfokus kepada hal-hal yang negatif tentang dirinya. Yang positif waktu itu hanyalah keindahan bagian-bagian tubuhnya dalam khayalan erotisku. Tetapi aku sekarang memandangnya dengan cara pandang yang berbeda. Aku lebih mengaguminya. Aku lebih menghargainya. Meski begitu masih juga aku melecehkannya sedikit-sedikit dalam pikiranku. Itu pun tidak terlalu sering.
Kadang-kadang aku masih suka memandanginya membayangkan kelanjutan gerayanganku di dalam celana bolanya pada malam itu. Berapa panjang… seperti apa bentuknya, dan biasanya aku memandanginya. Aku tidak lagi mencuri-curi pandang untuk itu. Aku menatapnya, kadang seperti ingin menelanjanginya. Dan bila ia memergoki aku, biasanya ia akan tersenyum penuh arti, atau membalas pandang dengan menggoda. Demikian pula sebaliknya. Aku sering memergokinya memandangiku, dan ia akan menghindar sambil tersenyum jika aku mengedipkan mata, atau tersenyum meledeknya.
Tentu saja kami berhati-hati. Hanya sebatas senyum dan pandangan mata. Itupun bila tidak ada orang di sekitar kami yang memperhatikan. Kadang di morning meeting, kadang di cafetaria, kadang bahkan di ruang Pak Willy. Mengherankan bahwa sekarang kami seperti punya sebuah ikatan, sebuah cara saling memandang dan tersenyum dan hanya kami berdua yang dapat mengartikannya tanpa beribu kata. Tanpa kata-kata.
Dia sibuk dengan project barunya. Aku juga sibuk dengan beberapa prospect penjualan yang baru. Aku membantunya dengan membiarkannya berkonsentrasi dengan perencanaan, time schedule, action plan untuk project tersebut dan berusaha tidak menumpuknya dengan pekerjaan-pekerjaan kecil yang lain yang masih bisa aku tangani sendiri. Tentu saja semua memo ke departemen lain mengenai project itu masih aku yang menanda-tangani. Bagaimanapun statusnya masih sebagai Personal Assistantku. Setiap meeting mengenai project tersebut juga masih aku yang memimpin. Tetapi aku membiarkannya mulai berperan lebih banyak di dalam meeting tersebut daripada hanya sekedar membuat catatan.
Pada saat kami sedang berdua, dia memanggilku Jun. Tidak pernah sekalipun kelepasan dari mulutnya memanggil namaku pada saat ada orang lain di dekat kita. Aku suka caranya memanggil namaku.
***
Pak Willy membawa sebuah map hijau, langsung meletakkannya di atas meja persis di hadapanku. Kemudian dia menutup pintu kantorku dan duduk di depan meja kerjaku. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Menatapku sementara aku memeriksa isi map tersebut. File Riduan dari Human Resources. Riduan sedang tidak ada di kantor. Ia dan seorang PR Manager kami sedang bersama Ibu Rita menemui beberapa Media untuk mendiskusikan schedule advertising mereka.
Pantas tadi Dina, sekretaris pak Willy, menanyakan keberadaan Riduan kepadaku. Tidak sekali-kalinya ia pernah menanyakan hal itu. Dan sekarang pak Willy muncul di kantorku.
Map tersebut berisi resume Riduan, foto copy beberapa dokumen, lembar rangkuman bulanan absensi Riduan, dan lain-lain. Dan yang paling atas adalah surat pengangkatan Riduan sebagai karyawan tetap yang menyatakan bahwa masa probationnya telah selesai dan berhasil dengan baik. Biasanya pihak Human Resources yang akan memanggil yang bersangkutan untuk urusan administrasi seperti ini. Apakah pak Willy ingin aku yang menangani administrasi personalia keponakannya ini?
“Ada apa ini, Jun?” Tanya pak Willy tiba-tiba setelah memberi aku kesempatan beberapa saat untuk memeriksa file tersebut.
Aku memandangnya tidak mengerti.
”Lihat lagi formulir performance appraisalnya.”
Aku mengeluarkan formulir performance appraisal Riduan itu dari mapnya dan memeriksanya dengan lebih teliti. Semuanya kelihatannya masih sama seperti terakhir aku menanda-tanganinya. Kecuali sekarang ada tanda tangan Human Resources Manager dan tanda tangan pak Willy dan ada coretan lingkaran melingkari kata Account Manager, pada tulisan rekomendasiku di foot-note formulir tersebut.
Aku memandang pak Willy, masih dengan tatapan bingung.
”Ada yang salah, Pak?” Tanyaku.
Tiba-tiba aku sadar.
Seperti tiba-tiba ditampar, wajahku mungkin mulai memerah.
“Dia melakukan tugasnya dengan baik, Pak. Saya belum pernah melihat orang sepandai dan serajin Riduan. Semua nilai yang saya berikan memang sesuai dengan kualitas yang ditunjukkannya.” Aku berusaha membela diri.
”Berapa nilai rata-rata appraisalnya, Jun?” pak Willy menanyaiku lagi.
Aku membalik ke halaman paling belakang. 4,8. Nilai rata-rata performance appraisal terbaik yang pernah aku lihat. Nilai sempurna adalah 5. Human Resources yang memberi nilai rata-rata tersebut setelah menjumlah nilai rata-rata penilaianku per point dan menambahkan perhitungan absensi, keterlambatan dan lainnya.
“Berapa nilai rata-rata appraisal departmentmu tahun ini, Jun?”
“3,4” Jawabku lemah. Itu semua aku yang menilai. Itupun setelah di tambah nilai appraisalku sendiri yang 4,2, yang dinilai oleh Pak Willy. Department Head lain dan Pak Willy menjuluki aku dosen killer.
Oh my God!
I’m doomed!
“Tidak Pak.” Kataku meneguhkan diri. “Kalau ada yang keberatan dengan penilaian ini, saya akan menjabarkannya dan menjelaskannya satu persatu.”
Aku memang keras kepala.
Aku memandang kembali formulir appraisal itu, melihat catatan2 kecilku di setiap point yang dinilai. Aku mendengar pak Willy menghela nafas dalam-dalam. Aku tahu dia memperhatikan setiap gerak-gerikku dari balik kaca matanya. Setiap perubahan wajahku pasti tidak luput dari perhatiannya.
”What’s happened, Jun?” Ada nada lembut, nada perhatian seorang bapak kepada anaknya.
Something almost happened.
”Nothing’s happened.” Aku menjawab kaku.
Aku mengangkat kepalaku membalas tatapan lelaki berusia 43 tahun ini. Matanya lembut menatapku. Dia memakai kaca mata minus berbingkai titanium. Jelas terlihat sepasang kaca mata yang mahal. Beberapa lembar ubannya sedikit kelihatan di rambut bagian depannya. Selain itu yang menandakan ketuaannya hanyalah sedikit kerut di keningnya dan di sudut matanya bila dia tersenyum atau tertawa. Atau gaya bicaranya yang selalu ke tua-tuaan, penuh wejangan.
”Love is a many splendored thing.” Kata pak Willy seperti menggumam kepada dirinya sendiri sambil menegakkan diri dari sandaran kursi, kemudian beranjak dari kursi yang didudukinya.
“Remember?” Tanyanya ketika sudah tegak berdiri, kemudian berjalan menuju ke arah pintu.
Sebelum membuka pintu kantorku dan melangkah keluar kantorku, pak Willy sekali lagi menoleh memandangku.
“Ingat?” tanyanya lagi sambil memandang wajahku.
Aku tersenyum kecut.
Menundukkan kepalaku.
Tentu saja aku ingat.
Tentu saja dia tahu aku pasti ingat.
Semuanya.
********
Love is a many splendored thing,
It’s the April rose, that only grows in the early spring.
Love is nature’s way of giving, a reason to be living.
The golden crown that makes a man a king.
….
Bogor, 18 bulan yang lalu.
Kami memutuskan untuk merayakan keberhasilan kami melewati budget target penjualan tahun ini. Kali ini, kami memilih Novotel Bogor sebagai tempat kami menginap. Kami berenam belas. Sebelas orang dari sales department termasuk pak Willy, di tambah pak Kosim, 1 orang dari accounting department dan 3 orang PR manager. Kami berangkat pagi-pagi sekali mengendarai bus kecil berwarna biru yang berkapasitas untuk 24 orang.
Di dalam bis, Frank Sinatra melantunkan lagu-lagunya. Aku yakin itu pesanan pak Willy. Atau barangkali Dina yang memesan supir bis untuk memutar lagu-lagu Frank Sinatra kesukaan pak Willy. Kami tidak protes, pagi hari seperti ini cukup enak mendengarkan lagu-lagu mellow Frank Sinatra di dalam bis. Cukup enak untuk membawa beberapa orang melanjutkan tidurnya. Beberapa yang lain sibuk ngobrol. Beberapa sibuk ber sms-ria. Dan yang menganggap lagu-lagu Frank Sinatra terlalu jadul, kuno, memasang ipod nya atau musik dari handphone nya masing-masing. Aku sendiri membaca buku. Tetapi ketika Frank Sinatra melantunkan lyric love is a many splendored thing, aku menutup bukuku dan menikmati lagu itu. Lyric tentang cinta yang manis, tetapi sama sekali tidak cengeng.
Aku duduk sendirian di deretan bangku ke dua dari depan di dekat jendela sebelah kanan. Pak Willy juga duduk sendirian di barisan di depanku. Menjadi atasan memang kadang harus menanggung resiko kesendirian. Yang lain barangkali malas untuk duduk di samping boss selama perjalanan. Apalagi pak Kosim, yang memilih duduk di kursi bis paling belakang. Dina tidak membagi-bagi tempat duduk kami karena memang kapasitas tempat duduk di dalam bis lebih dari cukup. Semua bebas memilih tempat duduk masing-masing. Dan pilihan kita, sadar ataupun tidak, sedikit banyak mencerminkan posisi dan jabatan kita.
Acara pertama adalah paint-ball competition. Kami membagi diri menjadi 2 team. Team pertama dipimpin oleh pak Willy, team kedua dipimpin olehku. Aku dan Pak Willy bergantian memilih anggota team kami. Dan orang terakhir yang dipilih adalah Eddy, Account Manager yang memang selalu terlihat lamban dalam setiap geraknya. Aku sedikit merasa kasihan melihatnya. Bagaimana perasaan kita jika kita dipilih terakhir dan bahkan anggota lain di teamnya menerimanya dengan terpaksa dan menertawainya.
Aku duluan memilih, sehingga Eddy mau tidak mau harus masuk ke dalam team Pak Willy. Kami tertawa keras melihat Eddy yang berdiri sendirian pura-pura menangis sedih tersedu-sedu.
Pak Willy berseru. “We’re saving the best for last… Eddyyyyy.” Aku rasa itu sedikit menyejukkan hati Eddy. Eddy mengangkat kedua tangannya seperti baru memenangkan kejuaraan tinju, dan berlari menuju teamnya.
Kami bertepuk tangan.
Teamku masih bersisa 3 orang yang tidak mati tertembak, termasuk aku dan Dina, sekretaris pak Willy yang berhasil mengendap-endap menembak punggung bossnya. Dina tampak puas sekali dan berteriak-teriak kegirangan. Pak Willy berteriak-teriak mengancam tidak akan menaikkan salarynya selama tiga tahun ke depan. Tentu saja bercanda.
Kami bercucuran keringat dan cukup kelelahan. Tapi cerita-cerita lucu saat kami berperang tadi memenuhi tawa kami dan cerita-cerita itu berlangsung sampai beberapa bulan ke depan.
Setelah makan siang di sebuah restaurant di kota Bogor, kami menuju ke Novotel untuk check-in. Kami menunggu di lobby hotel yang terbuka. Sebagian duduk di sofa kayu dan sebagian berdiri mengamati kolam air yang mengelilingi lobby. Beberapa orang dari team pak Willy tadi masih sibuk membicarakan strategy perang paint-ball tadi. Mereka yakin dengan strategy yang lebih baik mereka pasti bisa mengalahkan teamku. Lobby cukup ramai oleh tamu-tamu hotel yang lain. Tampaknya hotel tersebut sedang ramai dihuni.
Aku melihat Dina di meja reception sedang bertengkar dengan beberapa receptionist di belakang counter yang berkumpul di balik komputer meja reception. Ada beberapa tamu yang lain memperhatikan mereka. Aku dan pak Willy menghampiri Dina.
Dina menjelaskan bahwa kamar yang diberikan untuk kami hanya 8 kamar, sedangkan ia memesan 9 kamar. Aku dan pak Willy seharusnya mendapat kamar sendiri-sendiri, tetapi tampaknya pihak hotel Novotel menempatkan aku satu kamar dengan pak Willy. Dan pihak hotel tidak dapat menyediakan kamar lagi karena sedang fully booked.
Aku pernah tinggal di hotel ini sebelumnya dan aku tahu di dalam kamar mereka ada sofa bed yang cukup nyaman untuk ditiduri satu orang. So, aku bilang ke Dina, it’s ok, aku bisa bergabung dengan salah satu kamar yang lain. Dina, mungkin merasa tidak enak hati, memaksa untuk mengganti pengaturan kamar, supaya aku bisa mendapat kamar sendiri.
”No need, Dina.” aku mengambil salah satu amplop kunci dari tangannya. Membaca 2 nama di sana. Andrew dan Supriadi. 2 orang Account Managerku.
“I can join this room.” Aku tersenyum ke Dina. “It’s no big deal.”
“Ok, deh.” Kata Dina, kemudian berbalik ke receptionist tadi.
”Saya akan kirim surat complaint ke General Manager kalian.” Dina mengancam ketus ke kedua orang receptionist yang sedari tadi berdiri di belakang counter mengawasi kami. Mereka berdua, perempuan berusia mungkin awal dua puluhan, menganggguk kikuk sambil terus meminta maaf. Mereka juga memandangku dan kemudian meminta maaf lagi. Aku tersenyum dan mengedipkan sebelah mata, membuka mulutku mengatakan it’s ok, tanpa bersuara. Takut Dina mendengarku dan merasa aku tidak membelanya.
Selama itu Pak Willy hanya mengawasi kami tanpa bersuara.
Andrew dan aku tiba terlebih dahulu di ruang meeting. Aku membawa laptop dalam ransel laptopku dan Andrew menenteng tas infocus. Kami memutuskan membawa infocus sendiri karena hotel mengenakan biaya yang tidak wajar mahalnya hanya untuk pemakaian infocus, padahal hanya untuk kurang lebih 2 jam.
Yang lain mulai berdatangan pada saat Andrew dan aku mempersiapkan infocus dan laptopku. Pak Willy datang terakhir dan ternyata sudah wangi, rapi dan kelihatan sekali habis mandi. Rekan-rekan wanita menyuarakan protes sambil bercanda. Pak Willy menjawab, salah sendiri kalo mandi lama. Kami semua tertawa.
Meeting berjalan sangat menyenangkan dan penuh tawa serta tepuk tangan. Banyak pujian dan ucapan terima kasih disampaikan oleh pak Willy, dan aku hanya berperan sebagai operator presentasinya, hanya sekali-sekali ikut menjelaskan. Aku menerima paling banyak pujian dan sedikit capek untuk mencari cara menerimanya tanpa terkesan besar kepala. Pada akhir meeting pak Willy menyalami kami semua dan kami menutup meeting dengan kembali bertepuk tangan panjang.
Meeting selesai menjelang maghrib. Beberapa rekan yang beragama Islam segera menuju ke kamar mereka masing-masing untuk menunaikan shalat maghrib. Termasuk Adi. Yang lain mungkin buru-buru ingin segera mandi. Aku dan Andrew membereskan laptop dan infocus dan kemudian menuju ke Lobby, duduk ngobrol di sana sambil merokok.
Andrew berusia 32 tahun. Telah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang duduk di taman kanak-kanak. Aku beberapa kali pernah bertemu anak dan istrinya. Tentu saja aku lebih muda dari Andrew, tetapi Andrew punya wajah baby-face. Sehingga mungkin orang mengira kami sebaya. Padahal wajahku juga bukan wajah yang boros usia. Andrew memiliki sifat yang ingin selalu menyenangkan semua orang. Kadang-kadang sangat berlebihan. Dan ia punya kecenderungan untuk sulit berkata tidak.
Aku sering berpikir untuk menggodanya, mengajaknya having casual sex denganku dan ingin melihat reaksinya. Pasti akan sangat lucu. Tetapi Andrew bukan typeku. Dan membayangkan having sex dengannya kurang membangkitkan seleraku. Entah kalau melihatnya telanjang bulat di depanku. Hahaha...mungkin malah lucu. Aku tidak pernah membayangkannya seperti itu. Dia tidak memiliki mata yang tajam memabukkan. Matanya bersorot penuh kompromi mengiyakan. Dan sangat-sangat ramah.
Dia bertanya-tanya banyak mengenai project yang sedang dikerjakannya. Aku berusaha menjawab demi kesopanan dan tanggung jawabku sebagai atasannya, tetapi setelah rokok keduaku selesai, aku harus mengingatkannya kalau ini adalah liburan untuk bersenang-senang. No more job discussion, please... dia tertawa dan meminta maaf. Mudah-mudahan dia tidak akan menggangguku lagi dengan puluhan pertanyaan dan diskusi pekerjaan semalaman.
”Kok lu belom mandi?” tanya Andrew ke Supriadi.
”Tar aja sekalian sebelum tidur.” Katanya sambil matanya tidak lepas dari film di TV yang sepertinya sedang seru-serunya.
Aku mencari tas bajuku di luggage rack, tetapi tidak ada. Aku yakin aku meletakkannya di sana tadi.
“Tasku di mana, Di?” Tanyaku ke Adi yang masih melotot seru ke TV. Kalau tidak menjawab, aku cabut kabel TV nya, kataku dalam hati.
”Oh. Tadi diminta sama pak Willy untuk diantar ke kamarnya. Katanya kamarnya lebih besar.” Dia merogoh kantong bajunya dan menyodorkan kartu kunci kepadaku. ”Ini kuncinya.”
”Ok. Thanks.” Aku mengambil kartu kunci itu dari tangannya dan beranjak ke pintu kamar, keluar. Tas ransel laptopku masih menggantung di bahu kananku.
”Jangan lupa. Jam 7, dinner di restaurant hotel.” kataku sambil membuka pintu.
”Ok boss.” kata Andrew. Adi masih asyik melotot ke TV. Di rumahnya mungkin tidak ada TV.
Di luar kamar aku melihat kunci itu tidak bernomor kamar. Bodohnya aku tidak menanyakan ke Adi. Bodohnya Adi tidak memberitahuku. So, aku mengambil handphone dan menelpon ke no. HP pak Willy. Pak Willy menyebutkan nomor kamarnya dan sekaligus menjelaskan letaknya.
Aku membuka pintu kamar pak Willy dengan kunci yang diberikan Adi tadi, dan melihatnya sedang duduk di sofa single di dalam kamar sedang membaca sebuah majalah. Sepertinya majalah tentang pariwisata yang disediakan oleh hotel di dalam setiap kamarnya.
”Saya pikir kamu bakal gak mau pindah ke sini.” katanya melihatku dari atas kaca matanya. Aku melirik ke tas pakaianku yang sudah di sana.
”Tas saya sudah di sini kan?” Kataku membuka resleting tasku. ”Kasihan dipindah-pindah terus.” Aku mengeluarkan tas kecil yang berisi peralatan mandiku. Aku meletakkan ransel laptopku di samping tas pakaianku.
Pak Willy tertawa.
”Saya sikat gigi dulu ya, pak.” kataku menuju ke kamar mandi. Dari sudut mataku aku melihatnya mengangguk dan melanjutkan bacaannya.
Aku keluar kamar mandi dengan lebih segar dan wangi. Lagipula keringatku tidak berbau menyengat seperti pada beberapa orang yang kurang beruntung.
”Dinner yuk, Pak.” Ajakku sambil melihat arlojiku yang menunjuk pukul 18:55.
”Kamu gak mandi dulu?” Tanya pak Willy sambil bangkit mencari sandalnya.
”Nanti aja sebelum tidur. Di luar juga keringetan lagi.” Kataku menjelaskan.
”Kalo keringetan, ya mandi lagi.” Katanya tertawa.
”Males, ah.” Kataku juga tertawa. Pak Willy memang cukup dekat dengan para bawahannya, terutama denganku. Jadi bercanda dengannya tidak membuatku merasa kurang ajar.
”Pengennya dimandiin ya?” Katanya masih melanjutkan topik yang tidak penting banget itu masih tertawa, sambil kami beriringan keluar kamar.
Aku hanya tertawa saja tidak melanjutkan. Takut kelanjutannya membuatku merasa sedikit kurang ajar.
Di sepanjang koridor dan jalan setapak di taman yang luas menuju ke restaurant, kami membicarakan fasilitas-fasilitas yang kira-kira ada di dalam hotel. Pak Willy telah beberapa kali menginap di sini dengan istri dan anak-anaknya. Dia tahu lebih banyak dariku. Pak Willy mengusulkan untuk ke pub di tengah taman setelah makan malam nanti. Aku menyetujuinya.
Sampai di dekat restaurant pak Willy menarik-narik sedikit punggung kaos polonya. Mungkin menempel ke kulit punggungnya karena keringat.
”Iya nih, jadi keringatan lagi.” katanya sambil menjauhkan kain kaos dari kulit punggungnya dengan jari-jarinya. Sepertinya ia sedikit kesakitan. Aku teringat tembakan paint-ball Dina yang mengenai punggungnya. Mungkin kulit punggungnya lecet.
”Kan mau mandi lagi katanya.” Aku tersenyum tanpa sedikitpun ada niatan untuk flirting dengannya. Hanya sedikit bercanda.
”Kamu yang mandiin ya.” Katanya mengedipkan sebelah mata. Aku sedikit terkejut dan berusaha menyembunyikan keterkejutanku dengan tertawa keras.
***
Setelah makan malam, kami beriringan menuju ke Pub dan Bar yang berada di ujung lain seberang taman. Seperti biasa grup kami mendominasi tempat tersebut segera setelah kami masuk. Aku bermain billiard dengan beberapa yang lain, bergantian menyodok bola sambil saling menertawakan. Beberapa rekan wanita termasuk Dina juga ikutan. Satu meja billiard digilir lebih dari 8 orang. Pak Willy duduk di meja hanya berdua bersama Deni, manager dari accounting. Di meja lain rekan-rekanku yang lain duduk entah membicarakan apa. Aku tidak melihat Pak Kosim. Mungkin langsung kembali ke kamarnya. Hang out di sebuah Pub bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuknya.
Aku meninggalkan meja billiard dan membawa gelas birku yang hampir kosong ke meja pak Willy bergabung dengannya. Pak Willy memesan bir lagi untuknya dan memesankan untukku juga. Gelas bir Deni, accounting manager itu masih tiga perempat penuh. Kami bicara tentang macam-macam hal. Tidak satupun mengenai pekerjaan. Deni beberapa kali menyinggung soal pekerjaan dan pak Willy menolak membicarakannya. So, kami punya persepsi yang sama mengenai weekend break ini. No job discussion, please.
Aku melirik jam tanganku. Jam 21:05. Aku berpamitan ke kamarku ingin mandi. Rasanya badanku sudah mulai gatal-gatal. Dan 3 gelas bir sudah mulai sedikit mempengaruhi kepalaku. Aku benar-benar butuh mandi. Pak Willy memerintahkan Deni untuk nanti mengurus billnya dan dia juga ingin ke kamar.
Setelah melambaikan tangan ke yang lain, aku berjalan perlahan menunggu pak Willy yang sedang setengah berteriak ke rekan-rekanku supaya jangan sampai mabuk dan bertingkah memalukan. Kelihatannya dia sendiri yang mulai mabuk. Kemudian Pak Willy sedikit berlari mengejarku dan merangkulkan tangan kanannya ke pundak kananku. Kepalanya disandarkannya di bahu kiriku. Aku mendengar ada yang bersuit-suit di belakang kami. Pasti Eddy. Aku mengangkat tangan kananku dan mengacungkan jari tengahku tanpa menoleh. Aku mendengar suara tertawa riuh rendah di belakangku. Ada yang berteriak ”Hati-hati boss!” Entah ke aku atau ke pak Willy. They’re having a good time.
***