It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dia berlalu ke kamar untuk berganti pakaian. Aku memperhatikannya berjalan memunggungiku dan aku merasa seperti akan ditinggalkannya selamanya. Dia membuka pintu kamar dan menyalakan lampunya. Sekilas sebelum ia menutup pintunya, aku melihat sepatunya di tepi bawah ranjang.
Oh no! Pasti kaos kakinya basah. Kaos kakinya tidak dikeringkan.
Aku berlari ke kamarku seperti orang gila. Aku mengambil kaos kaki bersih dari laci kaos kakiku seolah dunia akan kiamat tanpa kaos kaki itu. Aku berlari kembali ke depan pintu kamarnya. Mengatur nafasku kemudian mengetuk perlahan.
Aku ingin langsung membuka pintunya.
Aku ingin meminta maaf lagi dan memeluknya.
Aku tidak bermaksud melukai perasaannya.
Tak berapa lama kemudian dia membuka pintu. Dia sudah rapi seperti ketika baru datang tadi. Bedanya pakaiannya kering sekarang. Celana bola dan kaosku terlipat rapi di atas ranjang.
Aku melihat kakinya. Masih telanjang.
”Kaos kakimu pasti masih basah. Pakai ini aja.”
Dia menatapku datar. At least dia menatapku.
”Thanks.” katanya berbalik, kemudian duduk di tepi ranjang tanpa menutup pintu.
Aku berdiri di ambang pintu memperhatikannya memakai kaos kaki yang barusan aku berikan. Diam ini lebih menakutkan daripada apapun yang pernah aku rasakan. Aku harus berkata sesuatu. Say something smart! Say something funny! Say anything!
“Kalau sepatunya basah, pakai sepatuku aja.”
Dia melihatku dengan tatapan yang aneh.
Memang aneh. Ukuran kakinya lebih besar dari kakiku.
”Atau sandalku.” kataku lemah.
”Gak apa-apa kok. Sepatuku gak basah.”
Aku agak lega. Bukan karena sepatunya tidak basah. Tetapi bahasanya tidak balik kembali ke bahasa formal. Bahasa resmi yang berjarak.
Dia telah memakai sepatunya.
Aku masih berdiri di ambang pintu.
“Anytime.” Kataku ingin membalas senyumnya juga. Tetapi bibirku berat. Mudah-mudahan tidak terlihat menyeringai.
Dia berdiri, menunggu aku menyingkir dari ambang pintu.
Well, kalau begitu aku akan berdiri terus di sini.
Biar kamu tidak bisa pulang.
Mau tidak mau kamu harus tidur di sini.
Pathetic attempt!
Aku minggir memberinya jalan.
Dia melewati aku menuju ke pintu depan. Aku mengikutinya tanpa bersuara.
Sampai di dekat pintu aku mengambil kunci yang aku gantung di dinding. Aku ingin mengantarnya sampai ke lobby bawah. Atau sampai ke tempat ia memarkir mobilnya. Atau ikut masuk ke dalam mobilnya. Aku masih ingin malam ini berlanjut lebih panjang. Perduli setan besok aku harus melakukan presentasi yang penting.
Dia membuka pintu depan. Aku keluar mengikutinya. Mengunci pintunya di belakangku. Dia mengikuti setiap gerakku dengan tatapan matanya. Aku merasa diawasi.
Dia tidak berkata apapun.
Aku tidak berkata apapun.
Aku memencet tombol lift untuk turun ke lobby. Selama menanti lift, tak terpikir satu kata pun yang cukup baik untuk diucapkan.
Aku ingin memeluknya di dalam lift.
Apakah dia ingin memelukku?
Aku ingin mengucapkan sesuatu untuk memecah kebisuan.
Apakah dia menikmati kebisuan ini?
Apakah dia sedang menghukumku?
Keluar dari lift, di lobby yang sepi, aku masih mengikutinya.
”Riduan.” Dia berhenti berjalan. Menoleh.
”Thanks for coming.” Aku berdiri kaku. Menatap matanya. Dia menatap mataku.
“Really.” Kataku lagi.
“Ok.” Jawabnya sambil berlalu. Menuju ke pintu keluar.
Aku tidak punya cukup keberanian untuk mengikutinya lagi.
Aku ingin memanggilnya kembali supaya ia menoleh.
Supaya aku bisa melihat wajahnya, untuk terakhir kalinya malam ini.
Dan aku tidak punya keberanian untuk itu.
Aku cuma punya keberanian untuk terus menatapnya menjauh.
Menghilang.
*****
itu beberapa tahun yang lalu??
tapi di mana ya?
di sini? bang @indokoko ngepost di bf jga dulu?
tapi dulu judulnya gak gini deh, mungkin.
Judulnya ngingetin sama lagu dan film dr thn 1955 Were you inspired by it?
Overall, ringan dan gampang dipahami, ada sedikit salah2 kecil but masih bisa diperbaiki.
”Sebentar, aku ambilkan pakaian”
”Kenapa file nya gak di email aja? Kemudian sms atau telpon saya?”
Pakai salah satu aja kayaknya jauh lebih enak deh. Jadi feelnya bisa canggung2 formal atau informal sekalian
Ini berdasarkan kisah yg terjadi 10 tahun lalu tapi settingnya bukan sepuluh tahun yg lalu juga kan? Soalnya kamu nyebutin Sylar dr Heroes yg notabene Heroes baru tayang tahun 2006
Kenapa namanya Junaedi? Nggak masalah sih pakai nama itu cuma agak nggak pas sama setting ceritanya. tapi, kamu pasti punya alasan kenapa pakai nama itu. It's just my imagination aja sih ttg sosok Jun
Eh, ini bukan komedi kan? Karena kalau komedi, mungkin bisa dimengerti kenapa pakai nama itu
Lanjutkan!
up up up..
up up up..
up up up..
@Gabriel_Valiant thanks... pasti lanjuuttt :-)
@totalfreak ini pernah di posted di bf lama. Waktu itu dipost sedikit-sedikit selama proses pembuatan langsung. Bf waktu itu masih bisa diedit-edit. Bf sekarang kl dah posting ga bisa diedit lagi ya?
@Abiyasha waaaah dirimu teliti sekali! Kapan2 bantuin edit yaa. Kisahnya terjadi memang kurang lebih 10 tahun yg lalu, tapi dituang dalam tulisan waktu aku lg ngefans berat sama Heroes (Sylar/Zachary Quinto) :-). But now udh nggak ngefans lagi sejak dia jadi Spock di star trek. Thanks ya.
@Leehan_Kim Thank u... gak lama kok, tinggal co-paste dr file word.
@Nes16 moga ga bosen sampe akhir yaa... ada 93 halaman di file word :-)
Ok, lanjut lagi
Alarm di meja di samping ranjangku belum berbunyi. Tetapi aku sudah terbangun, segar, tanpa ada sedikitpun rasa kantuk yang tersisa. Aku melirik jam digital di sampingku di atas bedside table. 04:23:48.
Oh no! Aku masih punya waktu tidur 2 jam lagi. Aku menarik duvet menutupi wajahku. Tetap saja rasa kantuk tidak mau datang. Malahan pikiranku melayang-layang ke sana kemari. Aku mengingat nenekku. Aku mengingat teman-temanku. Aku mengingat hal-hal lain. Aku mengingat-ngingat semua yang bisa mengusir ingatanku tentang kejadian semalam.
Aku kangen nenekku. Seandainya dia masih ada, pasti ia bisa mengerti perasaanku. Pasti ia bisa menghiburku, menenangkan aku.
Sejak aku lepas menyusu dari ibuku, aku diadopsi oleh nenekku. Nenekku waktu itu tentu saja masih sehat. Ketika pertama kali ia melihatku saat aku masih berupa seorang bayi merah yang baru saja lahir. Nenekku berkata bahwa aku mirip sekali seperti ayahku.
Tentu saja ibuku heran, bagaimana seorang bayi yang masih sembab dan mukanya belum lagi berbentuk permanen bisa memiliki wajah seperti wajah ayahku. Mungkin hanya alasan nenekku yang kesepian. Yang ingin memiliki seorang bayi lagi setelah sekian lama tinggal sendirian. Dan nenekku itu, ibu dari ayahku, bercerita ia begitu bersusah payah membujuk ibuku hampir setiap hari supaya diperbolehkannya memeliharaku.
Oh ya, ayahku meninggal karena kecelakaan saat aku masih di dalam kandungan ibuku. So, aku tidak mempunyai kenangan apapun mengenai ayahku kecuali dari foto-foto lama yang ditunjukkan oleh nenekku.
Dan begitulah akhirnya aku tinggal bersama nenekku sejak aku masih bayi. Nenekku sangat memanjakan aku. Cucu-cucunya yang lain memanggilnya Oma. Aku memanggilnya Nana. Itu membuatku merasa spesial di antara cucu-cucunya yang lain. Dan Nana tidak pernah sembunyi-sembunyi menunjukkan ke semua orang, bahkan kepada cucu-cucunya yang lain, bahwa memang akulah cucu kesayangannya.
Alasannya karena aku kurang beruntung, karena tidak pernah memiliki seorang ayah. Cucu-cucunya yang lain punya orang tua yang lengkap.
Sewaktu aku kecil ibuku masih sering mengunjungi aku di rumah nenekku. Aku ingat ibuku pandai bercerita. Setiap kali datang, ia selalu membawakan aku buku-buku dan meembacakan ceritanya kepadaku. Kadang dia datang sendirian, kadang membawa salah seorang atau kedua kakak tiriku. Aku punya 2 orang kakak tiri. Semuanya perempuan. Yang tertua berusia 5 tahun di atasku, dan yang paling muda berusia 2 tahun lebih tua dariku. Sampai saat ini aku jarang sekali, atau bahkan hampir tidak pernah berhubungan dengan mereka. Bertemu di jalan pun rasanya aku tidak akan mengenali mereka.
Semakin aku besar ibuku semakin jarang datang. Sekali waktu pada saat aku duduk di kelas 4 SD, aku ingat guru kesenianku mengadakan acara besar di sekolah dan berkata di depan kelas bahwa untuk acara sekolah di akhir semester itu, semua murid diharapkan datang membawa orang tua mereka. Aku dengan gembira mengabarkannya kepada Nana, untuk segera memberitahu ibuku.
Aku masih terlalu kecil untuk menebak apa yang dirasakan oleh Nana pada saat itu. Tetapi ketika dia memberitahu aku untuk tidak terlalu mengharapkan kehadiran ibuku pada acara sekolah itu, aku menjadi sangat marah kepadanya. Itu pertama kali dan sekali-kalinya dalam hidupku aku merasa membenci Nana. Aku berpikir bahwa Nana begitu jahat ingin memilikiku untuk dirinya sendiri. Sehingga ibuku tidak perlu hadir di acara sekolah yang menurutku sangat-sangat penting. Nana menelpon ibuku malam itu, karena aku memaksanya. Tetapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dan dari raut wajah Nana, aku tahu bahwa aku tidak boleh terlalu berharap banyak.
Dan memang ibuku tidak datang. Dia tidak pernah datang lagi. Lama setelah itu baru aku tahu ibuku telah menikah lagi dan pindah ke luar negeri. Aku tidak pernah ingat ibuku berpamitan untuk itu. Dan Nana tidak pernah bercerita apapun tentang itu.
Sejak kejadian ibuku tidak datang ke acara sekolahku itu, aku tidak pernah bertanya-tanya tentang ibuku lagi. Bagiku ibuku hanya seperti sebuah cerita di dalam buku pada saat aku melihat-lihat album foto lama keluargaku. Sebuah cerita seperti cerita-cerita lain yang samar-samar aku ingat diceritakan oleh ibuku. Dan semua buku-buku cerita yang dibelikannya itu masih tersimpan rapi di rumah nenekku. Aku tetap bersyukur bahwa karena ibuku aku menjadi gemar membaca buku.
Semakin aku besar, wajahku semakin mirip dengan ibuku. Aku sempat bertanya kepada Nana soal itu. Nana bilang mataku adalah mata ayahku, sisanya memang cetakan wajah ibuku. Aku tumbuh menjadi remaja yang berwajah tampan, bahkan mungkin terlalu manis untuk ukuran seorang cowok. Beberapa teman bahkan bilang aku lebih manis dari kebanyakan perempuan. Aku cuma menganggap mereka bercanda, meskipun begitu aku sering merasa jengkel karena merasa diolok-olok. Nana menganggap mereka cuma iri karena tidak semua orang dianugerahi wajah yang tampan ataupun cantik. Dan aku tidak perlu mempermasalahkan itu
Tetapi ketika ada seorang teman cowok di kelasku berusaha mencium bibirku di kebun belakang sekolah, waktu itu aku kelas 2 SMP, aku melaporkannya ke Nana. Nana malah menyuruhku mengundang temanku itu untuk datang makan siang di rumah. Dan di meja makan Nana bilang kalau anak-anak seumur kami belum boleh saling berciuman. Wajah temanku itu merah padam.
Aku bertanya. ”Kalau cowok sama cewek boleh?”
”Belum boleh juga. Nanti setelah kalian dewasa baru boleh.” Jawab Nana.
”Tapi, di sekolah kami ada cowok dan cewek yang sering berciuman.” Kata temanku ngotot.
”Itu namanya sembunyi-sembunyi.” Kata Nana. ”Seperti kalau kalian menyontek sewaktu ulangan.”
Temanku itu menyeringai lebar. Dia sering menyontek di kelas. Aku sering diconteknya. Kadang-kadang aku menolak, kadang-kadang membiarkannya. Tapi aku tidak mau diciumnya. Kalaupun aku harus dicium cowok, bukan oleh dia.
***