It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Begitu masuk ke dalam kamar, pak Willy langsung membuka kaosnya. Ia tidak memakai kaos dalam. Aku melihat tubuhnya sedikit berkilau berkeringat. Kulit badannya putih, sedikit lebih putih dariku. Meskipun perutnya tidak tergolong rata apalagi dengan six pack, perutnya juga tidak tergolong buncit. Ia type om-om yang cukup perduli dengan bentuk tubuhnya. Lengannya pun kelihatan berotot hasil dari fitness teraturnya. Atau mungkin dari hobinya bermain golf. Secara keseluruhan bodynya masih cukup sexy. Cukup mengundang.
Aku melihat tanda merah lebam bulat di punggungnya berdiameter sekitar 3 cm. Dibawah tulang belikatnya, agak di tengah, sedikit ke kanan. Seperempat bulatan itu kelihatan seperti lecet cukup parah. Aku tertawa.
”Punggungnya lecet tuh pak.” kataku.
”Iya nih.” Katanya sambil mencoba meraba punggungnya.
”Jangan dipegang-pegang pak. Nanti infeksi.” Kataku mencegahnya
”Saya punya betadine di tas kayaknya.” Kataku sambil mencari tas kecil berisi beberapa obat-obatan dari kantong tas pakaianku. Aku mengeluarkan sebotol betadine kecil dan membuka tutupnya. Kemudian mencari kapas di dalam tas kecil itu. Saat aku mengeluarkan kapas dari plastiknya aku sadar pak Willy sedang menatapku tersenyum lebar dengan pandangan lucu.
”Kamu lebih perhatian dari istri saya.” Katanya sambil tertawa memperhatikan tas kecil obat-obatanku. Tas itu tas hitam kecil seperti dompet handphone yang bisa berisi 2 buah handphone.
Aku merasa diejek. Apa sih maksudnya? Apa salahnya membawa obat-obatan pada saat perjalanan. Dasar lelaki jadul. Kataku dalam hati.
”Istri saya tidak pernah membawa obat-obatan lengkap begitu.” Katanya lagi
Kok jadi ngomongin istrinya. Aku diam tidak bersuara. Masa bodoh.
Aku memegang pundaknya dengan sopan dan membalikkan tubuhnya dengan perlahan, kemudian mengolesi luka kecil itu dengan kapas yang sudah basah oleh betadine. Dia mengejang pelan. Aleman! Kataku dalam hati.
”Bapak mau mandi lagi gak?” Lalu teringat kata-katanya kamu yang mandiin ya.
”Kalau enggak, saya mandi dulu.” Buru-buru aku menambahkan.
”Panas begini, kayaknya mau juga mandi lagi.” jawabnya.
”Ya sudah, Bapak mandi duluan.” Aku membereskan botol betadineku dan melempar kapas bekas tadi ke tempat sampah.
Dia melangkah ke kamar mandi tanpa mengambil baju ganti dari tasnya. Kemudian aku mendengar kamar mandi ditutup tetapi tidak mendengar ia menguncinya.
Mengapa aku memperhatikan?
Apa yang aku harapkan?
Kata-katanya mengiang kembali di telingaku.
Kamu yang mandiin ya...
***
Menurutku Andrew seharusnya lebih gay daripadaku. Tetapi ternyata sama sekali bukan. Dan tidak ada tanda-tanda sama sekali pak Willy seorang gay, tapi nyata-nyata malam ini dia menggodaku. Cuma bercanda? Bisa saja.
Aku memutuskan dalam hatiku bahwa gaydar itu hanya sekedar mitos. Mitos yang dibuat para banci yang terlalu bangga dirinya menjadi banci. Aku tidak pernah merasa diriku seorang banci. Bahkan aku tidak suka jika ada orang yang terang-terangan mengataiku atau mengatai orang lain banci. Kecuali kalau memang orang itu bergaya kemayu seperti atau bahkan lebih dari perempuan. Aku sendiri sering takut melihat orang-orang yang bertingkah seperti itu. Atau barangkali juga kasihan.
Aku lebih suka melihat diriku sebagai seorang laki-laki yang berorientasi seksual kepada manusia lain yang kebetulan laki-laki juga. Itu saja. Mungkin saja suatu saat aku bosan dan orientasi seksualku berubah. Siapa tahu. Denial? Aku rasa begitu.
Pak Willy keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan celana dalamnya. Celana dalam abu-abu tua dari bahan kaos berbentuk seperti boxer tetapi ketat membalut dari pinggang sampai ke sepertiga paha atasnya. Handuknya tersampir di pundaknya. Sebelah tangannya masih menggosok rambutnya yang basah dengan ujung handuknya.
Kenapa jadi begini?
Melihat boss telanjang bukanlah sesuatu yang sering kubayangkan.
Mungkin jauh lebih menarik dalam cerita film-film porno.
But in reality... sungguh bikin serba salah.
“Katanya tadi mau mandiin?” katanya saat aku mengambil pakaian gantiku dari dalam tas. Berusaha keras untuk tidak melihat ataupun meliriknya, biarpun hanya dari sudut mataku.
Kok masih dilanjutkan juga topik itu?
”Bapak yang bilang, kok. Bukan saya.” Kataku berusaha cuek.
”Saya tadi gak kunci pintunya, lho.”
Apa-apaan sih ini? A real turn off! Rada-rada norak jadinya.
Dengan celana pendek, celana dalam dan T-shirt di tanganku aku berjalan melewatinya ke arah kamar mandi.
“Ok, kalau gitu saya juga gak kunci pintunya.” Kataku menantang sambil tertawa lepas.
You want to play this game?
Let’s play!
Memangnya apa yang kuharapkan?
Aku tersenyum dan kemudian mengunci pintunya. Membayangkannya masuk dan membuka shower curtain kemudian menertawaiku yang sedang mandi, bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan.
Kamu kalah! Kata hati kecilku.
Biarin!
Kamu penakut! Kata hati kecilku lagi.
Biarin!
Dia kan atasanku.
***
Kamar ini memang hanya mempunyai satu ranjang besar. Kalau ia memang menginginkannya. Kita lihat saja nanti. Setengah hati aku berharap agar nanti tidak terjadi apa-apa. Setengah hati yang lain mengharap ada kelanjutannya. Lebih kepada rasa ingin tahu. Tidak ada adrenalin yang terpacu. Nafsuku juga tidak menjadi menggebu.
Pancuran air hangat yang kuat menyirami tubuhku yang cukup lelah, benar-benar memberikan kenikmatan tersendiri. Mungkin hampir satu jam aku berada di kamar mandi. Seandainya dia mencoba membuka pintu kamar mandipun aku tidak akan tahu.
Aku keluar memakai celana pendek katun dan T-Shirt yang cukup longgar. Aku merasa segar. Pak Willy bersandar di ujung tempat tidur di tepi ranjang sebelah kanan sambil menonton TV. Ia bertelanjang dada. Duvet ranjang menutupi kakinya sampai ke perutnya. Jika ada yang datang dan melihat kami berdua, pasti pikiran mereka akan langsung penuh pikiran kotor melihat posisinya seperti itu.
”Lama betul mandinya?” Aku cuma menjawabnya dengan senyum lebar.
Aku mengambil satu bantal di ranjang dan menuju ke sofa bed di seberang ranjang. Sofa itu terletak di sebelah meja TV dekat dengan jendela.
”Ngapain tidur di situ? Di sini aja” Katanya.
“Ranjangnya buat bertiga juga cukup.” Katanya lagi.
”Gak apa-apa Pak, di sini aja.” Kataku sambil meletakkan bantal di ujung sofa.
Kamu telanjang begitu dan berharap aku langsung merangkak naik ke ranjang? Tanyaku dalam hati. I’m not that cheap! Mungkin ia berpikir aku ketakutan dan bersikap aneh. No way! Lelaki waras manapun pasti akan ketakutan melihatnya bertingkah begitu.
”Sorry, saya gak pakai baju. Gerah.” Katanya lagi. Menyelimuti lagi kakinya. Padahal A/Cnya sudah cukup dingin.
Aku tidak beranjak dari sofa, malah bersiap-siap menaikkan kakiku mencari posisi tidur yang enak di sofa bed yang cukup sempit itu. Bagaimanapun, tidur di ranjang itu pasti jauh lebih nyaman.
”Gak apa-apa Pak.” Telanjang juga boleh kok. Yang terakhir ini tentu saja hanya dalam hati.
”Sini.” Katanya lagi. ”Apa kamu minta ditarik paksa ke sini?”
Aku masih enggan. Serba salah.
”Lecetnya dikasih betadine lagi, Pak?” Aku mengalihkan pembicaraan. Padahal membayangkan tubuh lelahku tidur di ranjang empuk itu memang jauh lebih enak daripada tidur di sofa bed ini. Ada kemungkinan plus bonusnya lagi. Toh, dia tidak jelek dan cukup sexy.
”Ok.” Dia langsung mencari posisi menelungkup memamerkan punggungnya.
Aku menyiapkan kapas diolesi betadine lagi dan berjalan ke arahnya. Dengan perlahan aku membungkuk dan mengolesi lecetnya.
”Saya boleh minta tolong kamu pijatin saya sebentar, Jun?” Tanyanya dengan halus sewaktu aku bergerak ingin membuang kapas.
Sepertinya ia horny. Atau mabuk.
”Saya gak bisa mijat, Pak.”
Napa sih kamu jual mahal terus? Tanya hati kecilku protes.
Dia atasanku tau!
Tapi kan dia yang minta?
Iya, setengah mabuk!
”Pelan-pelan, di pundak dan leher aja.” Katanya, masih menelungkup.
So, you’re still playing.
Let’s see!
Kepalanya di atas bantal miring menghadap ke arahku, kedua tangannya terangkat ke arah kepalanya dan menyelip di bawah bantal. Matanya terpejam.
Aku mulai memijat-mijat pundaknya. Menekan-nekannya dengan teknik pijatan yang aku bisa. Aku sering dipijat, setidaknya sedikit banyak aku tahu bagian-bagian yang enak untuk dipijat. Aku menelusuri tengkuknya dengan ibu jari dan telunjukku. Aku terus memijatnya perlahan sampai tiba-tiba aku mendengar dengkurnya perlahan.
Dia tertidur keenakan.
Padahal aku mulai horny.
Sialan.
***
Aku melirik wajahnya. Nafasnya teratur dan tampak tidurnya pulas.
Aku meletakkan kedua tangan kananku di buah pantatnya dan mulai memijatnya, meremas-remasnya. Empuk, kenyal dan berotot. Aku menggeser dudukku lebih dekat ke kakinya dan menekan-nekan pantatnya dari arah pangkal pahanya. Pijatanku lebih kepada raba-rabaan di pahanya sekarang. Celana dalam bagian pahanya sudah berkerut melipat ke arah pangkal pahanya.
Tanganku semakin berani. Aku selipkan jari-jari ku ke bawah celana dalamnya dari arah pangkal pahanya. Menekan-nekan ibu jariku di area sekitar duburnya. Di pangkal pahanya. Jariku sedikit menyentuh bagian pangkal bolanya. Terasa kerut lipatan kulit bolanya dan bulu-bulu kemaluannya menggelitik buku jariku . Terkadang ia sedikit menggerakkan pantatnya.
Aku meliriknya. Matanya terpejam, nafasnya masih teratur.
Aku mengeluarkan tanganku dari pantatnya. Dari balik celana dalamnya. Memijat-mijat kembali bagian pinggangnya di atas tulang ekornya.
This is going no where.
Aku menghentikan pijatanku.Menarik duvet menyelimutinya kembali sampai ke punggungnya.
Aku Menyelipkan badanku di bawah duvet, berusaha bergerak sehalus mungkin supaya tidak mengganggu tidurnya. Aku memejamkan mataku, mencoba melupakan kenyataan bahwa aku sedang tidur di bawah satu selimut dengan atasanku yang setengah telanjang. Tiga perempat telanjang.
Aku mungkin terlelap sekitar dua atau tiga jam, terbangun ketika merasakan seseorang memeluk tubuhku. Aku membuka mataku dan melihat pak Willy di atas tubuhku sedang menciumi leherku. Tangannya memeluk punggungku masuk ke dalam kaosku. Kaosku telah terlipat naik sampai ketiakku. Aku merasakan penisnya yang sudah tegak dan keras di gesekkan ke penisku, yang ternyata juga telah bangun.
Untung juga aku bukan type orang yang gampang kaget. Jika tidak barangkali aku akan langsung menolak tubuhnya atau bahkan menendangnya. Aku melirik ke arah jendela yang curtainnya tidak terlalu menutup rapat. Di luar masih gelap. Belum pagi.
Merasakan aku bangun, pak Willy melepaskan kaosku. Aku membantunya, membuatnya mengerti bahwa aku juga menginginkannya. Aku tidak berani menatap matanya. Lagipula aku masih setengah mengantuk. Ia kembali menciumi leherku dengan lembut. Naik ke belakang telingaku dan menjilati daun telingaku. Jilatannya lembut, kontras dengan pelukannya yang menyesakkan nafasku. Kedua tangannya yang di bawah punggungku naik memegang lenganku dan mendorong tanganku ke atas. Aku melipat kedua siku tanganku di atas kepalaku. Bantal yang tadinya di atas kepalaku telah menghilang entah di mana.
Dia menciumi lengan dalamku menuju ke arah ketiakku. Aku menggeliat kegelian. Pada saat bangun tidur, kulit tubuhku selalu terasa lebih peka dari biasanya. Aku memindahkan tanganku memeluk punggungnya. Mencegahnya terus menciumi lengan dekat ketiakku. Kepalanya sekarang di dadaku menciumi dadaku yang telah telanjang menuju ke putingku. Ia menciumi kulit di sekitar putingku sebelum kemudian mengulumnya. Aku menggelinjang nikmat. Menaikkan pinggulku menekan penisku ke perutnya. Penisnya menekan dan menggesek pahaku. Ia terus menggesekkan penisnya naik ke arah penisku sambil lidahnya menyusuri naik dari dadaku kembali ke leherku. Hangat dan licin. Permainan lidahnya membuatku mendesah nikmat. Begitu lembut dan penuh kesabaran.
Jemariku menelusuri punggungnya turun ke arah pantatnya. Aku menyelipkan tanganku ke dalam celananya. Mencari belahan pantatnya. Tangan kirinya berusaha membantuku menurunkan celananya. Aku membalikkan tubuhnya. Kini ia yang terlentang di bawahku. Duvet yang menyelimuti kami sudah terbuka tertindih punggungnya. Ia menutup matanya.
Aku duduk di pahanya, memainkan jari-jariku di dadanya yang sedikit berbulu halus di tengah belahan dadanya. Mengikuti alur bulu-bulu dadanya tangan kananku meraba ke perut. Tangan kiriku memainkan puting kirinya. Aku tahu dia sangat menikmatinya. Mulutnya sedikit terbuka. Aku memandang wajahnya, membayangkan ketampanannya lima belas tahun yang lalu. Saat inipun ia masih cukup tampan.
Aku menurunkan celana dalamnya. Penisnya terpampang di depan mataku. Menjulang tegak menuju pusarnya. Sedikit miring ke kiri. Kepala penisnya besar. Batangnya yang berurat menonjol seperti tubuh yang memakai helm agak kebesaran. Aku menyukai bentuknya.. Aku ingin menciuminya. Tetapi ia bergerak duduk memelukku, membalikku dan menindihku kembali. Ia kembali menekan penisnya ke penisku yang masih dibalut celana katun dan celana dalam. Untung celana dalamku tidak terlalu ketat.
Aku mengangkat kakiku ke pahanya, melepaskan celana dalamnya dari kakinya dengan jari-jari kakiku. Kini ia di atasku telanjang bulat. Sementara aku masih memakai celana pendekku.
”Buka celanamu, Jun.” perintahnya berbisik. Ia menciumi pipiku dan kembali ke arah telingaku. Menunggingkan pantatnya memberiku kesempatan melepas celanaku.
Ia menciumi leherku. Lidahnya menyapu dan menggelitik leherku menuju ke putingku. Sementara tangan kirinya menggenggam dan mengocok penisku perlahan. Lidahnya berputar-putar di puting kananku. Aku menggelinjang nikmat. Tidak berhenti sampai di sana lidahnya menurun ke perutku. Bermain di sekitar pusar menuju ke pinggangku. Inikah nikmatnya bermain dengan orang yang sudah berumur? Ia begitu sabar menelusuri setiap inci permukaan kulitku. Diciuminya lutut sampai ke pangkal pahaku. Lidahnya basah bermain di permukaan kulit kedua pangkal paha dan perutku. Aku ingin menyodorkan penisku ke mulutnya. Tapi aku masih takut ia menolaknya.
Kemudian ia merambat naik, duduk di atas dadaku mengarahkan penisnya ke mulutku. Aku membuka mulutku meraih kepala penisnya dengan lidahku. Ia menyorongkannya semakin masuk. Sepertinya ia mulai sangat bernafsu. Aku mendengar nafasnya mulai memburu. Aku meraih bantal di sebelah kepalaku dan mengganjal leherku, ia mulai menggerak-gerakkan pantatnya maju mundur perlahan. Aku hampir tersedak ketika ia menghunjamkan penisnya semakin dalam. Aku harus memegang pinggulnya mengatur goyangannya agar tidak membuatku tercekik.
Ia begitu menikmatinya, kepalanya mendongak dan nafasnya memburu. Sekali-sekali aku mengelus perut dan putingnya. Kemudian aku mulai memegang batang penisnya dan mulai meremas dan mengocoknya. Goyangannya semakin liar. Mulut dan lidahku masih melumat kepala penisnya, bermain seperti menghisap lolipop kenyal keluar masuk bibirku. Tidak lama kemudian aku merasa penisnya semakin mengeras. Ia mencoba menarik keluar penisnya dari mulutku. Aku tidak membolehkannya bahkan meremas batangnya semakin keras dan semakin menghisap dan melumat kepalanya.
Dia mengejang dan menumpahkan isinya ke dalam mulutku. Asin, manis, harum yang khas bercampur menjadi satu. Aku tetap mengulumnya sampai merasakan semua tetesannya dan kedutannya berakhir. Menjilat bersih kepalanya dan batangnya yang mulai melemas. Aku menelan spermanya dan mengusap bibirku dengan punggung tanganku.
Ia melorot berbaring di atas tubuhku. Kepalanya di leherku sebelah kanan. Sekali-sekali masih terasa kejangan orgasmenya. Aku mencium pipinya dan mencium telinganya. Tanganku memeluknya dengan erat di punggungnya yang berkeringat.
Aku mencoba melupakan nafsuku yang masih setengah memuncak. Aku tidak berani berharap ia akan melakukan hal yang sama kepadaku. Tetapi ketika aku memejamkan mata mencoba kembali tidur dan membiarkannya tidur di atasku. Ia kembali menciumi leherku dan kemudian menuruni tubuhku dan mengulum penisku.
Aku berusaha duduk bersandar bantal di kepala ranjang dan memegang kepalanya. Menarik wajahnya dari penisku dan memandang matanya. Mencoba memberitahunya bahwa dia tidak harus melakukannya juga untukku.
Dia menatapku dan berkata. ”Giliran kamu.” dan kemudian mengulum kepala penisku dengan lembut. Menyusuri batang penisku dengan lidahnya dan mengulum kembali kepalanya dalam mulutnya.
Akhirnya aku mengejang dan merasa tidak dapat menahan lagi semburan spermaku.
”Aku hampir keluar, Pak.” desahku.
”Hmmfh..” Ia tidak melepaskan penisku, malah semakin mempercepat kocokan dan hisapannya.
Aku mencoba menjauhkan pantatku.
Ia semakin menggila.
Aku tidak tahan.
Aku semprotkan di dalam mulutnya.
Dia juga tidak melepasku.
Dalam nikmatku aku memperhatikannya.
Dalam sinar matanya yang tersedak berair dia memperhatikanku.
Aku mendesah panjang.
Menyelesaikan gelinjangku.
Menyelesaikan orgasmeku.
Di dalam mulutnya.
Ahhhh....
***
bf yang baru masih bisa diedit kok kalau komen...
untuk update yang sekarang (banyaaaak bangeeet). mau komen apa ya....
ini cuma kesanku aja ya (ingat, kesanku aja)
yang awal2 dulu sih suka banget cara nyampeinnya,
tapi, semakin ke sini sepertinya isi ceritanya makin kerasa teknis banget. maksudku terkesan gak mau nglewatin satu gerakan pun dari tokohnya. semua gerakan sekecil apapun diceritain, hal2 kayak gini mungkin bisa dalam artian 'bagus' atau sebaliknya, beda reader mungkin beda pendapat. tapi menurutku agak sedikit ganggu aja, coz kadang sampe akhir part cerita aku gak bisa nemuin intinya, jadi ngarasa blank aja ama apa yang kubaca sebelumnya. aku ngrasa seperti gak nemuin fokus, kejadian demi kejadian cepat terjadi dan cepat berlalu. mau nyoba nikmatin satu momen, udah langsung ganti ke momen yang lain.
dan untuk flashback yang 18 bulan yg lalu itu, kasusnya sama kyak yang penjelasanku di atas. dan menurutku 'start' nyritainnya terlalu jauh dari inti kejadian flashbacknya. jadi aku harus baca dan nunggu lama banget cuma untuk tahu 'ini sebenernya flashback buat nyritain apa sih', keburu ilang duluan feel dari kata2 pak Willy yang bikin penasaran itu.
Updatean yg terakhir blm aku baca, bujubuneng, banyak bener #:-S Aku nggak suka baca kepotong2, jadi sekalian aja besok bacanya. Sebenernya nggak terlalu suka sama cerita2 yg terlalu vulgar sih, jadi mungkin aku bakal skip bagian2 itu Sorry, hehehe. Aku lebih suka part yg lain2.
Makanya aku nanya, ini settingnya nggak sepuluh tahun yg lalu juga kan? Jd, aku anggap settingnya pas Heroes udah tayang aja, hehehe. Kalau udah banyak baca, pasti keliatan lah minor2 typo (sekalipun tulisan sndiri jg msh sering ada typo, hihihi) atau yg lainnya. Cuma kebiasaan aja sih sbnrnya. Anyway, keep writing!
Ah, dirimu ini Aku udah tertarik dr paragraf2 awalnya dan so far sih masih masuk lah buat bacaanku Emang kenapa kalau aku yg komen di cerita orang sih? kok kayaknya jadi heboh bgt gitu You're not the 1st one who said that. Aku kan juga member kayak yg lain, hehehe
Anyway, lanjutkan lah tulisannya. Semoga nggak banyak part2 vulgarnya jadi bisa terus ngikutin. Sometimes, I got turn off by some scenes, but it's just me and my weird taste
Tetapi aku berusaha sekuat hati meyakinkan diri kalau itu cuma one night stand. Ia cuma seorang om-om straight yang ingin mencari variasi karena mungkin kehidupan sex dengan istrinya membosankan. Tetapi mengapa denganku? Apakah karena kebetulan tidur satu kamar denganku. Bagaimana kalau ia tidur sekamar dengan rekan kerjaku yang lain? Deni atau Andrew misalnya, apakah akan terjadi hal yang sama? Beribu tanya memenuhi otakku. Begitu mengganggu.
Dan Pak Willy tidak memberikan isyarat sedikitpun bahwa ia ingat malam itu. Bahwa malam itu adalah sesuatu yang istimewa. Bahkan sepertinya ia sama sekali sudah lupa bahwa ia telah menelusuri setiap inci tubuhku dengan lidahnya malam itu.
Bahkan pada hari Minggu pagi di Novotel itu pun kami tidak pernah membicarakan hal itu lagi. Kami tertidur masih berpelukan dan terbangun terpisah. Aku terbangun terlebih dahulu kemudian mandi dan bersiap-siap ke restaurant untuk breakfast. Dia belum bangun dan aku tidak membangunkannya. Aku pergi ke restaurant untuk breakfast sendirian, bertemu dengan rekan-rekanku di sana. Masih sekitar pukul 8:00 pagi. Kira-kira 40 menit kemudian Pak Willy baru muncul di Restaurant.
Tidak ada yang berubah dalam sikapnya. Dalam caranya berbicara denganku baik pada saat kami hanya berdua ataupun di depan orang lain. Tidak ada sesuatu yang istimewa pada saat ia memandangku. Semuanya kembali seperti biasa, seolah-olah tidak ada sesuatu kejadian istimewa apapun atas kami berdua. Dan itu benar-benar membingungkan aku. Mungkin bahkan sedikit menyebalkan. Begitu tidak istimewanyakah having sex denganku? Was he that drunk?
Ok! Kalau memang dia sudah melupakan hal itu, sebaiknya aku juga tidak mengingat-ingat hal itu sama sekali. Lagipula kan dia sudah beristri dan punya anak. What do I expect?
Tetapi aku tidak bisa. Rasanya aku hampir gila. Kilasan-kilasan kejadian malam itu benar-benar susah untuk dilupakan. Aku tahu ia telah beristri dan punya anak. Aku tidak mengharapkan apapun darinya. Tetapi melupakan kejadian denganku malam itu dengan begitu mudahnya, sedikit melukai harga diriku. Aku harus berbicara dengannya.
Hari Rabu pagi setelah morning meeting aku memutuskan bahwa aku harus berbicara dengannya hari ini.
”I need to talk.” kataku setelah semua rekan kerjaku meninggalkan ruang meeting.
”Di sini? Atau di kantor saya?” katanya dengan nada biasa seperti kalau aku ingin berbicara soal pekerjaan dengannya.
“Di luar kantor. Bukan soal pekerjaan.” Aku menatap matanya tegas-tegas.
Whatever game you’re playing, I need to get it over with.
Alisnya sedikit bergerak naik. Aku tidak bisa menebak sinar matanya. Tetapi sepertinya dia tidak terkejut.
”Dinner nanti malam jam tujuh, ok?” Tanyanya dan ia melihat lurus ke dalam mataku. Tidak ada yang disembunyikannya dan aku melihat sesuatu yang baru di dalam matanya. Seperti kesan bahwa ia memang menunggu aku untuk memulai pembicaraan ini. Berarti dia tidak melupakan malam itu sama sekali.