It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
#ampe 'ternganga' liat komentarnya, eh?
Sejauh ini, tetep menarik buatku.
Tpi aku agak sedikit enggak setuju klo km masukin konten2 yg lagi keren2nya sekarang. Ya kyak ‘demi tuhan’ itu. ya sbenernya enggak salah sih dgn kata itu, tpi emang brhub klo denger kata itu udah ngarah ‘ke sana’ jdi gak cocok digunain. Mgkn untuk ngantisipasi biar feel yg dirasain reader enggak melenceng (walaupun km niatnya enggak melencengin) mending gunain bahasa ingrisnya aja. Ini menurutku. Berharap gak bakal ada kata-kata ‘cetar membahana badai’ atau ‘tertampang nyata’ atau sejenisnya di dalam cerita km setelah ini. LOL.
Masih salut, ceritanya masih enak dibaca dan buat diikutin. Aku dapat kejutan waktu POV nya Jun, karena apa yg ada di dalem, enggak seperti yg aku pikirin sebelumnya.
Trus part nyeritain Robert, kalau aku bilang itu lumayan tanggung. Mending klo kmu emang gak bikin detail kejadiannya, kasih flash nya aja, dikit. Pkoknya ini pendapatku lagi, bisa kamu tanggepin bisa kamu cuekin.
Udah, itu aja. Ini udah seminggu belom sih? Kapan update?
Damien’s:
Tidak ada yang memberitahuku kenapa aku kemarin malam mengatakan hal demikian.
Atau lebih tepatnya, membuat janji yang sialnya baru kusesali setengah jam sebelum janji itu harus kutepati.
Pasti gara-gara mabuk sialan aku jadi membuat janji konyol. Padahal aku asal ngomong saja kemarin itu.
Oh dammit, apa yang harus kulakukan?
Membatalkan janji di detik-detik terakhir atau melupakan janji begitu saja? Maaf itu bukan gayaku. Dan yang lebih bukan gayaku adalah, kenapa aku sampai peduli kepada orang lain????
Jadi lemah dan sering di bully adalah takdir anak bernama Goldstar, Goldsein –atau siapalah itu. Bukan masalahku. Kenapa aku peduli? Oh aku ingat, dia memprovokasiku dengan mengatakan aku hanya “Omong Kosong”. Ugh, aku benci provokasi. Tapi ini memang sudah kepalang tanggung.
Mungkin sudah takdirnya bertemu denganku dan sudah nasibku untuk merubah takdirnya.
Jun’s :
Apa aku tidak menghiraukan saja ya ‘undangan’ si Damien itu?
Apa maksudnya dia menyuruhku jam empat –yang artinya setengah jam lagi—? Dan dia tidak mengatakan aku harus berada dimana kan? Payah, ternyata walau dia mengatai aku lemah, gay keparat atau sebutan menjengkelkan lainnya ternyata dia cukup bodoh juga. Aku nggak harus datang ya? Dia tidak bilang aku harus kemana kan?
Aku memandang jam lalu ke jendela. Lalu melihat Zooey. Zooey tidur. Dia memang tidak memejamkan mata –ikan tidak bisa melakukan itu— tapi aku tahu dia tidur. Jadi tidak bisa kuganggu untuk sekedar kuajak berdiskusi.
Aku tidak keberatan sih menunggu si Damien di depan asrama senior, tapi cari mati juga kalau misal bertemu gerombolan Orlando di sana. Menunggu di ruang kesenian? Memang kemarin dia bilang ruang kesenian?
Dan Astaga… Udara di luar tampak ingin menggigitku. Dingin sekali kelihatannya.
Jesse mendengkur, membuatku muak di kamar ini.
Oh sebal sekali rasanya diantara kebingungan seperti ini. Apa yang harus kulakukan???
Damien’s:
Aku memandang tajam seluruh kantin.
Memandang tajam dalam artian ingin menghajar. Beberapa anak tampak berusaha menyapa tapi aku tidak peduli. Beberapa tidak ingin mengganggu.
Ya, aku memang tidak ingin diusik saat ini.
“Hai sob, kau tampak ingin mematahkan gigi hari ini.” Sebastian berjalan berusaha mensejajariku, aku tahu dia sama penasarannya dengan beberapa anak tentangku.
“Jangan ikut campur dulu Seb.” ujarku dingin.
“Kau yakin?”
“Yang ini tidak akan butuh bantuanmu.”
“Oh, oke. Aku ada di tempat biasa kalau-kalau kau butuh…” Aku tidak mempedulikan Sebastian lagi. Aku mencari dan tetap berjalan.
Dan aku menemukannya. Memakan pelan nachosnya.
“Dasar bajingan! Ikut aku!” aku segera menarik kerahnya dengan mudah. Mata hitam cowok itu terbelalak, juga beberapa pasang mata lainnya. Aku segera menyeret anak itu keluar kantin, dia meronta-ronta bahkan berani sambil sesekali memukulku. Aku mendorongnya ke tembok di lorong belakang.
“Apa maumu, hah?!” dia berteriak.
Yeah, cowok lemah dan cantik memang hanya mampu berteriak-teriak kan?
“Hei Bocah Goldstell…”
“Goldstein, Jun Goldstein! Keparat kau!” dia masih sempat-sempatnya mengoreksiku.
“Aku tidak peduli. Ternyata memang kau ini tidak bisa dikasihani. Kau ini menyedihkan dan sombong!” ujarku berang.
“Apa maksudmu?” tanyanya, antara bingung, takut, dan marah.
“Kau ingat sesuatu yang berhubungan dengan jam empat?” tanyaku sambil mendelik.
Dia terdiam sambil mengerutkan keningnya “Iya. Aku ingat itu. Lantas kenapa?”
Heh? Dia bahkan tidak berusaha untuk pura-pura tidak tahu. Anak ini memang antara kurang ajar dan minta dihajar.
“Lantas Kenapa? Heh! Aku sudah berbaik hati ingin merubah nasibmu. Tapi kau justru menolaknya tanpa memberitahu dan membiarkanku menunggumu layaknya kambing congek!”
Ya aku harap dia mengerti rasanya berdiri di lapangan football pagi buta untuk menunggunya! Dingin dan hanya bisa menunggu dengan sesekali push up agar tidak jenuh. Lalu berjam-jam hingga matahari sudah berani bersinar terang aku baru tahu bahwa cecunguk satu ini tidak akan pernah datang. Dia benar-benar harus dinobatkan sebagai pecundang abad ini.
“Aku kan tidak mengiyakan. Jadi aku tidak berjanji apapun padamu!”
“Setidaknya kau bisa menolak kan?”
“Kau tidak memberiku kesempatan untuk menolak, bahkan tidak memberiku kesempatan bertanya dimana tepatnya jam empat kita bertemu!”
Apa?
Aku tidak merasakan apa-apa untuk beberapa saat. Tadi si kecil ini bilang apa?
“Apa maksudmu?” seperti servis pada tenis, aku mengembalikan pertanyaannya. Aku dalam keadaan super bingung.
Si kecil Goldstein –hebat, aku mengingatnya dengan jelas namanya sekarang— itu memutar bola matanya dengan kesal, lalu menatapku tajam dengan wajahnya yang tidak garang itu. Tapi entah kenapa perpaduan itu membuatku gugup “Maksudku, saking mabuknya, kau tidak ada ubahnya dengan gerombolan Orlando tadi malam. Kau menyuruhku bla bla bla jam empat tanpa memberitahuku dimana tepatnya kita bertemu dan untuk apa.”
“Aku tidak mengatakannya?” tanyaku antara tidak yakin dan bimbang. Kurasa keduanya sama saja.
“Tidak.”
Lalu kamu berdua terdiam. Aku sibuk mengumpulkan harga diriku, dan dia entah sibuk dengan pikiran apa. Yang jelas tidak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut kami. Hanya suara bising celotehan dan suara tawa anak-anak yang sayup-sayup kami dengar.
“Sudahlah. Kita akhiri saja percakapan konyol seperti ini. Jujur saja, kita ini seperti main film komedi yang tidak laku. Kau tidak perlu mencampuri hidupku, Damien Sang Pahlawan. Hiduplah di kehidupanmu sendiri.” Goldstein melihat jam tangannya “Sial sekali aku belum menghabiskan makan siangku. Sudahlah, aku ada urusan. Jangan campuri apapun lagi. Goodbye.”
Aku mematung. Entah kenapa semua syarafku membeku. Membiarkan si Goldstein itu berlalu meninggalkanku.
Itu tadi memang konyol sekali.
Aku marah hanya karena dia tidak datang dan aku menyadari kebodohanku mempedulikan kehidupan orang lain .
Damien Eastwood, kau ini memang sedang mengalami gangguan. Kaulah pecundang abad ini.
Jun’s:
Sialan sekali si Damien itu!
Dia letak masalahnya! Kepalanya yang bermasalah! Tetapi kenapa aku yang dipermalukan? Ada sekitar duaratus lebih pasang mata menyaksikan si Sialan itu menyeretku dari kantin seolah-olah aku ini anak kucing yang ketahuan mencuri daging wagyu mahal.
Seandainya aku punya kekuatan untuk membalas si Sok Ikut Campur itu…
“SIALAAAAN!!!!”
“Astaga Mr. Goldstein… Kau bisa saja memecahkan pot-pot itu dengan sekali tendangan.”
Aku mengerjap, tampak terpengarah kepada sosok yang baru saja masuk ke green house milik Professor James Scott yang baru setengah jadi. Ini hari keduaku mengunjungi green house ini dan belum ada perubahan hingga kemarin.
Sosok itu tampak tegap sambil membawa beberapa blue print. Aku merasa asing dengannya. Siapa dia? Kok dia mengenalku?
“James memberitahuku akan ada mahasiswanya yang akan membantuku menyelesaikan proyek ini. Aku yakin kau adalah Jun Goldstein, mahasiswa James. Maaf kemarin aku ada seminar. Jadi aku tidak bisa langsung ketemu kau.”
“Anda… Mr. Anderson?” aku menerka. Aku selalu mengira asisten dosen itu pria usia tigapuluhan atau sekitar duapuluh delapan tahun. Tapi Mr. Anderson lebih tepat berumur sekitar duapuluh lima tahun, hanya saja tubuhnya tinggi dan tegap. Perawakannya seperti orang yang menggunakan otak dan wibawa ketimbang otot. Rambutnya pendek kecoklatan dan ditata berdiri. Memakai kacamata bingkai kotak yang justru memperlihatkan bola mata warna hazelnya.
“Iya, aku Samuel Anderson. Panggil aku Sam. Aku ini masih muda loh.” Mr. Anderson tersenyum.
Aku ikut tersenyum, dengan canggung lalu tersadar dengan apa yang baru saja aku lakukan. Saking kesalnya tadi aku menyingkirkan tumpukan pot dengan kakiku. Beberapa terguling beberapa dengan hebatnya –atau saking parahnya kekuatanku—masih berdiri.
“Maaf Sir, aku tidak sadar…”aku merasa bersalah.
“Sam, sudah kukatakan, panggil saja Sam. Kata-kata “Mister, Sir, etc” itu membuatku merasa lebih tua puluhan tahun. Sebenarnya James juga tidak suka embel-embel Professor dan Sir tapi kau tidak bisa mengabaikan wajah tuanya kan? hahahaha” Mr. Anderson, tidak, maksudku Sam tergelak. Tawanya membuatku tertular untuk tertawa juga.
Oke, asisten dosen satu ini menarik. Fisik dan pribadinya.
“Well, tampaknya ini papermu? Coba kita lihat…. Hmmm….” Sam mengamati blueprint ku. Lalu menyerngit lalu bergumam “Ah…” menyerngit lagi lalu tersenyum seperti mendapat jackpot.
“Good, kau memikirkan membangun cadangan energy dari kincir angin padahal kita sudah punya panel matahari. Tapi Jun –ah aku memanggilmu Jun saja ya? Kau masih salah dalam hitungan volume ini.”
Aku mengerjap “Ah eh, maaf Sam. Aku selalu lemah dalam hitungan volume.” Aduh. Malu-maluin calon arsitek tidak pandai menghitung volume.
“Tidak apa, itulah gunanya kesalahan bukan? Untuk dikoreksi.” Sam tersenyum, lalu menepuk bahuku, “Nah, partner. Kita mulai dari sini saja…”
Partner?
Kata-kata itu menyenangkan sekali. Dan lebih menyenangkan –herannya— diucapkan oleh asisten dosen ini yang notabene masih orang asing bagiku. Setiap gesturnya mengisyaratkan aku tidak perlu membuat jarak dengannya.
Dia lebih cocok menjadi seorang Abang daripada seorang asisten dosen.
Well, tampaknya proyek dari Profesor James akan sangat menarik kedepannya.
Procyon says : Segini dulu ya.... Masih berkabut. Emosi belum terkontrol, jadi pas nulis ini sambil dengerin lagu2 nya Lost Prophet biar adem --atau tambah panas?hahahaha---
baca, kritik, saran, review seperti biasa ditunggu )
iya aku baru sadar keseringan pakai demi tuuuuuuuuuuuuuhan malah jadi sesuatu yang big big no saat ini bener deh kata @yuzz salahkan si Arya itu, kata umum kok dilebay-lebay in. saya kan pakenya udah lama hahahahahaha
ntar diganti aja deh kata-katanya ke dalam english biar lebih nggak mainstream....
aku sebenernya masih bingung soal POV itu...maksudnya gimana toh? Aku sebagai pemula memang perlu banyak dihajar hahahaha XD
tadi ke lapak @wessel bentar. save link. disela2 hiatus akan kubaca situ punya cerita nyahahahaha
ngelirik @yuzz
@totalfreak @mr_Kim @Gabriel_Valiant @pyolipops @yuzz @Tsu_no_YanYan @chibipmahu
@leo90 @masdabudd @obay @YuuReichi @Duna @Adhi48 @yubdi @Silverrain @arieat @andhi90 @4ndh0 @Venussalacca @Ricky_stepen @ackbar204 @androfox @Ryuzhaki @brownice @Adam08
@greenbubles @apple_love @AjiSeta
@Bintang96 @Ardhy_4left @Ryuzhaki @sasadara
@Bintang96 @Ardhy_4left @Ryuzhaki @sasadara @gue3 @Zhar12
@arieat. Cakepan mana? Ketampanan kan relatif lalalala hahahaha