It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@arieat itu kan dari sudut pandang Jun
kalo gitu ditulis aja om...jadi review
dilihat dulu, Orlando ngebully anak lain apa nggak atau ben masih kelayapan apa nggak? kalo nganggur mereka bakal sering nongol kok
;;)
apaaa?kurang panjang juga????? #-o
btw, pinter juga ya si Jun, cocok banget jadi tukang kayu.. Eh?
Aku masih tidak yakin tempatku berada ini dimana. Bau cendana dan nutmeg menyeruak di kasur dan selimut yang aku TEMPATI...
..... Aku yg bego atau apa ya? Aku rasa koq agak janggal? Ato emang kaya gini harusnya?
Victoria sedang mengamati mesin mobil Seb.
“Kau ganti aki ya?” tanyanya “aku tidak tahu merk ini. Apa merk baru?”
“Baru dan lebih awet. Tidak gampang panas.” jawab Seb. Aku mendengarkan percakapan mereka sambil membaca majalah.
“Kau tidak beli mobil, Damien?” tanya Victoria setelah berdebat panjang dengan Sebastian soal nitro “tampaknya kau butuh hiburan lain selain Kawaii.”
“Untuk standart Amerika, mobil itu terlalu mainstream.” jawabku santai.
“Apa salahnya sih jadi mengikuti arus? Dasar.” gerutu Sebastian. Aku nyengir saja mendengar gerutuannya.
“Sudahlah kalian.” Victoria menghela nafas seperti seorang Ibu yang mulai malas menganggapi dua anaknya bertengkar. Ia lalu berkutat pada motornya.
Semua tampak tenang. Iya memang tenang. Untuk beberapa hari aku mencoba menyibukkan diri bekerja sampingan menjadi tekhnisi pabrik besar dan hanya kembali untuk kuliah ataupun mengurusi motor. Jika biasanya aku mengerjakan semuanya dengan santai, untuk beberapa hari aku mencoba mengerjakan dengan serius, maksudku selama ini aku serius. Hanya saja tidak pernah kuanggap sebagai prioritas.
Tapi kali ini beda. Aku ingin berkonsentrasi atas semua hal yang bisa menyibukkanku dan melupakanku sejenak atas bocah kecil Jun Goldstein itu. Ben memberitahuku si kecil itu sudah tidak ada di kamar kami bahkan sebelum Ben bangun. Ia hanya tahu tiba-tiba kamar kami menjadi sedikit rapi dan
ada notes dari si kecil itu.
Ucapan terimakasih dan ia meminjam kaos. Akan dikembalikan as soon as possible.
Tapi aku tidak peduli, tidak usah dikembalikan tidak masalah. Membuatku mengingat –ugh— ciuman itu.
Tapi entah kenapa aku juga berharap dia kemari mengembalikannya. Sekedar melihat wajah takut-takutnya.
Sialan kau Damien, dimana otakmu?!!
“Halo everyone, Damien ada?”
Aku mendongak dari majalah yang –tidak benar-benar—kubaca. Ben melongokan kepalanya di pintu bengkel.
“Hei, tumben kau kemari.” ujarku sambil duduk. Ben menghampiri kami.
“Kebetulan saja, Hai Vicky ku yang manis.” lalu Ben bersiul pelan “kau punya barang yang bagus.” ia memandang motor Suzuki Victoria. Victoria hanya melirik sambil tersenyum masam
“Ada perlu apa kemari?” tanyaku. Tidak biasanya dia kemari hanya kebetulan. Biasanya dia kemari jika menyerahkan kunci kamar.
“Yah, sebetulnya aku mau memberimu ini.” Ben menyerahkan kantong kertas “dari sobat kecil kita. Dia tidak bisa menyerahkannya sendiri.”
“Sobat kecil?” tanyaku. Siapa?
Victoria menyerngit sebentar “Jun maksudmu?”
“Iya, kemarin aku ke toilet ketika dia ditemukan beberapa anak terkapar babak belur di dalam toilet. Aku lantas membantu membawanya ke klinik. Menunggunya sampai benar-benar sadar. Hari ini dia mau mengembalikan kausmu. Aku melarangnya, tapi dia memaksakan diri. Ya daripada dia kenapa-kenapa tidak ada salahnya aku membantunya.” jawab Ben dengan nada simpati.
“Babak belur?” aku terperanjat.
“Iya, lebam di wajah dan perut. Memar bagian dalam.” Ben kini mulai serius
“Oh My God…” Victoria bergumam ngeri “Siapa yang…?”
“Entahlah. Anak itu memang sering di bully terutama oleh si Dalton dan teman-temannya. Tapi kita tidak ada bukti. Tidak ada saksi. Lagipula Goldstein tidak mau melaporkan penganiyayaannya.”
“Siapa yang kalian bicarakan?” tanya Sebastian.
“Jun Goldstein. Cowok cantik dari asramamu dulu.” jawab Ben.
“Kalian mengenalnya? Kalian kenal si gaysian itu?” Sebastian memasang wajah heran.
“Teman, kusarankan jangan mengejek anak itu, atau kau kena semprot. Aku sudah mengalaminya.” ujar Ben sambil melirikku. Aku tidak peduli bahwa yang dimaksud Ben adalah aku dan Sam –berhubung Sam tidak ada maka yang dimaksud adalah aku.
“Ceritanya panjang.” jawab Vic sebelum Sebastian bertanya lebih jauh.
Aku terdiam, mencengkeram bungkusan di tanganku.
Aku seharusnya tidak perlu peduli kan? Anak itu memang sial. Dan dia juga sialan sekali. Ingat, aku tidak akan pernah lupa soal ciuman –walau sekilas— itu. Mungkin dia mabuk, tapi aku tetap tidak bisa terima.
Tapi Keparat. Aku juga tidak bisa menerima dia diperlakukan seperti itu.
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Sebastian.
“Tampaknya sih harus tetap di klinik. Selebihnya dia oke. Tadi bahkan dia masih sempat tertawa saat aku mencoba menghiburnya.” Ben lalu merasa menyesal “Oh shit, aku bahkan menganggapnya seperti adik.”
“Ya dia memang pantas menjadi adik kita kan? Dia imut sekali. Hei, bagaimana kalau kita menjenguknya?” Victoria tiba-tiba bertanya padaku. Aku tercengung untuk beberapa saat.
Menjenguknya?
Entahlah, perasaanku sedang aneh saat ini.
“Kalian saja. Aku akan menjenguknya jika dia sudah pulang.” aku beranjak dari tempatku “aku mau cari udara. Kalau ada yang kalian butuhkan denganku, telepon saja.”
Ya, saat ini lebih baik menghindar saja.
Hutan kampus adalah tempat paling menyenangkan. Aku selalu membolos di beberapa mata kuliah untuk sekedar tiduran di rumput sambil memandangi beberapa pohon pinus atau pohon maple. Ah lebih baik aku kesana saja. Sudah lama aku tidak tiduran.
“Kau tahu, cowok pecundang itu memang banci pengecut.”
aku terhenti. Menoleh ke arah tempat duduk di antara gudang dan halaman belakang kampus. Itu tadi adalah suara menyebalkan yang paling kukenal, Orlando Dalton.
Dia berkumpul bersama teman-teman yang menganggap diri mereka kelompok elit kampus. Yang benar saja, dikiranya mereka di dunia mana pakai acara bikin klub kaum elit?
“Sudah kita buat babak belur begitu dia tidak mau mengadukannya ke polisi atau pihak kampus. Saking takutnya, hahahaha.”
“Bagaimana kalau dia mengadu kepada Damien?” salah satu bicara. Hei, tidak sadarkah mereka melibatkan namaku saat aku mendengar mereka membicarakanku? Menarik.
“Kurasa mereka tidak sedekat itu. Damien hanya berada di waktu dan situasi yang kebetulan saja. Dia kan’ hanya memanfaatkan perbuatan kita untuk balas dendam karena Barbara lebih memilihku. Bahkan sekarang aku sudah tidak peduli lagi pada jalang satu itu.”
Yang benar saja… Aku ingin tertawa dengan sikap percaya dirinya. Barbara yang mencampakan dia kan? Tapi ‘jalang’nya sih aku setuju. Dan aku setuju juga sama analisisnya. Aku dan bocah Goldstein itu tidak sedekat Holmes dan Watson.
“Tapi dia kuat sekali, maksudku si Damien Eastwood itu. Sebastian bahkan mengakuinya.”
“Dia hanya beruntung saat itu!” Orlando sedikit membentak “kita teler! Dia sadar. Mudah bagi dia menjatuhkan kita.”
Aku rasa saat itu aku juga agak teler. Lama-lama aku tertawa beneran.
“Lalu kamu mau apa sekarang?”
“Kita ke klinik, untuk antisipasi saja, ancam si Goldstein itu agar tidak berkata macam-macam. Intimidasi seperti itu akan membuatnya ketakutan dan tutup mulut.” Orlando menyeringai.
“Jika dia melawan seperti sebelumnya?”
“Itu hanya gertakan saja, buktinya dia tetap si lemah. Dia akan tutup mulut.”
“Atau kau yang sebenarnya lemah Orlando?” ujarku akhirnya. Aku benar-benar tidak tahan. Dan sudah kuduga, pasukan pembuat onar itu langsung terkejut.
“Kau selalu suka membuat kejutan, Damien.” ujar Orlando.
“Oh ya? Aku bahkan tidak suka memberi kejutan seperti ini.” jawabku tenang.
“Aku tidak akan basa-basi atau mencoba bermulut manis lagi Damien. Jangan campuri semua urusanku. Urus urusanmu sendiri.” desis Orlando.
“Aku bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang. Aku hanya berkomentar, sebelum kau mengatakan Goldstein pengecut, bukannya kau yang seperti itu? Kau ketakutan jika Goldstein menceritakan perbuatanmu dan kau langsung berupaya membungkam mulutnya. Itu pengecut sekali.”
“Lalu kau mau apa? Melindunginya seperti yang sudah-sudah?” cemooh Orlando.
“Daripada disebut melindunginya aku lebih suka dikatakan mengajak berkelahi orang-orang sok kuat. Dan oh ya..mumpung kau masih sadar, kau bisa mengajakku bertarung sekarang.” ujarku.
Orlando nyengir, “Kau ini sungguh mengesalkan.”
“Itu sudah sering kudengar.” jawabku.
Orlando lantas tersenyum senang, lalu menatap teman-temannya “ Ini pertarunganku, kalian lihat saja.”
Dan ia langsung mengeluarkan pisau lipatnya. Mengacungkan dengan senyum kemenangan.
“Astaga maksudku tangan kosong.” aku menggumam kesal, anak ini waras nggak sih?
“Kau takut Damien?”
Takut? Aku sudah mengenal benda semacam itu sejak dulu.
“Baiklah kau dulu—“ belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku dia sudah menerjang, dan aku langsung memegang tangannya. Kami ambruk ke tanah.
“Lihat, kau bahkan main curang” ujarku sambil tetap menjaga posisi agar pisaunya tidak mengenaiku. Dia menekanku sampai aku bisa membaui aroma tanah dan semen.
“Ini bukan pertarungan kolot ala jaman kerajaan Damien. Ada celah kau menang. Tidak ada tetek bengek seperti aba-aba. Kau kira ini lomba apa?”
“Orlando hentikan! Kau bisa membunuhnya,”seseorang dari kelompok itu berusaha melerai kami tapi dihalangi yang lain
“Sudah biarkan saja. Ini pertarungannya. Sekalian membalas untuk malam itu.”
“Tapi kita semua bisa terlibat!”
“DIAMLAH KAU BRENGSEK!” Orlando membentaknya masih sambil berupaya menghunuskan pisau itu. Aku segera menendang perutnya. Ia tersungkur.
Aku segera menendang pisaunya menjauh.
“Hand to hand combat Mr. Dalton” aku segera mengepalkan tanganku dan meninjunya berkali-kali. Orlando sempat membalas dan pukulan itu mengenai pipiku. Tapi sama sekali tidak ngefek.
Aku mengunci tangannya dan segera memberinya tendangan. Lalu beberapa pukulan.
Orlando terkapar, mengerang kesakitan sambil memuntahkan darah.
Aku berhenti memukulinya, kurasa cukup tetapi saat itulah aku merasakan sesuatu.Seseorang berlari ke arahku dan dengan sigap aku berbalik.
Mata pisu itu nyaris mengenai wajahku jika saja tidak kutahan dengan jari-jariku.
Wajah teman Orlando yang sama menyebalkannya itu terbelalak ketakutan ketika aku meggenggam mata pisau dengan telapak tanganku. Darah keluar seketika.
“Sialan kau!” desisku, dan langsung mempelintir tangannya hingga pisaunya lepas. Aku mengambilnya dan menempelkan di lehernya. Kakiku segera menginjak perut Orlando yang berusaha bangkit. Orlando mengerang keras.
Aku merasakan amarahku sampai puncak kepala.
Pandanganku gelap.
“Kalian tahu, aku paling benci cowok lemah seperti Goldstein jadi berhentilah menyangka aku ini penjaganya.” gumamku “tetapi aku lebih membenci orang-orang pengecut yang mengancam orang lain demi keselamatan mereka sendiri. Aku pernah membunuh bajingan dan membunuh beberapa lagi tidak masalah bagiku…”
“Eastwood, lepaskan mereka.. Please kau bisa dipenjara” beberapa teman Orlando yang masih waras mencoba menenangkanku.
Aku terpekur. Sialan. Aku segera tersadar dan memberikan pukulan di tengkuk kepada penyerangku tadi. Ia tersungkur bersama Orlando.
“Jangan ganggu bocah Goldstein itu, atau kalian tahu akibatnya.”
Aku menancapkan pisau Orlando di dahan pohon terdekat. Tidak menghiraukan korban-korbanku barusan yang segera diangkat teman-temannya.
Aku memandang pergelangan tanganku yang sudah bersimpah darah. Kali ini darahku sendiri. Perihnya tidak seperih saat aku menembak orang tidak bersalah.
Aku nyengir, lalu tertawa pelan.
“Sialan sekali. Aku harus ke klinik.”
Jun’s:
Sudah dua hari aku di klinik dan rasanya sudah seperti satu tahun. Masih nyeri di sana sini tetapi aku hanya ingin pulang.
Tidak kusangka banyak yang menjengukku dari kemarin. Senior dan teman-temanku di jurusan, lalu beberapa anak yang turut mengerjakan green house walaupun berbeda jurusan. Lalu beberapa mahasiswa yang berasal dari Jepang yang memberiku bangau kertas –mungkin salah satu bentuk simpati sesama orang Jepang walau aku tidak sepenuhnya Jepang—
Bahkan Ben dua kali menjengukku. Yang pertama dia yang menjagaku hingga aku benar-benar siuman dari pingsan. Dia bilang “Entah kenapa, aku seperti memiliki tanggung jawab moral saat tahu kaulah yang babak belur. Yah aku memang baik hati dan itu kelemahan sekaligus kelebihanku. Jadi kau jangan berpikir macam-macam selain ‘aku baik hati’ saja ya Sobat Kecil.”
Sungguh kata-katanya mengharukan dan menyebalkan di saat yang bersamaan.
Lalu yang kedua, baru saja setengah jam yang lalu ia bersama Victoria. Victoria bahkan membelikanku sup tomat. Aku kagum juga sama cewek ini, perhatian sekali. Ben seharian berusaha menggoda Victoria tetapi Victoria lebih suka dan lebih tertarik menyuapiku (aku sempat protes –kayak anak kecil saja pakai disuapi— tapi Victoria langsung mengeluarkan aura ‘ibu-ibu galak yang tidak bisa dibantah’. Aku menurut saja. Ben menyerah dan akhirnya malah bermain game dengan gadgetnya atau sekedar mengajak ngobrol beberapa perawat muda yang menarik baginya.
Sam tidak datang. Mungkin karena dia tidak tahu atau karena terlalu sibuk menghilang. Damien, kata Victoria, memilih menjenguk saat aku pulang.
Namun hari ini sepi. Hanya tadi beberapa teman sejurusan datang lagi untuk meminjamkan catatan lalu pergi karena ada kuliah.
Aku bosan.
Kuputuskan untuk keluar kamar klinik, yang bisa dibilang rumah sakit kampus ini. Secara sembunyi-sembunyi. Lalu aku berhasil keluar, menuju balkon rumah sakit.
Sudah memasuki akhir musim gugur. Bau anginnya sangat khas. Udaranya pun khas, sangat dingin. Ah sial, seharusnya tadi aku membawa sesuatu untuk menutupi piyama pasien ini.
“Tampaknya kau sudah baik-baik saja.”
Damien, dan ia sudah duduk dengan santai di kursi balkon “kau bahkan sudah bisa jalan-jalan.”
Aku panik, ngapain dia di sini? AKu celingukan, takut ada perawat klinik yang memergoki kami.
“Kau… Kenapa kau disini?” desisku ketika aku merasa sudah aman dari jangkauan pihak-pihak terkait. Damien nyengir, menunjukan telapak tangannya yang dibebat perban tebal.
“I’ve got a bad injury.” Ia lantas memperhatikan telapak tangannya dengan bangga “Sudah lama aku tidak mendapat luka. Luka berantem”
Memangnya dia terluka berapa kali sih? Kalau sifatnya seperti itu tidak mengherankan dia banyak musuh.
“Bagaimana lukamu?” tanyanya kemudian.
“Aku baik-baik saja, hanya saja orang-orang di sini terlalu mengkhawatirkanku.”
“Tidak heran.” Damien mengangkat bahunya acuh tak acuh.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Mereka menganggapmu lemah dan rapuh, seperti porselen. Makanya ketika kau dipukuli seperti itu mereka khawatir kau jadi berkeping-keping. Tidak akan ada yang berlaku berlebihan jika kau memiliki fisik yang terlihat kuat.” ujarnya sambil menatap pepohonan. Angin menerpa wajahnya dan rambutnya berkibar.
“Aku tidak tahu harus merasa tersindir atau merasa masih ada yang menghargaiku karena kata-katamu.”
Damien tertawa, ia menyipitkan matanya karena sinar matahari senja.
“Kau selalu bilang kau lah orang paling sengsara di muka bumi ini. Ibumu menyiksamu, kau dilecehkan, ditinggalkan orang-orang tercinta” ujar Damien, wajahnya serius dan mulai menatapku lagi “kau drama sekali.”
Aku menyerngit heran sekaligus terkejut “kapan aku mengatakannya?”
Damien terdiam beberapa saat, lalu mulai bersuara lagi “kau tidak ingat?”
“Sama sekali. Bagaimana kau bisa tahu akan hal itu?”
Damien masih memasang wajah tidak percaya “kau benar-benar tidak ingat apa yang kau katakan dan apa yang kau lakukan malam ketika kau mabuk.”
“Mabuk?” aku berpikir keras “aku ingat mabuknya. Tapi aku tidak ingat apa yang sudah kukatakan maupun kulakukan.”
Damien terdiam, dia lantas tertawa getir, lalu tertawa keras. Aku takut atas reaksinya.
“Damien, kau baik-baik saja?” tanyaku cemas.
“Kau sungguh bajingan Jun.” ujarnya datar.
“Aku minta maaf tapi aku sama sekali tidak tahu arah pembicaraanmu.” aku tersinggung juga sih dikatai ‘Bajingan’ tanpa sebab seperti itu.
Damien bangkit, lalu ia menepuk kepalaku “sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Aku harus kembali. Berbeda denganmu, aku malah disuruh pulang sama orang-orang klinik. Mereka berpikir luka sayatan tidak akan membunuhku. Padahal aku pendarahan. Bye, Goldstein.”
Aku merasakan tangannya menyentuh rambutku, berat tetapi menyenangkan.
Tiba-tiba aku jadi terpikir sesuatu.
“Kau mau mengajakku keluar? Aku bosan di sini.”
Damien berbalik, tampak sedikit tercengang dengan kalimatku.
“Please, tidak lama. Disini bisa membunuhku karena bosan.”
Damien menghela nafas, tersenyum masam.
“Baiklah, tapi jangan sampai aku dituntut pihak klinik karena membawamu lari.”
Aku tersenyum senang. Senang setidaknya aku tidak akan merasakan penderitaan karena bosan seharian. Bukan senang karena hal lainnya.
Hal lainnya yang tidak ingin aku ketahui artinya.
Procyon says: masih belum panjang juga???? mau ane tebas hah???
@leo90 @masdabudd @obay @YuuReichi @Duna @Adhi48 @yubdi @Silverrain @arieat @andhi90 @4ndh0 @Venussalacca @Ricky_stepen @ackbar204 @androfox @Ryuzhaki @brownice @Adam08
@greenbubles @apple_love @AjiSeta
@Bintang96 @Ardhy_4left @Ryuzhaki @sasadara @gue3 @Zhar12 @ardi_cukup @Chachan @FendyAdjie_ @rezadrians @hades3004
#2
om @procyon , KURANG!!
#larisebelumditebasTeeS
#3