It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Great story. Well made plot. Wonderful language, outstanding description and the flow of conversation? Pas banget. Nampol gan! Hehe
Keep up the good work Mas Abi
February 28 2011…
“Happy Birthday!!!!”
Lima belas orang yang gue kumpulin di vila yang gue sewa buat malam ini, khusus buat Lukas, serempak neriakin kata itu pas Lukas masuk. It’s a surprise birthday party for him. Gue tahu, Lukas pasti nggak nyangka bakal ada orang yang nyiapin surprise party buat dia. But, next year, he probably won’t be in Bali. Jadi, nggak ada salahnya kan tahun ini gue bikinin party macam gini?
Lukas jelas kaget. Gue bisa liat itu dari wajahnya. Tapi, gue juga tahu, dia pasti seneng ada yang ngasih dia kejutan seperti ini.
“Wow!!! What is this?”
Kami gantian ngucapin Happy Birthday ke dia. Sial! Gue yang ngerencanain ini malah dapat sisa. I mean, semua orang itu pakai acara cipika-cipiki, pelukan dan gue dapat yang terakhir? Yeah, right!
“Happy Birthday, Lukas,” ucap gue sambil nggak lupa cipika-cipiki juga sekalipun udah bekas orang sebelum Lukas meluk gue. Somehow, gue selalu ngerasa deg-degan tiap kali dia meluk gue. Mungkin karena gue ada rasa sama dia? Could be.
“Jangan bilang kamu yang merencanakan ini, Rena?”
Gue cuman bisa senyum. Gue memang udah ngerencanain ini dari sejak awal bulan, bahkan, agenda utama gue bulan ini adalah bikin surprise party buat Lukas. Sampai saat ini, gue masih belum tahu gimana perasaan Lukas ke gue dan surprise party ini, adalah cara gue buat bilang kalau gue sayang sama dia. Semoga aja dia sadar dan semoga aja ini nggak sia-sia.
“Hope you like it.”
“Thanks, Rena.”
Meski cuman dapet ucapan thanks sama megawatt smile dari Lukas, buat gue udah cukup. Paling nggak buat DETIK ini. Munafik banget kalau gue bilang gue nggak pengen lebih dari sekedar itu. Tapi, gue nggak mau ngerusak apapun yang udah gue punya sama Lukas sekarang. The right time will come.
“Lukas, I have no present for you but my voice, so, I’m gonna sing a song for you, maybe two, as your birthday present. I hope it will make you happier on your birthday.”
Gue cuman bisa tepuk tangan denger ucapan Satya dan segera duduk di kursi yang ada di dekat gue. Gue liat, Lukas cuman senyum tapi tetep berdiri dengan tubuh jangkungnya itu. Gue heran, dulu bokap nyokapnya ngidam apa sampai punya anak setinggi itu? Dari foto-foto anggota keluarganya yang lain, gue tahu kalau Kakak Lukas juga punya badan yang tinggi kayak dia. Udah gen kali ya?
Sejak dari orphanage visit awal bulan ini, gue memang lumayan sering keluar sama Lukas dan juga Satya. Kadang bertiga, kadang juga gue absen, jadi, cuman Satya sama Lukas doang. Tapi, nggak pernah gue sama Satya doang. Gue juga udah gatel sebenernya pengen ngomong ke Satya tentang apa yang gue rasain ke Lukas. This is just not me. Gue paling nggak suka nahan-nahan perasaan kayak gini. Apalagi sama Satya. Nah, gue juga yakin, Satya pasti lagi deket sama seseorang, cuman dia belum sempet ngasih tahu gue. Dan gue juga sebel sebenernya dia belum cerita apa-apa. Ok, rasa-rasanya, gue memang harus punya sesi curhat sama Satya dalam waktu dekat.
Gue nggak tahu Satya nyanyi apa. Or, mungkin gue tahu tapi gue nggak perhatiin lagunya. Fokus gue ke Lukas and Lukas only. Coba waktu di orphanage itu gue nggak diajak keluar sama Ida, pasti gue bisa tidur disamping Lukas. I mean, sekalipun bareng sama yang lain, that would be something. A real thing.
Rambut Lukas baru dipotong cepak dan megawatt smile yang rasa-rasanya belum lepas dari Lukas sejak dia dateng tadi, bakal bisa bikin gue betah perhatiin Lukas seharian. Crap! Kenapa gue jadi cewek melodramatis gini?
Gue berusaha merhatiin Satya dan nikmatin performance dia. Tapi, tetep aja, Lukas disamping gue! Susah buat gue konsentrasi ke hal lain but him. Rasanya, magnet gue udah nggak mempan buat ditarik sama cowok lain. It only works on Lukas. Daaaammmmnn! Apa sih yang baru gue pikirin?
Gue ikut tepuk tangan pas Satya kelar nyanyi. And as usual, satu lagu sepertinya nggak cukup buat Lukas dan yang lain. So, while Satya is busy thinking about what song he would like to sing next, gue nyelinap ke dapur buat nyiapin kue ultah Lukas.
Kue ini juga gue order langsung dari hotel, gue minta yang spesial dan agak besaran. Ini pertama kalinya gue order cake dari hotel. Biasanya, gue beli jadi di Bali Deli. Kenapa gue pesen langsung? Well, should I really tell you the reason why?
Ini ulang tahun Lukas yang ke-27 dan gue udah nyiapin dua puluh tujuh lilin kecil yang rasa-rasanya, masang lilin-lilin ini diatas cake jadi sesuatu yang susahnya minta ampun. Pikiran gue udah kemana-mana soalnya, nggak fokus ke cake dan lilinnya lagi.
Gue denger Satya nyanyi A Song For A Friend milik Jason Mraz sementara gue nyalain lilin satu-satu. Sementara nunggu Satya kelar, gue diam di dapur dan senyum-senyum sendiri. Gue bukan nggak pernah jatuh cinta, tapi, baru kali ini, gue jadi kayak gini. Nggak bermaksud sombong, tapi gue memang biasanya yang dikejar. Kali ini, sekalipun gue nggak frontal banget ngejar Lukas, tapi, gue sadar kalau gue jadi orang lain saat ini. Not my usual self.
Begitu gue denger tepuk tangan, yang berarti Satya udah kelar nyanyi, gue keluar dari dapur dengan ngebawa cake dan dua puluh tujuh lilin sambil nyanyi Happy Birthday. Gue liat Satya mainin gitarnya lagi sampai gue sampai di depan Lukas, yang lagi-lagi, keliatan kaget dengan semua ini. Well, that’s what I hoped to see.
“Rena…”
Gue cuman bisa senyum sekalipun cuman denger Lukas nyebut nama gue. But his expression when he said that….priceless!
“Make a wish, Lukas and blow the candles.”
Lukas closed his eyes and make a wish -yang gue pengen banget tahu apa yang dia pengen, so, in case I can make it come true, I will make it come true for him- sementara yang lain cuman ngeliatin. When he opened his eyes, Lukas mandang gue and gave me that megawatt smile again.
“Thank you, Rena,” bisik Lukas.
Ruangan ini langsung rame sama tepuk tangan pas Lukas udah kelar niup semua lilin.
“Lukas, who will get the first cake?”
“Oh, I don’t have to think about that,” ucap Lukas santai sambil motong Chocolate Strawberry Cake-nya buat potongan pertama.
Ketika udah berhasil motong, Lukas nyodorin kue itu ke gue.
“For Rena, thank you so much for preparing this surprise party for me and for being such a great great friend since I moved to Bali. Thank you so much!”
Gue bisa denger tepuk tangan lagi pas gue nerima potongan cake dari Lukas sambil nyium pipi gue. Gue ngerasa jadi wanita paling bahagia sedunia and I let the world know with my big smile.
Orang-orang mungkin mikir gue senyum sebagai bagian dari ulang tahun Lukas. Padahal, gue senyum karena Lukas kissed me on the cheek. Buat sesuatu yang gue lakuin, bukan sekedar kecupan kalau gue sama dia abis keluar dan musti pulang. I want more, to be honest.
Nggak perlu lama-lama sebelum kue itu jadi rebutan dan Lukas, yang nggak terlalu suka cake, cuman makan beberapa suap doang. Gue liat, Satya yang memang suka sama cake, berasa nemu surga.
“This cake is heaven!”
“Gue tahu lo pasti suka,” ucap gue ke Satya pas dia duduk disamping gue.
“Lukas looks so happy, Rena. Dia pasti inget terus ulang tahun dia ini.”
Gue cuman bisa nahan senyum denger ucapan Satya. He should be. Gue nggak masalahin nominal yang gue keluarin. Buat gue, Lukas seneng dan gue bisa jadi orang yang bikin dia nggak bakal lupa sama ulang tahunnya di Bali, adalah tujuan utama gue. I learned, that making a man happy on his birthday, is one of the keys to win his heart.
“Kapan nih kita punya sesi curhat? Ada banyak banget yang pengen gue omongin ke lo.”
Satya, masih sibuk dengan cake yang dikunyahnya, cuman ngangguk doang.
“Kapan aja sih kalau aku. Kan kamunya yang sibuk dan jarang bisa,” ucap Satya pas cake di mulutnya udah abis.
“Iya deh, ntar gue nyari waktu supaya kita bisa ngobrol dari A-Z. Belakangan, gue memang sibuk di hotel. Gara-gara mau ada GM baru nih.”
“Aku sama Lukas, pengen banget kemah di Nyang-Nyang. Kamu mau ikut?”
Gue mandang Satya kayak dia tahu gue bakal tertarik sama idenya itu. Satya cuman ketawa dan gue paling sebel kalau udah liat dia ngelibatin Lukas dalam aktivitas yang jelas-jelas gue nggak bisa atau nggak mau ikut.
“Lo kenapa sih pengen kemah di pantai antah berantah kayak gitu? Mana tangganya bikin eneg lagi. Kalau ke Sekumpul aja gue males, bukan berarti gue oke ya ke Nyang-Nyang.”
Gue memang paling males kalau pergi ke tempat yang banyak tangganya. Turun mungkin gue masih oke, tapi, kan nggak mungkin gue naik pakai elevator? Betis gue pasti protes kalau gue ajak ke tempat-tempat dengan tangga ratusan macam Nyang-Nyang. Jadi, gue pasti bakal skip.
“Kan sepi tempatnya, Rena. Ada berapa banyak pantai yang nggak banyak orangnya di Bali?”
“Mau kemah kapan?”
“Lusa. Lukas dapet masuk pagi dan besoknya di libur katanya, jadi ya bisanya hari itu.”
“Lo kemah hari Rabu ya jelas gue nggak bisa lah. Ajakan lo nggak banget deh.”
Satya ketawa lagi denger protes dari gue. Siapa pula yang mau kemah tengah minggu kalau bukan orang-orang tanpa kerja kantoran kayak gue? Wait…
“Lo kemah sama Lukas doang?”
Entah kenapa, pikiran bahwa Lukas bakal kemah sama Satya bikin gue jadi punya pikiran yang nggak-nggak. I mean, Satya is gay and Lukas is an attractive guy. Bukan nuduh Satya bakal macam-macam sama Lukas, but who knows right?
Satya ngeliatin gue kayak pertanyaan gue itu punya arti yang lebih dari sekedar pengen tahu. Gue memang nggak sekedar pengen tahu.
“Nggak lah. Ada beberapa traveler yang mau ikut juga. Sekarang sih masih berlima, tapi kayaknya bakal nambah. Ketahuan, kamu pasti nggak pernah ngecek postingan di grup ya? Kenapa? Kamu khawatir Lukas bakal kenapa-kenapa?”
Gue paling nggak suka kalau orang bisa nebak apa yang gue pikirin. Dan parahnya, Satya ini kadang memang bisa baca pikiran gue dengan tepat. Kayak sekarang ini.
“Ya, kan siapa tahu.”
Lukas, tiba-tiba muncul entah dari mana diantara kami ketika Satya mau bilang sesuatu. “Kalian asyik banget ngobrolnya. Yang ulang tahun dilupain.”
Satya tersenyum. “We just talked about our camping the day after tomorrow.”
Lukas ngeliatin gue dan dari ekspresinya, gue tahu dia pasti pengen gue ikut tapi dia tahu gue nggak bisa.
“Too bad you can’t join us, Rena.”
Gue cuman ngangguk. “I don’t like stairs anyway.”
Lukas dan Satya ketawa.
Satu-satu, tamu yang gue undang buat datang kesini mulai pulang. Mungkin, karena udah lumayan larut dan besok pada kerja, maka, tinggal gue, Lukas dan Satya yang tinggal dan beres-beres sedikit biar nggak terlalu keliatan berantakannya.
Satya pamit pulang begitu liat kalau udah nggak ada apa-apa lagi yang perlu diberesin.
“Aku pulang dulu ya Ren? Ngantuk banget nih. Dan kenyang!” ucap Satya sambil ngeberesin gitarnya dan masukin instrumen itu ke tasnya.
“Lo kan kalau udah puas ngabisin cake pasti balik.”
Satya cuman nyengir.
“Kita harus ketemu deket-deket ini, Rena. A must!”
“Iya, iya. Ntar gue kasih tahu kapan gue lowong. Udah buruan gih sana pulang. Huss! Huss!”
Satya cuman diam dan mandang gue aneh. “Lukas jangan diapa-apain ya?”
Gue cuma julurin lidah gue, tahu Satya cuman bercanda sama ucapannya. Untung Lukas lagi ke toilet jadi nggak perlu jelasin ke dia gue sama Satya barusan ngobrolin apa.
“Satya, are you going home?”
Satya ngangguk. “It’s getting late and I’m full from all the cakes,” jawab Satya. “Once again, Happy Birthday Lukas. Happy getting older.”
Gue sama Lukas ketawa dan mereka pelukan, sesuatu yang buat gue, nggak punya arti apa-apa. Kumpul sama traveler dari berbagai negara, bikin gue tahu kalau dua cowok pelukan itu nggak berarti mereka ada apa-apa. It’s like brotherhood.
“Ati-ati di jalan,” ucap gue sambil cipika-cipiki sama Satya sebelum dia beranjak dari hadapan gue sama Satya.
Begitu vila sepi dan gue yakin Satya udah jauh, gue sama Lukas saling padang-pandangan.
Lukas tersenyum. “Now what?”
“Lo mau duduk di teras?”
“Why not?”
And that’s what we did.
Gue sama Lukas duduk di teras, mandang langit Februari yang cerah banget malam ini plus dua botol kecil Heineken. Gue agak kaget karena Lukas termasuk bukan jenis cowok, yang meskipun nggak doyan daging, tapi masih suka minum. I mean, bukan berarti dia mabuk atau minum tiap hari juga. Tapi, itu berarti dia juga nggak healthy freak kayak kebanyakan orang yang nggak doyan daging.
“This must be one of the best birthday party ever, Rena. Thank you so much.”
Gue cuman bisa senyum. This could be the moment. This could be….
“Gue seneng kalau lo seneng, Lukas. Lo harus seneng sih karena ini ulang tahun lo.”
“Now, I know how hard it will be to leave Bali.”
Gue paling nggak suka kalau Lukas udah nyinggung masalah ini. I mean, gue tahu dia bakal balik ke Jerman, tapi itu kan masih Juni. Masih empat bulan lagi. Nggak perlu disinggung terus.
“Will you miss…us?”
Gu nggak bisa ngomong “will you miss me” karena gue nggak mau Lukas punya asumsi kalau cuman gue temennya di Bali yang bakal dia kangenin.
“Pasti! That’s why I said, it will be hard for me to leave Bali. So many good friends here and you, Rena. You’ve helped me a lot.”
The moment when he looked at me and just gave me a slight smile, I swore I could do stupid things. This moment, I realized that this man, has taken my breath away. I’m in love with him!
Gue cuman bisa nelen ludah, nggak tahu musti ngapain. Gue sama Lukas udah sering pergi berdua, ngobrol berdua, tapi kali ini, rasanya beda. Just different. Jantung gue rasanya mau copot. This could be the moment I’ve been dreaming of.
Entah apa yang ngerasukin gue, sampai akhirnya gue ngulurin lengan gue dan ngebiarin jari gue ended up on his lips. Dengan lembut, gue bersihin sisa cake yang sepertinya masih nempel disana. But it’s not that. The intimacy. Rasanya, belum pernah gue seintim ini sama cowok manapun, for just doing this. Letting my fingers touched his lips….Oh my God!
Lukas juga cuman diam. Kami saling tatapan dan tubuh gue tiba-tiba udah makin deket aja sama tubuh Lukas. But, when I drew my face closer, Lukas held my hand and shook his head.
“I can’t do this to you, Rena.”
Tatapan gue ke Lukas sekarang berubah jadi tatapan nggak ngerti maksud perkataannya. Our bodies were still close, our sights were still locked, but, there’s something else in the way he looked at me. Dan cara Lukas megang tangan gue. Something….felt not right, even though I wanted it to be extremely right. Even though the moment WAS right.
“Kenapa?”
Gue liat Lukas setengah yakin. Kayak ada yang pengen dia bilang tapi masih nggak yakin. Apa Lukas udah punya cewek? Dan dia pengen ngasih tahu gue sekarang pas gue ngerasa we had our moments? Lukas masih belum bilang apa-apa, so, my mind is tricking me at the moment.
“My heart is set on someone else.”
Gue cuman bisa nelen ludah sebelum gue narik lengan gue dari Lukas.
Pengen banget gue bilang “I’m sorry” tapi, gue sama sekali nggak nyesel udah ngelakuin apa yang tadi gue lakuin. Gue cuman…masih belum siap buat denger apapun yang pengen Lukas bilang. I know, he’ll say something.
“I think, it’s the right time to let you know, Rena.”
Gue masih diem. Nggak tahu musti ngapain. Munafik juga kalau gue bilang nggak kecewa. But, I have to hear what is he going to say next. Paling nggak, kalau gue tahu siapa cewek yang berhasil dapetinn hati Lukas, gue bisa agak tenangan dikit. I could be wrong, though. Bisa aja gue malah makin getol buat dapetin Lukas. Love is blind and all in love is fair.
“Who is she?”
Gue sama Lukas saling pandang. Lukas, masih keliatan antara yakin dan nggak buat ngasih tahu gue, yang justru, makin bikin gue penasaran. Just tell me who that bitch is, Lukas!
Lukas ngalihin pandangannya dari gue sebelum balik lagi natap gue. “It’s…Satya, Rena. It’s not a she and will never be.”
Fuck you, Lukas!
Kalimat pertama yang terlintas di pikiran gue begitu Lukas nyebut nama Satya.
Umpatan dalam hati gue itu jelas nggak akan ngaruh apa-apa. Gue masih berharap, kalau gue salah denger. Gue masih berharap, kalau Lukas nggak serius sama apa yang baru dia bilang. But, judging from his expression, there’s no way he’s kidding about what he just said. Satya? Kalau Lukas bilang dia gay, I would STILL be fine. But, he just said he’s gay and in love with my best friend? That’s unacceptable! That’s really really unacceptable! Gue nggak terima. This is absurd!
“Thanks for being honest with me, Lukas.”
But, instead of showing my disagreement, I became a hypocrite by saying those words. Pikiran gue nggak bisa nemuin kalimat yang pas buat ngungkapin apa yang gue rasain. There’s a rage inside me. Lukas is in love with Satya! That must be the most ridiculous thing I’ve ever had! I can’t believe this!
“I’m sorry.”
Gue ngalihin perhatian gue dari Lukas ke arah kolam renang, yang lampunya masih nyala atas permintaan gue, jaga-jaga kalau anak-anak pada mau renang. But, nobody got in the water. Now, I wish that water in the pool would drown me in.
Bayangan Satya muncul di pikiran gue dan sekarang, gue tahu dengan jelas, apa yang coba gue cari pas liat Satya dan Lukas di Balangan waktu itu. At that time, I thought, MAYBE Lukas is gay and he COULD BE attracted to Satya. It was JUST A THOUGHT! Tapi, seiring dengan seringnya gue keluar sama Satya dan Lukas, gue bilang ke diri gue sendiri, kalau itu nggak mungkin. They’re friends, nothing more than that. Dan jelas, gue sama sekali nggak berharap kalau pikiran atau feeling gue itu jadi kenyataan.
Fuck you both!
Ternyata, gue salah besar. Gue mustinya percaya dan nggak pernah lepas dari feeling gue waktu itu.
“Kamu pasti kaget, I can’t blame you. Satya is your best friend. Tapi, ada sesuatu dalam diri Satya yang nggak bisa aku tolak, Rena. It just happened like that. I can’t help myself. I guess, love always comes uninvited, right? In the most unbelievable situation. Meskipun aku belum tahu apakah Satya sama denganku atau nggak. You know what I mean, right?”
Lo nggak perlu jelasin ke gue tentang cinta, Lukas. I know it better than you. Dada gue masih naik turun, entah karena gue marah atau karena gue masih shock atau karena simply gue nggak mau nerima fakta yang baru gue denger.
Gue ngerti apa yang lo maksud, Lukas. Gue ngerti banget. He is gay, Lukas. I hope you know that.
But…
The moment pas gue ngeliat Lukas lagi, sesuatu dalam diri gue berontak. Tiba-tiba aja, gue tahu musti bilang apa ke Lukas. Fuck everybody! Fuck Satya!
“Find another man, Lukas, before that feeling for Satya is getting deeper.”
Lukas cuman bisa natap gue dan diem, seolah dia nggak nyangka bakal denger gue bilang kayak gitu. Well, sorry to say, Lukas, that’s not what you’re going to hear.
“Apakah Satya sudah punya pacar?”
Gue gelengin kepala gue. “He’s not gay, Lukas, if that’s answered your question. I just don’t want you to be broken hearted by knowing it from someone else. I know Satya for years.”
There you have it!
I decided to be the queen of the bitch by telling the biggest lie in my life to Lukas. Let Lukas find another man and I’ll be so damn happy knowing that man is not Satya. Call me with whatever names you want, but, I made my decision.
Kalau memang gue nggak bisa dapetin Lukas, then Satya juga nggak boleh. Egois? Then be it! I don’t give a shit of what Lukas is feeling. Dia nggak boleh tahu kalau Satya itu juga cowok kayak dia. Gue nggak bakal rela ngeliat mereka berdua jadian. Like, never!
“Oh.”
Cuman itu yang keluar dari Lukas dan gue juga cuman bisa nelen ludah.
“I’m sorry I have to tell you that, Lukas.”
Lukas cuman gelengin kepalanya. “You did the right thing, Rena. Even though I’m not sure how to handle this right now.”
Gue ngulurin lengan gue dan ngeremas tangan Lukas. “I’m here.”
Lukas ngedarin pandangannya ke kolam renang dan kalau bisa, gue pengen banget tahu apa yang dia pikirin. Tapi, gue tahu, saat ini, gue nggak boleh ceroboh. Lukas probably is in shock and I just want him to know that I’m still here.
Gue kemudian liat Lukas mandang gue dan ngasih his megawatt smile. “Thank you Rena. Thank you so much.”
Gue cuman bisa ngangguk.
March 2011…
“Eh, lo ngajak gue ketemuan, trus gue udah disini, didiemin aja gitu?”
Aku hanya memberikannya senyum tipisku, melihat Rena, yang sepertinya terlihat kesal aku mendiamkannya. Namun, aku tidak ingin Rena bisa menebak untuk apa aku mengajaknya bertemu malam ini.
“Lagi nyusun kalimat.”
Rena menyeruput orange juicenya sementara aku, masih membiarkan kepulan dari Earl Grey Tea di hadapanku menguap. Sejak pesta ulang tahun Lukas dua minggu lalu, aku memang sama sekali belum bertemu dengan Rena, sekalipun bisa dibilang, kami cukup sering berkomunikasi melalui Yahoo Messenger. Tapi, ada terlalu banyak hal yang tidak bisa dibahas di YM dan akhirnya, kami janji untuk bertemu di Bali Deli. Her favorite place to meet.
“Mau cerita apa sih? Sampai nggak mau cerita di YM.”
Mengenal Rena, aku menangkap kalau janji temu kami ini, membuatnya sedikit terganggu. Aku tidak tahu apa yang membuatnya jadi seperti ini. Obrolan kami di YM pun terkesan hambar. Rena hanya menanggapi cerita-ceritaku dengan balasan-balasan singkat. Intinya, aku ingin tahu kenapa dia seperti itu.
“Kamu kenapa? Something is bothering you, that’s for sure. Kayaknya jadi males-malesan gitu ngobrol sama aku di YM.”
Rena menghela napasnya pelan sebelum kembali menatapku. “Lo beneran mau tahu kenapa?”
Aku mengangguk.
“Karena belakangan ini, lo juga main petak umpet ama gue. Berkali-kali gue nanya lo lagi deket sama siapa, lo nggak pernah mau jawab. Gue harap, lo ngajak gue ketemuan ini buat ngasih tahu gue lo lagi deket sama siapa.”
Aku menghela napas lega, sekaligus berusaha untuk menahan tawaku, mengetahui bahwa alasan Rena bersikap seperti itu di YM hanyalah karena aku belum memberitahunya tentang siapa yang belakangan mengacaukan hatiku.
Is that it?
Setelah mengucapkan kalimat itu, Rena terlihat kembali seperti Rena yang aku kenal. Well played, Rena! Aku sempat berpikir aku melakukan sesuatu yang membuatnya kesal, ternyata…
“Yakin cuma karena itu?”
Rena memutar bola matanya. Aku tertawa melihatnya melakukannya, karena itu berarti, Rena memang benar-benar ingin tahu.
“So?”
Aku menyeruput tehku, menghabiskannya dalam satu seruputan. Mungkin, ini akan mengejutkannya. Mungkin juga dia akan membantuku untuk mencari tahu lebih banyak tentang Lukas. Mereka kerja di hotel yang sama, kos mereka dekat. Dia punya banyak akses ke Lukas. Masuk akal kan kalau aku minta sedikit bantuan darinya?
“I have a crush on…Lukas.”
Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku, karena akhirnya, Rena mengetahui tentang perasaanku terhadap Lukas, yang selama ini aku sembunyikan. Lega rasanya. Sejak insiden di pinggir jalan, sepulang dari Orphanage Visist bulan lalu itu, semakin sulit untuk menahan perasaanku terhadap Lukas. Bayangan akan tubuh tingginya serta lengannya yang mencoba menghangatkanku, selalu membuatku tersenyum. Aku pun sebenarnya tidak sabar untuk menceritakan semuanya ke Rena, namun, aku ingin bertemu dengannya, untuk melihat reaksinya. Now, I see her reaction.
Wajah Rena terlihat datar hingga akhirnya, membuat senyum hilang dari wajahku.
“Kamu nggak kaget?”
Rena menghela napasnya. “Gue udah ngira aja lo bakalan bilang kalau cowok itu si Lukas.”
Kali ini, aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. “Berarti, nggak surprise buat kamu apa yang baru aku bilang.”
“Just a bit. Gue kenal lo udah tahunan, Satya. Lo keliatan banget kalau lagi jatuh cinta atau lagi punya rasa sama cowok lain. Dan kenapa gue nggak kaget? Karena gue nggak liat lo lagi deket sama cowok manapun selain dia. Kalau cowok itu bukan Lukas, gue yakin lo pasti udah cerita di YM. Lo itu, kadang gampang ditebak.”
Aku menghela napas. “Aku nggak tahu Lukas itu kayak apa. Kamu tahu maksudku kan? Jadi, so far, ini masih suka sepihak aja. I wish you could help me.”
Rena menggelengkan kepalanya. “Bantuan macam apa yang bisa gue kasih ke lo? Gue kasih tahu sekarang ya Sat, daripada lo makin suka sama Lukas. He has a girlfriend in Germany. Mungkin nggak banyak yang tahu karena memang Lukas nggak suka ngomongin hal-hal pribadi. Gue tahunya juga nggak sengaja sampai akhirnya dia cerita. Kayaknya, ceweknya bakal ke Bali buat sebulanan sebelum Lukas balik ke Jerman.”
Aku ragu sesaat, masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Mungkin, setelah mengatakan ini, aku bisa mendengar sesuatu yang berbeda darinya.
“But, he hugged me, Rena.”
Kali ini, Rena membelalakkan matanya. “So? Kayaknya kalau Lukas meluk lo itu nggak berarti dia ada rasa sama lo juga deh Sat. Kita sama-sama tahu kalau di komunitas kita, pelukan itu bukan something special. It’s not a big deal.”
“Tapi yang ini beda,” protesku, masih berusaha untuk meyakinkan Rena tentang pelukan yang Lukas berikan kepadaku.
“Bedanya dimana? Coba deh lo cerita yang lengkap.”
Jadi, aku pun menceritakan kejadian sepulang dari panti asuhan waktu itu.
“He’s just trying to be nice, Satya. Lo tahu, Lukas orangnya care sama lo, sama gue, sama yang lain juga. Kalaupun yang ada disana itu bukan lo, gue yakin Lukas juga bakal ngelakuin hal yang sama. Let’s not make a big deal of it, okay?”
Aku melihat Rena mulai terlihat tidak nyaman dengan obrolan ini, hingga kemudian, aku hanya menelan ludahku dan mengedikkan bahuku.
“Mungkin kamu benar.”
“Satya, lo tahu, kalau gue pasti bantuin lo dapetin cowok manapun yang bisa bikin lo bahagia, kalau gue bisa. Tapi, kali ini, gue nggak bisa bantu apa-apa. The fact is, Lukas is straight. You have to deal with it.”
Aku menelan ludahku, sementara mataku tidak lepas menatap Rena, berusaha untuk memahami setiap kalimat yang meluncur dari mulut Rena dan mencernanya. Aku akan jadi orang yang sangat munafik jika tidak mengharapkan Lukas adalah pria sepertiku. Namun, apa yang baru aku dengar, tentu saja mematahkan harapanku. Parahnya lagi, aku berusaha mengingkari fakta bahwa Rena, hanya memberitahuku sesuatu yang dia tahu, akan membuatku kecewa jika dia menyimpan fakta itu lebih lama. Dia benar. Mungkin, pelukan itu hanya sebuah pelukan yang tidak punya arti apapun.
“Kamu nggak jatuh cinta juga sama Lukas kan?”
Entah kenapa, tiba-tiba, pertanyaan itu meluncur dariku. Melihat bahwa Rena begitu peduli dengan Lukas, sampai menyiapkan surprise party di hari ulang tahunnya dan terlihat begitu bersemangat memberitahuku tentang Lukas, aku tidak bisa menyingkirkan kemungkinan itu dari pikiranku. Sekalipun, masih segar kata-kata Rena tentang pacar Lukas. Tapi, jatuh cinta dengan seseorang yang sudah memiliki pasangan itu juga tidak bisa disalahkan kan?
Rena menatapku seperti aku baru saja memaksanya untuk menuruni tangga di Sekumpul. Ada tatapan terkejut di wajahnya, sebelum dia menggelengkan kepalanya. Seolah pertanyaanku itu terdengar sangat konyol.
“Satya, lo kenal kan cowok-cowok gue sebelumnya? Lukas masuk ke cowok-cowok tipe gue nggak? Pertanyaan lo ngaconya nggak ketulungan. Pinteran dikit kenapa?”
Lukas memang bukan tipe pria yang biasanya menjadi pacar Rena. Lukas terlalu…muda untuk ukuran Rena, sekalipun umur Rena hanya setahun di bawah Lukas. Rena, lebih suka pria berumur 30an, yang sudah matang dalam banyak hal. Tapi, yang namanya jatuh cinta, siapapun tidak bisa menolak kan?
Akupun akhirnya bisa tersenyum, sekalipun apa yang baru aku dengar dari Rena, masih belum sepenuhnya merasukiku. Rena jelas tidak mungkin jatuh cinta sama Lukas. Itu yang harus aku ingat dan katakan kepada diriku sendiri.
“Cuma mastiin aja.”
Aku menatap Rena yang sedang sibuk dengan Blackberrynya sementara aku masih berusaha mencerna fakta bahwa Lukas selamanya hanya akan jadi teman untukku. Perasaanku terhadapnya, mau tidak mau, harus aku abaikan sedikit demi sedikit. Tapi, mungkinkah itu?
Rena mengangkat wajahnya. “Gue sebenarnya nggak mau ngasih tahu lo tentang Lukas. Tapi, gue ini sahabat lo, Sat. Gue nggak mau lo jatuh cinta sama orang yang nggak mungkin cinta sama lo. Lo itu berhak buat dapet cowok yang baik because you are a good guy. Dan gue nggak mau liat lo kecewa.”
Rena mengulurkan lengannya dan meremas tanganku lembut. Aku hanya mengangguk. Sekalipun aku tidak ingin mendengar kebenaran tentang Lukas, tapi Rena melakukan hal yang benar dengan menceritakannya kepadaku. Sekarang, aku tidak perlu lagi berharap untuk bisa bersama Lukas.
“Thanks for letting me know.”
Rena tersenyum dan mengangguk. “Gue seneng lo akhirnya bisa lepas dari Patrick, sekalipun lo jatuh cintanya sama Lukas. There will be another guy who will sweep your feet off the ground, Satya.”
“Kamu tahu aku nggak pernah berharap semuluk itu tentang pria.”
“Well, maybe you should. Nggak ada salahnya lo berharap dapetin Prince Charming or The One, Sat. Everybody hopes for that.”
Aku menarik napas dalam dan mengangguk. “Kamu sendiri? Lagi deket sama siapa?”
Rena terdiam sesaat sebelum mengedikkan bahunya. “Kalau ada yang baru, lo orang pertama yang gue kasih tahu.”
“Janji nggak bakal molor?”
Rena tertawa. “Lo apaan sih?”
Kami berdua tertawa. Senang rasanya bisa tertawa seperti ini bersama Rena. Aku memang punya banyak teman di Bali, tapi, hanya Rena yang tahu A-Z tentangku, well, not every single thing juga. Aku merasa nyaman menceritakan apapun ke Rena. She’s like the best sister for me.
“Eh, ada kafe baru mau buka di Petitenget. Kayaknya, mereka nyari band gitu deh buat ngisi live music. Konsep kafenya seru kalau gue bilang. Lo coba deh kesana, siapa tahu lo bisa kerja disana.”
Aku mengernyitkan dahiku. “Apa nama kafenya?”
“Bentar ya?”
Rena kemudian beranjak dari hadapanku dan masuk ke dalam restoran, sebelum kembali beberapa menit kemudian membawa satu kopi koran Bali Advertiser. Aku hanya memerhatikan Rena membolak-balik halamannya sebelum menyodorkannya kepadaku.
“Ini nih!”
Aku menerima koran itu dari Rena dan mengikuti telunjuknya, yang menunjukkan satu iklan baris berisi tentang lowongan untuk sebuah kafe bernama RETRO, yang menurut deskripsinya “The only place where you can see (or even BE!) Bing Crosby, Elvis Presley, Beatles or even Bee Gees just by stepping your feet inside RETRO Café in Bali.” Aku memang melihat lowongan untuk mengisi live music, namun, mereka menyebutkan band, bukan perorangan sepertiku.
Aku mengembalikan koran itu ke Rena dan dia menerimanya, sembari memandangaku. “So?”
“Mereka nyarinya kan band, Rena, bukan perorangan kayak aku.”
“Lo itu ya? Dicoba dulu kesana. Lo tunjukkin permainan gitar lo. Gue yakin, lo bisa lah mainin lagu-lagu tahun segitu. Itu kan hobi lo banget.”
“Oke deh, aku coba buat apply.”
“Eh, lo mau kemana setelah ini? Lukas sms nih, nanya kita ada rencana kemana setelah ini.”
Aku mengernyitkan dahiku. “Lukas tahu kita ketemuan?”
Rena mengangguk. “Ya nggak sengaja tadi gue bilang kalau mau ketemuan sama lo disini. Ini dia udah mau kelar kerja dan bilang pengen hang out.”
“Aku nggak mau kalau ke Sky ya?”
“Nongkrong di Sanur aja yuk, sekalian gue balik. Lo nginep aja deh di tempat gue malam ini, besok baru balik.”
Aku berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. “Boleh deh, ngerampok snack kamu ya?”
“Terserah deh. Gue bayar bill dulu atau lo mau yang bayar? Nggak, gue aja.”
Aku menggelengkan kepalaku karena heran sekaligus takjub dengan Rena. Dia dengan begitu cepatnya memutuskan sesuatu yang sebelumnya ditanyakannya.
Sementara Rena mengurus makanan kami yang hanya orange juice, Earl Grey Tea sama dua cake, aku terdiam.
Pertemuanku dengan Lukas setelah ini akan jadi berbeda. Aku tidak tahu apakah akan mudah untuk mengubah perasaan yang aku rasakan terhadapnya. Mungkin akan mudah, mungkin juga akan sulit. But…I know myself.
Aku menghela napas panjang, berharap dengan itu, semua emosi yang ingin aku keluarkan namun tidak bisa, sedikit terangkat dariku.
Kenapa cinta harus sekejam ini kepadaku?
Berhubung udah mau mudik besok, jadi untuk 2 minggu ke depan, daripada nggak aku update, aku post 2 chapter sekalian ya? Setelah dibaca2 lagi, 2 chapter ini cukup ada hubungannya Kenapa? Karena pengen menikmati suasana rumah aja sih, smabil mencari inspirasi untuk ngelanjutin cerita ini and other stories
@masdabudd : Hahahaha. Tahu lagu begituan kan bukan berarti suka? Ih, komentarnya gitu aja. Mana komentar2 bermutu darimu #Loh #eh
@caetsith : Ummmm, kasih tahu nggak ya? Nanti kan juga tahu. Dai dua part ini harusnya udah ketahuan sih, ke depannya bakal kayak apa
@andhi90 : Cemas kenapa? Hahahaha. Aku jadi bertanya2 kenapa kamu jadi cemas baca cerita ini.
@Adam08 : Aduh, akku udah baca tapi gak ketemu. Kalau ada typo, lgsg diquote aja ya? Biar langsung ketahuan. Bukan males baca lagi, cuma tiap kali mau post, pasti dibaca lagi, sebelumnya udah dibaca juga pas selesai nulis dan pas re-writing juga. Jadinya, kayak bosen gitu bacanya, hehehehehe. Anyway, thanks ya?
@Klanting801 : Maksudnya udahan apa ya? Tamat gitu? Atau apa? Kan memang cuma segini updateannya.
@Zhar12 : Yakin banget tisu di rumah bakal abis?
@arieat : Kamu ini, komen atau nanya? lol. Nanyanya juga ditujukan buat siapa?
@the_angel_of_hell : Masak sih? Kebanyakan ceritaku kan settingnya memang di Bali, hehehehe. Thank you for reading
@sky_borriello : Oh, What Hurts The Most emang yg paling dalem sih. Mau ceritanya dibuat kayak video klipnya lagu itu? hahahaha
@Adra_84 : Thank you!!
@adzhar : Bener kok Semoga suka juga dgn part yg ini
@yubdi : Thank you udah baca Kalau komen, pasti dimention kok
@WinteRose : Hahahaha. Kamu genit ah, masak minta Satya pegang2 Lukas
@Emtidi : Loh, emang kenapa kok malah buat kamu?
@rarasipau : Hehehe. Yg ini bikin senyum juga gak?
@tyo_ary : Hahahaha. Let's hope the same thing
@chaliszz : Thank you!!!
@RifqiAdinagoro : Thank you!!! Will try my best!
@DarrenHat : Eh, kok cuma dikit kritiknya?? banyak juga boleh kok. banget2 bolehnya. Kalau boleh tahu, kalimat yg mana ya? Tolong ditunjukkin dong dan yg benernya gimana, biar aku tahu dan ke depannya nggak salah lagi
Buat semuanya, kalau ada typo atau ada yg salah secara tata bahasa, ditunjukkin yah? Biar bisa aku benerin dan aku biar tahu juga yg bener gimana. Soalnya, aku juga masih (dan terus) belajar biar Bhs Inggris yg aku pakai jadi baik dan benar
Ada kebersit sih. Dtunggu ah. Sapa tau bener nnti B-)
Typo? Lukasnya di atas jadi bisa memproduksi biji kopi mahal aj jadinya
Kenapa ya bawaanya emosi tiap baca ada cewek yg gangguin hub org lain, hah
Nebak2 endingnya ah,, smoga aja tepat,,
Renaa,,, #gatau deh mau ngomong apa, smua umpatan kasih ke dia aja# )
jadi 2minggu kedepan ga ada apdetan ya?? #lama bgt tuh,, mudik kemana sih om?
So fucking bitch .
si rena nyebelin, kan lukas ma satya juga saling suka, kenapa ga jujur aja ma lukas kl satya itu gay ..
pokoknya lukas harus ma satya loh bang abi, ga boleh ma rena ..