It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kapan ya, ada org yg mau nyanyiin lagu buat aku?
#nih om aku udah komen, ga jadi silent reader
Apakah satya tahu kalau rena kemaren memperhatikan mereka berdua di balangan? Akankah ada dilema antara satya n rena?
*tiduran di rel
kok pendek si bang abi, panjangin dong pacarnya ..
February 2011…
“Wohooo!!!!!”
Teriakan itu terdengar bukan hanya dari satu orang, tapi 20an orang yang tiba-tiba saja berubah menjadi anak kecil begitu sampai di Sekumpul Waterfall. Sehabis dari panti asuhan, kami memang menuju ke salah satu air terjun yang letaknya cukup terpencil, namun, jaraknya tidak begitu jauh dari panti asuhan tempat kami menghabiskan akhir pekan.
“This is awesome!!!”
Teriakan Lukas itu terdengar jelas di telingaku, menyelinap diantara suara gemuruh air yang menguasai tempat ini. Sementara itu, aku tidak melihat sosok Rena sama sekali. Mungkin, karena mengetahui bahwa untuk mencapai tempat ini, kami harus menuruni tangga yang bukan hanya banyak tapi juga melelahkan, tanpa pikir panjang, dia langsung menolak.
Air terjun ini membuat kami seperti berada di sebuah setting film petualangan. Bahkan, beberapa traveler mengatakan, Sekumpul ini seperti yang terlihat di film Avatar. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa tempat ini memang sangat indah. Air yang jernih dan dasar yang dangkal, membuat siapapun tidak akan mampu menahan diri untuk tidak meikmati dinginnya air terjun ini.
Aku segera keluar dari air karena sepertinya tubuhku mulai menggigil. Menuju air terjun ini memang butuh perjuangan, bukan hanya harus melalui tangga yang jumlahnya ratusan, namun juga harus menyeberangi sungai, yang sekalipun arusnya tidak deras, tetap harus membuat siapapun hati-hati.
Ketika aku meraih tasku dan berniat untuk pergi lebih dulu ke tempat yang kering, Lukas mengejutkanku.
“I think I’ve had enough.”
Aku menatapnya dan tersenyum. “Wanna walk up together?”
“That’s exactly what I was going to say.”
Kami kemudian berjalan menelusuri batu-batu besar yang licin untuk menjauh dari air terjun. Aku memang sengaja berjalan di depan Lukas, karena berjalan di belakangnya hanya akan membuatku kehilangan konsentrasi. Belakangan, Lukas memang seperti mengisi pikiranku. Bahkan, ketika aku tidak mengetahui bahwa dia pria normal atau bukan. Namun, sejak awal, aku sudah menyiapkan diriku untuk kecewa.
***
“I’m glad being a part of this trip, Satya. There’s no regret at all.”
Aku memalingkan wajahku dari langit-langit di ruangan tempat kami semua tidur, ke arah Lukas, yang berbaring disampingku. Ya, kami semua memang tidur di lantai, hanya beralaskan matras. Beberapa traveler membawa sleeping bag, beberapa yang lain, hanya membawa selimut yang cukup tebal. Ruangan ini semacam hall yang setiap pagi dirubah menjadi TK. Di desa Pakisan ini, yang kota terdekatnya saja berjarak sekitar 45 menit, memang termasuk desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Pendidikan untuk anak usia dini memang minim disini. Panti asuhan ini dikelola oleh sepasang suami istri asli Jakarta yang memutuskan pindah kesini karena merasa hidup mereka di Jakarta sudah tidak memberikan kepuasan batin lagi.
“It’s always good to share, right?”
Aku melihat Lukas mengangguk pelan diantara temaram sinar lampu dari kamar mandi yang memang sengaja dibiarkan hidup. Semua lampu memang sudah dimatikan dan beberapa orang bahkan sudah mendengkur. Beberapa lagi masih sibuk dengan ponsel mereka. Kami berbicara sepelan mungkin, agar tidak membangunkan siapapun yang berbaring di sebelah kami.
“Aku terharu melihat anak-anak tadi begitu bahagia. Apalagi ketika kamu nyanyi.”
Aku tersenyum. Acara malam ini memang hanya sekedar makan malam sederhana dan hiburan dari kami. Aku dengan gitar dan suaraku, beberapa traveler dari Prancis mengadakan kuis untuk anak-anak dengan miniatur Menara Eiffel sebagai hadiahnya, karena mereka tahu acara ini sebelum mereka meninggalkan Prancis, drama kocak dari Ida, Rena dan beberapa traveler lain yang berhasil membuat perutku sakit karena lucunya, lima traveler dari Amerika yang memutuskan untuk berpantomim serta satu traveler dari Rumania yang menunjukkan keahliannya membaca kartu tarot. Overall, it was a wonderful evening. Aku sangat menikmatinya.
“I think you should go to bed, Lukas. Kamu pasti capek abis naik motor 4 jam tadi.”
Lukas mengangguk. “Goodnight Satya.”
“Night Lukas.”
Jantungku serasa berhenti berdetak ketika Lukas mengubah posisi tidurnya hingga tubuhnya menghadap ke sisiku. Aku berusaha untuk memejamkan mataku, namun, dorongan untuk memerhatikan wajah Lukas jauh lebih kuat.
Aku tetap dalam posisi berbaring, namun, ekor mataku tidak lepas dari Lukas. Sejak kedatangannya ke kafe minggu lalu, kami jadi lumayan sering saling mengomentari status di Facebook, kecuali kalau update statusnya menggunakan bahasa Jerman. Sejak hari itu juga, kami lumayan sering bertemu, entah sekedar makan malam atau mengobrol. Rena juga selalu menjadi bagian dari itu semua. Aku merasa keberadaan Rena cukup membantu karena membuatku tidak canggung berhadapan dengan Lukas. Mungkin, karena Rena juga selalu punya topik untuk dibicarakan.
Aku menarik napas dalam sebelum akhirnya mencoba untuk memejamkan mata. Aku juga butuh tidur. Hanya saja, malam ini dan keberadaan Lukas disampingku, akan membuat segalanya jauh lebih sulit. Bayangan akan kami tidur bersisian, sekalipun bersama dengan 30 orang lainnya, akan membuatku semakin sulit untuk tidak membiarkan perasaanku terhadap Lukas berkembang.
***
“Hati-hati Satya!”
Lukas memegang lenganku ketika aku terpeleset oleh licinnya tanah yang kami lewati. Jalan satu-satunya dari dan ke air terjun yang harus kami tempuh sebelum menyeberangi sungai untuk sampai ke tangga.
“I’m fine, Lukas. Thanks.”
Jantungku berdegup kencang oleh apa yang baru saja terjadi. Bukan oleh sentuhan kulit kami, namun oleh fakta bahwa aku hampir saja terjatuh. Jalan tanah ini hanya bisa dilalui satu orang dan di samping kanan ada tebing yang cukup untuk membuat orang patah tulang jika terpeleset dan jatuh ke sungai di bawah, dengan batu-batu besar yang bertebaran disana.
“Here,” ucap Lukas sambil menyodorkan satu botol air minum kepadaku. “Minum dulu, Satya. You’re still in shock.”
Aku menelan ludah dan meraih botol itu dan langsung membiarkan isinya mengaliri tenggorokanku. Merasa sedikit lebih baik, aku mengembalikan botol itu dan berusaha untuk memberikan senyumku, meyakinkan Lukas bahwa aku baik-baik saja.
“Thanks, Lukas.”
Kami melanjutkan perjalanan ketika aku sudah merasa lebih baik. Paling tidak, jantungku sudah kembali berdetak dengan normal.
“I can stay here the whole day without having an urge to go back to Sanur.”
“Aku juga pasti betah disini seharian,” balasku.
Sungai yang kami lalui, airnya memang masih jernih hingga masyarakat sekitar pun tidak sungkan untuk mandi disana. Actually, some of us did the same thing this morning. Aku hanya duduk dan membiarkan kakiku terendam di air. Beberapa traveler dari luar negeri, kelihatan sangat bahagia bisa mandi di sungai.
“Still a long way to go,” seruku ketika akhirnya kami berhasil menyeberangi sungai dan sampai di dasar tangga.
Membayangkan harus menaiki tangga sebanyak itu dengan energi yang sudah terkuras, benar-benar membuatku malas. Namun, tidak ada jalan lain.
“I’m here, Satya. In case you feel tired or faint, I can just drag you,” ucap Lukas dengan nada santai.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena tahu dia hanya bercanda. Lagipula, aku tidak akan pingsan.
Kami tidak banyak bicara selama perjalanan menaiki tangga yang membuat napasku kembang kempis. Bahkan, beberapa kali aku harus berhenti untuk sekedar bernapas dengan benar. Lukas, sepertinya tidak terganggu dengan banyaknya tangga yang harus kami naiki.
Ketika akhirnya kami sampai di ujung tangga dan melihat beberapa orang dari kami sudah ada di bale kecil di depan salah satu warung, termasuk Rena, yang dengan santainya mengenakan kacamata hitamnya sambil menikmati secangkir kopi, yang baunya menggoda hidungku.
“Fiuh! Capeknya!” seruku sambil merebahkan tubuhku di sampingnya.
“Lukas, you don’t look tired at all.”
Lukas, yang masih belum mengenakan t-shirtnya, langsung duduk disampingku dan membuka ranselnya.
“Kamu nggak menyesal nggak turun ke bawah?” tanya Lukas sambil memandang Rena.
Rena hanya menggeleng mantap. “Gue lebih baik duduk disini daripada besok kecapekan.”
“You’ve missed one of the most beautiful waterfalls you might have ever seen, Rena!”
“Well, I’m gonna see it in the picture, right?”
Lukas hanya tersenyum sebelum bangkit dari sisiku. “Aku ganti baju dulu ya?”
Begitu Lukas berlalu, Rena membuka kacamata hitamnya dan memandangku. “Nggak ada yang godain Lukas kan dibawah?”
Aku, yang masih berusaha mengistirahatkan betisku dan menata napasku, menatap Rena dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Maksudnya?”
“Ya, kan banyak cewek gatel yang ikut ke bawah, kali aja ada yang rese godain Lukas.”
Aku masih belum mengerti kenapa tiba-tiba Rena menanyakan ini. Namun, aku menggelengkan kepalaku, berusaha untuk menjawab pertanyaan aneh Rena.
Rena sepertinya tidak puas dengan jawabanku yang hanya berupa gelengan kepala itu, namun, belum sempat dia mengajukan pertanyaan lain, Ida sudah ada diantara kami.
“Ren, lo ntar bisa nggak tuker satu orang dari mobil lo buat gantian naik motor? Priska tadi muntah di bawah. Nggak manusiawi juga kan kalau gue nyuruh dia boncengan motor?”
“What happened?” suara Lukas tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami.
“Oh, Priska is sick. I just asked Rena whether she can exchange Priska with one of her passenger or not.”
“Satya, lo mau tukeran sama Priska?” Rena memandangku dan mengajukan pertanyaan itu.
Aku langsung mengangguk. “Sure! Aku nitip tas aja ya di mobil?”
Rena mengangguk. “Udah kan berarti? Priska biar di mobil gue biar Satya yang boncengan. Tapi sama siapa?”
Ida menatap Lukas. “Lukas, do you mind taking Satya on the back of your motorbike?”
Lukas memandangku dan Rena bergantian sebelum mengedikkan bahunya. “Ask Satya if he wants to be on the back with me or not. I’m fine with anybody.”
Aku sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk. “I don’t mind at all.”
“Ok, then everything is settled now. Biar gue kasih tahu Priska. Thanks Lukas.”
Ida segera berlalu dari hadapan kami dan aku sempat menangkap ekspresi Rena yang sepertinya tidak suka dengan apa yang baru saja terjadi. Entah untuk alasan yang mana.
“Kamu keliatan nggak suka,” ucapku pelan.
Rena menatapku. “Dan kenapa lo bisa bilang begitu?”
Aku hanya mengedikkan bahuku dan pembicaraan kami pun berakhir disitu.
Setelah semua orang berkumpul, kami akhirnya bersiap untuk pulang. Lukas menitipkan tasnya di mobil Rena dan perasaan pertama yang menghinggapiku, begitu aku duduk di belakang Lukas, adalah perasaan berdebar. Perjalanan ini memakan 4 jam dari Denpasar, dan sekalipun beberapa dari kami akan berhenti di Ubud untuk makan malam, tetap saja ini bukan perjalanan yang singkat.
Ketika satu persatu dari sepuluh motor yang ikut sudah meninggalkan area air terjun, aku dan Lukas langsung menyusul mereka. Mungkin karena mereka tahu Lukas bersamaku, yang sudah ke tempat ini tiga kali, mereka jadi tidak khawatir kami akan tersesat. Aku menutup mataku ketika jalan yang kami lewati harus melalui tanjakan dan turunan yang cukup terjal. Aku bahkan tidak akan berani mengendarai motorku seorang diri ke tempat ini.
“Be careful, Lukas.”
Lukas hanya mengangguk.
***
“How was your sleep last night?” tanyaku ke Lukas yang sedang duduk di ayunan seorang diri setelah kami selesai sarapan. Aku menghampirinya dan duduk di hadapannya.
“Well, I hope you didn’t hear me snoring.”
Aku menatap Lukas, berusaha untuk menahan senyumku serta memasang ekspresi seolah aku memang mendengarnya mendengkur semalam.
“Tell me you didn’t Satya.”
Aku tidak bisa menahan senyumku lagi dan akhirnya, aku memang membiarkan senyum lebarku terpasang di wajahku. Aku menggelang.
“No, I didn’t hear you snoring, Lukas. But, do you snore?”
Lukas menatapku dengan serius. “I don’t.”
Kami berdua tertawa. Aku terbangun beberapa kali semalam, dan tidak bisa menahan diriku untuk tidak menatap wajah Lukas. Kapan lagi aku bisa menatap wajahnya selama mungkin tanpa dia tahu kalau bukan semalam? Wajah damainya ketika tidur, rambut coklat kemerahannya yang berantakan. Jika menuruti nafsu, aku mungkin sudah mengulurkan lenganku untuk membelai wajahnya.
Tentu saja aku tidak melakukannya.
“This is a beautiful morning, isn’t it?”
Aku mengangguk. “Mungkin akan lebih kerasa suasana desanya kalau nggak banyak orang juga disini.”
“Well, we can always come back here, right? I mean, just some of us,” tambahnya
“You’re right.”
“Rasanya berat harus pulang dari tempat ini. The kids, the scenery…It’s just perfect. I’m gonna remember this place as heaven.”
Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. “And you love Bali more than before?”
Lukas mengangguk. “Correct.”
Kami saling bertatapan sebelum akhirnya Lukas bangkit dari hadapanku.
“Aku ke toilet sebentar ya?”
Aku hanya mengangguk dan menyaksikan Lukas berlalu dari hadapanku.
***
“Lukas, be careful. The fog is getting thicker.”
Aku tidak tahu apakah Lukas mendengarku atau tidak, namun, aku merasakan Lukas mengurangi kecepatan motornya ketika kabut di sekeliling kami mendadak menjadi semakin pekat.
Jalan utama ini memang jalan yang sama yang kami lalui kemarin. Hanya saja, kemarin, kami beruntung bahwa kabut tidak terlalu tebal, karena ketika kami melalui jalan ini masih terhitung siang. Namun, sore ini, kabut mulai menghalangi jarak pandang dan tidak ada yang lebih membuatku khawatir daripada keselamatan kami berdua.
Tubuhku rasanya juga mulai menggigil kedinginan. Meskipun aku sudah mengenakan jaket yang cukup tebal, rasanya, masih belum cukup untuk membuat tubuhku kebal terhadap rasa dingin yang perlahan merayapiku.
“It’s cold,” ucapku ketika gigiku mulai bergemeretak menahan udara dingin. Kabut tebal ini pasti punya andil kenapa aku tiba-tiba merasa seperti ini.
Kami beruntung sudah melewati area hutan dengan begitu banyaknya tikungan, namun, tetap saja, kabut masih cukup tebal untuk tidak merasa dingin. Sepertinya, aku memang akan sulit beradaptasi di negeri dengan empat musim kalau melewati daerah pegunungan dengan kabut seperti ini saja aku sudah kedinginan.
Lukas tiba-tiba saja memelankan motornya dan berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Pikiran pertamaku adalah ada yang salah dengan motor kami. Aku segera turun sambil berusaha merapatkan jaketku yang sudah rapat dan berusaha agar gigiku tidak bergemeretak.
“Satya, are you okay?”
Aku mengangguk, namun sepertinya, Lukas tidak memercayai begitu saja anggukan kepalaku. Dia segera melepaskan jaket yang dia pakai dan mengulurkannya kepadaku. Aku menatapanya.
“What are you doing?”
“Wear this, Satya. Kamu kedinginan. Kamu butuh jaket yang lebih tebal dari itu.”
“What about you?”
Lukas hanya tersenyum. “Aku terbiasa dengan kondisi ini, Satya. Remember, I’m a German.”
Aku masih ragu menerima jaket Lukas. Dia pasti juga kedinginan, apalagi dia harus mengendarai motor dan perjalanan kami bisa dibilang masih cukup jauh. Hanya dengan t-shirt yang dia pakai, aku tidak yakin Lukas mampu menahan dinginnya udara disertai kabut yang mengelilingi kami sekarang.
“You still need a jacket, Lukas. You’re the one who’s driving.”
“You need this more than I do.”
Aku masih menggosok telapak tanganku sekalipun hal itu sama sekali tidak membuat tubuhku menjadi lebih hangat. Tatapan kami bertemu. Apa yang ada di pikirannya sampai mau melepas jaketnya untuk aku pakai?
Lukas akhirnya mendekatkan tubuhnya dan tanpa aku duga, dia langsung melingkarkan kedua lengannya ke tubuhku. He hugged me! Erat. Diliputi rasa bingung, aku hanya mampu diam. Membuat t-shirt yang Lukas kenakan, menjadi satu-satunya penghalang antara kedua tanganku yang tiba-tiba terkepal dengan dada Lukas. Aku menelan ludahku dan pikiranku menjadi kosong. What am I suppose to do?
“Semoga kamu nggak keberatan, Satya. You need this to make your body warmer. I hope this will help.”
It is…
Entah berapa lama kami dalam posisi seperti itu sebelum akhirnya Lukas melepaskan pelukannya dan memaksaku mengenakan jaket yang tadi dilepasnya, ke tubuhku. Aku seperti manekin yang hanya bisa diam ketika akhirnya, jaket itu membungkus tubuhku. Lukas bahkan menarik resletingnya hingga ke dagu, memastikan bahwa jaketnya mampu menghangatkanku.
“Lukas…”
Aku bahkan tidak tahu apa yang akan aku katakan. I can only said his name.
“There you go! I hope you feel warmer,” ucap Lukas sebelum mengulurkan dua buah coklat batangan dari backpacknya. “Eat this, Satya. You need to chew something.”
Aku menerimanya dan berusaha untuk menikmati coklat yang terasa begitu keras. Kami hanya diam. Namun, efek pelukan tadi masih membuatku bingung. Demi apa Lukas memelukku seperti itu? Aku benar-benar tidak bisa memikirkan satu alasanpun. Aku tidak yakin, akan mendapatkan perlakuan yang sama sekalipun aku kedinginan dari orang lain.
“Masih dingin, Satya?”
Aku mengangguk. “Tapi nggak sedingin tadi.”
Lukas tersenyum sebelum naik ke motornya. “Shall we? Aku nggak mau orang-orang khawatir karena kita belum juga kelihatan.”
Aku mengangguk sebelum naik ke motor dan berusaha untuk mengenyahkan bayangan Lukas yang memelukku tadi. Jika semalam aku yakin bahwa tidur disamping Lukas dan menatap wajahnya akan jadi hal yang sulit untuk aku lupakan, maka pelukan tadi dengan pasti akan menggantikannya.
“You can put your arms around my waist if it makes you feel warm, Satya.”
Ingin sekali rasanya aku menanggapi ucapan Lukas dengan sebuah lelucon, namun, kebingungan masih melingkupiku hingga aku hanya menganggukkan kepalaku. Tentu saja, aku tidak akan melakukannya. Apa kata orang-orang kalau melihatku memeluk Lukas? Aku belum siap untuk memberikan penjelasan panjang lebar kepada siapapun.
Lukas mulai menghidupkan mesin dan motor kami kembali berjalan menembus kabut.
Apakah sekarang aku sudah bisa mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku jatuh cinta kepada Lukas?
Jujur, so far, dari sekian banyak chapter yg udah aku tulis untuk cerita ini, chapter yg ini adalah favoritku. Why? Gak tahu kenapa, karena pas selesai nulis ini juga jadi senyum2 sendiri. I feel like I'm Satya. Nggak bisa digambarin deh senengnya.
@hwankyung69 : Bukan lah, the real Lukas jauh dr Cory Monteith
@Adam08 : Kode2 apa nih? Hahahha
@andhi90 : Hahaha, yg romantis bagian mana? Perasaan gak ada yg romantis deh
@tialawliet : Hmmm....Kan dr awal nggak boleh ada yg minta nambah kan ya? Jadi, ya segini ini memang udah diplanning. Yg ini banyakan kan?
@Adra_84 : Okay, hehehehe. This story is challenging me in so many ways. Hope when it's done, this will be one of my stories that people can enjoy
@tama_putra : Thank you!
@Klanting801 : Hahahaha. Thank you!
@Zhar12 :
@adzhar : Yap, bentar lagi ya? Sabar sedikit lg
@masdabudd : Lol. Keep it up Mau aku nyanyiin Kucing Garong? Atau Alamat Palsu? ROTFL
@arieat : Komen kamu berasa kayak SILET, hahahaha
@tyo_ary : Well, dia kan yg diputusin dan diselingkuhin pula, jd, wajar juga kalau dia cepet move on
@Emtidi : Wow kenapa?
@sky_borriello : Lol, lagu yg nggak pantes lah, terlalu dramatis itu, apalagi video nya Salah satu video musik paling tragis. Btw, kok th Rascal Flatts? Are you a fans? I am their fans
@DM_0607 : Hehehe, let's see ya?
@caetsith : Ya, silakan berharap dulu ya? Berdoa semoga memang Lukas bisa sama Satya #eh
@WinteRose : Lol. How about this part?
___
sama om.. aku jg suka BANGEEEETTTT sama chapter ini..
*lagi blank nih.. ( gamau komen banyak2