It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
May 2013…
“Kamu suka?”
Pertanyaan itu meluncur dari Stefan, ketika kami sedang duduk di salah satu bangku yang berdekatan dengan sungai kecil di Keukenhof. Ribuan tulip dalam berbagai warna, memenuhi pandanganku sejak aku sampai disini. Cuaca yang sedang cerah-cerahnya, membuatku betah berjalan-jalan di Keukenhof, hingga akhirnya, Stefan meminta kami beristirahat sejenak.
Untuk sampai di Keukenhof di daerah Lisse ini, tadi kami naik sepeda dari apartemen Stefan di Leiden. Sejak tiba di Belanda, entah kenapa aku jadi lebih suka naik sepeda. Mungkin karena pengendara sepeda disini bisa naik sepeda dengan aman. Apalagi, dalam perjalanan kesini, aku melihat begitu banyak bangunan tua dan meskipun kakiku terasa agak pegal karena bersepeda hampir satu jam, namun keindahan warna-warni tulip yang ditawarkan Keukenhof, membuatku melupakannya. Aku terlalu bersemangat untuk menjelajahi tempat ini.
Belanda, sejauh ini memberiku pengalaman yang menyenangkan. Baru dua minggu aku disini, namun, Stefan sudah menunjukkan begitu banyak hal padaku. Dia bukan hanya menunjukkan tempat-tempat yang jauh dari turis, tempat dimana dia biasa bermain sewaktu kecil, namun juga mengenalkanku ke teman-temannya, bahkan bertemu dengan Paman dan Bibinya, dimana aku disambut dengan sangat ramah dan hangat. Apalagi, pemandangan dua pria yang saling bergandengan tangan ataupun berciuman di tempat umum menjadi hal yang lumrah, hingga Stefan, tanpa ragu, selalu menggandeng tanganku setiap kali kami berjalan menyusuri jalanan di Leiden.
“Tempat ini indah sekali,” jawabku sambil tersenyum.
Stefan mengangguk. “Sekalipun saya besar disini, Satya, setiap tahun, saya pasti menyempatkan diri untuk datang kesini. Saya tidak pernah bosan mengunjungi tempat ini.”
“Stefan?”
Stefan menatapku. “Ya?”
“Thank you for taking me here.”
Stefan, yang sejak kami duduk, tangannya tidak pernah lepas menggenggam tanganku, hanya mengangguk sambil membiarkan jemarinya meremas tanganku lebih erat.
“Kamu belum capek kan?”
Aku menggeleng. Aku terlalu bersemangat untuk merasa lelah. Apalagi, di tempat sebesar Keukenhof ini.
“I love that yellow tulip. So bright and cheerful,” ucapku sambil memerhatikan tulip-tulip berwarna cerah yang terletak tidak jauh dari tempat kami duduk. Kombinasi warna-warna tulip yang sengaja ditanam di satu tempat, sungguh sangat memanjakan mata.
“Satya…”
Aku mengalihkan pandanganku dari tulip itu kearah Stefan. “Ya?”
“Saya mengajak kamu kesini karena ada yang ingin saya tunjukkan ke kamu.”
Aku mengerutkan kening begitu mendengar ucapan Stefan. Dia kemudian mengeluarkan iPad nya dan menyodorkannya kepadaku. Stefan jarang membawa iPadnya kalau kami keluar, apalagi sejak kami tiba di Belanda. Jadi, melihatnya membawa benda itu cukup membuatku heran.
“Apa yang mau kamu tunjukkan, Stefan?” tanyaku sambil menerima iPad itu dari tangannya.
“Just watch this video, okay?”
Aku hanya mengangguk, sekalipun tidak mengerti apa maksud perkataannya.
Ketika mataku menatap layar iPad itu, suara dan wajah Rena langsung terdengar begitu aku menekan tombol play. Reaksi pertama yang aku tunjukkan ke Stefan adalah sebuah senyum lebar. Apa ini?
Namun, senyum itu perlahan memudar ketika semakin lama video itu berjalan, ekspresi wajah Rena berubah. Begitu juga denganku. Setiap kata yang meluncur dari mulutnya terdengar begitu asing di telingaku, bukan dalam artian bahasa, namun lebih seperti mendengar sebuah audiobook tentang novel roman atau salah satu adegan yang biasa muncul dalam film drama. Ketika akhirnya Rena tidak bisa menahan tangisnya dan aku mendengar sebagian besar yang diucapkannya, mulutku terlanjur kelu. Terlalu terkejut dengan apa yang aku dengar. Ingin rasanya aku menganggap ini sebagai sebuah lelucon yang disiapkan Rena untukku. Namun, melihat air mata yang mengalir di pipinya dan suaranya yang bergetar dan tersendat-sendat, aku sadar bahwa ini bukanlah sebuah lelucon ataupun sebuah audiobook tentang novel roman.
Ini adalah sebuah pengakuan dari Rena, yang memberitahuku bahwa Lukas adalah seorang gay dan bahwa Lukas, memiliki perasaan yang sama denganku dan bagaimana selama ini, dia menyembunyikan fakta itu dariku dan Lukas. Hanya karena dia tidak ingin melihat Lukas dan aku bersama.
Bagaimana bisa aku menerima kenyataan itu sekarang? Ketika sekian lama, aku hanya bisa berharap dan membayangkan apa yang bisa terjadi antara aku dan Lukas, bahkan sebelum Stefan menjadi seseorang yang penting dalam kehidupanku. Bagaimana mungkin Rena bisa melakukan hal itu terhadapku, orang yang berkali-kali disebutnya sebagai sahabat? Bahwa apa yang dilakukannya didasarkan pada perasaan cemburu karena Lukas…mencintaiku? Bahkan, ketika dia tahu bahwa Lukas seorang gay.
Aku hanya mampu menelan ludah sebelum menarik napas panjang. Membiarkan Stefan mengambil iPad itu dari tanganku.
“Salahkan saya, Satya karena menyimpan ini dari kamu selama hampir empat bulan. Saya yang meminta Rena untuk membiarkan saya memberitahu kamu tentang ini.”
Aku hanya mampu memandang Stefan, dengan tatapan tidak percaya. Mulutku, masih kelu dengan apa yang baru saja aku dengar, baik dari Rena maupun Stefan.
“Rena datang ke rumah, berniat untuk memberitahu kamu tentang hal ini, namun, kamu sedang pergi waktu itu. Jadi, saya mendesak Rena untuk cerita, karena saya tahu, pasti ada hal penting yang ingin disampaikannya ke kamu. Rena awalnya menolak, namun saya bisa meyakinkannya agar menceritakannya ke saya dan akhirnya, dia memang menceritakan semuanya. Maafkan saya kalau memang kamu merasa dibohongi. Tapi, saya melakukan ini karena saya nggak mau kamu membenci Rena sebelum hari pernikahannya. Karena saya tahu, kamu nggak akan datang di hari pernikahannya kalau kamu tahu, sedangkan saya juga tahu, Rena sangat ingin kamu hadir. Jadi, salahkan saya karena baru memberitahu kamu sekarang.”
“Kenapa, Stefan? Apakah ada yang salah dengan apa yang aku dan Lukas rasakan?”
Ekspresi Stefan berubah begitu mendengarku mengucapkan hal itu, dia bahkan berusaha untuk meraih tanganku, namun aku menepisnya. Aku bangkit dari bangku tempat kami duduk dan berjalan dengan cepat, tidak peduli kemana langkah kakiku akan membawaku. Aku bahkan mengabaikan tatapan orang-orang yang mungkin berpikir kenapa aku harus melangkahkan kaki dengan cepat di tempat seindah Keukenhof.
This is just…too much!
Entah perasaan mana yang paling menguasaiku saat ini. Marah karena Rena tahu bagaimana perasaanku ke Lukas dan aku menceritakan kepadanya, semuanya tentang itu atau karena Stefan menyimpan kebohongan itu dariku ketika selama empat bulan, kami tidur satu ranjang, berbagi rahasia dan tubuh kami dan bersikap seperti kebohongan itu tidak pernah ada. Kenapa orang-orang yang begitu aku cintai bisa melakukan ini terhadapku?
Akhirnya, aku berhenti ketika dadaku mulai terasa sakit. Oleh kebohongan Rena. Oleh keputusan Stefan yang menyimpan rahasia ini dariku. Oleh perasaanku sendiri terhadap Lukas yang tidak pernah tersampaikan. Oleh rasa marah yang semakin menggunung sejalan dengan detik yang berjalan. Aku merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Apakah ada perasaan yang lebih menyakitkan selain itu?
Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya, tepat ketika Stefan berhasil menyusulku.
“Satya…”
“Just leave me alone for a while, Stefan. Aku mohon.”
Bahkan, aku tidak bisa menatap wajah Stefan ketika mengatakan itu sebelum melanjutkan langkahku menjauh darinya.
I really need time for myself, before I regret for saying something I never intended to say.
***
Few days after Keukenhof…
Sejak kami pulang dari Keukenhof, aku mendiamkan Stefan. Hanya menjawab seperlunya saja dan menolak diajak kemanapun. Aku hanya tidak ingin membiarkan amarah yang masih dengan kuatnya menguasaiku, membuatku mengatakan sesuatu yang akan menyakiti kami berdua. Aku memilih diam, sekalipun Stefan berusaha untuk membuat kebahagiaan yang aku rasakan sebelum hari itu, kembali.
Kenyataan tentang Lukas terlalu hebat untuk bisa aku anggap sebagai hal yang bisa berlalu begitu saja. Pikiranku berulang kali membayangkan apa yang bisa terjadi antara aku dan Lukas, andai saja Rena tidak menyembunyikan kebenaran tentang jati diri kami. Mungkin, aku akan berada di Jerman sekarang atau mungkin, Lukas akan ada di Bali setelah menyelesaikan pendidikannya. Aku tidak harus keluar dari RETRO dan hubunganku dengan Stefan, akan tetap menjadi hubungan antara atasan dan bawahan. Pikiranku terlalu sibuk dengan berbagai hal yang bisa terjadi antara aku dan Lukas, hingga aku bahkan tidak tahu mana yang realistis, mana yang hanya sekedar imajinasi.
Hubunganku dengan Rena, jelas tidak akan pernah sama lagi. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa memaafkannya untuk apa yang sudah dilakukannya. Kebohongannya tidak hanya menghancurkan persahabatan kami, ataupun melukaiku dan Lukas, namun juga Stefan. Pria yang seharusnya tidak perlu terseret dalam lingkaran kebohongannya, jika saja Rena bisa menunggu sedikit lebih lama untuk langsung memberitahuku. Stefan tidak seharusnya tahu.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Mataku masih menatap nanar deretan bangunan di seberang kanal kecil di depan apartemen Stefan, melalui jendela di ruang tamu. Sudah sejak dua jam yang lalu aku meringkuk di sofa dan membiarkan lamunan menguasaiku. Aku bahkan tidak tahu Stefan ada dimana karena saat ini, aku hanya ingin sendiri. Aku seperti ingin membuat panca inderaku mati rasa.
“Satya…”
Pandanganku masih terpaku, sekalipun suara Stefan, yang terdengar begitu rapuh dan sedih, menembus lamunanku.
“Aku nggak lapar kalau itu yang kamu ingin tahu.”
Aku merasakan tangan Stefan meremas pundakku sebelum dia duduk di sampingku.
“Saya akan terus minta maaf sampai kamu mau bicara dengan saya, Satya. Tapi, apa yang kamu lakukan ini sama sekali nggak akan mengubah apapun.”
Aku masih mengabaikan Stefan, seperti aku tidak sadar bahwa apa yang dikatakannya, justru membuat ini semakin sulit untukku.
“Satya, tolong tatap saya.”
Ada perasaan enggan untuk menuruti permintaan Stefan, namun, akhirnya aku mengabaikan perasaan enggan itu untuk menatapya.
Sejak status hubungan kami berubah setahun yang lalu, aku belum pernah melihat tatapan Stefan yang sedang ditunjukkannya kepadaku saat ini. Kedewasaan dan kematangan itu masih ada, namun, aku juga menangkap kesedihan disana, yang membuatku justru bertanya-tanya. Kenapa dia harus merasa sedih?
“Kamu tahu bagimana perasaan saya ke kamu, Satya dan saya selalu ingin melihat kamu tersenyum, berusaha untuk membuat kamu bahagia, dengan cara saya sendiri. Menyembunyikan apa yang Rena ceritakan ke saya dari kamu bukanlah sesuatu yang mudah. Saya memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi kalau kamu tahu. Saya, bahkan terpikir untuk menyembunyikan fakta ini dari kamu.” Stefan mengulurkan tangannya dan meraih tanganku sebelum mengecupnya. “Karena saya takut kehilangan kamu, Satya. Saya terlalu takut untuk menghadapi kenyataan bahwa kamu, bisa saja pergi dari kehidupan saya dan mengejar apa yang selama ini nggak pernah kamu tahu. Saya begitu takut bahwa saya, sekali lagi harus kehilangan orang yang sangat saya cintai.
Namun, saya kemudian sadar bahwa apapun konsekuensinya, kamu tetap harus tahu yang sebenarnya. Saat itulah saya sadar bahwa yang terpenting bagi saya adalah melihat kamu bahagia. Jika memang Lukas adalah pria yang bisa memberikan itu, maka, saya harus terima karena kamu bahagia. Saya hanya nggak mau kita tetap menjalani hubungan ini sementara saya tahu, ada yang belum selesai antara kamu dan Lukas. Itu seperti saya memaksakan kamu untuk tetap bersama saya tanpa memberikan pilihan kepada kamu. Saya tidak mau seperti itu. Kalau kamu memang masih ingin hubungan kita berjalan, saya mau kamu menjalaninya karena memang itu pilihan kamu, bukan karena saya memaksa kamu untuk tetap menjalani hubungan ini.”
Apa yang baru Stefan katakan, membuatku tertegun.
“Itu sama sekali nggak ada hubungannya, Stefan.”
“Semuanya berhubungan, Satya.”
Aku hanya mampu menelan ludah dan kembali membiarkan pandanganku beralih dari Stefan. Betapapun aku bosan mendengar diriku sendiri membiarkan kenapa menjadi kata tanya yang menguasaiku sekarang, aku tidak punya kata tanya lain yang bisa mewakili apa yang aku rasakan. Bahkan, ketika aku tahu bahwa aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.
“I’ll let you think, Satya.”
Aku merasakan kecupan lembut di ujung kepala sebelum akhirnya, Stefan melangkah menjauh. Aku membiarkan pandanganku beralih, hanya untuk melihat kekosongan yang ditinggalkan Stefan, sebelum kembali menatap apa yang sedari tadi menjadi pusat perhatianku.
Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
SATYA : HE WANTS ME TO GO
June 2013…
“Satya, saya harap, kamu nggak akan membenci saya lagi karena saya ingin meminta sesuatu dari kamu.”
Aku dan Stefan sedang berbaring di atas rerumputan di Van der Werf Park, di bawah rindangnya pohon yang tidak aku tahu namanya. Sejak tadi, telingaku dimanjakan oleh lembutnya suara air yang mengalir, yang hanya berjarak beberapa senti dari kaki kami serta suara bebek yang sedari tadi, seperti ingin mengganggu ketenangan sore di penghujung musim semi ini. Belum lagi suara beberapa orang yang memutuskan untuk melakukan hal yang sama seperti kami, meskipun aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tempat ini dengan segera menjadi tempat favoritku jika ingin menenangkan diri dan Stefan tahu itu. Dia selalu bisa menemukanku disini.
“Kamu mau minta apa lagi?” balasku sambil memandangnya.
Stefan, kemudian memiringkan tubuhnya sebelum menyangganya dengan salah satu lengannya. Dia mendekatkan wajahnya, kemudian mendaratkan kecupan lembut di keningku sebelum akhirnya mencium bibirku. Awalnya, aku tidak terbiasa dengan perlakuan Stefan yang seperti ini, namun sekarang, aku terbiasa mendapatkan kecupan singkat ketika kami sedang berada di taman seperti ini. Aku malah menyukainya.
“Saya ingin kamu ke Köln dan menemui Lukas, Satya.”
Mata kami bertemu dan kalimat yang baru diucapkannya, terdengar seperti sesuatu yang tidak akan pernah aku dengar dari Stefan. Not in my wildest imagination.
Sejak insiden di Keukenhof, hingga Stefan mengatakan kepadaku bahwa dia hanya ingin melihatku bahagia, sekalipun jika aku memilih Lukas, aku belajar untuk mengerti alasannya, sebelum akhirnya aku menerimanya. Aku berpikir, bahwa aku mungkin akan melakukan hal yang sama jika ada di posisi Stefan. Namun, aku masih menolak permintaan Stefan agar aku menghubungi Rena dan memaafkannya. Sedekat apapun persahabatan kami, kebohongan yang disimpannya telah menghancurkan apa yang pernah kami miliki. Mungkin, suatu hari aku akan memaafkan Rena, tapi, mungkin juga tidak. Untungnya, Stefan tidak pernah memaksaku lagi untuk menghubungi Rena. Ataupun membahas tentang Lukas. Maka dari itu, aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku ketika mendengar Stefan memintaku untuk menemui Lukas. Di Köln!
“Untuk apa, Stefan? Didn’t we agree not to talk about this thing again?”
Stefan tersenyum tipis, sementara aku tidak tahu kenapa dia harus tersenyum ketika dia baru saja memintaku untuk menemui pria yang masih bisa membuatnya kehilanganku.
“Seperti saya bilang dulu, Satya, ada yang belum selesai antara kamu dan Lukas. Saya hanya nggak mau kamu masih menyimpan ganjalan itu sementara hubungan kita masih berjalan. I want you to close that past, jika memang kamu menginginkannya. Kalau kamu masih ingin bersama saya, saya ingin kamu menemui dia dan menyelesaikan apa yang belum selesai diantara kalian.”
Aku hanya bisa menelan ludah. Tidak menyangka, Stefan masih memikirkan tentang Lukas sekalipun kami sudah sama-sama setuju untuk tidak membahas masalah ini lagi.
“Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku bertemu Lukas, Stefan? Kenapa sekarang?”
“Karena memang saya nggak mau menunggu lebih lama lagi untuk menjalani hari-hari saya dengan kemungkinan kehilangan kamu, Satya. Jika memang saya harus kehilangan kamu, saya ingin itu segera terjadi. Atau, jika memang kamu masih ingin bersama saya, saya ingin merasa yakin bahwa apapun yang pernah kamu rasakan terhadap Lukas, selesai. Dan satu-satunya cara untuk mengetahui itu adalah dengan menemui Lukas.”
Aku terdiam, sebelum sebuah pertanyaan yang mendesakku sejak insiden di ruang tamu wkatu itu terjadi.
“Apakah ini cara kamu supaya hubungan kita berakhir?”
Aku tidak bisa percaya bagaimana mungkin Stefan meminta sesuatu yang tidak hanya akan melukainya, tapi juga melukaiku karena melihat dia terluka karena ini? Dia sadar, bahwa aku bisa saja memilih untuk bersama Lukas jika aku menemuinya. Apalagi yang bisa aku pikirkan kecuali bahwa dia memang ingin hubungan kami berakhir?
Stefan menggelengkan kepalanya. “Justru sebaliknya, Satya.”
Aku mengerutkan keningku. Terkejut dengan jawaban Stefan. “Maksud kamu?”
Stefan kemudian meraih tanganku dan meremasnya. Dia menatapku dengan kelembutan yang selama ini diberikannya kepadaku.
“I want to ask you to be my legal partner, Satya. Saya nggak akan bertambah muda dan saya yakin, nggak akan ada lagi pria di masa depan saya selain kamu. Permintaan saya supaya kamu menemui Lukas, bukan karena saya ingin kamu pergi. Saya hanya ingin kamu merasa yakin dengan perasaan kamu terhadap saya, Satya. Saya nggak akan meminta kamu untuk menjawab sekarang. Saya ingin kamu benar-benar yakin sebelum kamu mengatakan kepada saya bahwa kamu mau hidup bersama saya. Disini, di Belanda. Atau dimanapun kamu ingin kita tinggal.”
Did he just ask me to marry him? Atau pendengaranku yang memang salah menangkap kalimat Stefan?
“Stefan, apa kamu baru saja bilang ka— ”
Stefan mengangguk, memotong kalimatku. Seperti dia tahu apa yang ingin aku katakan. “I asked you to be my legal partner, Satya. Saya ingin kamu ada disisi saya selama mungkin. Tapi, jika memang kamu nggak menginginkan itu, please…jangan ragu-ragu untuk bilang ke saya. You don’t have an obligation to say yes.”
Aku menelan ludahku, benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikiran Stefan, memintaku untuk melakukan dua hal yang bertentangan. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan ini kepadaku? Jika dia memang ingin memintaku menikah dengannya, tidak seharusnya dia memintaku untuk menemui Lukas kan?
“Why?”
Dari semua kata yang bisa aku ucapkan untuk membalas kalimat Stefan, hanya satu kata itu yang akhirnya mampu aku ucapkan.
“Because I want you to be happy, Satya. Saya nggak akan pernah bosan bilang ke kamu. With me or Lukas. Jika saya meminta kamu untuk menjadi pasangan saya yang sah, sementara kamu masih memikirkan Lukas, berarti saya memaksa kamu untuk bersama saya. I don’t want that. Please, see him and if you still want to be with me after that, if that feeling you have for Lukas has vanished, saya akan jemput kamu di Köln. Do it for me, Satya.”
Aku menarik napas dalam. Melihat Stefan memohon seperti ini, untuk sesuatu yang akhirnya mungkin akan melukai kami berdua, aku hanya berusaha membiarkan air mataku tertahan. Apa yang sudah aku lakukan di masa lalu hingga berhak untuk mendapatkan pria seperti Stefan? Untuk mendapatkan semua rasa cinta dan kasih sayang darinya? Dan untuk ada di posisi ini sekarang? Apakah Stefan baru saja memintaku untuk memillih?
“Bagaimana aku tahu dimana Lukas tinggal?”
“Lukas will pick you up at train station, Satya.”
Aku memandang Stefan dengan sebuah tanda tanya di benakku, yang kemudian aku utarakan ke Stefan.
“Bagaimana kamu tahu dia akan ada di stasiun?”
Wajah Stefan berubah ketika aku menanyakan itu. Dia seperti tidak ingin mendengarku menanyakannya, namun, di saat yang bersamaan, dia seperti tahu bahwa dia akan mendengar pertanyaan ini dariku.
“Saya sengaja pergi ke Köln untuk menemui Lukas, Satya dan memintanya untuk menjemput kamu di stasiun. Saya menceritakan semuanya dan dia ternyata sudah tahu karena Rena mengiriminya surat yang berisi pengakuan Rena. Saat itu, yang ada di pikiran saya hanyalah ada yang belum selesai di antara kalian. Saya nggak mau kamu memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi kalau kebohongan itu nggak pernah ada, sementara kita masih bersama. Saya mohon kamu mau menemui dia. Untuk saya.”
Aku menatap Stefan, masih tidak bisa memahami jalan pikirannya untuk memintaku menemui Lukas.
Yang paling penting, apakah aku sendiri siap untuk bertemu kembali dengan Lukas setelah hampir dua tahun?
“Apakah kamu akan marah kalau aku nggak mau ketemu Lukas?”
Stefan menggeleng. “Saya hanya akan kecewa, Satya karena kamu nggak mau melakukan satu hal yang sangat saya ingin kamu lakukan.”
Mendengar Stefan menyebut kata kecewa, membuatku merasa jadi seseorang yang egois. Stefan had done a lot for me. He even gambled about this particular request. But, what about if he lost? It doesn’t matter how I convince him, he would still ask me to do that.
Aku akhirnya mengangguk. “Baiklah, jika memang itu yang kamu mau.”
Stefan tersenyum dan kembali mendaratkan kecupan di keningku.
“Terima kasih, Satya.”
Just info, chapter ini yang bikin aku jatuh cinta setengah mati sama Stefan, hahahaha. FYI, chapter yg sebelumnya, itu adalah chapter terakhirnya Rena, jadi, postingan2 selanjutnya, milik Satya
@tialawliet : Kamu kan belum tahu endingnya, hahahaha. Kasih tahu nggak ya, happy ending atau nggak?
@arieat : Loh, masak kurang sih Stefan nya? Perasaan, dari chapter2 yang akhir2 ini aku post, udah keliatan deh, Stefan orang macam apa
@timmysuryo : Thank you!!! Hehehehe
@adam25 : Masih banyak kok laki2 seperti Stefan yang single di luar sana
@Adam25 : Hahahaha, nah, begitu lebih baik
@obay : We'll see ya?
@idhe_sama : Gimana kesannya makan beling? LOL. Yg namanya dibohongin itu ya memang nggak enak.
@yeltz : Wondering kenapa?
@marobmar : Mungkin, karena mindset mu cuma Satya-Lukas, jadinya udah skeptis duluan sama Stefan, hahahahaha.
@dheeotherside : Ya, kita liat gimana nanti ya? Apakah memang seperti itu atau nggak
@kiki_h_n : Di bagian mana penasarannya? hahahaha. Ya pasti ada lah orang2 kayak Lukas, Satya, Rena, Stefan, Joddi. AKu pikir, semua orang pasti punya sisi2 seperti mereka
@ardi_cukup : *kabur* Why????? kenapa kau ingin membakarku??? #LebayAlaSinetron
@steven_hendra : Kita liat saja nanti ya?
@Zhar12 : Aku bicara masalah fisik ya? bukan sifat. Makanya, aku susah kalau disuruh ngegambarin karakterku itu kayak siapa, karena mereka ada di kepala
@Adra_84 : Hahahahaha. Let's see whether I have a twist ending or not
@masdabudd : Apa nih feeling nggak enaknya? Emang dulu, feeling nggak enaknya sama Ferro apa? hehehe
@caetsith : Yep! Everything will be in the ending
@A@ry : Udah kejawab kan?
@zackattack : Maybe kan udah dikasih tahu, referensinya dari temen yg pernah aku ada rasa sama dia, hahaha. If you see his picture, that's Lukas. Tapi, I won't post his picture here. Maybe, I'll post it n twitter. Maybe Buatku, age difference itu nggak masalah kok. Age is just numbers.
@Kim_Kei : Aku suka analisa kamu
@somewhereouthere : Hahahaha. Lukas nanti ketahuan kok kabarnya
@Klanting801 : udah chapter2 terakhir ini kok. tapi, seperti biasa, update an terakhir bakal aku bikin kalian menderita karena nunggu lama *Evil grin*
Colek2 :
@AhmadJegeg @DM_0607 @chandisch @the_angel_of_hell @honest @alvian_reimond @bebong @fenan_d @sky_borriello @bponkh @st34dy @adzhar @yuzz @cmedcmed @YuuReichi @LordNike @rebelicious @Emtidi @pokemon @DarrenHat @tyo_ary @DiFer @WinterRose @RifqiAdinagoro @Venussalacca @jakasembung @iboobb7 @lonely_guy @tama_putra @kyiskoiwai @andhi90 @rarasipau @totalfreak @nakashima @hwankyung69 @yubdi @raroma @Leotama01
#nangis di pojokan
#ga tega jg sama Stefan
Gue bener2 tenggelam sama ni cerita.. Kaga nahaan bgt.. Stefan ke gue aja..
Dari semua cerita Mas membuat saya belajar tentang menjadi Pria yg lebih bijaksana.
Abi, Cariin Stefan buat gue dong.. *ngayal*