It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Entah harus gembira atau sedihnya tergambar gamblang di narasi dan tersirat di dialognya. If only i'm such a great writer.. ga bakal stres idup dah -,-"a
1. tumblr dulu ada cuma lupa user n passwordnya (sama aja kayak ngg punya berarti ya? ) )
2. Bukan arsitek ato advertising agent juga
[Ask]
Ngga mau coba bikin kisah cinta guru olahraga mas Abi? *nanya apa ngerayu? :P
tumblr mah ga punya, knapa ga di blog aja mas iyas? bukan anak arsitektur. hihi..
Kang abi ceritamu emang ga bisa jauh dari tisu ya padahal cerita awal udah senyum2 bahagia.. Happy ending?? Oh gawd semakin jauh keknya
#tetepbencirena!
*bnyak yg jatuh cinta ma stefan? Kecuali aku tentunya! Buat aku feel-nya dia ma satya rasanya hambar, ada something yg kurang, entah apa, I dunno..beda kalo ma lukas dulu..
RT :P
SATYA : MY NIGHT WITH LUKAS
Sejak kedatanganku di Köln, kami tidak terlalu banyak bicara. Percakapan kami seperti terjadi melalui dimensi lain, dimensi yang hanya kami berdua tahu. Kami saling bertukar senyum dan aku bisa merasakan bahwa Lukas terlihat berhati-hati dengan apa yang diucapkannya, sekalipun kami sempat berciuman dan mengatakan apa yang ingin kami katakan dua tahun lalu di stasiun tadi. Aku sendiri bingung bagaimana harus menghadapi ini. Di satu sisi, aku tidak bisa mengingkari bahwa aku bahagia, karena bisa bertemu lagi dengan Lukas, bukan sebagai Satya yang selama ini dia kenal, tapi sebagai Satya, yang memiliki perasaan untuknya. Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku terhadap Stefan, yang sekarang mungkin sedang duduk seorang diri dan memikirkan apa yang aku lakukan disini bersama Lukas.
Pikiranku berusaha untuk menyiksaku dengan dua hal yang saling bertentangan dan aku sendiri, masih mencari tahu mana yang lebih menguasaiku. Keberadaanku bersama Lukas sekarang atau pikiran tentang Stefan.
Lukas memintaku untuk tinggal di apartemen yang baru disewanya dua minggu lalu. Dia tidak mau menerima kata tidak. Aku sendiri, sempat ragu. Namun, Lukas meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi apapun diantara kami. So, I agreed.
Kami baru pulang makan malam dan ada perasaan terharu ketika Lukas bilang bahwa makan malam kami adalah hadiah ulang tahun darinya. Fakta bahwa dia masih ingat ulang tahunku, meskipun masih beberapa hari lagi, membuatku ingat kado yang diberikannya padaku dua tahun lalu. Aku menyesal meninggalkan gelang yang diberikan Lukas di rumah.
“Thank you for the dinner, Lukas.”
Lukas menatapku dan mengangguk.
Ingin rasanya aku mengulurkan tanganku dan membiarkan jemariku menelusuri rambut Lukas. Keinginan itu begitu kuat, sehingga aku harus mengalihkan pandanganku dari Lukas jika dorongan itu mulai muncul. Menatap mata birunya dan senyum yang masih sama itu, seperti buah terlarang untukku. Kenapa semuanya harus jadi seperti ini?
“I still can’t believe you’re here, Satya. I never thought I would see you again.”
Aku memaksakan senyum tipis di wajahku. Kenyataan ini memang masih sedikit mengejutkan bagiku. Melihat diriku bersama Lukas lagi, seperti sebuah cerita yang tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan. But, here we are, sitting side by side.
“I just wish things were different between us, Lukas.”
Aku berusaha untuk tidak mengucapkan kalimat itu, tapi, aku tidak bisa menahannya. Ada dorongan kuat untuk mengungkapkannya. Aku sadar, mengucapkannya, terdengar seperti hubunganku dengan Stefan adalah sebuah kesalahan, seperti aku tidak menginginkannya. Hubunganku dengan Stefan tidak akan pernah menjadi sebuah kesalahan. Aku hanya berharap kami tidak bertemu dalam keadaan seperti ini. Kalaupun takdir menginginkan kami bertemu kembali, akan lebih mudah bagiku untuk mengendalikan perasaanku terhadap Lukas, jika aku sudah bisa melupakan sepenuhnya perasaanku kepadanya. Aku yakin, Lukas pasti berharap hal yang sama. Yang terjadi dengan kami sekarang adalah kami sama-sama menahan apapun yang ingin kami lakukan atau katakan. And it sucks!
“Jangan bilang seperti itu, Satya. If things were different between us, we probably had a relationship back then, but we would never know how that relationship would turn out. We probably would hate each other when our relationship didn’t work. Kebohongan Rena, memang membuat kita jadi seperti ini, but, maybe that’s the way it should be. And now, you’re happy with Stefan.”
Aku langsung menatap Lukas. “You’re not a psychic who know exactly what I’m feeling.”
Lukas terdiam, sadar bahwa dia berasumsi tentang hal yang sepenuhnya hanya aku yang mengetahuinya.
Lukas seperti ingin mengikutsertakan Stefan sebanyak mungkin dalam percakapan kami, jika dia memiliki kesempatan. Ini seperti ketika dia dulu menyebut nama Rena setiap kali kami membahas sesuatu. Seperti aku dan Rena harus ada dalam satu kalimat. Kali ini, dia seperti ingin mengingatkanku, bahwa aku milik orang lain, milik Stefan. Bahwa perasaan kami tidaklah penting.
“I’m not.”
Kami saling bertatapan dan Lukas seperti menginginkan aku melupakan apa yang kami bicarakan. Dia seperti memintaku untuk tidak mengatakan apa yang ada di pikiranku saat ini dengan tatapan matanya.
So, I did.
“You haven’t told me what happened, Lukas.”
Aku sepenuhnya sadar, menceritakan kembali apa yang menyebabkan Lukas jadi seperti ini, bukanlah sesuatu yang mudah untuknya. But, I need to know. I want to know. Aku menunggu saat yang tepat untuk menanyakannya.
Melihat Lukas dengan dua tongkat penyangga, masih membuat hatiku miris. Bayangan Lukas berjalan menuju ke pantai setiap kali dia selesai surfing dengan menenteng surfing boardnya, tubuhnya yang masih basah dan air laut yang menetes dari rambutnya, membuat tenggorokanku tercekat. Lukas pasti mengalami masa-masa sulit setelah apapun yang menimpanya. Jika saja Rena bisa menghilangkan perasaan cemburunya, kejadian ini mungkin saja tidak akan pernah terjadi ataupun kalau memang harus terjadi, aku mungkin bisa menemani Lukas. Bayangan akan Rena membuat dadaku bergemuruh. Sumpah serapahku rasanya tidak akan pernah habis untuk apa yang dilakukannya.
“It was a ski accident, Satya, when I was skied in Alpen. I don’t have to tell you the detail of it, do I?”
Aku hanya mampu menelan ludah. “Apa kata Dokter? Kamu akan bisa jalan lagi tanpa bantuan tongkat itu kan?”
Lukas memberiku senyum lebarnya dan mengangguk. “Jangan khawatir Satya, aku akan baik-baik saja. It takes time, but yes, I will be able to walk again without the sticks.”
Aku kembali memaksakan senyumku, meskipun ingin rasanya memaksa Lukas menceritakan lebih detail apa yang terjadi padanya. But, knowing that he will be alright, that’s enough for now.
“Stefan loves you very much, Satya. He’s an amazing guy.”
Aku menelan ludah mendengar Lukas mengucapkan itu. Ada bagian dariku yang berharap agar Lukas tidak mengatakannya. Mendengarnya dari orang lain mungkin adalah sebuah pujian dan aku akan dengan senang hati menerimanya. Tapi, Lukas? Aku merasa ada sayatan yang menggores hatiku. Tidak lebar tapi cukup untuk membuatku merintih kesakitan.
“He does.”
“Kamu mencintainya kan Satya?”
Aku hanya diam. Namun, dari ekspresi Lukas, aku tahu bahwa dia berharap aku mengiyakan pertanyaannya. Aku menatapnya dalam, berharap dia tidak mengajukan pertanyaan itu.
Ekspresi Lukas berubah ketika aku tidak juga mengalihkan tatapanku darinya.
“Satya…”
Aku mengalihkan pandanganku dari Lukas ke seisi ruang tamu yang masih sedikit berantakan dengan beberapa benda yang belum berada pada tempat yang seharusnya. Aku berharap, apa yang ada di hadapanku saat ini mampu menghilangkan suara Lukas ketika menanyakan apakah aku mencintai Stefan atau tidak. Sebelum kebohongan Rena terungkap, aku tidak akan ragu menjawab pertanyaan itu. Namun, ketika aku kembali melihat Lukas dan menghabiskan satu hari bersamanya, aku seperti diingatkan kembali, betapa kuatnya perasaanku dulu terhadap Lukas dan harga yang harus aku bayar untuk bisa mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku masih mencintai Stefan, namun, melihat Lukas lagi, membuat perasaanku kembali menyeruak. Aku tahu, tidak mungkin cintaku terbagi untuk Lukas dan Stefan. Namun, saat ini, sebagian hatiku memilih untuk bersama Lukas dan sebagian lagi, memintaku untuk menelpon Stefan agar dia menjemputku.
“He asked me to legalize our relationship.”
Entah kenapa, aku memberitahukan hal ini ke Lukas. Mungkin, aku berharap, melihat Lukas kecewa dan mengatakan sesuatu yang akan membuatku berpikir untuk menolak apa yang Stefan minta dariku.
“Wow! That’s a good news, Satya! I’m happy for you!”
Aku menatap Lukas, yang terlihat begitu bahagia dengan memberiku senyum lebarnya. Sesuatu yang tidak aku harapkan akan diberikan Lukas ketika mendengarku mengatakannya.
“I haven’t said yes.”
Ekspresi Lukas berubah. “Why?”
“Karena Stefan minta jawabanku setelah kita ketemu. Kalaupun aku mau, dia ingin itu yang benar-benar aku inginkan. Not because I have to be with him but because I want it.”
Aku menatap Lukas yang mengalihkan wajahnya dariku, hingga aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.
“Apa yang kamu tunggu, Satya?” tanya Lukas setelah kedua mata birunya kembali menatapku. “Kita sudah bertemu sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu pikirkan kan?”
Aku diam.
“Satya,” Lukas kemudian mengulurkan tangannya dan menggenggam jemariku, sebelum membiarkan sebuah senyum terpasang di wajahnya. “Please, call him and accept his proposal.”
Aku menatap Lukas, seperti tidak percaya bahwa aku mendengar apa yang diucapkannya dengan benar. Genggaman tangannya yang kuat, namun lembut, seperti ingin meyakinkanku untuk melakukan apa yang baru dimintanya dariku. Menerima lamaran Stefan.
“I’m still not sure about that, Lukas.”
Lukas menghela napas. “Satya…aku nggak mau kamu berpikir bahwa kita masih punya kesempatan untuk menjalani apa yang nggak pernah kita punya. It’s not that I don’t want it, but I…I just can’t do this to you or to Stefan.”
Butuh beberapa menit bagiku untuk mencerna kalimat Lukas. Begitu aku mengerti apa maksud kalimatnya, aku menatap Lukas dalam-dalam. Sebagian dari hatiku ingin meminta Lukas menarik kembali kalimatnya. I never thought that I would hear that words from him. Kalimatnya, seperti sebuah pertanda bahwa dia tidak menginginkanku dan menegaskan, apa yang kami rasakan, tidaklah penting.
“You let me go?”
Lukas menggelengkan kepalanya. “How can I let you go, Satya? You’ve never been mine. I asked you to come back to Stefan and be happy with him. What we have…let it be a history between us…”
Kalimat Lukas benar-benar membuatku tersentak.
You’ve never been mine…
“Lukas, I…”
Aku merasakan tangan Lukas menyentuh pipiku dan merasakan jemarinya membelainya lembut.
“Call Stefan and say yes to his proposal, Satya. Aku mohon…”
Aku menelan ludah dan memandang Lukas. Sebagian dari diriku ingin mengeluarkan semua sumpah serapah yang ada dalam diriku ke Lukas, karena dia meminta sesuatu yang akan melukainya, seperti ketika Stefan memintaku untuk menemui Lukas. Ada apa dengan mereka berdua? Kenapa mereka memintaku untuk memilih dan mengambil keputusan yang, apapun keputusanku, akan membuat mereka terluka?
Kami saling bertatapan dan ada sesuatu dalam tatapan Lukas yang membuat tubuhku bergerak untuk mendekatinya. Wajah kami berdekatan hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Aku hanya memejamkan mata, berharap bahwa Lukas akan menciumku seperti tadi ketika dia menjemputku di stasiun. Aku ingin Lukas menginginkanku. Seluruh tubuhku bereaksi atas sentuhan Lukas. Ketika akhirnya aku memang merasakan bibir Lukas menyentuhku, hatiku seperti menangis. Lukas mendaratkan bibirnya di keningku. Aku merasakan kecupan lembut sebelum akhirnya, kedua lengannya merengkuhku dalam pelukannya. Erat. Seperti Lukas tidak ingin melepaskannya. Aku membiarkan indera penciumanku menghirup semua aroma tubuh Lukas dan membiarkan kulit kami bersentuhan. Aku membiarkan wajahku terbenam di dadanya, merasakan detak jantungnya. Perlahan, aku menggerakkan lenganku untuk membalas pelukan Lukas dan membelai rambutnya. Aku berjuang untuk tidak membiarkan emosi menguasaiku saat ini.
I just simply want the ticking of the clock to stop right now.
Ketika akhirnya dia melepaskan pelukannya, Lukas tersenyum, sekalipun aku tahu, bahwa senyum itu bukanlah senyum yang biasa diberikannya kepadaku. Senyum itu terpasang di wajahnya karena dia menginginkan aku melihatnya.
“Call him, Satya…”
“Lukas…”
“I’ll get some water.”
Lukas kemudian bangkit dari sofa dan berjalan menuju ke dapur. Tatapanku masih terpaku padanya hingga sosoknya menghilang dari hadapanku, sementara perasaanku masih tertinggal. Aku masih berusaha membawa diriku kembali ke dunia nyata setelah apa yang baru aku alami dengannya.
Aku menelan ludah, memejamkan mata dan membiarkan oksigen mengisi paru-paruku, sebelum mengeluarkan ponsel dari saku celanaku dan mencari nama Stefan.
Aku menarik napas panjang sebelum menekan tombol CALL.
“Stefan?…Aku baik-baik aja…Yes, I met him…Stefan, can you come to Köln tomorrow? I have something to say to you…I can’t tell you now, just come, okay? I’ll ask Lukas where we’ll meet and what time and I’ll text you later…have you had your dinner?…Yes, we just arrived at his apartment…See you tomorrow, okay?…Good night, Stefan.”
Aku menghela napas panjang dan menundukkan wajahku begitu sambungan kami terputus. I couldn’t tell him…I couldn’t…Aku hanya berharap, Stefan tidak mengetahui betapa gemetarnya diriku.
“That’s not a yes, Satya.”
Suara Lukas itu membuatku mengangkat wajah dan menatapnya. Ada ekspresi yang belum pernah aku lihat sebelumnya di wajahnya. Mungkinkah dia kecewa bahwa aku tidak mengatakan apa yang dimintanya dariku?
Aku mengangguk. “I know.”
LUKAS : MY ENDING WITH SATYA
“You still remember I like something sweet.”
“Like me?” balasku sambil memberinya senyum lebarku.
Satya menggelengkan kepalanya, tanpa bisa menyembunyikan senyum itu dari wajahnya.
My heart is smiling, too.
Kami sedang menunggu Stefan di Merzenich Bäckereien. Aku masih ingat dengan jelas kalau Satya suka makanan yang manis seperti cake, jadi aku membawanya kesini. Bahkan, di cuaca yang menurutku sudah mulai menghangat, aku masih tidak percaya Satya memesan Hot Green Tea untuk menemani Mozart cake yang dipesannya. Sementara aku, hanya memesan air mineral dan Schinken-Käsebrötchen, cheese roll and ham. Kami duduk di patio dan menyaksikan orang berlalu lalang, karena Satya ingin duduk di luar, sesuatu yang tentu saja tidak bisa dilakukannya di Bali. Ada perasaan yang bertentangan mengisi hatiku sekarang. Having Satya sitting in front of me and eating his cake, reminded me of so many moments when I was in Bali and we had the same moments like now. It’s…still unbelievable to me that I finally be able to sit in front of him again. Aku tentu saja bahagia bisa melihat Satya lagi dan tahu bahwa dia baik-baik saja.
Namun, ada perasaan tidak rela melihatnya harus kembali ke Stefan.
Aku tidak mungkin menarik kalimatku tadi malam agar Satya kembali ke Stefan. I want him to be happy. With me. Munafik jika aku menginginkan agar Satya bahagia bersama Stefan, setelah apa yang harus kami jalani akibat kebohongan Rena. Aku ingin Satya tinggal bersamaku disini, aku yakin, akan ada jalan agar dia bisa tinggal bersamaku. I would do whatever it takes to keep him here. Dan aku bisa membuat Satya memilihku, bukankah dia mengatakan kepadaku, dia mencintaiku? Semalam, bisa saja aku memiliki Satya dan memeluk tubuhnya dan terbangun, dengan dia disampingku. Pagi ini, aku akan jadi pria paling bahagia di dunia.
But…I didn’t want that, either.
Aku ingat ketika menerima telepon dari Stefan, yang ingin bertemu denganku dan tiba-tiba saja, membicarakan Satya. Awalnya, aku menganggap dia gila, bahkan, aku sempat mengancam akan melaporkannya ke polisi karena aku sama sekali tidak mengenalnya dan dia tanpa lelah memintaku untuk bertemu dengannya. Stefan bukan hanya meminta, tapi dia memohon untuk bertemu denganku.
When I decided to see him, he turned out to be the most amazing guy I’d ever met.
Ketika dia menceritakan semuanya, siapa dia, kenapa dia sangat bersikeras untuk bertemu denganku dan tujuannya menemuiku, aku tahu bahwa untuk kedua kalinya, aku mungkin harus membiarkan perasaanku terhadap Satya terkubur. Kali ini, karena Stefan. I could see from his eyes and the way he talked about Satya. Aku sempat tidak mengerti kenapa dia ingin aku menjemput Satya di stasiun dan kenapa dia ingin sekali agar Satya bertemu denganku. You know what did he say? Dia hanya ingin Satya tidak menyimpan lagi perasaannya terhadapku. Kebohongan Rena jelas sesuatu yang tidak pernah diduga Satya dan mengetahui kebenaran atas kebohongan itu, Stefan yakin akan ada sesuatu yang mengganjal dalam hubungan mereka. He didn’t want that. Dia bahkan memintaku berjanji untuk membahagiakan Satya, jika memang akhirnya, Satya memilih untuk bersamaku. Dia hanya ingin melihat Satya bahagia, tidak peduli jika Satya memilihku.
Setelah pertemuan itu, aku masih bimbang apakah aku harus menjemput Satya atau tidak, karena melihat Satya lagi, akan membuatku mampu melakukan apa saja agar dia tetap bersamaku. Sempat terpikir olehku untuk tidak menjemputnya, membiarkan Satya sendirian hingga dia merasa kecewa dan akhirnya, mungkin, membenciku atau membiarkannya berpikir aku sudah memiliki orang lain.
Namun akhirnya, aku memutuskan untuk menjemputnya dan meyakinkan diriku sendiri, bahwa memang itulah yang aku inginkan. Bertemu dengannya. When I first saw him, standing there, just like Satya that I saw on the day I left Bali, I couldn’t help myself to walk into him and kissed him. Ada perasaan yang begitu luar biasa menguasaiku ketika akhirnya kami berciuman. To me, it wasn’t just a kiss. To me, it was a manifestation of what I had kept, of my feeling and my longing for him. Ketika Satya mengatakan perasaannya terhadapku dan memaksaku untuk melakukan hal yang sama, ada perasaan lega, bahwa akhirnya Satya mengetahui perasaanku.
I meant what I said. And I still love him. And that feeling, won’t be vanished any time soon.
Setelah itu, kami tidak terlalu banyak bicara. Aku berusaha untuk berhati-hati dengan ucapan dan perbuatanku. Aku mengendalikan diriku untuk tidak meraih tangan Satya dan menggengamnya atau mendekatkan wajahku untuk menciumnya. Aku seperti melihat ombak tinggi dihadapanku dan kedua kakiku sudah gatal ingin mengarahkan surfing boardku kesana, namun, aku akhirnya membiarkan ombak itu melewatiku begitu saja.
Ketika tadi malam Satya bilang bahwa Stefan ingin melegalkan hubungan mereka, namun, dia meminta Satya untuk menemuiku terlebih dahulu agar dia yakin dengan apa yang dia inginkan, aku tahu bahwa aku harus meminta Satya kembali ke Stefan. Tidak ada satupun pria yang meminta orang yang dicintainya untuk menemui pria lain yang dia tahu, bisa merenggut orang itu dari sisinya. Apa yang Stefan lakukan, membuatku sadar bahwa dia begitu mencintai Satya, melebihi perasaanku terhadap Satya. Hanya pria berjiwa besar yang bisa melakukan itu. So, I asked him to accept his proposal and told him that what we felt, I wanted it to be history for us.
I lied.
Tentu saja aku berbohong. Namun, memang itu yang harus didengar Satya. Aku lebih yakin bahwa Stefan lebih bisa membuat Satya bahagia daripada aku. What can I do to make him happy? I’m just a cripple man. Untuk berjalan saja aku membutuhkan dua tongkat dan Dokter sudah menjatuhkan vonis bahwa aku tidak akan bisa berselancar lagi. See? Aku bahkan sudah berbohong kepada Satya tentang kondisiku sebelumnya. Jika kebohonganku mampu membuat Satya kembali ke Stefan, then I would keep lying. Aku bahkan menertawakan diriku sendiri ketika pikiran bahwa aku bisa membuat Satya bahagia, menyelinap. Such a silly thought.
Ketika Satya memintaku untuk menemaninya ketika Stefan menjemputnya, aku tanpa ragu mengiyakannya. Mungkin, ini misi bunuh diri pelan-pelan. Melihat Stefan dan Satya, pasti akan membuat dadaku sakit. Tapi, aku memilihnya, karena rasa sakit itu bisa membuatku merelakan Satya dan akan membuatku bisa membuka hatiku kembali suatu saat nanti. Saat ini, aku masih membiarkan Satya berdiam disana. Aku belum bisa membiarkannya pergi.
“Lukas…”
“Ya?”
“I’m sorry.”
Aku mengerutkan alis sambil menatap Satya. “Untuk apa, Satya?”
“For the things we will never have and for the things we didn’t have.”
Aku menghela napas sebelum menggelengkan kepala. “Satya, it’s not your fault, so no need to apologize. Don’t make me curse Rena for what she had done to us.”
Rena…mengingat ataupun menyebut nama itu selalu membuatku geram dan kebencianku terhadapnya menjadi berlipat ganda. Aku selalu berdoa agar Tuhan membalas apa yang telah dilakukannya kepada kami. I want life treated her worse that what Satya and I had been through. There’s no way I would forgive her for what she did.
“Will you forgive her?”
Aku menggeleng. “Will you?”
Satya juga menggelengkan kepalanya. “Stefan berusaha agar aku maafin Rena but I can’t. She betrayed my trust and he put Stefan in this situation, something that shouldn’t have happened in first place. How could I forgive her for that?”
“Let’s not talk about her, Satya. It always ruins my mood.”
Ketika surat dari Rena datang dan menceritakan apa yang disembunyikannya dariku dan Satya, ingin rasanya aku menemui Rena dan menumpahkan semua kata-kata kotor yang ada di kepalaku saat itu juga. Sejak itu, aku tidak pernah berhenti berharap bahwa Rena akan merasakan sakit yang aku rasakan karena menyimpan perasaan khusus terhadap Satya. Bagaimana mungkin orang yang aku percaya,yang aku anggap sebagai sahabat, yang menganggap dirinya sebagai sahabat Satya, melakukan hal seperti itu? Aku bahkan melempar semua benda yang ada di kamarku dan mengunci diri selama beberapa hari di kamar. Surat Rena datang ketika aku masih berusaha menerima fakta bahwa aku tidak akan bisa berselancar lagi. How did that supposed to make me feel?
“Lukas, can I ask you something?”
Aku mengangguk.
“Was there someone else?”
Aku memang kaget Satya belum menanyakn hal itu. Bukan berarti aku mengharapkan pertanyaan itu darinya, aku hanya berpikir itulah pertanyaan pertama yang ingin diajukannya ketika bertemu denganku kemarin. Aku juga tidak ingin menjadi orang pertama yang mengangkat topik itu.
Aku mengangguk. “It didn’t work. Just don’t ask me why,” jawabku sambil tersenyum, berharap Satya tidak akan membahas tentang pertanyaannya.
Hanya ada satu pria yang hadir dalam hidupku sejak meninggalkan Bali. Fabio, pria Italia yang aku temui di sebuah pesta ulang tahun teman. Seperti umumnya tipikal pria Italia, dia begitu menarik, dengan logat Italianya yang masih kental sekalipun sudah hampir satu tahun dia tinggal dan bekerja di Jerman. Aku begitu merindukan Satya saat itu dan perhatian yang diberikan Fabio, seperti sebuah kompensasi atas rasa rinduku terhadap Satya. Ketika akhirnya kami menjalin hubungan, perhatian Fabio terhadapaku menjadi semakin besar, bahkan, ketika aku memperkenalkannya ke keluargaku, mereka langsung menyukainya. He’s a good man. Tapi, perhatian Fabio yang besar itu, perlahan membuatku merasa bersalah karena aku tidak bisa memberikan hatiku sepenuhnya untuknya. Masih ada Satya. Dan hubungan kami hanya berjalan sepuluh bulan, meskipun ketika kami putus, Fabio masih tidak tahu kenapa aku ingin mengakhiri hubungan kami. Aku tidak bisa membiarkan Fabio menghabiskan waktu dan perhatiannya untukku, yang tetap memikirkan Satya, bahkan ketika Fabio tidur di sebelahku. I just couldn’t.
Kepergianku ke Alpen waktu itu, murni karena aku ingin menyendiri. Berusaha melupakan rasa bersalahku terhadap Fabio, menekan perasaan rinduku terhadap Satya dan mengekang logikaku agar tidak membuatku memesan tiket ke Bali untuk menemui Satya dan membiarkan dia tahu tentang perasaanku. Bahkan, ketika kecelakaan itu terjadi, aku membayangkan wajah Satya yang diterangi apa unggun dan menyanyikan Devoted To You milik The Everly Brothers ketika kami ada di Nyang Nyang. Video yang aku rekam, menjadi satu-satunya hal yang mampu membuatku tersenyum ketika aku dalam masa penyembuhan.
Keputusanku untuk menghilang dari kehidupan Rena dan Satya, setelah kecelakaan itu, adalah murni karena aku tidak ingin mereka mengasihaniku karena kondisiku. Terlebih Satya. Ada saat-saat dimana aku merindukan mereka berdua, terlebih Satya, dan satu-satunya hal yang bisa membuatku bertahan, adalah video itu. Aku berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan semua orang yang menanyakan kondisiku, aku tersenyum dan mengatakan kepada mereka bahwa aku akan sembuh. Aku tidak pernah berhenti membayangkan apa yang akan Satya lakukan kalau dia tahu kondisiku. Hanya membayangkan Satya ada di sebelahku ketika aku bergulat dengan rasa sakit dan frustasi atas vonis dokter, mampu membuat hatiku bahagia.
Aku tersenyum ketika melihat Satya sudah menghabiskan Mozart cake nya. I’m gonna miss him again, but, this time, I know that he’s happy with Stefan. I don’t have to worry about him anymore since Stefan will take care of him, will make him happy.
“That’s the most delicious cake I’ve ever had! Thank you for taking me here, Lukas.”
“Glad you like it.”
Kami saling bertatapan. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Satya saat ini, tapi dari tatapan matanya, aku tahu, ada sesuatu yang dia tahu ingin dikatakannya tapi ditahannya. Just like me.
“Lukas, aku bisa minta sesuatu dari kamu?”
“Asalkan kamu nggak minta aku buat lari, I’ll do it,” jawabku sambil tersenyum.
Satya menggelengkan kepalanya. “That’s not funny, Lukas.”
“Sorry.”
Aku sudah mulali bisa menertawakan keadaanku, in a sarcastic way, of course. Instead of being miserable, I try to accept my condition just to make me feel better by joking about it. At the right place, right time and right people.
“Can I ask you to promise me, that you will find a much much better man than me and that we will keep in touch…as friends?”
Biasanya, aku selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali kata ‘janji’ disebut. Sebagai pria dewasa, aku beranggapan bahwa setiap kalimat yang terucap, adalah sebuah janji yang harus ditepati. Hanya itu yang bisa dipegang dari seorang pria, kata-katanya.
Aku mengangguk.
“I promise you, Satya. For both. Don’t worry about that. I’m not going to be alone for the rest of my life while you and Stefan have a perfect life,” ucapku dengan nada ringan, seolah mengucapkan itu tidak membuat dadaku sesak. “I’ll catch up with that, so, don’t worry.”
Satya tersenyum. “Okay, I’m gonna check on that regularly.”
Kami berdua tertawa.
Napasku seperti tertahan ketika mataku menatap sosok Stefan yang sepertinya sedang mencari kami. Tanpa sadar, aku mengangkat lenganku dan melambai ke arahnya. Satya mengikuti pandanganku dan begitu melihat siapa yang sedang menuju ke meja kami, aku melihat ada senyum di wajahnya.
“The prince charming is coming to pick up his king.”
Satya hanya bisa menggelengkan kepalanya, namun, senyum itu masih tertahan di wajahnya. Aku menganggap senyum Satya itu sebagai tanda bahwa dia bahagia, sekalipun aku tidak tahu, seberapa besar kadar kebahagiaan yang dirasakannya.
Satya bahagia. Itu yang terpenting.
“May I join you gentleman?”
Kalimat Stefan itu langsung kami sambut dengan senyum dan Stefan langsung mengambil kursi yang memang letaknya ada di antara aku dan Satya. Aku memperhatikan pandangan mata Stefan ke Satya dan aku yakin, tidak salah menafsirkan pandangan itu sebagai sebuah pemujaan. He loves Satya, so much. Meskipun tahu akan merasakan sakit melihat Stefan dan Satya, aku juga bahagia. Strange as it may sound, but it’s true.
Stefan kemudian memandangku dan mengulurkan tangannya.
“Apa kabar, Lukas?”
Aku membalas uluran tangannya. “I’m great, as you can see.”
“Stefan, kamu mau sesuatu? They have good selection of bread and cakes here. I can get you some. Lukas? I want to get another cake. I was eyeing that Käse….Käse…”
“Käse-Kirschkuchen, Satya,” sahutku, yang disambut Stefan dengan tawa.
“I’m good, Satya. Not hungry for now.”
“Satya, why don’t you stay here and let me get you the cake? I need to go the bathroom anyway,” tawarku.
“You don’t have to, Lukas.”
“I insist,” jawabku sambil meraih dua tongkatku dan berusaha berdiri. Stefan berusaha membantuku namun aku menggelengkan kepala. “I’m fine, Stefan, thanks. So, Satya, are you sure you don’t want anything else?”
“Yes, I’m sure. Lukas, you don’t have to…”
“I insist, Satya. Geez! Why don’t you two kissing each other or do something like lovers do while I’m away for 10 minutes?”
Aku melihat ekspresi bingung di wajah Stefan dan Satya hanya bisa menundukkan wajahnya, sebelum aku beranjak menjauh dari mereka berdua, dengan senyum di wajahku.
Begitu berada di balik pintu kaca, aku menghentikan langkahku dan membalikkan tubuhku. Mataku menatap Stefan serta Satya, yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu sebelum aku melihat senyum terpasang di wajah mereka. Stefan kemudian mengulurkan tangannya untuk meremas tangan Satya dan mengecupnya, sebelum mendekatkan tubuhnya untuk mencium kening Satya.
Aku menarik napas dalam-dalam menyaksikan itu semua. Aku tidak akan mengingkari betapa sesaknya dadaku melihat mereka berdua. Sakit. Tapi, aku memang memilih untuk merasakan sakit ini. Aku percaya, ini yang terbaik untuk Satya.
Aku menghela napas panjang.
Somehow, I feel that life has its own way in showing me how to live the life I have. Through lies and tragedy. I have my angers and grudges about how life had treated me, after all, I’m just a man. I realize, nothing is fair in life and it will never be. But, seeing Satya and Stefan right now, knowing that Satya is happy and believe that he will always be happy, it relieved me. Even if I had a choice, of having a relationship with Satya in the past or seeing him right now, I would choose to see him right now. I believe, everything happens for a reason in life, just like with my story and Satya. Though it might ended here, I believe, there’s a reason behind it. I just have to believe that it will lead me to something better.
Or someone better.
I painted a smile on my face. For Satya and Stefan, for myself and for someone in my future.
***F I N***
FInally!!!!! Kelar juga nyelesain tugas buat posting disini. LEGA!!!
*WARNING* Ini bakal jadi reply paling panjang sepertinya, hahahaha.
Terima kasih, danke, merci, arigato, matur nuwun, matur suksma, thank you, xie xie buat semuanya yang udah ngikutin kisah ini dari awal. Udah ngebela Satya sama Lukas, udah maki2 Rena, udah jatuh cinta sama Stefan. Thank you semuanya *ambil tisu terharu* Buat komen2nya, yang pendek yang panjang, buat para silent readers *kutunggu komen kalian * dan buat kritik, saran, pujian, I just can't thank you enough.
Semoga, pada suka sama cerita ini dan nggak protes sama endingnya atau minta dilanjut di sekuelnya, hahahaha. Dan maaf juga kalau ada salah2 kata, nggak bisa nurutin maunya kalian gimana dan kalau ada yg minta dimention tapi kelupaan *maafkan saya yang hanya manusia biasa yang sering lupa* Semoga menikmati cerita ini dan nggak kapok buat baca cerita2 selanjutnya dariku. Maafkan juga kalau udah bikin mata kalian merah karena nangis, ngabisin tisu, jadi galau akut, galau bekepanjangan, sesunggunya memang sudah tugas saya untuk bikin kalian seperti itu *evil grin*
Buat yg udah PM dan bersedia jd narasumber buat cerita selanjutnya, juga terima kasih banyak. Buat yg udah jawab pertanyaan ttg Tumblr, juga thank you!
Once again, thank you sooooooo much for everything. I love you all!!
Back to reply your comments
@yeltz : Sori ya udah ngejatuhin harapan kamu, hihihihi
@masdabudd : Udah kejawab semua kan pertanyaan kamu?
@zackattack : hahahaha, pengen sih posting fotonya 'Lukas' di twitter tapi nanti pada delusi gimana? hahaaha. Biarkan real 'Lukas' milik penulis seorang #tsaaah
@adam25 : Udah kejawab kan pertanyaan kamu? Nggak papa sih aku-kamu, hahahaha. Masalah bf, biarkan pertanyaan kamu, cukup aku saja yang tahu jawabannya #loh #eh. Ya mungkin memang udah jodohnya #ceile Nggak ada resep apa2, memangnya jodoh bisa diresepin ya #eeeaaa Tapi, memang lebih suka orang luar, don't ask me why
@arieat : Aduh, mulai lagi deh sama lagu2 yang aku tahu tapi keseringan lupa lagunya siapa
@tama_putra : Thank you!!! Masih belum bikin, kok, kan masih rencana
@tialawliet : Jadi? apa kesimpulanmu setelah baca endingnya? hahaha. Happily ever after juga kan?
@marobmar : Maaf sudah mengecewakan dirimu
@totalfreak : kenapa nggak suka tipe2 kayak Stefan? terlalu dewasa ya? atau terlalu too good to be true? hahahaha
@sky_borriello : Kenapa memangnya kalau living together? Hehehehe.
@YuuReichi : Udah kejawab kan pertanyaan kamu?
@farizpratama7 : Thank you!!! Kamu juga bisa lah bikin adegan begitu. Perlu latihan aja, aku juga masih latihan kok, masih belajar juga
@hwankyung69 : Perasaan, aku dulu pernah bilang deh masalah ini, kenapa kok jadi pada heboh begini? hahahahaha. Not a big deal ah punya cowok bule. They're human like us
@idhe_sama : Hahahaha, ayo bangun, nanti masuk angin kalau duduk disana terus, keujanan pula
@Adam08 : thanks buat arahannya Kebetulan udah ada yg bersedia jadi narasumber Masih rencana kan itu di tumblr? Aku juga belum mutusin kok, ceritanya kayak apa juga belum tahu, hahahaha.
@yuzz : Iiiih, kamu itu, suka begitu deh, hahahaha. Yg ini dijamin nggak bikin air mata kering kok, dijamin deh Cepet banget? Nggak juga ah, posting pertamaku bulan Juni kan? jadi, lima bulan buat satu cerita itu lumayan lah
@timmysuryo : Hahahaha, bener. Kadang bilang I love You sama orang yg jelas2 udah jadi pacar aja susah, apalagi kalau kondisinya kayak Lukas-Satya
@DM_0607 : Nggak ah kalau posting di dua tempat, time consuming banget. Nanti dikasih tahu akhirnya posting dimana, ceritanya aja blm tahu mau kayak gimana
@Adra_84 : Tumblr actually quite popular in Indonesia, I don't have one, hahaha. Atonement is, indeed Keira Knightley but with James McAvoy, not Collin Farrel A Single Man kind of novel? Interesting, hahaha. I haven't seen the movie but I just finished reading the book about a week ago and one of my dreams is writing that kind of novel, style-wise, with stream of consciousness style. Just like most of Virginia Woolf's novels. I'm actually reading one of her novels right now and wrote some paragraphs using that style and it's hard!!
@rarasipau : Hahaha, menurutku, lirik A Moment Like This itu pas banget. Kan ada liriknya yg begini "some people wait a lifetime for a moment like this" jadi pas aja, hehehe. Udah nggak digantung lagi kan ya?
@dheeotherside : Pasti bakal beda lah endingnya, lol. Udah pasti itu.
@Venussalacca : Wah, komen kamu tumben panjang bener. Menganalisa situasi Satya sampai segitunya. Thank you!!!
@kyiskoiwai : Udah tahu kan keputusan Satya gimana? hahaha
@faghag : Hahaha, rahasianya ya jadi Satya lah. Tiap kali aku nulis satu adegan, aku pasti jadi karakter itu, jadi bisa bener2 ngerasain, kadang sampai nangis beneran lho kalau scene nya sedih, hahaha. Saking kebawa suasana Ya, dilakuin aja lah sama pacarnya #loh #eh
@WinteRose : hahahaha, udah nggak kentang lagi kan?
@raroma : masak sih sedih? Perasaan nggak sedih2 banget *MintaDigetok*
@AhmadJegeg : Thank you!!!
@somewhereouthere : Maaf sudah mengecewakan harapanmu
@obay : Masak? Best Man kalah ya? hahahaha
@tyo_ary : masak drama Korea? hahahaha. Akhirnya, ada kan POV Lukas? hehehe. Dr awal, memang POV nya Lukas disimpen buat ending
@chandisch : Msh rencana kok, belum fix
@Kim_Kei : Pertanyaan kamu tentang Lukas udah kejawab kan? Yg ini baru ending
@Lonely_Guy : Hahaha, sbnrnya sih memang ada benernya alasan aku sering bikin cerita dengan tokoh orang Indo dan bule Tp, lebih asik aja sih buatku. Nggak tahu kenapa.
@RifqiAdinagoro : Lah, apa hubungannya jadi penulis sama stres? hahaha. Justru penulis itu sering stres loh #Eh #mendadakcurhat Waduh, susah kalau itu, soalnya nanti kalau pada jatuh cinta sama guru olahraga masing2 gimana? hahahaha
@kiki_h_n : hahaha, kamu mah selalu gitu kalau komen, sekali2 komen yg pedes gitu kenapa? Bilang ceritaku jelek kek, nggak masuk akal kek Kamu kayaknya pembaca yang berbudi pekerti yang budiman ya? #ApaSih
@andhi90 : Loh, bukannya emang happy ending kan? Buat Satya sama Stefan? Buat cerita selanjutnya, aku malah pengen bikin kalian ngabisin stok tisu. Udah cukup lama nggak bikin cerita yang bikin kalian nangis heboh kan? LOL
@ardi_cukup : Hahahaha, gak papa. Toh endingnya juga tetep ama Stefan kan?
@rendifebrian : Wah, terima kasih sekali dirimu mau berkunjung dan mengomentari cerita ini Thank you so much!
Writer's block itu kan buat diatasi, bukan diratapi, hehehe. Soalnya, awal2, aku postingnya kan seminggu sekali, jadi chapter yg aku post itu udah aku tulis berminggu2 sebelumnya. Pas mulai posting cerita ini, juga udah ada sekitar lima chapter, jadi memang nggak buru2. Aku nggak bisa nulis diburu2 gitu, hehehe.
Menanggapi poin2 kamu,
1. Paragraf yg mana yg sulit buat dicerna? Mungkin bisa aku buat lebih simple next time, hehehe. Mungkin, bukan kamu aja yang ngerasa gitu tp ada beberapa pembaca yg ngerasain hal yg sama tp nggak komen. Show me ya?
2. Aku juga belum sedewasa Stefan kok, hahaha. Sebenernya, nggak perlu jadi dewasa buat bikin karakter yg dewasa juga kok. Contohnya, gimana tuh penulis2 luar yg suka bikin historical fiction padahal mereka nggak hidup di zaman itu? atau penulis yg nulis tentang orang tua padahal mereka belum pernah jadi tua? Kuncinya adalah memang ngamatin orang, yg menurutku adalah pekerjaan utama seorang penulis Banyak baca, banyak nonton film2, aku yakin, kalau diniatin, pasti bisa bikin karakter yg dewasa
3. Masalah diksi, memang balik lagi ke masalah baca itu sih, hehehe. Semakin banyak baca buku, aku yakin, diksi juga pasti makin nambah. Coba baca AMBA nya Laksmi Pamuntjak, bnyk bgt diksi disana yg aku awalnya nggak tahu. Buatku, diksi di buku itu juara!
4. Karakter itu kan manusia, kita yg nyiptain, jadi, seperti manusia, karakter itu juga harus berkembang :0
5. Mslh typo, aku memang nggak langsung ngepost setelah nulis. Biasanya, setelah nulis satu chapter, aku diemin dulu beberapa hari, malah kadang seminggu lebih, terus aku baca lagi, koreksi, ditulis ulang dan sebelum dipost, dibaca lagi. Begitu. Aku rasa, penulis juga perlu lho jadi editor, at least buat typo begitu. Kita juga nggak bisa ngandelin orang lain terus kan buat ngoreksi tulisan kita?
Oh, SEBUAH PILIHAN HATI ya? Hehehe. Iya, itu cerita paling dewasa yg pernah aku buat. Glad you like it. Iya, aku tinggal di Bali. Sebenernya, sih, kuncinya cuma satu, banyak baca aja, dan jangan membatasi diri kamu sama satu genre aja. Aku dulu juga membatasi bacaanku, tapi sekarang, aku baca cerita apa aja. Mulai dr yg metropop, yg cheesy romance, yang temanya ringan banget, young adult, gay themed novels, sampai yang temanya serius dan novel2 literature kelas Man Booker Prize, yang kadang memang susah buat dimengerti tapi aku paksain diri buat baca. Aku percaya, semakin banyak buku bagus yg dibaca, kualitas tulisan kita juga akan kebawa. Paling nggak, aku sih berharapnya gitu, tulisanku jadi makin bagus dengan baca buku2 yg bagus juga.
Fiuh! panjang juga ya komenku? hahahaha. Nggak papa, deh, komen kamu kan panjang juga
@putra_prima @yubdi @Qwertyy @the_angel_of_hell @honest @alvian_reimond @bebong @fenan_d @bponkh @st34dy @adzhar @cmedcmed @LordNike @rebelicious @Emtidi @pokemon @DarrenHat @jakasembung @iboobb7 @nakashima @Leotama01@caetsith @Zhar12 @steve_hendra @Kim Leonard @DiFer @chaliszz @A@ry @yoko @Klanting801
Padahal masih berharap Lukas sama Satya bersama. Bahkan sampe ada kata FIN aku masih ga percaya klo mereka ga bisa pacaran, berharap ada kejutan satu scene lg klo Satya n Lukas akhirnya bisa bersama, ga mau ending yang begini, om... :-(
Aaaah hug tight Lukas >.<
Endingnya diubah aja dong om Abi *ngaco* hueeeee please Satya!!!
Kalo ini ada sequelnya aku masih berharap Satya bisa bersama dgn Lukas *tetep tim sukses Lukas-Satya*
Makasi uda sering di mention selama ini walopun sering telat telat komen, tapi aku selalu suka sama cerita om @Abiyasha
Ditunggu Next story nya ^_^
*berdoa menerima kenyataaan*
Makasih banyak kang abi selalu buat cerita yang uhh bingung mau komentarnya
#bakar author!
Buat ngobatin nyeseknya, gw bikin lanjutan sendiri. Nih garis besarnya :
- satya n stefan terlihat ngobrolin sesuatu : mereka bahas hubungan mereka, satya gak bisa nrima lamaran stefan. Stefan bisa nrima dg lapang dada, lalu nyium tangan n kening satya.
- stlh lukas balik dr toilet, mereka b3 k stasiun nganter satya n stefan balik k belanda. Tp tyta hny stefan yg naik kreta. Lukas awalnya bingung, tp akhirnya dia tau, satya milih dirinya!
-FIN (yang sebener2nya.. FIN yg di atas si author lg mabok, jd khilaf deh..maaf ya readers..)-