It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Charter 7 ini apa ku tulis ulang saja atau lanjut?
Lanjut daaahh.......
aku koreksi berdasarkan masukkan teman- teman.
====
Setelah Randy merasa kenyang mennyicipi rasa rindu kepada mendiang Rini pada sosok Cindy, ia pun mulai tenang kembali. Ia mulai mencerna kembali semuanya yang menggenangi relung hatinya. Cindy memang serasa memberikan apa yang pernah hilang. Namun ia pun tak lupa dengan Setiadi. Ia pun sadar ia berikan kasih sayang bukan karena tak adanya sosok wanita yang mendampinginya, tapi itu tumbuh dengan sendirinya sesudah Setiadi mendampingi dirinya sewaktu kehilangan Rini yang membuatnya mulai menyayangi sosok yang mampu menyokongnya sewaktu berduka, terlepas siapa dia. Dan Randy pun mulai bingung dengan perasaannya. Ia tertarik dengan sosok Cindy, namun ia pun sudah terlanjur butuh keadiran Setiadi, dan beberapa saat terakhir ia sadar terlah melupakan Setiadi dan larut dalam kerinduan lamanya. Hanya saja, ia kelepasan, tak sengaja membawa Cindy ke rumahnya karena lupa dompetnya dan orang tuanya sudah langsung menaruh hati kepada Cindy dan langsung memberi lampu hijau untuk lebih serius dengan nya. Dari situ orang tuanya mulai kerap menanyakan Cindy, memintanya lebih serius dengan Cindy. Pada malam Sabtu, ia memutuskan untuk menghubungi Setiadi lewat sms untuk mengajak jalan- jalan setelah lama tidak bertemu dengannya.
Apa kbr? Sibuk? Mo hang out?
Di tempat lain, Setiadi masih berada di kantornya, jam 21:20 sedang termenung sendiri sambil mengerjakan sendiri proses perawatan computer, perbaikan software dan segala macam keluhan dari staf. Sambil chatting bersama beberapa temannya sekedar pelipur lara ia mengerjakan semuanya tanpa melihat waktu dan stamina tubuhnya. Ponselnya pun berbunyi, ia melihat sms dari Randy. Ia pun menjawab
Gw mo hang out ama Jimmy dan temen kita, ud di jln
Ketiknya berbohong. Ia sedang tidak mau diganggunya. Setelah semua y ang ia dengar dari Cindy, Setiadi berusaha sebisa mungkin menghindar Randy, tidak kuat hatinya melihat Randy di depan matanya perlahan- lahan menjadi kepunyaan Cindy. Baru jam 23 lewat Setiadi baru keluar kantor. Ia pun mengambil ponselnya mengirim sms kepada Jimmy
Jim, lu dimana?
Selang beberapa detik ada sms balasan
Gw lagi kos, tadi ke CL. Lu dimana?
br kluar kantor. Gua boleh nginep ato lu nginep di gw?
apa? Jgn trl stress dong, ya ud gw nyusul, ksh kbr kl ud smpe
Setiadi mencegat taxi, masuk kedalam taxi
“Ke Grogol, Muwardi” katanya singkat
Taxi pun melaju. Sambil duduk di bangku belakang, Setiadi merenung apa yang sedang terjadi pada dirinya. Secara insting Setiadi meraih ponselnya, tak sadar membuka daftar kontak dan mencari nama Randy. Pas ia akan menekan pilihan kirim pesan baru ia termenung, ‘untuk apa gua sms dia? Dia kan lagi dating ama Cindy kan?’ Ia pun merasakan pandangannya kabur, nafasnya berat. Ia masih dengan jelas mengingat malam valentine itu dimana ia dibawa ke Kemang, di tempat kosnya Randy membuka dua kancing dan menempelkan kedua tangannya pada dada Randy, mempersilakannya meraih hati Randy. Ia menatap ke dua telapak tanganya, saksi dari peristiwa itu. Ia menangis sendiri di dalam taxi. Tanpa terasa ia sudah sampai di Grogol. Ia turun di jalan Muwardi Raya, dan berjalan ke arah kos Jimmy. Untuk mala mini ia sedang tidak ingin tidur di kosnya yang pernah menjadi saksi bisu kisah kasih nya dengan Randy. Sampai di tempat kos Jimmy, ia naik ke tangga ke lantai dua, bejalan melalui tiga pintu sampailah ke depan pintu kamar Jimmy. Ia mengetuk dan membuka pintu. Sementara Jimmy tertegun melihat Setiadi dengan postur lebih kurus, kuyu, mata merah sehabis menangis, penampilan acak- acakan. Jimmy sudah hafal keadaan itu sewaktu Setiadi kehilangan Harris.
“Sini Di, tuh mandi dulu deh, lu segerin badan lu. Ada kaos ama celana buat lu tuh”
Setiadi meletakkan tasnya di lantai, sambil menjawab
“Makasih yah Jim, bantuannya” sahut Setiadi lirih
Setiadi pun mandi selama kurang lebih 10 menit, lalu kembali ke kamar dan duduk termenung.
“Di, sampe kapan lu harus nyiksa badan lu?”
Setiadi tidak mampu menjawab.
“Gua gak tahu Jim, tadi sih Randy ngajak ketemuan”
“Loh kenapa lu malah ke sini? Lu tolak yah...”
“Kan udah ketahuan dating ama Cindy kan”
“Lu cemburu Di, kalo Randy mau jalan ama lu, pasti dia lagi gak jalam ama Cindy. Dia gak mungkin sejahat itu suruh lu lihat mereka berdua. Randy kan masih punya hati”
“Hati? Bukannya dia udah kasih ke Cindy toh”
“Anggap aja lu sekarang berteman ama dia”
“... gua gak bisa Jim, gua sudah terlanjur cinta Randy, ngeliat dia jalan ama Cindy buat gua hancur”
“Trus, lu mau ngehindar terus? Kenapa lu gak bicara empat mata aja ama Randy? Bilang terus terang lu cinta dia, dan berharap dia bisa memilih antara lu dan Cindy, apapun jawabannya lu harus terima”
“Gua gak sanggup. Itu sama saja dia tusuk hati gua, mending dia ambil pisau aja, tusuk dada gua... mati di pelukan dia pun gua rela... tinggal udahnya nikah lah ama Cindy...”
“HUSSSS! Gila lu Di...”
Jimmy melirik ke arah Setiadi yang sedang kacau.
“Yadi, apapun itu hasilnya, lu harus selesaikan urusan lu ama Randy. Kita udah kasih peringatan dulu, mencintai orang straight itu yah begitu resikonya”
Jimmy melihat Setiadi menangis. Ia tak tega melihat Setiadi dalam keadaan seperti ini.
Beberapa minggu pun berlalu. Randy heran, setiap kali ia mengajak Setiadi, selalu di tolak. Seribu satu alasan ada saja untuk menolaknya bertemu. Randy mulai membaca gelagat Setiadi yang sepertinya cemburu oleh kedekatannya dengan Cindy. Randy bisa menebak Setiadi marah dengannya karena beberpa waktu ini dia lebih akrab dengan Cindy. Memang ia akui, kemiripan Cindy dan mendiang Rini sudah membuatnya mabuk kepayang, namun ia tidak lupa sudah memberikan harapan kepada Setiadi. Ia bisa mengerti perasaan hati Setiadi terhadapnya, hanya ia bingung harus bagaimana bertemu dengannya sekarang. Ia pun memutuskan malam itu ia menunggunya di depan kamar kosnya. Ia pun berjalan kea rah parkiran mobil di Plaza Senayan, sambil menunggu cukup malam untuk bertemu Setiadi di tempat kosnya. Sesampainya di mobil, ia pun keluar dari mall dan melesat ke arah S. Parman, menuju Grogol. Sesampainya di kos Setiadi, ia melihat lewat celah di atas pintu kalau kamar Setiadi masih gelap. Ia pun tahu Setiadi belum pulang. ‘Ngapain Yadi jam segini belum pulang? Ini kan hari Kemis...’ mau tak mau dia harus menunggu di mobilnya. Ia melihat jam tangannya, jam menunjukkan pukul 21:40.
Randy sambil memutar radio mobilnya mengunggu Setiadi sambil menahan kantuk, pun belum melihatnya, beberapa orang yang mirip Setiadi, mahasiwa yang pulang kuliah ataupun sedang mencari makan. Baru setelah jam 22:50 di saat ia hampir tertidur, ia terbangun sesekali, melihat lewat cermin seseorang turun dari taxi, menenteng tas. Orang itu mirip Setiadi dari siluetnya. Ia melihat orang itu berdiri diam, dari arah kepalanya seperti sedang melihat ke arahnya, dan berjalam ke arah kiri seolah menghindarinya. Randy buru- buru turun dari mobilnya, tidak mau orang itu hilang dari pandangannya.
“Yadi...”
Setiadi berdiri mematung, setelah hatinya tak keruan tiba- tiba melihat mobil Toyota corolla berwarna merah hati dan nomor polisi yang ia hafal terparkir di jalan Muwardi Raya. Ia masih belum mau memandang orang yang memanggil namanya dengan suara yang sudah ia sangat hafal.
“Gua harus bicara ama lu sekarang”
Setiadi melihat kearah Randy. Randy sedang memandang dengan matanya bertemu dengan matanya.
“Ran, sori gua udah cape”
“Di, please, gua dari tadi jam sepuluh kurang udah tunggu lu. Kenapa lu harus ngehindar gua? Kalo lu marah bicara dong ama gua... gua salah apa?”
“Lu gak salah apa- apa...” jawab Setiadi sekenanya
“Kenapa lu nolak ketemua ama gua? There is something wrong with us””
“Bukannya lu lagi dating ama Cindy toh?”
Randy ragu, apa Setiadi sedang menyindir kedekatannya dengan Cindy atau sedang sedih.
“Di, let’s talk... in my car”
Setiadi tidak punya pilihan lagi. Dengan langkah gontai, ia berjalan menghampiri Randy, membuka pintu mobil. Setiadi duduk sambil wajah melihat kearah lutunya, tak mau melihat Randy. Perih hatinya memikirkan Randy yang sudah beralih hati kepad Cindy melupakan janjinya.
“Di, gua lihat lu seperti cemburu ama Cindy...” Randy membuka pembicaraan setelah lama Setiadi duduk mematung.
“Cindy itu temen lama gua, gua gak boleh cemburu ama dia...” jawab Setiadi dengan nada datar.
“Di, kenapa lu kok jauhin gua? Apa gua salah jalan ama Cindy? Apa salah kalo gua tertarik ama Cindy?”
“Itu gak salah Ran, yang salah itu gua yang berharap ama lu, salah kalo gua cowok suka ama lu...” Setiadi tak kuat lagi menahan sedihnya, menjawab dengan suara bergetar.
“Kok gitu sih lu jawabnya? Bukannya gua yang dulu minta lu ajarin gua untuk mencintai lu waktu valentine?”
JLEB!! Kata itu sangat menusuk hati Setiadi. Setiadi tak mampu menjawab apapun. Ia merasa kata- katanya salah dan semua kata Randy itu betul. Seolah itu hal yang betul kalau Randy pantas menjauhinya karena ia seorang lelaki, karena ada seorang lelaki yang sudah terlanjur mencintai Randy.
“Yadi, apa lu masih mencintai gua?” tanya Randy ragu- ragu.
Setiadi ingin sekali menjawab pertanyaan itu dengan kasar, namun ia tak sanggup. Ia masih mencintai Randy, hatinya terluka, Randy begitu mudahnya mendekati Cindy, sementara ia harus berjuang dengan segala air mata untuk Randy sayang dengannya. Sekarang ia harus menangisi Randy kembali yang mulai berjalan jauh dari hatinya.
“Yadi, please jangan diem aja... say something...”
“Ran, kalo lu memang cinta ama Cindy, maksud kedatangan lu untuk minta ijin, gua akan relakan lu nikah ama dia, jangan lu anggap hati gua ini...” Setiadi pun menangis.
“Di, gua ke sini untuk bicarakan tentang kita”
“Apa lagi Ran?”
Randy bingung menghadapi Setiadi yang tiba- tiba menjadi orang asing. Dia tahu, Setiadi masih cinta padanya, hanya kenapa dia sekarang bersikap dingin?
“Di, apa gua putus aja dengan Cindy? Gua masih bisa lakukan itu buat lu...”
“Jangan Ran... gua...”
“Di, gua tahu lu masih cinta ama gua, gua juga gak lupa sudah memberi lu harapan, gua dateng untuk...”
“Randy, nikahilah Cindy, lupakan gua, lupakan semua cinta gua, gua masih bisa bertahan...”
“Yadi, kenapa lu jadi begini? Kalo lu cemburu ama Cindy, gua rela tinggalin dia buat lu...”
“Randy... lupakan gua... nu nikah aja ama Cindy, urusan kita sudah selesai sampai di sini...”
“Yadi, lu kenapa sih?”
“Gua gak kenapa- napa, gua kan homo yang tidak berhak mencintai lu yang straight”
“YADI... stop talking like that... gua mau selesaikan urusan ini, gua gak mau sakitin hati lu”
“Randy, di saat lu mulai suka ama Cindy, DI SITULA LU TELAH MEMBUNUH CINTA GUA. Gua sakit lu tinggalin gua demi Cindy yang LEBIH TERHORMAT MENDAMPINGI LU”
“YADI, STOP TALKING LIKE THAT”
“RANDY, APA LAGI YANG HARUS GUA KATAKAN AMA LU? LU DATENG KE SINI UNTUK BICARAKAN TENTANG KITA? MAU PUTUSIN GUA LALU KAWIN AMA CINDY KAN”
“YADI! HOW COULD YOU...”
“IYAH BETUL RANDY, GUA SANGAT CEMBURU AMA LU DAN CINDY... GUA INGIN MEMILIKI LU, TAPI GUA TIDAK BERDAYA APA- APA, CINDY ITU TEMEN GUA DARI GUA KULIAH, DIA YANG MEMBANTU GUA WAKTU STRESS KEHILANGAN HARRIS. GUA GAK BISA SALAHIN DIA KARENA KALIAN JADIAN”
“JADI LU SALAHIN GUA GITU... APA SIH MAU LU...?”
“TINGGALIN GUA AJA SEKALIAN, NIKAHIN ITU CINDY, GAK USAH LU MINTA RESTU GUA, UDAH GUA KASIH KOK GUA YANG SEKARANG HARGAI PRIVASI LU. LU TAHU GAK RANDY, SEJAK LU BERPALING DARI GUA DISITULAH LU MENJADI ORANG YANG MEMBUNUH HATI GUA PERLAHAN- LAHAN DENGAN ANCAMAN LU HARUS MENUNAIKAN KEWAJIBAN SETIAP ORANG STRAIGHT... K A W I N !!! APA LU GAK PERNAH SEKALIPUN LU PIKIR GUA YANG H O M O INI BERHAK BAHAGIA? GUA PERCAYA CINTA ITU MUSTINYA TIDAK LIHAT KONTOL ATO MEMEK...”
“YADI, GUA KAN KESINI UNTUK BALIK AMA LU... GUA SIAP UNTUK MENDERITA UNTUK LU S E T I A D I !!!”
Setiadi terhenyak, dia tidak menyangka hal itu akan keluar dari mulut Randy
“Gua udah disuruh lamaran ke rumah Cindy. Ortu gua udah kepalang seneng ama Cindy. Gua masih bisa tinggalin mereka, jalan ama lu, jangan lu pikir gua ini jahat. Gua siap harus lepasin kerjaan bokap, ngelamar kerja. Gua bukan anak kecil lagi...”
“Randy...” sahut Setiadi dengan suara menahan tangis
“Jangan pernah lu berbuat nekad seperti itu... lu gak pernah tahu bagaimana menderitanya kalo dibuang orang tua. Lu masih belum tahu apa- apa sakitnya dianggap bukan lagi anak kandung. Lu ama Cindy masih bisa jadi terhormat, gua udah relain lu ama Cindy nikah, ortu lu yang menuntut kan...” Setiadi pun terisak- isak
“Randy, jangan suruh gua kabur dari Jakarta... gua satu saat bisa kabur kemana aja, gua bisa survive di mana saja. Gua sudah biasa menderita. Lu gak pernah menderita...”
Randy kemudian menggenggam tangan Setiadi erat sekali. Setiadi tidak nyaman tangannya di pegang.
“Yadi, akan gua cari kemanapun lu kabur, I WILL NOT LOSE YOU...EVER !” Randy menjawab dengan nada rendah sambil memperjelas setiap kata- katanya.
“Yadi, kenapa lu bisa sepesimis itu? Kenapa lu harus samain gua ama Harris itu?”
Setiadi tak menjawab. Ia sudah lelah berdebat dengan Randy
“Randy, gua udah cape, gua minta lu pulang...”
“Yadi, boleh gua temenin lu male mini?”
“Jangan Randy, lu sudah bukan milik gua lagi”
“Yadi... kenapa lu bilang itu?”
“Randy, go home...”
Setiadi menutup pintu dan berjalan menjauhi mobil Randy. Dalam hatinya ia sangat ingin Randy keluar dari mobil itu dan memeluknya. Namun hatinya sudah terluka terlalu dalam ketika Randy bicarakan tentang orang tuanya yang menyuruhnya nikah dengan Cindy.
@Dekisugi
@arieat
@rivengold
@Gabriel_Valiant
@YANS FILAN
@the_angel_of_hell
@Lu_Chu
@hikaru
@aii
seriusan, baca lanjutannya berasa banget jadi setiadi.. Randy pe'a.. uuuuhhhh
mana lanjutannya??? #nagih ala rentenir