It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
wah M-150 nya tambahin ekstrajos tuh biar tambah ngejos , eh tambahin juga pil biru biar semakin bergairah .
#mampus kali tuh orang
lumayan lah itu bisa kuat sampe 10 ronde .
Hehe
====
Chapter 10
Setiadi sedang berdiri di hamparan padang rumput yang sangat hijau. Matahari besinar sangat terang namun tidak menyilaukan matanya. Sejauh ia memandang hanya rerumputan hijau dengan berbagai macam bunga liar yang belum pernah ia lihat sebelumnya terlihat seperti chamomile, lavender, mawar liar dan di sebelah kanannya terlihat barisan pepohonan rimbun menjulang tinggi membentuk hutan yang tidak terlalu lebat, membiarkan Sinar mentari mennyeruak masuk melewati batang pohon membuat garis- garis cahaya nan indah bersatu dengan bayangan di antara pohon- pohon. Ia berjalan masuk melewati barisan pepohonan, tak ada rasa takut ia rasakan ketikaia berjalan kearah hutan,hanya rasa damai ketika ia melihat garis- garis cahaya diantara pepohonan. Beberapa saat ia berdiam di dalam hutan itu, menikmati segarnya udara di sana. Tak lama kemudian ia berjalan keluar dari hutan, melangkah menuju hutan berjalan kearah padang rumput, menuju satu pohon yang berdiri sendiri di tengah padang rumput. Sebuah pohon yang sangat rimbun bermandikan sinar matahari yang indah kuning keemasan melingkupi pohon itu membuat daun- daunnya berwarna hijau keemasan.Ia duduk di bawah pohon itu, menikmati semua yang ia lihat, sambil mententramkan hatinya. Ia tidak merasakan beban apapun itu dan merasa sangat bahagia dan ringan sekali bebas dari segala rasa sedih dan kehilangan , satu perasaan yang tak pernah ia rasakan di dunia. Ia menengadah ke atas langit. Ia lihat mentari bersinar begitu megahnya, namun sejuk dingin yang ia rasa, sambil ia melihat gumpalan awan bersinar putih membentuk dataran luas megah sekali. Setiadi ingin sekali terbang keatas, menuju gumpalan awan itu. Ia kemudian bangkit dari duduknya,melangkah jauh dari pohon rindang itu, menuju ke tengah hamparan rumput. Ia merasakan tubuhnya ringan sekali. Tanpa berfikir panjang, ia merentangkan tangannya, menengadah ke atas menatap kearah awan, menghentakkan kakinya. Tak ia duga, tubuhnya melayang ringan sekali,perlahan- lahan naik ke angkasa.
Ia tak dapat melukiskan bagaimana rasanya terbang melayang ke angkasa, bermandikan sinar kemeasan mentari menghiasi langit nan biru. Ia merasakan hatinya merekah indah, ia melihat sekelompok burung merpati terbang kearahnya, bermain- main dengannya. Ia tidak pernah merasakan bahagia seperti ini sebelumnya. Tubuhnya terus melayang ke angkasa makin mendekat ke dataran awan di atas.Ia pun melihat satu negri yang teramat indah, megah sekali. Ia merasakan keinginan yang sangat kuat untuk masuk ke negri itu dan tinggal di situ. Ia menjejakkan kakinya di atas awan itu, terasa begitu empuk mirip karpet mahal yang sesekali ia lihat di hotel- hotel mewah. Ia melihat banyak orang sedang berdoa, berjalan, ada yang bernyanyi, ada yang sedang menikmati suasana.
Setiadi melihat seseorang yang berjalan dengan tenang menghampirinya dari kejauhan.Ia awalnya tidak mengenali, hanya ia merasakan damai yang pernah ia rasakan di dunia saat ia melihat sosok itu. Sosok itu terus berjalan menghampirinya.Iaakhirnya pun mengenalinya, adalah mendiang kakaknya yang dulu wafat sewaktu ia duduk di SMA, sewaktu ia berumur 16 tahun, terpaut 2 tahun lebih muda dari kakak angkatnya. Setiadi langsung berlari menyambut kakaknya, memeluknya sambil menangis meraung- raung dengan tubuh gemetaran, merasakan rindu yang ia pendam selama 8 tahun sejak kakaknya wafat. Kakaknya memeluknya dengan tenang, membiarkan Setiadi menumpahkan semua kepedihan hidupnya. Kakaknya menuntun Setiadi duduk di bangku yang terletak di ujung taman yang ditengahnya terlihat air mancur. Setiadi masih tak mampu berkata- kata, terus menangis melepas rindu.Setiadi menyandarkan kepalanya pada pundak kakaknya.Isak tangis Setiadi masih terdengar ketika kakaknya mengusap kepalanya dengan lembut, sambil mencium rambutnya dengan satu tarikan nafas panjang. Setelah beberapa saat Setiadi puas menumpahkan tangisnya, barulah ia bisa tenang, sambil mendengarkan kakaknya,
“Yadi, kok kamu ada di sini?”
“Koh, Adi rindu ama kokoh, gak ada yang sayang ama Adi di bawah sana...kokoh kok ja’at ninggalin Adi sendiri” jawab Setiadi masih sesegukan.
“Kokoh udah dipanggil Tuhan duluan, disini kokoh bahagia.Tuhan ternyata indah sekali”
“Koh, Adi pengen hidup disini ama kokoh...” kata Setiadi dengan manja masih bermandikan air mata.
Kakaknya menatap Setiadi dengan tatapan yang menyejukkan, membuat Setiadi teringat ketika dulu kakaknya sering menatapnya berdua di kamar kokohnya memasuki masa- masa SMU.Ia mengusap air mata Setiadi dengan jempolnya, sambil kedua tangannya memegang kepala Setiadi lembut sekali.
“Sori Adi, kamu belum waktunya dateng ke sini. Kamu masih ada urusan di sana”
“Gak mau, gak mauuuu... kokoh... huuuuu.... Adi pengen ama Kokoh... Adi udah gak ada urusan apa- apa lagi di sana... Adi udah gak kuat lagi menderita di sana...”
“Belum saatnya Adi, Tuhan titip pesen ama kamu supaya tabah, banyak doa supaya kokoh disini bisa bantu kamu. Kokoh kan selalu doa disini supaya bisa utus orang yang bisa mencintai kamu nantinya, jadi kamu gak menderita lagi”
“GAK MAUUUU... Adi Cuma pengen kokoh doang...KOKOOOOHHH”
“Adi, sori yah, belum waktunya kamu nyusul ke sini. Kamu pulang lagi yah, jangan takut kokoh tetep bersama kamu”
“Kokoh... jangan... jangan usir Adi, Adi masih rindu ama kokoh... kokoh... kokoh” Setiadi dengan panic memeluk kakaknya erat sekali, takut terpisahkan kembali.
“Adi, kokoh tetep cinta kamu, nanti kokoh cariin pengganti kokoh di dunia buat kamu yah”
“Gak mau... gak mauuuuuuuuuuu.....”
“Sampai nanti yah Setiadi, kokoh cinta kamu selalu”
Setiadi terkejut ketika ia merasakan tubuhnya jatuh.Ia melihat kakaknya semakin menjauh dari pandangan matanya melambaikan tangannya. Tubuh Setiadi melayang ringan jatuh ke bawah bagaikan sehelai bulu. Perlahan- lahan ia melihat langit biru berubah menjadi kelabu, dan berubah menjadi hitam. Ia pun merasakan seluruh tubuhnya dihimpit oleh sesuatu yang ia tak dapat gambarkan apa itu. Ia pun merasakan tangan kanannya di genggam erat dan mendengar suara samar- samar, tapi ia masih bisa mengenali suara siapa itu
“Di, don’t leave me, don’t go... I need you, for I love you... Please come back to me.”
Lalu ia merasakan kegelapan itu makin rapat dengan tubuhnya, makin hitam yang ia lihat. Lalu ia seolah melihat satu bias cahaya bersinar terang...
Perlahan- lahan Setiadi membuka matanya.Ia melihat ke sekeliling. Ia tidak mengenali apa- apa.
“Yadi, lu udah bangun...”
Ia melihat Jimmy yang sedang berdiri sambil memegang tangan kanannya, datang bersama Rontje.
“Jim, gua dimana?”
“Di rumah sakit st. Carolus, lu tadi siang pingsan di kantor, buru- buru di bawa ke sini, gua yang di hubungi kantor”
“Mas Yadi, koq mau menderita Cuma buat orang straight kayak ik? Mas kan udah ku warning...”
Setiadi terharu atas kesetia kawanan Jimmy dan Rontje yang walau bawaannya agak feminism, tapi benar- benar pencitraan teman sejati.
Ingatan Setiadi pun menelusuri kejadian hari itu. Ia sedang sedih memikirkan Randy yang akan menikah 8 hari lagi, sedari pagi ia hanya makan tahu goreng 4 buah, lupa dengan laparnya, sampai tiba- tiba ia merasakan lemas dan matanya berat.
“Kata dokter lu kena typhus, karena mal nutrisi”
“Mas Yadi, jangan kelamaan sakitnya, udah sekong sakit pula... dobel deh... Coba ik tahu jalan sama siapa... ik udah hajar dia, mereka kan gak ngerti apa yang ada di hati kita ketika kita kasih sesuatu dari kita, Cuma dihargai kalo mereka gak punya pelampiasan... dasar cowok nakal”
“Tjejte, dia gak binal, dia yang sebenarnya juga dekatin aku dan kasih harapan”
“Toh ngelirik Cindy kan... gila apa? Temen sendiri di tusuk gitu rupa... edan itu Randy...”
“Tunggu liat dia, pasti tersepona lah”
“Mas, gak perduli kontol mo sebesar belalai gajah, badan bagus , tapi kalo kita di perlakuin kayak kelas dua, sama aja dong mas, straight memang begitu...” Rontje masih ingat perlakuan mantannya sambil terbawa emosi, bersimpati kepada penderitaan Setiadi yang tak ia sangka.
Setiadi tak menjawab, ia masih mencerna segala sesuatu nya.
“Di, berapa lama gua harus di sini?”
“Katanya sih 2 minggu, lalu udahnya harus bed rest satu bulan”
“Waduh... kerjaan kantor gimana yah?”
“Tadi sih staff kantor lu sudah akan urus ijin sakit dan jatah cuti lu katanya”
“Gimana nanti resepsinya yah?”
“Gak tahu... lu gak boleh dateng dulu. Itu kan yang lu pengen”
Setiadi tersenyum getir.
“Randy ama Cindy gak tahu kan”
“Belum gua kasih tahu, Cuma Cindy harus lu kasih tahu”
“Jangan Jim, jangan ganggu mereka lah, udah sibuk mau nikah juga”
“Mas Yadi, masa Cindy gak mau di kasih tahu apa- apa mas?”
“Kalo Cindy tahu, Randy pasti tahu juga, bisa runyem urusannya nanti.”
“Mas Yadi, koq bisa sih kuat jodohin Randy ama Cindy?”
Setiadi menghela nafas
“Gimana pun dia kan straight... “
“Tuh kan kata ik juga apa... sekali straight ya straight...” jawab Rontje sengit.
Jimmy menghela nafas.
“Jim ama Tjetje wakilin gua aja, paling gua titip ang pao ama bilang aja ke mereka gua lagi sakit demam, jangan bilang apa- apa tentang gua kena typhus. Ini sebagian juga salah gua”
“Yadi, cepet sembuh yah, jangan kelamaan menderitanya yah.Lu harus bangkit lagi”
“Jim, Tjetje, makasih yah, kalian bener- bener teman sejati”
“Mas Yadi, anggap aja ik adek mas. Ik juga di buang ama keluarga, mas juga, kita saling jaga seperti saudara, ada mas Jimmy yang siap bantu mas juga loh”
Setiadi mau tak mau terharu, ia tak dapat bayangkan tanpa Jimmy, Rontje dan Cindy harus sendirian merantau di Jakarta. Jimmy menatap kearah Setiadi, berfikir sungguh berat apa yang harus Setiadi hadapi. Ia tak tega melihat penderitaan Setiadi seperti ini. Setiadi pun melewati 2 minggunya di rumah sakit sampai dapat persetujuan dokter untuk pulang dan berobat jalan. Untung untuk Setiadi, biaya pengobatan ditanggung semua oleh kantornya, dan jatah cuti sakit telah di urus oleh kantor. Loyalitas Setiadi yang membuatnya mudah mendapatkan bantuan atau fasilitas. Kebanyakan dari orang di kantor sudah tahu bahwa Setiadi bekerja dari magang di semester 3 hingga 2 tahun pasca kelulusan Setiadi, rela bekerja lembur, hampir tak pernah mengeluh, rela pulang malam demi tuntasnya kerja, hingga sesekali membawa tas besar untuk bermalam dikantor ketika ia memang di perlukan.
Pada hari resepsi Randy dan Cindy, Setiadi masih harus menginap di rumah sakit 4 hari lagi.Ia terlihat sedih, sesekali menangis di hadapan Jimmy dan Rontje yang dari sore sudah menjenguk dan menunggu Setiadi.
“Mari, para hadirin sekalian, kita akan menyaksikan momen bahagia ini, ketika pasangan berbahagia ini memotong kueh sebagai symbol dari penyatuan dua insan ini. Satu... dua... tiga...” ujar MC dengan suara lantang menyambut Jimmy dan Rontje ketika baru masuk ke salah satu aula di hotel Shangri La. Rontje benar- benar terpesona ama ketampanan Randy yang waktu itu memakai tuksedo berwarna hitam, membuat putih kulit nya lebih bersinar, sementara Cindy di sebelahnya memakai gaun pengantin yang cukup mewah, dengan dandanan yang menurut Rontje tidak natural dan terkesan terlalu tebal, ketika mereka saling memegang pisau dengan kedua tangan mereka dari atas ke bawah.
“Ya Allah mas Jim, gilingan cucok itu Randy... pantes Setiadi takluk...”
Jimmy tersenyum nakal,
“Bener kan”
“Sayang yah mas Jim, tega nian udah sakitin mas Yadi”
“Kalo menurut Yadi sih, Randy itu cinta ama Yadi, Cuma Yadi nya yang belon siap, dia masih trauma ama Harris, jadi seperti ... gitu lah...”
“Jadi... bukan nya Randy yang lompat bajing...?”
“Kata Yadi sih bukan, itu Yadi yang suruh mereka jadian”
“Kesian Yadi...” Rontje tertunduk sedih.
Mereka tak lama di sana, sekedar makan prasmanan hingga kenyang, lalu mereka pun berpamit.
“Eh Jimmy, Yadi kemana” tanya Randy sambil Cindy pun sibuk bersalaman dengan Rontje
“Yadi kena demam hari ini gak bisa dateng, Cuma titip ang pao aja” jawab Jimmy berbohong
“Ya udah, besok lah kita jenguk bareng?”
“Jangan... dia di ru...” Jimmy kaget dengan kata- katanya sendiri, hampir saja keluar kata- kata itu.
“Hah? Kenapa Yadi? Jim... di mana dia?” Randy terdengar panik, membuat Jimmy tambah senewen.
“Dia, eh lagi di... rumah kos... tapi gak bisa di ganggu, karena lagi kena ... cacar...”
“Cacar?”Randy dan Cindy
“Koq kita gak di kasih tahu?”
“Kan kalian lagi sibuk mau resepsi kan” sanggah Jimmy, lega mereka percaya.
“Ya udah, sampein salam kita aja ke Setiadi”
“Oke”
“Dua hari lagi kita honeynmoon ke Hawaii, nanti deh kita jenguk” lanjut Randy.
Mereka pun turun dari panggung, berjalan kearah deretan prasmanan.Rontje menggunakan kesempatan itu untuk menikmati kuliner hotel yang terkenal ini.Sambil jalan ke luar, Rontje berujar
“Kalo aku yah mas, aku akan bilang mas Yadi lagi di rumah sakit, kena tipes... beres...”
“Jangan lah... ini kan Setiadi yang mau...”
“Jengkel dong ik, Setiadi lagi menderita begini, Randy nya yang lagi seneng- seneng, mo malam pertama lagi.... meong... dasar ... “
“Hus... itu urusan mereka, kita nurut aja ama Yadi, kalo gak bisa runyem, kita juga yang kena”
“Huh... dasar lekong...”
“Bapak Setiadi, masih harus istirahat seminggu lagi kok sudah masuk?” tanya direktur
“Gak apa- apa pak, bosen gak ada gawe, saya tahu pasti kerjaan udah numpuk”
“Setengah hari aja, nanti lewat makan siang pulang istirahat aja, jangan di paksa”
“Tenang pak, kalo saya sudah cape saya ijin pulang aja”
Beberapa hari kemudian Setiadi di panggil direktur
“Pagi pak, bapak ada panggil saya?”
“Iyah, silakan duduk”
Setiadi pun duduk, heran dengan ia dipanggil
“Begini pak, cabang Surabaya membutuhkan kepala bagian IT, saya tawarkan bapak posisi ini, juga ada maksud untuk membiayai kuliah S2 bapak, kita sarankan business management.”
Setiadi terkejut, serasa mendapat durian runtuh.Ia melihat kesempatannya untuk menjauh dari Randy dan Cindy, namun masih terlalu kaget untuk sumringah.
“Bapak tertarik?”
“Tertarik pak, bagaimana dengan tempat tinggal?”
“Kita sudah siapkan tempat kos yang layak, bapak disana akan bekerja sambil kuliah. Pasca sarjana bapak terikat kontrak mengabdi paling tidak tiga tahun setelah lulus”
“Saya bersedia pak, kapan saya pindah?”
“Itu bisa diatur di bagian HRD.Nanti bapak di bantu disana”
“Pak, terima kasih kesempatannya”
“Iyah, bapak saya pilih karena melihat loyalitas bapakdari magang hingga full time, dedikasi yang tinggi, dan tak pernah mengeluh soal lembur.”
“Sekali lagi terima kasih pak”
“Oke, sukses kedepannya yah pak Setiadi”
Setiadi pun pamit, kembali ke ruang kantornya.Saat makan siang, Setiadi menghubungi Jimmy.
“Jim, gua ditawarin ke Surabaya sekalian kuliah lagi S2.”
“Wah, hebat lu, selamat yah”
“Iyah, makasih, gua juga gak sangka. Lumayan bisa jauhin Randy dan Cindy”
“Lu sanggup tinggalin mereka?”
“Ya kan mereka sudah jadi suami istri, gua gak ada urusan apa- apa lagi dong... menjauh aja lah sekalian”
“Randy kan masih sayang ama lu, mau lu tinggalin begitu aja? Lalu Cindy temen akrab kita gimana?”
Setiadi tertegun.
“Gua tulis surat perpisahan aja deh, gua sepertinya masih belon sanggup ketemu mereka”
“Di, jangan gitu lah, mereka kan baek ama lu, walaw Randy akhirnya begini”
“Tau lah, paling Cuma lu ama Rontje yang gua kasih tahu alamat gua di Surabaya, lu jangan kasih tahu mereka”
“Loh kok gitu sih? Nanti gua harus bohong gimana? Ama Cindy gua gak bisa bohong dong...”
“Udah lah, gampang, gua yang tulis surat aja lah”
“Di...”
“Yah Jim...”
“Gua akan kehilangan lu dong... gak ada temen hang out lagi”
“Kan gua tetep hubungan ama lu, nomor gua disana gua kasih, alamatnya juga, jadi lu bisa jenguk. Lagian karena pindah tugas, kan gua masih harus sesekali ke Jakarta, pasti ketemuan ama lu kan”
“Iyah yah... hehehehe”
Malamnya, Setiadi merayakan kepindahannya dengan Jimmy dan Rontje di Citra Land Mall, di Mc. D.
“Mas Yadi, di sana hati- hati yah...ik bakal kehilangan jij dong”
“Gak lah, kan kalian nanti ku kasih alamatnya, Tjetje, janji loh jangan kasih ke Cindy itu alamatnya nanti. Ku gak mau buat masalah baru ama Randy”
“Iyah... iyah...”
“Ku bakal kehilangan kalian deh... sedih nih aku” ujar Setiadi sendu.
“Gimana dengan komunitas gay di sana yah? Ada gak yah?”
“Gak tahu, belon cari di internet tuh...”
“Paling ada mahasiswa yang gay temenan..”
“Iyah, jangan Cuma orang straight yang lu embat, kali- kali kek”
“Dasar lu”
“La iyah lah mas Yadi, udah ik peringati masiiih aja nekad...”
“Randy ama Cindy kemana yah?”
“Cindy sih sms, mau honey moon dulu ke Hawaii” jawab Jimmy hati- hati, tak mau membuat Setiadi sedih.
“Yadi, kapan lu mau pindahnya?”
“Gua sih udah atur minggu depan”
Jimmy dan Rontje terkejut
“Hah? Lu beneran gak mau pamintan dulu ama Randy dan Cindy?”
Setiadi tak menjawab.Fikirannya melayang membayangkan Randy dan Cindy saling berpagut- pagutan.
“Gua tulis surat aja...” jawab nya dengan suara lirih.
“Yadi, kenapa lu jauhin mereka? Mereke kan gak salah apa- apa. LU YANG ARRANGE PERNHIKAHAN INI KAN”
“Iyah sih, tapi gua takut guanya yang gak sanggup liat Randy sudah jadi kepunyaan Cindy”
Rontje mencerna kata- kata Setiadi, ia pun baru sadar dari pembicaraan dengan Jimmy kalau Randy dan Setiadi sebenarnya saling mencintai.
“Mas Yadi, maaf yah kalo ik masih ngeyel nanya... ehm... sebegitu besarkah cinta mas Yadi ke Randy sampe rela melepas Randy untuk Cindy?” ujar Rontje hati- hati.
Setiadi tak langsung menjawab, matanya merah, wajahnya tertunduk. Jimmy menyenggol Rontje dengan sikutnya, protes atas pertanyaannya yang terlalu menusuk.
“Tje... daripada Randy jadi gay dan peluk cowok laen nantinya, ku lebih rela dia jadi suami Cindy yang baek” jawab Setiadi.
Sisa 6 hari, Setiadi mengurus pengiriman barang- barangnya ke Surabaya, urusan perpindahan tugas sudah beres di urus pusat.Secepatnya di Surabaya Setiadi harus mendaftarkan dirinya mulai Agustus untuk studi. 3 hari kemudian, kamar kos Setiadi sudah sebagian besar kosong, tinggal beberapa setelan baju dan perlengkapan lainnya.
Randy dan Cindy baru 2 hari pulang dari Hawaii, setelah menikmati liburan.Untuk sementara mereka tinggal di rumah orang tua Randy, sambil mereka memilih rumah tempat tinggal.Randy sejak kepulangannya tak dapat menghubungi Setiadi, baik lewat telepon maupun sms yang di laporan ponsel tidak terkirim. Keesokan harinya, hari pertama Randy dan Cindy pergi kerja, kira- kira jam 10 pagi, ia di telepon Jimmy
“Halo Jimmy, apa kabar”
“Baek.Randy, nanti lunch ada waktu?Ku mau kasih sesuatu buat kamu”
“Oh boleh, tumben.Mau kasih apa pula?” Randy heran
“Ini, titipan dari Setiadi”
Randy mendapatkan firasat buruk. Sesuatu telah terjadi pada Setiadi, ini menguatkan kecurigaannya akan Setiadi yang sudah tidak bisa dihubungi.
“Mau ketemu di Plaza Senayan? Lebih tenang di sana”
“Boleh, di bawah jam yah”
“Oke”
Randy makin penasaran.Ia mulai gelisah, tentang titipan dari Setiadi. Ia terus bertanya- tanya mengapa Setiadi tak menemuinya? Bahkan absen dari resepsi mereka.
Siangnya, Randy sudah menunggu lebih dulu, karena sudah tak sabar menunggu kabar dari Jimmy, duduk di sekitar kolam tempat ia pertama kali bertemu dengan Cindy. Dari kejauhan ia melihat Jimmy.
‘Yadi kemana?Kok gak bareng?’
“Halo Jimmy, apa kabar?”
“Baek, yuk ke atas, sekalian cari makan”
“Setiadi kemana?Koq gak bareng?”
“Nanti aku jelasin”
DEG! Randy makin gelisah saja. Mereka pun berjalan ke arah food court, cukup ramai pada jam 12an. Sambil mengantri makanan masing- masing, Jimmy pertama kali dalam hidupnya senewen, bingung memilih kata- kata yang tepat untuk Randy. Setelah 15 menit akhirnya ia pun selesai membayar, mencari Randy yang terlebih dahulu duduk, memesan steak dan ice tea.
“Jim, boleh tanya, ada apa ama Setiadi?”
Jimmy bingung, ia harus memulai dengan apa. Randy sudah mempunyai firasat buruk.
“Randy, gua sebenernya juga bingung mau cerita apa”
Randy sudah merasa badannya lemas... ‘oh my God... kenapa Yadi?’
“Dia sekarang udah gak di Jakarta lagi”
Randy merasa badannya langsung lemas, jantungnya serasa meloncat dari dadanya, menatap kosong ke arah Jimmy. Tak mampu berkata apa- apa.
“Dia di pindah tugaskan ke Surabaya, Cuma itu yang bisa aku cerita.” Jimmy dengan hati- hati berbicara. Lalu ia mengambil dua surat, ia berikan kepada Randy.
“Randy, ini Setiadi udah tulis surat perpisahan untuk lu dan Cindy.Dia pindah ke Surabaya 1 minggu yang lalu waktu kalian honeymoon.”
Randy dengan tangan gemetar, menerima dua amplop.Sementara Jimmy mulai gelisah melihat mata Randy memerah, rahang bawahnya bergetar. Sambil berkat dalam hatinya: ‘ mati aku... tuh apa ku bilang kan...’
“Jim, dia kasih alamat gak ke lu?”
Pertanyaan ini membuat Jimmy makin salah tingkah.
“Belum, dia belum kasih info. Gua Cuma bantu dia pindah- pindah”
Randy ingin sekali berteriak sekencang mungkin, ia tak pernah menyangka Setiadi meninggalkannya begitu saja. Ia ingin sekali meninju wajah Jimmy, ingin meneriakkan kata- kata: ‘ lu kenapa gak kasih tau gua lebih dulu Jimmy? Kenapa lu biarin dia pergi gitu aja? Lu jahat Jim...’ emosi Randy bertumpuk- tumpuk membuat Jimmy yang duduk di hadapannya makin salah tingkah.
“Randy, Setiadi yang gua tahu tetap cinta ama lu...”
“Tapi... kenapa dia ninggalin gua gitu aja?Kenapa gak mau pamit?Dia pikir gua ini siapa?”Randy akhirnya menangis, tak kuat menahan emosinya.
“Gua tetap cinta Yadi walau udah nikah pun...” ratap Randy.
“Randy, maafin gua yah, ini Setiadi yang sudah atur, gua Cuma ikutin aja permintaan terakhir Setiadi sebelum berangkat” ujar Jimmy
Kata- kata... permintaan terakhir Setiadi... makin membuat Randy pilu. Ia dengan segala daya upaya nya untuk tidak menangis dihadapan orang banyak.
Suasana makan mereka pun berubah, sementara Jimmy menikmati hidangannya dengan lahap, Randy tak menyentuh makanannya sama sekali. Ia menatap hidangannya dengan mata kosong.
“Randy... lu gak makan?”
“Gua gak nafsu... gua lagi pengen di temenin Yadi...”
Jimmy terkejut bukan main. Ia tak menyangka Randy akan berujar seperti itu. Ia tak merasa bahwa matanya pun berembun, kerongkongannya tercekat, terharu Randy toh masih cinta dan membutuhkan Setiadi. Ia sekarang baru melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Randy pun mencintai Setiadi.
“Randy, gua nanti bantu lu tanyain alamat Setiadi yah, gua gak janji, tapi yang gua tahu, dia berat banget ninggalin Jakarta, dia tetep cinta ama kamu”
Mereka pun berpisah.Sementara Randy kembali ke mobilnya. Didalam mobilnya ia langsung membuka amplop yang tertera namanya. Ia pun membaca,
Randy, kalo kamu baca surat ini, aku sudah tidak lagi di Jakarta. Aku dimutasikan ke kota lain, karena urusan kantor, tidak ada maksud ninggalin kamu begitu saja. Aku sudah mencintai kamu, berat rasanya untuk ninggalin kamu.
Randy, maaf yah aku benar- benar gak sanggup liat kamu sambil pisahan. Semoga surat ini yang mewakili gua pamit ama lu. Maaf juga waktu resepsi aku gak dateng, kena demam jadi harus istirahat.
Randy, gua mengucapkanselamat menempuh hidup baru bersama Cindy. Dia temen gua yang baik, mampu menjadi istri lu yang ideal. Jadilah suami yang baik, itu pesan gua buat lu.
Ran, jangan kuatirkan gua di sana, gua akan mampu bertahan hidup, sudah terbiasa menderita. Gua pasti bangkit lagi. Cuma satu yang gak bisa gua lakukan: melupakan cinta gua ke kamu. Kamu adalah orang yang gua puja, terlalu sempurna untuk gua miliki.
Selamat jalan Randy, semoga kamu hidup bahagia.
Setiadi Sandjaja
Randy menangis tersedu- sedu di dalam mobilnya.
“Yadi, how could you leave me this way. Gua cinta lu... gua butuh lu... jangan pergi Yadi...” ratap Randy. Ia menempelkan surat itu ke dadanya, berusaha merasakan kehadiran Setiadi. Namun perih yang ia rasakan ditinggal Setiadi tanpa perpisahan. Sekitar 15 menit ia merenung sendiri. Ia pun mengambil ponselnya
“Cin, lu dimana>”
“Habis lunch, mau balik ke kantor lagi. Ada apa?”
“Ada berita dari Setiadi, gua tunggu lu di rumah aja... sekarang”
“Hah?Sekarang?”
“Iyah... gua...”
“Ran... lu... kedengeran habis nangis?”
“I tell you when you’re home”
“Oke deh... tunggu gua yah nanti”
Satu minggu sebelumnya
Jimmy, Rontje sedang menunggu Setiadi berangkat dengan kereta pagi tujuan Surabaya.
“Mas Yadi, nanti ik jalan- jalan ke sana cari lekong deh, mas temenin yah... sopotau dapet yang... eheemmmm gitu”
Setiadi tertawa geli.
“Iyah, nanti ku kasih tahu alamatnya.Nanti kalo ku udah ganti nomor ku smsin deh kalian”
“Di, baek- baek yah di sana, keep kontak ama kita yah”
“Iyah lah, kalian berdua sekarang keluarga gua satu- satunya. Pasti lah”
“Di, nanti disana jangan cari straight lagi yah, cukup ampe Randy, lu cari gay aja yah”
Setiadi tersenyum geli
“Ah lu ada- ada aja”
Mereka pun mendengar pengumuman keberangkatan kereta.Setiadi pun bersiap- siap.
“Tjetje, Jimmy, gua berangkat dulu yah. Kalian baek- baek yah”
“Mas Yadi...” Rontje pun menangis
“Mas jaga diri yah, gak ada siapa- siapa disana”
“Di, selamat jalan yah, semoga lu bahagia disana”
“Makasih yah Jim, makasih yah Tje... gua berangkat dulu”
“Selamat jalan Setiadi...” Jimmy menangis
“Maaaasss, jaga diri mas disana yah... met jalan mas...” Rontje sudah duluan menangis.
Mereka pun melihat Setiadi masuk kedalam kereta. Setelah 5 menit mereka menunggu di peron, kereta pun perlahan- lahan berangkat membawa Setiadi ke Surabaya, menanti harapan baru...
TAMAT.
sneak peak ke persimpangan II
setiadi dalam dua tahun metamatkan studi s2 nya, satu tahun hidup tenang di Surabaya, tiba2 di panggil ke Jakarta untuk mengisi posisi direktur. jimmy dan rontje senang sekali denagn kepindahan SEtiadi.
setiadi di jakarta sengaja tidak menghubungi Randy dan Cindy, bahkan bermain kucing- kucingan supaya eksistensinya tidak tercium, namun nasib telah menentukan untuk bertemu dengan Randy.
Gagal mendapatkan Randy, setiadi jatuh stress, oleh jimmy dikenalkan kepada temannya, yang bersimpati dan akhirnya mulai jatuh hati kepada Setiadi. perlahan- lahan setiadi membuka diri untuk babak baru percintaannya.
diketahui Randy, ia mulai cemburu dan berusaha merebut kembali Setiadi.
apa y ang akan terjadi?
makasih udah rajin di summon
ga sadar mata basah :')
mau tanya dong, sebenernya si cindy ini merelakan si randy masih sayang n cinta sama setiadi? even after married?
ga kebayang kalo ada di posisi itu -_-