It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Btw, perasaannya si setiadi bener-bener menggambarkan seorang gay yang jatuh cinta sama str8.. But he's lucky, though. :')
Lanjut terus ya ceritanya
Kereen...
serasa ditarik ulur sama si Randy.. makin greget aja...
Cup.. #Cipok Randy.
Plaakk.. #ditampar setiadi.
hiks hiks.. #nangis dipelukan jimi
Nah loh?
======
Chapter 6
“Di, lu bener siap ama konsekuensinya nanti? Lu seperti mengulang kesalahan yang sama loh”
Jimmy mengingatkan Setiadi akan perjalanan yang Setiadi akan tempuh nanti
“Jim, gua udah gak bisa mikir apa – apa lagi, gua seperti udah terlalu jauh” jawab Setiadi sambil berayun antara harapan yang sedang merekah dan cemas.
“Lu siap ngulang lagi kasus nya Harris?” timpal Jimmy.
Flashback
Setiadi mengenal Harris lewat pesta ulang tahun sederhana Jimmy di Pizza Hut waktu Setiadi ada di semester 5 studinya di salah satu universitas yang prominen di jurusan IT. Setiadi belum pernah membuka diri maupun menjalani hubungan apapun dalam dunianya ini. Ia hanya datang berbekal hasrat mentah dan merekah ke dunia ini dan Jimmy dan Teddy adalah teman pertamanya, dan Cindy yang waktu itu sedang magang di kantornya. Dengan naïf Seitadi mendekati Harris, yang mempunyai sifat kebapaan, walau tidak jauh terlalu tua. Harris yang straight awalnya menolak berkali- kali Setiadi pun tak kuasa menolak melihat betapa Setiadi terlihat ‘mengemis’. Dengan terpaksa Harris menduakan Setiadi. Konsekuensinya adalah jarangnya pertemuan mereka, dan Setiadi harus menyimpan rapat- rapat cintanya. Tak penah sekalipun pada malam minggu Setiadi diberi kesempatan memupuk cintanya. Di semester ke tujuh Harris akhirnya melamar pacarnya, dan satu pertemuan terakhir dengan Setiadi memberikan selembar kartu undangan.
Setiadi jatuh depresi, pas ia sedang mengerjakan skripsi, Teddy, Jimmy dan Cindy yang bersama- sama menghibur Setiadi yang berhari- hari tak mau makan, tugas skripsi yang di telantarkan. Berbulan- bulan Jimmy dan Cindy menghibur Setiadi, menemaninya mengerjakan Skripsi, memaksa Setiadi makan sesuatu. Mereka sempat berkenalan dengan Ronald yang mereka panggil Rontje, karena gaya melambainya, namun berhati baik, pembawaan ceria membuat Setiadi tidak jatuh terlalu dalam. Hampir tiap hari Rontje datang bersama Jimmy menghibur Setiadi, Cindy pun tak kurang perhatian, mengajak Setiadi makan siang bersama, hingga Cindy pun selesai magang, membuka usaha sendiri, masih tetap berteman baik. Dengan perasaan kacau Setiadi maju sidang skripsinya, lulus S1 dan melanjutkan karirnya hingga saat ini. Cinta pertama Setiadi berujung sedih, meninggalkan luka yang sulit sembuh, menghantui Setiadi untuk waktu yang lama.
+++
“Jim, gua tak pernah lupa soal Harris, Cuma gua bisa bilang apa kalo kali ini Randy yang juga mau?”
“Kalo nanti Randy kawin... gua sepertinya udah gak mau hidup lagi aja...”
“Hus!!! Gak boleh begitu DI, jangan lupa temen- temen lu, masih ada kita- kita ini lagi! Masih ada kan keluarga lu di Bandung”
“Jim... gua ini sudah sebatang kara udah pernah gua ceritain kan dulu waktu itu, dulu gua udah kehilangan dua orang yang penting di hidup gua, gua lebih baik gak usah ada lagi aja kalo yang ke tiga ini lepas”
“Kalo gitu lu jangan biarin lu kepincut Randy dong, udah tahu waktu itu tunangan”
“Gua gak berdaya Jim, dia bener- bener sempurna. Dia waktu itu nangisin Rini, rasanya pengen banget gua di sayang sama dia... gua pengen banget ada orang nangisin gua kayak gitu, Jim, jangan gua melulu yang nangisin dia... gua kan gak pernah di sayang sepert itu seumur hidup gua dari kecil”
“Di, di dunia kita itu gak ada yang awet, gua Cuma gak mau lu seumur hidup meratapi lelaki- lelaki yang datang dan pergi dari hidup lu...cinta di dunia kita itu semu, Cuma cinta pas waktu oyes onno itu loh...”
“Hahahahah.... ada ada aja lu..., itu sih bukan cinta lah dasar lu”
“Di, pernah gak kepikiran... Anggap aja Randy sudah jadi Gay, lalu pacaran beberapa tahun, lalu ada apa lah ama kalian berdua ampe break up, dan satu hari lu liat dia rangkul cowok lain... lu rela Di?”
DEGG!!! Kata Jimmy sangat menusuk ulu hati Setiadi. Setiadi merasakan tulangnya dingin mendengar kata Jimmy itu. Setiadi memandang pesawat televise yang berada di kamar kos Jimmy, berjarak satu blok dari tempatnya. Mereka sering jalan bareng, telah melewati masa sulit, bersama dengan Cindy yang saat itu sudah selesai magang dan mulai merintis karir sendiri, sambil di minta mengurus perusahaan ayahnya dan Teddy yang sekarang berkarir di Bandung.
Selama berhari- hari Setiadi memikirkan kata- kata terakhir Jimmy. Setiadi sebenarnya ingin sekali meng ‘undo’ perasaannya kepada Randy, ia masih ingat cukup jelas kartu undangan yang di berikan oleh Harris. Di dalam benaknya ia membayangkan di atas kartu undangan itu tertera nama Randy, namun hati memang buta, tak pernah selaras dengan pertimbangan apapun, sekali cinta sudah hinggap, tak ada yang dapat dilakukan selain jalan terus, apapun itu nanti yang akan terjadi.
Di kalahkan oleh rasa cinta, Setiadi menjalani kisahnya dengan Randy bagaikan sedang berbulan madu. Setiap hari mereka bertemu, dari makan malam sampai jalan- jalan setiap akhir minggu. Randy pun memastikan selalu melindungi, memberikan cinta dan rasa sayang kepada Setiadi.
Satu hari, kantor Setiadi memesan 17 unit computer untuk mengganti computer yang telah rusak atau sudah terlalu tua. Karena pesan dari Glodok untuk menghemat anggaran, maka proses instalasinya pun tidak selalu mulus. Dari 17 unit yang di pasang, ada 7 unit yang membandel, dari install ulang sistim operasi, 4 unit yang harus di bongkar ulang, dari jam makan siang hingga jam 6 sore, menyisakan 3 unit yang bermasalah, untuk esok hari di tukar dengan unit baru. Setiadi hari itu sudah sangat cape, pikirannya hanya pulang, atau makan malam di tempat yang tak jauh dan pulang sesudahnya. Tiba- tiba ponselnya berbunyi’
“Di, nanti lu temenin gua dong, ada perlu”
Seletih apapun Setiadi, ia tak mampu menolak,
“Ke mana?”
“Ke Kemang”
“Hah? Gak kejauhan? Ngapain?”
“Ada aja, you’ll see”
“Eh... “
“Please Di”
“Oke lah kalo begitu”
Dalam hati Setiadi menggerutu, namun apa mau dikata, dia sudah mengiyakan. Ia membereskan 4 unit computer itu, mengurus mejanya, mengambil tas, turun ke bawah. Sesampainya di Lobby, ia tidak langsung melihat Randy, lalu menunggu sambil menerawang kearah hutan malam Jakarta nan gemerlap.
“Sorry, lama nunggunya?” sahut satu suara dari belakang
“Gak juga, baru 5 menit koq”
“Yuk, jalan?”
“Yuk, kemana kita?”
“I’ve told you, you’ll see” jawab Randy sambil tersenyum
Mendengar itu SEtiadi tak bisa berbuat apa- apa lagi, meski badan sudah sangat kelelahan. Lalu mereka pun berangkat. Randy mengarahkan mobilnya ke daerah Kemang, membawanya melewati macet total di sekitar Blok M, dan lebih parah lagi setelahnya.
“Gimana computer barunya?”
“Yah... barutut... 7 unit rusak, kita botulin masih sisa 4 yang jebol. Besok harus minta ganti” cerita Setiadi kelelahan
“Don’t worry, I’ll set up something to boost your spirit lah” jawab Randy penuh senyum.
“Apaan sih? Koq main rahasia segala”
“Hehehehe... be calm, I’m not going to harm you lah”
Antrian yang berjalan lambat pun menghantar mereka sampai di Twilite Café. Mereka pun dengan susah mendapatkan tempat parkir. Lalu mereka masuk ke dalamnya. Benar saja, suasana di café malam itu sangat ramai, mereka di layani pramusaji
“Pesanan atas nama Randy Widjaja”
Sang pramusaji pun langsung mengerti dan mengarahkan mereka naik tangga dan mereka berjalan sampai di satu meja terletak di satu ruangan yang agak terpisah dari meja lainnya.
“Silakan duduk”
Sang pramusaji langsung menyerahkan daftar menu dan mereka memesan beberapa hidangan. Pramusaji pun meninggalkan mereka
“Kapan lu pesen tempat ini?”
“Kayaknya sih seminggu yang lalu”
“Ultah lu kan masih lama, mau rayain apa?”
Randy tersenyum kearah Setiadi. ‘Hmmm, gak tahu hari ini hari apa yah”
Agak lama mereka menunggu, akhirnya makanan pun tersaji.
“oke. Let’s have dinner” ujar Setiadi.
“Lu seneng ama tempatnya?”
“Suka, Cuma jauh yah”
Kalau hari ini Setiadi tidak di ganggu oleh 7 unit computer yang bandel itu, Setiadi sudah sangat senang, namun karena badan dan otaknya terkuras habis, dia tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya. Setiadi memberhatikan Randy yang makan dengan santai. Setelah mereka selesai makan, Randy menatap tajam ke arah Setiadi
“Di, there’s something I want to tell you...”
“Ada apa?”
“Setiadi... happy Valentine... I love you”
Setiadi saking sibuknya sampai ia lupa tanggal 14 februari,
“Randy, makasih yah, lu udah mau terima gua sebagai ...”
“Di, teach me to love you, I’ll learn it”
Setiadi hampir saja menangis terharu, namun masih bisa mengendalikan diri.
“Randy, teach me to reach to your heart”
“Then let me guide your hand” jawab Randy dengan halus.
“Gua anterin lu pulang yah..” jawab Randy
Setiadi tidak menjawab apa- apa, tetap tersenyum sambil berusaha menahan haru. Dirinya seolah di peluk oleh Randy, di tuntun untuk menjalani perjalan ini.
Sepanjang jalan, mereka tidak saling berbicara, Randy merasa bahagia, mampu menghangatkan Setiadi, sementara Setiadi masih terbius dengan kata- kata: ‘teach me to love you’. Itu akan menjadi kata yang akan selalu ia ingat. Randy yang pertama mengucapkan kalimat itu. Setiadi meraih tangan Randy, sambil Randy menggenggam erat tangan Setiadi. Walau pandangan mata Randy tetap tertuju ke arah jalan, tangannya tetap tidak melepaskan tangan Setiadi.
Sesampai di kos Setiadi, mereka pun masuk ke kamar.
“Di, may I lend your hand?”
Setiadi menyerahkan tangannya. Randy membuka kancing bajunya dua buah, membuat Setiadi terheran- heran. Randy memegang tangan Setiadi, menempelkan ke dua tangan Setiadi ke dada Randy
“Di, feel my heart... reach it” sahut Randy lembut sekali sambil tetap menatap Setiadi penuh kasih
Entah apa yang Setiadi rasakan, namun ia seolah sedang bersatu dengan Randy, sedang menyatukan jiwanya dengan jiwa Randy lewat sentuhan itu.
“Ran, makasih yah udah mau mencintai gua... terima kasih mau terima gua apa adanya” Setiadi berusaha mati- matian untuk tidak menangis.
Tatapan mereka pun memeteraikan apa yang mereka rasakan malam itu.
Kira- kira empat menit mereka berdiri, sambil tangan Setiadi tetap menempel pada dada Randy
“Di, gua pulang dulu yah... happy valentine”
Tangan Randy memegang ke dua pipi Setiadi, menariknya kea rah Randy. Ciuman pertama mereka, dilakukan pada hari itu, menutup hari Setiadi yang lelah menjadi hari pernuh berkah.
patah hati deh gue. ..
====
Randy.. Tega loe ya!
Gak mau tau, pokoknya Randy cuma buat Dekisugi. Gak boleh direbut.. Hiks hiks hiks.. Awas loe setiadi. gue santet ntar...
updatenya mohon dipercepat. ok!
#Garuk bokong.
(tetep nyimak)
=======
Chapter 7
“Di, Si Rontje masuk rumah sakit” Jimmy tiba- tiba menelpon Setiadi
“Hah?? Apa?? Dimana?”
“Di Sumber Waras”
“Kenapa?”
“Kata temen salonnya usaha bunuh diri minum obat tidur”
“Hah? Apa? Oke, lu kapan selesainya?”
“Lagi jalan”
“Oke, gua juga jalan”
Setiadi masih terkejut, buru- buru membenahi barangnya dan langsung jalan keluar dari kantor. Sambil menunggu di elevator, Setiadi mengirimkan sms kepada Randy untuk memberitahukan di mana posisinya dan agenda malam itu.
Setiadi pun bertemu dengan Jimmy di daerah sekitar universitas Atma Jaya, karena kantor Jimmy terletak beberapa blok dari semanggi ke arah Blok M. setelah mereka bertemu, mereka pun naik bis patas ac 50 ke arah Grogol.
“Jim, ada hubungannya ama pacarnya si Rontje? Apa yang terjadi sih?
“Gua denger dari temen kosnya, kalo dia nemuin Rontje udah tidur gak sadar diri, lalu ada botol pil dan kartu undangan”
JLEBB!!! Setiadi langsung memikirkan Randy. Mereka tahu Rontje sudah menjalani hubungan dengan pacar straightnya selama lebih dari satu tahun.
Rontje atau Ronald adalah anak perantauan dari daerah Sumatra selatan, hanya lulusan SMP, dibuang oleh ayahnya, karena ketahuan pacaran teman lelaki sekelasnya. Dibesarkan di lingkungan tradisi yang keras, membuat Ronald yang berpembawaan ‘kemayu’ menjadi tak bahagia. Pas kelulusan SMP, sewaktu merayakan kelulusan dengan berduaan, kepergok oleh ayahnya. Di rumah ia di hajar habis- habisan oleh ayahnya, dan dianggap aib, lalu di buang, disuruh merantau. Oleh pamannya di beri bekal beberpa ratus ribu rupiah, sekedar ongkos jalan. Nekad ke Jakarta Ronald menjadi gelandangan, pengemis sekaligus pengamen. Tahun- tahun pertama dia lalui dengan memakan makanan bekas yang di buang ke tempat sampah. Satu waktu ia meminta makan di satu salon di daerah Angke, bertemu dengan pemilik salon yang kasihan melihat Ronald yang kurus kering. Ditampunglah Ronald di salonnya, diberi pekerjaan sebagai tukang sapu untuk beberapa bulannya. Karena dasar agama yang kuat, ia pun hidup berdisiplin, hanya bawaan bahasa tubuhnya memang sedikit feminism. Dilihat tekun dan dapat dipercaya, akhirnya ia naik tingkat menjadi kapster, membantu mencuci rambut, diajari memijat daerah sekitar kepala, hingga akhirnya di biayai mengambil kursus salon, dan sejak dua tahun terakhir mejadi stylist di salon yang sama. Bertemu dengan Jimmy sewaktu clubbing di salah satu diskotek yang mempunyai malam gay, di daerah Mangga Besar, asalnya Ronald sempat naksir dengan Jimmy. Namun Jimmy yang tidak mempunyai hasrat berkomitment menjadi teman akrab, lalu berteman juga dengan Setiadi. Mereka pun cepat akrab karena Ronald berkepribadian supel, mudah bergaul dan ‘easy going’. Di balik pembawaannya yang ceria dan terkadang heboh, Ronald pun mempunyai hasrat yang sama, yaitu haus kasih sayang, yang mengantarnya kepada salah satu langganan prianya yang bisexual. Malang nasib Ronald, dia hanya dijadikan obyek sexual oleh lelaki yang tinggi libidonya.
Sesampai nya di rumah sakit, mereka pun menanyakan info kamar rawat Ronald. Setelah menyusuri beberapa lorong, mereka pun sampai ke ruang rawat inap kelas tiga dan Ronald terbaring lemah sendiri di salah satu ranjang.
“Halo Ron,” sapa Setiadi dan Jimmy
Ronald tak mampu bertutur kata, dia langsung menangis tersedu- sedu. Ronald memang punya beberapa teman se profesi, namun hanya satu teman seprofesi dan mereka berdua saja yang akrab.
“Mas Yadi, Mas Jimmy, makasih yah... udah... hix.. hix... hix... mau jenguk aku”
“Udah lah, kita temen kan.” Sahut Setiadi
“Tje... boleh gak ku tanya apa yang terjadi?”
Dengan lirih Ronald pun bercerita:
Ronald beberapa hari tak mendengar kabar dari kekasih nya, Suhendro, lalu menyusul ke kontrakannya di daerah Kapuk kebon Jahe. Tegar beralasan bingung bagaimana menyampaikan berita itu, sehingga lama tak mampir. Suhendro telah melakukan lamaran di kampungnya, di Jawa Tengah, baru pulang dua hari lalu. Ronald kecewa berat, merayu Suhendro agar tetap boleh menjadi kekasih gelap, namun Suhendro ingin menjauhi dirinya dari dunia gay dan ‘katanya’ ingin menjadi suami soleh. Seminggu Ronald depresi sendiri, yang lucunya ia pendam sendiri, ia pun gelap mata. Malamnya ia minum 20 butir pil tidur, hingga kesokan siangnya disusul oleh asisten salon majikannya baru di temukan sedang terbaring dengan mulut berbusa. Langsung di bawa ke rumah sakit terdekat.
Setiadi mendengar cerita Ronald merasa bagai disiram nitrogen cair, merinding memikirkan nasibnya yang sama.
“Di... kenapa lu? Kepikiran Randy yah?”
Setiadi tak menjawab, hanya dari bahasa tubuhnya jelas memperlihatkan Setiadi terlihat shock.
“Mas Yadi, kenapa mas takut?”
“Tje, aku baru aja jadian ama straight...” jawab Setiadi ragu- ragu
“Maaasss, jangaan...mas lihat sendiri nasib aku ini... ku bingung harus bersukur ato berduka, bersukur aku luput dari dosa, tapi aku rasanya sudah seperti orang mati...”
Ronald tak mampu melanjutkan kata- katanya. Ia menangis tersedu- sedu. Setiadi jelas terguncang oleh kesaksian sahabatnya.
“Mas Adi...” sambung Rontje dengan suara lemah di sela- sela isak tangisnya
“Mas jangan sampe kejadian kayak gini, kita berdua kan sama- sama senasib, di buang. Munpung belum di tinggal , mas move on aja, berteman lebih bahagia, cinta untuk kita- kita ini Cuma bawa derita aja”
“Tje, gua udah kelepasan cinta dia, dan dia sepertinya ada sayang ama gua” jawab Setiadi membela Randy
“Mas, sama seperti mas Hendro, dia juga dulu peres- peres ik toh, ik jadinya Cuma jadi pelampiasan aja, perih mas... perih, ik sudah kasih segala- galanya ke dia. Sekarang... (menangis tersedu- sedu) ik Cuma punya kenangannya aja...” Rontje menangis tersedu- sedu
“Tje, aku ama dia belum begituan...”
“Percuma mas... apa yang bisa diharapkan ama cowok yang nalurinya cari cewek? Kita apa jadinya di mata mereka mas?”
Jimmy berusaha untuk menglihkan pembicaraan supaya Rontje dan Setiadi tidak terlalu jauh larut dalam pembicaraan ini.
“Tje, lu berapa lama di rawat nya sampe sembuh?”
“Kata dokter sih, kalo sudah kuat dalam beberapa hari juga udah boleh balik. Untung yah masih ada yang sayang ik, bos masih mau tolong bayarin biaya rumah sakit”
“Kasih tahu kita yah, nanti kita jemput nanti”
“Mas Jim, mas Yadi, makasih yah, kalian berdua ama Cindy teman yang paling berharga”
“Oh yah, Cindy sudah jenguk?”
“Belum, besok katanya”
Mereka mengobrol beberapa saat hingga situasi lebih tenang, dan Jimmy dan Setiadi pun pamit pulang. Sepanjang perjalanan, Jimmy memperhatikan gelagat Setiadi yang berubah murung.
“Kenapa Di? Kepikiran ama Rontje atau Randy?”
“...Dua- duanya Jim, gua bisa bayangin kalo satu hari nanti Randy gandeng cewek, apa gua bakal begitu gak yah?”
Jimmy tak dapat menjawab, ia merasa kasihan melihat Setiadi dan Rontje, mencintai orang yang salah.
@Dekisugi
@Lu_Chu
@hikaru
@rivengold
@YANS FILAN
@arieat
@aii
@Gabriel_Valiant
terima kasih mau baca ceritaku