It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
. Namun tetap saja kegalauan di hatinya masih lebih perkasa, menekan seluruh urat syaraf di kepalanya. Dalam keadaan mabuk asmara, satu riak kecil saja bisa menggoncangkan kalbunya, seperti setitik nila yang merusak susu sebelanga.
Setiadi makin panic saja, seharian tak menerima sms apapun dari Randy. Ketika puncaknya ia sudah tak tahan lagi, ia melihat ponselnya, yang ternyata sedang dalam keadaan tak hidup. ‘AAAAHHH... mati toh’ katanya sedikit lega, berharap ada sms dari Randy mampir ketika ponselnya mati. Ia merogoh charger nya, menghubungkannya dengan ponselnya, dan menghidupkannya sambil berharap cemas menanti ada sms masuk dari Randy. 2 menit ia tunggu, tak ada satu pun sms masuk. Hampir menangis Setiadi meratapi ponselnya...
Sorenya, dalam perjalanan kereta api Parahyangan menuju Bandung, mereka sedang duduk santai, menikmati perjalannya, walau terlihat Setiadi tidak bergairah
“Di, masa lu udah gitu keganggunya ama mimpi lu?”
“Gua tau itu Cuma mimpi, Cuma perasaan gua koq nyata yah? Gak biasanya gua mimpi ngelibatin perasaan seperti ini”
“Di, Randy itu kan straight, secara normal, sedeket- deketnya dia ama lu, lu itu Cuma temen baik aja, pas kebetulan aja dia lagi butuh lu, jadi deket, tapi intuisi mereka kan kepada wanita, mana mau dia selamanya ama lu untuk pacaran... “
Setiadi sulit mencerna itu semua, ia seperti melihat kabut hitam di depan mata batinnya, tak mampu melihat jernih, terbelenggu oleh hasrat dan cintanya kepada Randy.
Sesampainya di Bandung, Setiadi sedikit agak takut menapakan kakinya di kota ini. Masa lalu yang kelam kembali menyelimuti fikirannya. ‘Ah, ini kan Cuma ke rumah Teddy toh...’ gumannya dalam hati menghibur dirinya.
Teddy, mantan kolega Setiadi adalah teman atau tepatnya kakak kelas Setiadi dulu sewaktu kuliah, yang membawa Setiadi memasuki karirnya yang masih bertahan sekarang, merasa iba dengan kondisi Setiadi waktu itu yang hidup super hemat, untuk alasan yang tak pernah Setiadi ungkit. Berurusan dengan pacar yang gemar selingkuh, membuat Teddy akhirnya kabur ke Bandung membantu saudaranya mengelola satu restoran yang cukup sukses. Satu rumah mungil di daerah pinggiran Bandung adalah bukti dari kesuksesan Teddy.
Teddy dan pasangannya Donny menjemput mereka di stasiun Bandung, membawa mereka untuk makan dulu di resto yang dia kelola, sambil santai- santai
“Di, lu lagi stress yah, muka lu kusut” Teddy membuka pembicaraan
“Iyah tuh, lagi pedekate ...” sanggah Jimi sambil bercanda
“Oh yah, ama siapa?”
“Randy” jawab Setiadi singkat
“Baek gak orangnya?”
“Dia straight loh” balah Jimi
“Di, jangan lu cari penyakit lah... emang enak lu dulu di tinggal kawin ama mantan lu? Jimi saksinya dulu.” Timpal Teddy berusaha menjernihkan fikiran Setiadi.
“Gua kecolongan, Jim, tapi suer... orangnya cakep, badannya oke banget”
Jimi pun mengiyakan, Teddy mengangguk takjub.
“Kenalan iseng aja, Cuma gua waktu itu mulai sering di ajak jalan ama dia, dikenalin ama tunangannya, pas tunangannya meninggal, gua yang hibur dia, sekarang gua yang kebablasan...” cerita Setiadi sendu.
“Cuma Di, tetep, dia itu cowok normal, insting nya pasti ke cewek. Kalo dia beneran nikah, ato punya pacar cewek... mau gimana lu? Masa bersaing ama cewek? “
Setiadi tak mampu menjawab, otaknya sudah terlalu penuh dengan kegalauan hatinya.
“Di, tenangin dulu hati lu yah, ada kita- kita ini yang pasti bantu lu kalo ada apa- apa” timpal Teddy
Entah mengapa, Setiadi terharu mendengar kata itu, air matanya turun. Jimi memeluk pundak sahabatnya, memberi semangat. Teddy dan Jimi adalah teman Setiadi dari awal mula Setiadi menginjakkan kaki di Jakarta, menempuh semester 1 nya. Jimi adalah teman seangkatannya, ikut mos, kos berdekatan, walau jurusan berbeda tetap akrab sampai sudah sama- sama meniti karir, bahkan dari kenalan direktur Setiadi, Jimi pun mendapat kerjaan.
Setelah kenyang berbincang- bincang sambil menikmati kuliner ala Bandung, mereka pun diantar Teddy ke rumahnya di kawasan pinggiran Bandung. Teddy sore sebelumnya sudah mempersiapkan kasur tambahan di kamarnya, supaya asik ngobrol- ngobrol satu kamar ramai- ramai. Memang mereka baru tidur setelah melewati jam subuh, sambil mencoba membuat Setiadi lebih senang. Sejenak Setiadi bisa menyingkirkan fikiran kalutnya.
Keesokan harinya, mereka baru bangun menjelang siang, masih bermalas- malasan di kamar tidur, Setiadi masih tidur kelelahan dan baru malam itu ia bisa benar- benar tidur lelap, setelah berhari-hari dibayang- bayangi Randy dalam fikirannya.
Sore nya, mereka mengelilingi kota Bandung, dan juga menikmati sedikit suasana Jakarta dalam bentuk macet dan antrean kendaraan yang panjang, dipenuhi oleh mobil dengan plat nomor polisi berawalan B.
“Sabar yah jeng..., maklum lagi weekend pasti macet...” Teddy memeriahkan suasana
Setiadi menatap kearah antrian kendaraan dengan pandangan menerawang dan kosong. Di sebelah kanan, Setiadi melihat mobil Toyota Corolla warna merah hati berplat B, namun dengan nomor polisi lain. Tak ayal lagi setetes air mata Setiadi perlahan- lahan menapaki jalannya ke bawah. Jimi yang duduk di sebelah kirinya, memperhatikan Setiadi, meraih tangan kiri Setiadi mengusap- usap tangannya sambil berkata
“Inget dia yah... mobil nya sama...” kata Jimi perlahan. Donny menimpali,
“Tenang Di, semua orang pasti lewati hal ini, Cuma gua memang concern ama status dia orang straight. Gua gak mau nyumpahin lu, Cuma gua gak tega lihat lu nangis untuk orang yang pastinya ngejar cewek.”
Setiadi tahu, nasehat- nasehat yang diberikan padanya adalah nasehat yang semuanya betul, hanya di kala Setiadi sudah sangat merindukan Randy, mendengar kata- kata itu seperti dia disuruh menjauhi Randy. Setiadi tambah pilu. Tak kuat menahannya ia pun terpaksa menangis. Jimi pun memeluk Setiadi, sementara Donny merasa tak enak dengan nasehatnya.
“Makasih Don, gua tahu omongan lu ama kalian guys bener, Cuma hati gua gak bisa bohong, gua udah terlanjur mencintai Randy.... gua udah gak kuat ingin dia...” suaranya tercekat, ditahan oleh tangisannya.
Harapan Setiadi untuk menghibur diri di Bandung hancur berantakan, bukan nya ia menikmati kebersamaan, ia malah amat sangat merindukan Randy. Ponselnya sengaja ia matikan, perih rasanya Jumat siang 2 menit menanti sms Randy yang tak datang satupun. Entah Setiadi merasa lebih lega atau tidak, ponselnya ia matikan sepanjang weekend itu, ia taruh di ranselnya, lelah hatinya menunggu sms dari Randy, walaupun ia sudah sangat amat berharap Randy mengirim sms kepadanya.
Sementara di tempat lain, Randy seharian berada di lapangan mengurusi ijin satu container yang bermasalah. Sudah biasa mengurusi rumitnya birokrasi di pelabuhan membuat seharian Randy hampir melupakan makan siangnya. Sorenya, ia baru ingat Setiadi, mengirim sms, namun tak ada yang di balas. Karena heran, Randy menghubungi ponsel setiadi, namun tak tersambung. Randy berfikir Setiadi sedang di jalan atau ponselnya habis baterai. Seharian di hari Sabtu Randy gagal menghubungi nya, tak ada satupun balasan sms dari nya. Ia kuatir terjadi sesuatu pada Setiadi, sampai hari Minggu pun ia uring- uringan sendiri di rumah memikirkan apa yang terjadi pada Setiadi. Dari hari Sabtu sampai hari Minggu Randy seperti kehilangan orientasi, tak tahu haus berbuat apa. Tak adanya kabar dari Setiadi itu yang membuat Randy gelisah sendirian.
Setiadi dan Jiimi sampai kembali di Jakarta pada hari minggu menjelang malam pukul 7. Sesampainya di tempat kos, Setiadi sudah tidak tahan lagi dengan rindunya. Ia hidupkan ponselnya, tak lama menunggu sampai ponselnya berbunyi, ada 9 pesan masuk, semuanya dari Randy. Setiadi makin dibuat gugup ketika membaca semua sms itu, terutama sms terakhir dari Randy yang berbunyi,
Yadi, please call me... ada apa ama km? KM DIMANA???
Setiadi akhirnya menghubungi ponsel Randy. Ponselnya hidup, dan setelah 2 nada sambung, ia mendengar suara Randy,
“DI, kenapa lu kok gak jawab sms gua?”
Setiadi bingung harus menjawab apa
“Gua ke Bandung, Cuma hp gua ketinggalan di tempat kos” jawab Setiadi sekenanya, mengarang alasan.
“Ada- ada aja lu... gua kan kuatir ama lu, takut ada apa”
Setiadi lega sekali, Randy ada perhatian kepadanya
“Sorry Ran, gua mendadak di ajak temen jumat sore soalnya” jawab Setiadi masih gugup
“Ran, besok mau makan bareng?” tanya Setiadi ragu
“Besok siang gua bak bisa...”
Deg!!!! Jantung Setiadi serasa lepas dari dadanya
“Tapi malemnya gua bisa... jam 7?
“...Oke...” jawab Setiadi makin lemas namun lega.
Tak bisa dibayangkan leganya Setiadi mendengar jawaban terakhir. Hati Setiadi pun berbunga-bunga.
pertamax!!!!
waah.. candle light dinner ne kayaknya...
*Go Setiadi...
#Plaakk.
=====
Chapter 5
Randy setelah ia dihubungi Setiadi sudah merasa lebih lega, Setiadi baik- baik saja. Sepanjang malam Randy masih merasa ada sesuatu yang mengganjal. Selama hari Jumat hingga Minggu sore ia kembali merasakan sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan lagi, rasa kehilangan seseorang yang dulu pernah ia rasakan, perasaan hampa, tidak tahu harus mencari kemana.
Satu insiden pernah terjadi ketika ayah Randy berbuat nekad, selingkuh dengan mantan teman kuliahnya yang pernah ia kejar di masa studi, yang waktu itu sudah menjanda ditinggal wafat suaminya. Sebuah pertengkaran hebat antara orang tua berakhir dengan ayah Randy pergi menelantarkan keluarganya selama empat bulan.Luka batin ditinggal ayahnya itu yang cukup membekas, berkembang dengan gejala asma yang tiba- tiba kambuh. Orang tua mereka rujuk kembali dan hidup kembali serumah setelah melalui berbagai counseling, namun Randy masih tetap menyimpan trauma atas kehilangan sosokyang ia sayangi, sementara berbeda dengan kakaknya yang sejak itu tidak pernah dekat dengan sang ayah, Randy tidak terlalu mengingat lagi pertengkaran orang tuanya juga tidak terlalu tersakiti oleh skandal itu karena ia masih muda. Yang tersisa adalah sifat posesif nya terbentuk karena selama empat bulan tidak melihat ayahnya, membuat ia perlahan- lahan sedikit posesif mulai muncul dan sampai Randy beranjak dewasa ia tetap sulit melupakan trauma kehilangan seseorang yang ia sayangi itu. Hatinya yang lembut tersimpan rapat dan rapih di balik tameng fisik yang sempurna, wajah yang tampan, gaya yang “cool” di bentuk sewaktu studi di Amrik. Secara tidak langsung sifat introvert nya muncul karena cenderung menyembunyikan sifat aslinya, supaya tidak di lihat semua orang. Karena itu,Randy hampir tak punya sahabat karib semasa sekolah, lebih sedikit lagi ketika sudah berkarir. Hanya dengan Setiadi,ia merasa kelemahannya di terima.Itu pula yang menjelaskan mengapa insiden weekend waktu itu agak mengguncang Randy.
Setiadi Minggu pagi jam enam lewat seperti biasa bangun, kebiasaan dari sekolah untuk selalu bangun pagi tiap hari tanpa kecuali, dan di akhir minggu selalu melakukan olah raga renang. Turun dari ranjang, kea rah dapur di lantai bawah untuk sarapan.Orang tuanya sudah lebih sering meninggalkan dia pergi mengunjungi pamannya di Bogor, setelah pensiun.Ke dua kakaknya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah nya sendiri- sendiri.Ia membuka lemari es, mengambil mentega, dua botol selai dan berjalan ke meja makan di dapur sambil mengambil roti. Sambil menerawang ia mengambil roti dan mengolesinya dengan mentega dan selai rasa blueberry. Entah mengapa ia selalu bersemangat mengajak Setiadi berenang. Mungkin ia serasa mendapatkan teman akrab dan juga serasa nyaman mengobrol dengan Setiadi. Baru kali ini ia melihat lelaki begitu lembut dan perasa. Ia merasakan sesuatu di dalam Setiadi, namun ia masih belum berani menanyakan apapun tentangnya.
Setelah makan dua lapis, ia pun bebenah, membawa perlengkapan renangnya, berangkat ke arah Grogol. Randy masih merenung tentang perasaannya terhadap Setiadi akhir- akhir ini. Dukungan moril yang diberikannya sewaktu kehilangan Rini membuat Randy merasa betah bersama- sama Setiadi.
Sampai di jalan Muwardi, Randy memarkirkan mobilnya di depan kos Setiadi. Randy tahu dari kebiasaan sebelumnya, Setiadi senang bangun siang, dan tiap kali harus di bangunkan. Randy mengetuk pintu kamar Setiadi...
“Di..., bangun...bangun...”
Beberapa saat Randy menunggu, Setiadi membukakan pintu, berdiri dengan mata setengah tertutup, terlihat manis. Randy berjalan ke arah ranjang dan duduk sementara Setiadi bebenah barang keperluan renangnya. Randy memandangi berbagai barang- barang Setiadi yang kadang terlihat rapih, di hari lain terlihat agak berantakan. Di tempat sampah ia melihat tumpukan tissue, ia berfikir semalam habis bermain dengan dirinya. Di atas vcd player ia melihat satu keeping vcd dengan cover yang menarik. Mengambilnya dan memperhatikan dua laki- laki sedang berangkulan.‘Jadi Setiadi gay rupanya...’ kata Randy dalam benaknya.
“What’s this?” tanya Randy
Randy melihat Setiadi berdiri mematung, mukanya pucat seperti sedang ketakutan, mata nya melotot, nafasnya seperti terhenti. ‘Kenapa harus takut?’ tanya Randy dalam hati.
“Ran... itu... eh...”
“Ya... ini gay movie kan...”
Randy semakin heran mengapa Setiadi bisa takut seperti ini.
“So...” Randy pun makin heran di buatnya.
“Sekarang lu baru... tahu, gua ... eh ... gay” Setiadi makin terbata- bata, serasa belum siap menampilkan identitasnya.
“So... what are you afraid of...?”
Randy menjadi semakin bingung, sedikit merasa kasihan melihat dia seperti di telanjangi.
“Di, kenapa lu harus takut?”Randy berusaha menenangkan Setiadi.
Akhirnya setelah beberapa saat Setiadi melihat nya tidak mempermasalahkan hal ini, dia bisa berdiri lebih tenang.Setelah bisa mengendalikan dirinya, Setiadi pun duduk di atas ranjang, agak berjauhan dari Randy, membuat Randy heran.
“Sorry yah Ran, gua gak jujur ama lu soal ini, ini soal sensitive buat gue” Setiadi berbicara dengan ragu- ragu
“It’s okay with me, Di. Gua gak pernah masalah ama gay people. Kalo boleh gua tanya, kenapa sih tadi lu takut banget?”
‘Karena aku sudah sangat mencintaimu Randy, aku sudah terlanjur butuh dirimu...’ jawab Setiadi dalam hatinya, namun ia menjawab
“Gua takut lu kurang suka ama gay people...”
“Di, di pergaulan gua udah biasa gua liat orang gay, lesbian. Kalo mereka temen gua, pasti lah gua terima dia apa adanya, seperti gua ngerti lu” jawab Randy sambil berusaha menenangkan hati Setiadi.
“By the way, gua dari awal udah bisa tebak lu might be gay” sambung Randy
Setiadi melirik keheranan kea rah Randy.
“Oh ya... tapi kan gua gak pernah godain lu loh...” Setiadi buru- buru membela diri
“Bukan gitu Di, “ jawab Randy sambil tersenyum
“Lu berbeda dari orang kebanyakan, perasaan lu seperti lebih halus, Cuma lu satu- satunya yang bisa hibur gua waktu Rini meninggal, gua merasa nyaman curhat ama lu, seperti lu mau terima apapun gua itu. Cara lu ngehibur gua itu yang membuat lu bener- bener beda dari cowok kebanyakan. Lu bisa kasih gua sesuatu yang bisa gua pegang di saat dunia gua runtuh. Cowok biasa mana bisa seperti ini... that means a lot to me of what you gave me... selain lu dari awal sudah suka curi curi pandang waktu gua ganti baju... ya kaaannnn”
Randy melihat Setiadi mulai bisa tersenyum lega.‘Itu tuh rupanya yang buat dia takut ama gua...’ fikirnya.
“Ah lu, bikin gua malu aja” jawab Setiadi
“It’s okay Di, gua ngerti” Randy masih berusaha membuat Setiadi merasa nyaman.
Selang beberapa saat, Setiadi bertanya
“Ran, jadi gak berenangnya?”
Randy tersenyum, menjawab
“Gak usah, lu tadi udah sport tuh...” jawab Randy bercanda.Setiadi pun heran...
“Sport jantung itu tadi...” lanjut Randy
Mereka pun tertawa.Randy lega, Setiadi sudah bisa kembali ceria.
“Kalo gitu boleh gak gua tidur lagi... kan cape habis sport...” Setiadi bercanda
“Dasar lu, tukang tidur...” Randy tertawa kecil
“Ya udah, gua ikutan tidur juga deh” timpal Randy
preview:
setiadi dan randy makin akrab sementara antara hasrat dan takut Setiadi mencari waktu uuntuk mencari waktu mengutarakan rasa cintanya, sampai puncaknya Randy yang justru mengajak nya valentine dinner, sampai ehem ehem...
maaf. komentar tak bermutu secuilpun. abaikan saja.
#plaak.
#GaJe
Gak usah dipikirkan.. tu koment Gak penting.. ane takut ntar malah ngubah alur cerita lagi..
mohon maaf....
“Di... lu udah tidur?”
“Heh... belum, gua...”
“Iyah Di, ada apa?” Randy seperti berusaha untuk berkomunikasi, namun ia juga masih agak canggung setelah melihat Setiadi ketakutan.
Setiadi berusaha mengangkat topic bicara, tapi otaknya seperti baru saja di reformat, semua hilang, dan walau rasa takutnya sudah mereda, namun kagetnya belum surut.
“Di, boleh gua tanya dong”
“Boleh”
“Lu kayak agak sungkan ama gua... ada apa Di?”
Setiadi bingung harus jawab apa atas pertanyaan frontal itu
“Boleh gua jujur ama lu Ran...”
“Boleh... speak it up...”
“Sejak kejadian lu yang waktu itu sedih, gua... eh ... eh... eh...”
“Di... koq jadi gugup gitu? Something wrong with us?”
“Bukan itu Ran, itu... eh... gua mulai melihat sisi lu yang buat gua ...”
“You don’t like it?”
“Bukan... itu yang justru buat gua mulai...simpati ama lu, seumur hidup gua gak pernah ada orang yang mau care ama gua segitu rupa... gua... in a way... eh iri ama almarhum Rini...”
Entah dari mana datang keberanian Setiadi, mengeluarkan kalimat itu, ia tak tahu apakah betul atau salah untuk curhat seperti itu di hadapan Randy.
“Di, benernya ini adalah pertama kali buat gua untuk open up that far ama temen. Tak ada yang pernah tahu siapa gua sebenarnya. Gua cenderung tertutup, gua cukup gaul, tapi apapun tentang gua, itu gak pernah gua expose ama siapapun. Lu yang pertama yang tahun siapa gua sebenarnya. Buat gua you are THE best friend of mine”
Kata THE best friend buat Randy adalah kata pengantar untuk Randy menganggap Setiadi menjadi seseorang yang lebih dalam lagi artinya, namun bagi Setiadi, kata- kata best friend berarti final... tak ada harapan untuk menjadi seseorang yang lebih artinya. Randy tidak mengetahui bahwa ia telah salah ucap, tak menyadari di sebelahnya Setiadi sedang meratapi nasib, salah mengerti apa arti kata the best friend yang ia ucap.
Tiba- tiba Setiadi bangun ketika Randy ternyata tertidur pulas. Sedari tadi hati Setiadi sudah penuh, kepalanya panas, menahan rasa sedihnya. Ia turun pelan- pelan dari tempat tidurya, mengambil ponselnya dan menghubungi Jimi.
“DI, lagi ngapain...?”
Setiadi mulanya ingin berbicara, namun hanya mampu terisak- isak di ruang tunggu tak jauh dari kamarnya, yang kebetulan sedang kosong.
“...Jim, gua tadi ada bicara sesuatu soal perasaan gua ama Randy...”
“Dia ada di situ?”
“Iyah, tadi ngajakin renang, Cuma gak sengaja liat vcd gua yang lu pinjemin itu...”
“Aduh.... trus trus...”
“Dia sepertinya ngerti gua gay, gak protes sih”
“Nah... sekarang... lu nangis bahagia ato nangis apaan lagi...”
“Dia bilang gua best friend nya dia....”
“Apa yang salah?”
“Jim.......”
Setiadi sambil terisak- isak,
“Gua gak mau jadi best friend nya Randy, gua pengen di miliki Randy, gua... cinta Randy... Gua musti ngapain nih?”
Sahut Setiadi di sela- sela isak tangisnya.
“Di, saat ini memang lu gak boleh bicara apa- apa dulu ama Randy, dia pasti freak out liat lu penuh emosi kayak gini, dia itu straight loh”
“Dia kan udah trima gua kan”
“Iyah, tapi kalo lu panic kayak gini dia pun pasti kabur lah”
“Huuuuuu.....Jim.... lu lahat....”
“Duh Di, kalo udah datang bulan kayak gini deh, repot deh. Tenang dong.... belum juga dia bilang apa- apa”
“Lu musti tenangin diri lu... gak bisa lu hadapi dia sementara lu lagi babak belur kayak gini. Orang straight biasanya pasti takut. Gini aja, kalo dia udah pulang, gua kesana deh, biar lu gak tambah gila”
“Makasih yah Jim, lu baek banget”
“Kita temen lah, gua kesian liat lu”
“Oke deh, nanti gua kasih kabar kalo dia udah pulang”
Setiadi berjalan ke kamar mandi untuk membasuh mukanya, supaya tidak terlihat habis menangis. Beberapa kali Setiadi menyeka mukanya sampai bekas menangis cukup tidak terlalu terlihat. Balik ke kamarnya, Setiadi melihat Randy yang masih berbaring, namun sudah membuka matanya.
Randy sudah tersadarkan dari tidurnya beberapa saat lalu melihat Setiadi membuka pintu kamar. Ia memperhatikan mata Setiadi yang sedikit memerah, bahasa tubuh yang memperlihatkan sedang diliputi kesedihan. Randy bingung, memikirkan sudah berbuat salah macam apa yang membuat Setiadi seperti ini. Randy mulai berencana untuk mengajaknya bicara di kesempatan yang tepat.
Satu sore, Randy menerima sms dari Setiadi,
‘sdh makan? Kalo belum mau bareng ke warung tenda Smnggi?’
Randy berfikir Setiadi sudah lebih tenang sekarang, 5 hari setelah peristiwa hari Minggu pagi itu.
Sementara Setiadi sendiri juga heran dengan keberaniannya mengajak Randy. Ia pikir sesekali harus mengambil inisiatif mengajak Randy, agar dia juga merasa di perhatikan.
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi, ada sms dari Randy
‘Pas bgt! Gw mo ajak lu ke hard rock.Let’s go Smnggi’
Setiadi pun merasakan dirinya seolah sedang di peluk oleh Randy membaca sms itu. Ia sadar resiko nya, memberikan harapan kepada Randy, namun apa mau dikata, cinta tak pernah memilih jenis kelamin, tak pernah memilih siapa yang boleh ia cintai, cinta hanya menuntunya kepada seseorang... siapapun itu...
Di Lobby, Randy telah menunggunya. Mereka pun berangkat kea rah café tenda Semanggi, sekalian menikmati malam sabtu, juga mengisi hari- hari mereka. Di dalam mobil Randy memperhatikan Setiadi yang bersuaha untuk ngobrol, namun raut mukanya, sorot matanya masih menunjukkan sesuatu yang ia tahan. Apakah Setiadi jatuh hati padanya? Kalo iyah, kenapa sesulit itu Setiadi mengungkapkannya? Mengapa Setiadi harus menyiksa dirinya sendiri? Apakah tidak cukup dia membuka dirinya, membiarkannya masuk perlahan- lahan, sesuatu yang baru pertama kali ia lakukan dengan lelaki. Selama ini ia memang selalu memberikan semua hatinya, kepada pacar pertamanya yang telah menguras air kehidupannya, dengan Rini pun sama, namun Rini memberikan sesuatu yang indah baginya, calon teman hidup. Namun dengan Setiadi, ia seperti mendapatkan sesuatu yang ia cari- cari, kasih sayang, kebebasan untuk membuka semua pribadinya. Namun mengapa Setiadi justru lari ketakutan ketika ia ingin mengundang Setiadi masuk kedalam hatinya? Apa salah dia? Juga mengapa ia tiba- tiba bisa sangat dekat dengan Setiadi? Membutuhkannya ketika dia merasa ‘kosong’?
Mobil mereka terjebak di antrian panjang mobil lainnya, yang juga sama- sama ingin menikmati malam panjang itu. Sepuluh menit menunggu tanpa mobil mereka bergerak, Setiadi mengambil inisiatif
“Ran, kita ke mc. D aja yah, kita busung laper duluan nih kalo gini antriannya” Setiadi tersenyum kecil
“Hahaha... ada ada aja... lagian Cuma selebritis doang buka warung nasi goreng... rasanya standar juga lah”
Mereka pun segera memutar mobilnya kearah Thamrin. Pun di sana mereka harus mencari tempat parkir, yang menuntun mereka ke jalan Sabang. Mereka pun makan seadanya di warung sate yang tersebar di sepanjang jalan Sabang, tempat mereka pertama kali berkenalan.
Sementara Setiadi memesan sate ayam, Randy lebih suka sate sapi, sambil menahan panas, Randy masih memperhatikan gerak gerik Setiadi yang terlihat berpura- pura ceria. Pesanan pun datang setelah 13 menit menunggu, diiringi 2 botol teh sosro yang Randy pesan, sementara Setiadi memesan es teh tawar, kesayangannya. Karena bising dan tak ingin seseorang mendengar percakannya, Randy tidak banyak mengobrol.
“Di, bokap nyokap lagi cabut ke Surabaya, lagi pelesiran, lu bisa gak temenin gua dong, ada yang mo gua bicarakan ama lu”
“Oke. No problem...” jawab Setiadi sambil tersenyum.
Randy memperhatikan raut muka Setiadi makin tertekan. ‘Duh ini Setiadi... sensi banget sih jadi cowok...apa lagi sih...’ guman Randy dalam hati, gemas dengan gelagat Setiadi yang dulu, ceria, spontan berbicara apa pun. Karena sudah tidak betah lagi, maka Setiadi pun mengajak nya pulang.
Mobil Randy pun melesat kea rah Sudirman, berbelok di jalan Sultan Agung, melalui Tambak ke daerah Pulo Mas mengarah ke Kelapa Gading.
“Randy, lu lagi deket ama cewe?” tanya Setiadi membuka pembicaraan
“Gak koq, gua fine aja sekarang...”
“Masih suka kepikiran Rini gak?”
“Ada sih dikit, tapi you know, life goes on no matter what happen”
“Di...”
“Yah...”
“Gimana sih rasanya jadi Gay?”
“Very lonely. Kalo boleh gua pilih hidup, jadi straight lebih enak, gak ada yang cela, cinta gay jarang gua liat awet selam ini dari pergaulan, agak mirip series Melrose Place...”
Tak terasa mereka pun sudah sampai di rumah. Tak lama setelah memencet klakson, pembantu membuka gerbang, dan pintu garasi. Mereka pun langsung menuju kamar Randy yang berada di lantai dua yang menghadap ke belakang rumah. Karena terbiasa sendiri, Randy pun langsung membuka baju, dan melepas celana panjangnya, dengan pakaian super minim, Randy membuka pintu lemari, mengambil kaos dan celana boxer.
“Nih Di, baju lu ama handuknya sekalian” Randy sambil menatap kearah Setiadi memberikan bajunya.
Setiadi merasakan jantungnya seperti di remas- remas oleh Randy, melihat sosok Randy yang ia dambakan, memperlihatkan semua yang membangkitkan imanjinasinya, begitu dekat di mata, namun jauh dari jangkauannya.
“Makasih yah Ran...” Setiadi berusaha untuk tetap tenang.
Randy tersenyum manis kearah nya
“Gua mandi dulu yah, udah lengket” katanya sambil berjalan kearah kamar mandi.
‘Randy’ nama itu untuk yang kesekian kalinya bergema dalam hatinya.
Kira- kira 15 menit Setiadi menunggu Randy mandi sambil menikmati acara tv. Kamar Randy memang lengkap fasilitasnya, dari kamar mandi, tv, kulkas kecil untuk beberapa minuman dingin, yang membuat Randy jadi betah berlama- lama di kamarnya. Randy keluar dengan mengenakan boxer short, sementara tak memakai kaos apapun membuat Setiadi makin salah tingkah. Randy memperhatikan nya yang terlihat kikuk, menghindari menatap kearahnya. Terkadang Randy jadi gemas jadinya.
Tak berlama- lama, Setiadi pun keluar dari kamar mandi, disambut dengan hawa dingin ac dan Randy yang sedang duduk di karpet kecil sebelah ranjang, masih tidak mengenakan kaos hanya memakai boxer short warna hitam, membuat Setiadi hampir ketakutan lepas kendali atau lepas kata- kata. Randy sedang menonton film yang sudah berjalan di tengah- tengah, sepertinya kemarin belum selesai ditonton. Setiadi mengambil inisiatif duduk di atas ranjang. Baru saja kaki kanannya menyentuh ranjang ia mendengar
“Duduk sebelah gua aja lah Di, ngapain lu duduk di ranjang... temenin gua lah... takut amat sih dari tadi lu”
‘Alamak... mampus gua... ‘ kata Setiadi dalam hati makin takut aja. Setiadi dengan gerak gerik hati- hati duduk di sebelah Randy yang diam- diam memperhatikannya.
“Di, boleh gak gua mau tanya lu?”
“Boleh...”
“Gua perhatiin lu sepertinya ada sesuatu yang lu pendem. Di, apa gua pernah ada salah ama lu gak?”
Setiadi masih belum siap di tembak seperti ini, namun ia masih bisa berfikir tenang untuk lebih menjawab apa adanya kali ini setelah beberapa waktu ia dengan hati yang tercabik- cabik menampung semua luapan hasrat kasihya terhadap Randy
“Ran... em... mungkin yang gua bilang bikin lu freak out... tapi tolong yah, jangan lu marah dulu ama gua” Setiadi bicara dengan hati- hati
‘C’mon man... just speak it loud dude...’ kata hati Randy gemas melihat Setiadi yang bertele- tele seperti ini.
“Tahu gak, sejak lu curhat soal Rini, gua mulai ada sesuatu...”
“Di... itu kan sudah lu sebut minggu kemarin... Ada lagi?” Randy makin tajam menatap Setiadi.
Setiadi makin takut, apalagi melihat bertumpuk- tumpuk otot yang menempel sempurna di tubuh Randy, sangat membuyarkan Setiadi.
“Ran, sejak saat itu gua mulai suka ama lu, dan sepertinya rasa suka ini sudah gak bisa gua atur lagi... gua makin lama makin terbawa imanjinasi gua... gua entah kenapa mulai lebih ...eh... sering mikirin lu...” Setiadi dengan gugup menuturkan rasa hatinya.
“Ran, gua tahu, lu straight, Cuma masalahnya.... gua... gua...”
“Apa Di? Gua ngerti perasaan lu...”
“Apa salah gak yah kalo gua satu hari nanti berharap ama lu?”
Setiadi tak berani berbicara apa- apa lagi. Di benaknya ia membayangkan dengan nyata Randy menjawab, ‘ Sorry Di, gua sepertinya lebih nyaman jadi straight aja, gua anggap lu best friend gua’
Randy terus memperhatikan Setiadi yang makin terlihat takut. Namun sekarang ia tahu apa yang di pendamnya. Intuisinya betul selama ini, Setiadi menghindarinya karena sedang kasmaran... dengannya.
“Di, gua udah perhatiin lu makin hari makin takut ama gua, asalnya gua kira lu tersinggung ama gua, ato lu jengah ama gua yang mungkin terlalu open up ama lu...” Randy berkata dengan tenang.
“Gak koq Ran, gua malah bersukur lu mau buka- bukaan... oh mampus... bukan buka yang atu itu loh, tapi membuka di...” timpal Setiadi sambil panic dan kaget atas kata- katanya sendiri
“Iyah, gua tahu... lu koq jadi takut sih?” Randy tertawa kecil
“Di, gua.... sudah mulai sayang ama lu, gua sepertinya udah membutuhkan lu lebih dari sekedar temen. Apapun yang nanti terjadi, gua akan ikut bersama lu nanti. Gua akan bersama- sama lu nanti.”
Setiadi merasakan dirinya melayang,
“Ran, apa itu betul?” tanya Setiadi sambil menatap serius kepada Randy
“Iyah Di, gua kalo udah urusan seperti ini gak pernah main- main” jawab Randy sambil tetap menatap kearah Setiadi.
“Makasih Ran, gua lega ternyata gak bertepuk sebelah tangan” kata Setiadi
“Di, koq lu nangis sih? Ada apa?” tanya Randy khawatir.
Setiadi tak merasakan dirinya menangis, namun setelah ia mengusap matanya, baru ia sadar, ia telah benar- benar menangis. Randy tak tega melihat Setiadi seperti itu
“Let me hug you Di” Randy bergeser kearah Setiadi, meraih Setiadi, sementara Setiadi sendiri lega bukan main. Ia sudah lebih tenang, membiasakan dirinya sekarang sudah mampu meraih Randy, dan Randy pun mulai meraih dirinya.