It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kulempar telepon genggamku ke atas tempat tidur dan kembali membaca novel buatan Alina yang tadi sempat kupinjam untuk kubawa pulang. Kupikir sebelumnya, dia menulis yang seram-seram saja sepanjang cerita, tapi ternyata tidak. Tak sedikit dia menyertakan romansa-romansa cinta di dalamnya.
Tepat di saat aku menyelesaikan satu bab, kudengar pintu kamarku diketuk. Aku mengernyit, kuletakkan buku itu tanpa menutupnya di dekat telepon genggamku kemudian aku meloncat dari tempat tidur untuk membuka pintu kamarku.
“Ada apa?”, tanyaku kepada Stevan yang berdiri tegak tepat di depan pintu yang baru saja kubuka.
“Ada yang ingin menemuimu di depan.”, jawabnya datar.
“Siapa?”, tanyaku lagi.
“Seorang perempuan.”, jawabnya masih datar.
“Perempuan?”, gumamku pelan. Kupikir, tumben sekali ada yang menemuiku, apalagi jam segini. Memang dulu sering ada teman sekelasku yang datang, tapi itu saat kelas tujuh dulu. Itupun siang hari. Kalau teman sekelasku di kelas delapan ini, sepertinya tak mungkin.
Apa mungkin anak mudika? Memang biasanya mereka datang jam segini. Tapi itu juga bukan untuk sekedar menemuiku, mereka datang untuk menjemputku, karena mereka semua tahu kalau mama tak akan memberiku ijin jika tidak ada yang menghampiriku terlebih dahulu.
Ah, tapi tak mungkin itu mereka. Karena Stevan sudah mengenal mereka semua, jadi kupikir pasti Stevan akan menyebut nama, bukannya malah ‘seorang perempuan’. Lagipula, biasanya yang datang juga bukan perempuan. Dan lagi, rasa-rasanya hari ini bukan waktunya untuk rapat kepengurusan atau apapun.
Apa mungkin Alina? Tapi untuk apa dia ke sini? Bukankah aku baru saja pulang dari rumahnya?
“Mungkin dia pacarmu.”, kata Stevan tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. “Tapi sepertinya tidak mungkin juga. Kau kan tidak suka perempuan.”, lanjutnya sambil nyengir.
“Terserah apa katamu.”, ucapku sebal, dia tertawa puas.
“Saranku, jangan terlalu dekat dengan dia. Daripada nanti kau menyesal.”, katanya tiba-tiba.
“Apa urusanmu?”, sahutku kesal. “Sudah, suruh saja dia menunggu.”, lanjutku kemudian menutup pintu kamarku sedikit keras.
Kuambil telepon genggamku yang tergeletak di atas tempat tidur dan kukirim pesan ke Alina.
“Kau ke sini?”, tulisku.
“Iya, cepatlah keluar!”, balasnya.
“Tunggu sebentar!”, kirimku lagi.
Entah kenapa hatiku tiba-tiba saja berdebar kencang. Mendadak aku menjadi gugup sekali. Pikirku, kenapa dia ke sini? Apa mungkin ada sesuatu dariku yang tertinggal di rumahnya? Atau justru ada sesuatu darinya yang terbawa olehku? Aku mendadak tak bisa menguasai diriku sendiri, terlalu gugup.
Kulihat pantulan diriku sendiri di dalam cermin, terlalu kacau. Kurapikan rambutku dengan jari-jariku. Kutarik ujung bawah kaosku yang terlihat kusut terlipat-lipat. Aku menghela nafas sebentar.
“Sepertinya sudah cukup rapi.”, gumamku sendiri. Akupun segera beranjak untuk menemui dia, berjalan dengan perasaan tak tentu. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti tepat ketika aku hampir tiba di ruang tamu. Mendadak perasaan gugup itu datang lagi.
Kucoba menenangkan diriku lagi. Kali ini kusandarkan punggungku di dinding pembatas ruang tamu, tepat di samping lubang berbentuk setengah oval setinggi sekitar dua meter penghubung ruang tempatku berada menuju ruang tamu. Berkali-kali kuambil nafas panjang sambil dengan mata terpejam.
“Sudahlah, Han!”, gerutuku kepada diriku sendiri. Kubuka kembali kedua mataku dan kutarik lagi ujung bawah kaosku. Kemudian dengan langkah cepat, akupun berjalan menuju ruang tamu yang jaraknya hanya tinggal tak lebih dari dua meter dari tempatku berada.
“Maaf membuatmu me...”, kata-kataku yang baru saja memasuki ruang tamu terhenti secara tiba-tiba. Aku terkejut bukan main. Tak ada Alina di ruang tamu, yang ada justru Stevan dan kekasihnya, Olivia.
Merekapun sepertinya juga tak kalah terkejutnya dariku. Kulihat Olivia mendadak menundukkan wajahnya sambil menyeka dan mengusap-usap area sekitar kedua matanya yang sembab dengan salah satu ibu jarinya sendiri.
“Di mana dia?”, tanyaku kepada Stevan dengan perasaan sedikit tak enak. Canggung.
“Di luar.”, jawabnya singkat.
“Kau tidak menyuruhnya masuk?”, tanyaku lagi.
“Kau sendiri yang bilang dia bukan urusanku.” Dia membentakku, membuatku seperti biasa, tersentak kaget. Tapi aku berusaha tenang, kucoba untuk tidak peduli terlalu jauh, aku langsung keluar untuk menemui Alina.
#Panggil @mamomento...!!
Jeung ada cerita yg bagus nh..
Baru intro sepertinya..!!
Oi om jose..!!
Semangat yiow..
:-h
#jenggut rambut sendiri .
“Hai, Han!”, dia tersenyum dan balik menyapaku. “Lama sekali. Kau berdandan dulu?”, lanjutnya menggerutu. Dia menatapku dengan tatapan aneh lagi, seperti saat di rumahnya tadi pagi itu.
“Kenapa lagi?”, aku bertanya sekaligus menggerutu.
“Tidak, hanya saja...” “Kau terlihat berbeda jika memakai celana panjang begitu.”
“Ah, kukira apa.” “Ngomong-ngomong, ada apa jam segini kau ke sini?”
“Jam segini? Ini masih pukul tujuh, Han.”
“Baiklah, baiklah! Ada apa kau datang ke sini pukul tujuh begini?”, tanyaku dengan nada menggoda.
“Kau gila.”, gerutunya. “Aku ingin mengajakmu ke taman di depan.”, lanjutnya.
“Apa?” Aku terkejut.
“Kenapa? Biar kali aku yang memboncengmu.”
“Ah, kau gila! Tidak! Aku tidak mau!”
“Kenapa?”
“Aku tak yakin kau bisa memboncengku. Lagipula..“ Aku menghentikan kata-kataku. Pikirku, biasanya aku tak pernah keluar jam segini kecuali dengan teman-teman yang sudah dikenal baik oleh mama. Tapi apa salahnya untuk kali ini saja? Bukankah mama juga sedang tidak ada di rumah.
“Apa susahnya? Kan tidak terlalu jauh dari sini. Lagipula, kau kurus begitu.”, katanya kemudian tertawa terkekeh, membuyarkan lamunanku.
“Umm... Baiklah! Tapi jangan terlalu lama!” Aku akhirnya mengiyakan.
***
Aku diam, memperhatikan lampu-lampu jalan yang perlahan satu per satu kami lewati. Kuperhatikan sorot-sorotnya yang terang di sekitar tiangnya, dan kemudian semakin memudar hingga akhirnya bertemu sorot dari lampu yang lain lagi, begitu seterusnya.
Semilir khas angin malam, atau yang Alina mungkn saja sebut sore, ini terasa menerpa lenganku bertubi-tubi. Kulihat dari belakang, dia masih saja mengkayuh sepedanya. Punggungnya bergerak-gerak teratur.
“Yakin kau tidak capek?”, tanyaku memulai perbincangan.
“Tidak sama sekali. Tidak terasa bahkan. Berat badanmu benar benar tak terasa sama sekali.”, jawabnya usil sambil tetap mengkayuh. Aku menggembungkan pipiku kesal kemudian mencubitnya punggungnya pelan.
“Awas saja kalau nanti kita sampai jatuh!”, ancamnya tak serius, aku tersenyum kecil.
“Ngomong-ngomong, Han.. Siapa tadi yang di rumahmu itu?”, tanyanya tiba-tiba memulai topik pembicaraan yang baru.
“Perempuan tadi maksudmu?” Aku berbalik tanya.
“Bukan!”, sahutnya.
“Oh itu! Dia kakakku. Stevan. Kenapa memangnya?”, aku bertanya lagi.
“Tidak. Hanya saja, dia tampan sekali. Berbeda sekali denganmu.”, jawabnya.
“Memang!”, kataku kesal kemudian mencubit punggungnya lagi.
“Kau gila!”, serunya sambil menepuk bahuku dengan tangan kirinya tanpa menoleh ke belakang.
“Ngomong-ngomong, Han. Jadi, tadi itu ada perempuan di rumahmu?” Dia mengganti topik lagi.
“Memangnya kau tak melihatnya tadi?”
“Tidak. Tapi sepertinya aku tahu.”
“Tahu apa?”
“Aku tak begitu yakin sebenarnya. Tapi.. Apa benar nama perempuan itu Olivia?”
“Hah? Darimana kau tau?”, seruku terkejut. “Lagi-lagi kau membuatku takut, Lin.” Kuggigit bibir bawahku sendiri.
“Sudahlah, Han! Jalan pikiranmu selalu saja begitu. Sudah kubilang aku bukan orang yang seperti itu.”, gerutunya.
“Lantas kau tahu darimana?”, tanyaku penasaran.
“Aku melihat, aku hapal motornya, Han. Dia tetanggaku.”, jelasnya masih dengan nada menggerutu kemudian tiba-tiba saja berhenti mengkayuh dan mulai mengerem sepedanya, membuatnya berhenti perlahan.
“Kenapa berhenti?”, tanyaku.
“Oh! Aku tidak menyadarinya. Maklum, aku jarang sekali ke sini. Apalagi di malam hari seperti ini.”, jelasku.
“Ini masih sore, Han! Kau ini.”, protesnya, aku nyengir saja.
“Ayo kita ke sana!”, lanjutnya sambil menunjuk sebuah kursi besi panjang berwarna putih yang tampak jelas karena berada tepat di bawah sorotan lampu taman.
“Sepedamu mau kau taruh dimana?”, tanyaku kemudian.
“Biarkan saja di sini. Biasanya juga tak apa.”, jawabnya santai kemudian menarik lenganku dan berlari menuju kursi itu. “Lihatlah bintangnya! Indah sekali bukan?”, serunya sesaat setelah menduduk kursi itu. Aku mendudukkan diriku di sebelahnya.
“Kau mulai gila lagi, Lin. Tidak ada bintang sama sekali.”, gerutuku, dia hanya tertawa sebentar kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya.
“Kau mau permen?”, tanyanya menawari sambil menyodorkan beberapa bungkus permen di atas telapak tangannya yang menelungkup menengadah ke arahku.
“Tidak, terimakasih. Aku tidak terlalu suka yang manis-manis.”, jawabku sambil menggelengkan kepala pelan.
“Jadi kau tak suka aku?”, tanyanya sambil memasukkan kembali permen yang tadi digenggamnya itu ke dalam saku celananya, tapi menyisakan satu untuk dimakannya sendiri.
“Kau mulai lagi, Lin.” Aku memicingkan mataku ke arahnya, dia tertawa lagi.
“Kau terlihat pucat, Lin. Kau kelelahan?”, tanyaku tiba-tiba sedikit khawatir setelah melihat ada yang berbeda dari wajah gadis itu, seketika dia berhenti tertawa.
“Kelelahan? Tentu saja tidak! Kau menghinaku? Ini semua karena pengaruh lampu taman. Lihat saja terangnya berlebihan begini! Kaupun juga terlihat pucat, kau tahu.”, protesnya, aku hanya nyengir seperti biasa.
“Ngomong-ngomong, kau punya facebook atau twitter, Han?”, lanjutnya sambil memain-mainkan permen di mulutnya, membuat suaranya terdengar sedikit aneh.
“Tidak. Kau tahu sendiri aku tak suka bersosialisasi.”, jawabku.
“Jelas beda, Han. Dunia nyata dan dunia maya itu jelas berbeda.” “Banyak orang yang tak begitu menikmati dunia nyatanya, tapi mereka merasa nyaman di mayanya. Dan sebaliknya.”
“Entahlah. Hanya saja, aku rasa aku tidak dua-duanya.”
“Kau memang terlalu menutup diri.”, kritiknya.
“Maksudmu?”, tanyaku dengan nada sedikit tak terima.
“Kau punya kemampuan, punya potensi untuk dikenal. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.” “Sebenarnya banyak yang ingin berteman denganmu, aku yakin itu. Tapi kau justru menutup diri. Dan sikapmu yang seperti ini yang membuat Samuel suka mengerjaimu.”, cercasnya.
“Ah, siapa bilang? Kau tak tahu saja, Lin. Aku dulu tak terlalu seperti ini. Maksudku, aku memang bukan orang yang pandai bergaul, tapi percayalah, temanku dulu lebih banyak dari sekarang.”, kataku membela diri.
“Lalu?”, tanyanya meminta penjelasan.
“Entahlah. Hanya saja, jika kau tahu, justru Samuel yang membuatku terlihat menutup diri begini.”, jawabku.
“Maksudmu?”, tanyanya lagi. Dahinya berkerut-kerut, menunjukkan ketidakmengertiannya.
“Entahlah.”, jawabku malas. Aku mulai tak berminat membahas tentang Samuel. “Kita bahas yang lain saja.”, usulku. Tapi Alina sepertinya tak menuruti. Tiba-tiba saja, dia menggeser posisi duduknya semakin mendekatiku. Diraihnya lenganku dan diguncang-guncangkannya dengan kedua tangannya.
“Ayolah, Han! Ceritakan padaku! Siapa tahu aku bisa membantu.”, rengeknya seperti sangat ingin tahu.
“Baiklah, baiklah!”, seruku akhirnya menurut walaupun sedikit malas, dia berhenti mengguncang-guncang lenganku. “Jadi dulu, aku tak terlalu begini. Kau tahu, ketika masih kelas tujuh. Aku masih bersemangat sekolah. Hubunganku dengan teman sekelasku juga biasa saja, baik-baik saja.” “Sampai kau tahu sendiri, pertukaran kelas. Aku menjadi satu kelas dengan dia, Samuel. Dan akupun mulai dikerjainya.”
“Tapi, Han? Hanya samuel dan teman satu gengnya itu saja kan?” “Maksudku, yang lain tidak kan? Jadi kau masih bisa berteman dengan yang lain itu kan?”
“Ah, kau tidak tahu saja, Lin. Mereka semua juga menjauhiku, terutama yang lelaki.”
“Kenapa begitu?”
“Memangnya apa lagi? Mereka takut kalau-kalau ikut dikerjai Samuel hanya karena dekat denganku. Rasa-rasanya aku ini seperti pembawa sial saja.” “Ah, tapi aku sendiri tak apa sebenarnya. Tak begitu berpengaruh bagiku. Toh, dari dulu aku selalu merasa lebih nyaman berteman dengan perempuan. Entahlah, sepertinya memang ada yang salah denganku.”
“Ah, tidak juga. Sebagian besar temanku juga laki-laki. Dan aku tak pernah menganggap itu sebagai sesuatu yang salah, sesuatu yang aneh. Maksudku, kenapa cara berpikirmu selalu saja begitu, Han?”
“Entahlah. Terkadang, aku ini seperti tak bisa mengenali diriku sendiri, terutama jika berhubungan dengan sesuatu yang seperti itu. Kau tahu kan maksudku? Terlalu rumit!” “Tak jarang, aku merasa iri dengan orang-orang sepertimu, Lin.” Aku mendengus pelan.
“Sepertiku?”, tanyanya tak mengerti.
bagian ini w g tahu maksudnya..
Mohon pencerahannya..
Well dimensi yg di bangun oleh tokoh utamanya han,, bisa di bilang sangat berhasil..
Sayangnya sebagai sosok han yg nota benenya dia lelaki.. W masih menebak apa karakternya si han ini..!!
Atau karena karakter yg di bangun oleh han dan aline hampir sama..??
Atau gua belum jelas melihat han ini termasuk belok atau tidak..
Harus baca lagi sepertinya..
Seperti saya bilang di atas mungkin masih intro..
Sehingga tokoh lainnya lom keluar..
Maaf kepanjangan..
“Dengarkan aku, Han!”, katanya kemudian. “Tak ada satu orangpun di dunia ini yang hidup tanpa masalah. Begitupun aku, kau pikir aku bebas dari masalah? Tentu saja tidak! Kau saja yang tak tahu masalah besar yang saat ini sedang kuhadapi.” “Jadi kita ini sebenarnya sama saja, tak lepas dari masalah-masalah hidup. Satu-satunya hal membuat kita berbeda ya itu, kau tahu, cara berpikirmu. Percayalah, Han! Satu masalah itu tidak ada apa-apanya bila dibanding dengan banyaknya kebahagiaan yang bisa kau temui kapan saja, tergantung caramu melihatnya.”, jabarnya.
“Ah, itu kan katamu. Buktinya, jangankan banyak, satu saja aku tak pernah menemui alasan untuk bahagia itu.”, keluhku tak setuju.
“Begitulah kau! Tak pernah membuka dirimu, membuka pikiranmu. Tak pernah menyadari sekitarmu.” “Sekarang begini saja.. Saat ini, apa kau merasa bahagia duduk di sini bersamaku?”, lanjutnya bertanya.
“Tentu saja!”, sahutku dengan spontan. Aku terhenyak, tersadar akan sesuatu di balik jawabanku sendiri. Dia melempar senyum ke arahku.
“Jadi, kau masih menganggap dirimu belum menemukan alasan itu?”, tanyanya menyindirku, akupun menggelengkan kepalaku sambil menunduk malu.
“Ternyata kau adalah alasan itu, Lin. Kau kebahagiaan itu.”, kataku sesaat setelah mengangkat wajahku kembali. Dia mengacak-acak rambutku, kali ini kubiarkan saja, lagipula, aku tak terlalu risih dengan hal itu sebenarnya.
“Dasar kau, Han.”, katanya sambil masih mengacak-acak rambutku.
“Sebenarnya jika kau lebih membuka pikiranmu, kau akan tahu, Han. Aku bukan satu-satunya, banyak yang sudah kau temui, banyak hal lain yang menjadi alasan itu. Kau hanya perlu melihat dan menyadari sekitarmu saja.”, lanjutnya.
“Entahlah. Mungkin saja begitu.”, kataku asal.
“Lagipula, Han. Jika dipikir-pikir, hidup itu tak lebih dari sekedar kesempatan. Tak pernah terjadi dua kali, tak mungkin berputar kembali. Hidup itu kesempatan, yang tak pernah kita tahu kapan kesempatan itu akan berakhir, kau tahu, kematian. Jadi selama kita masih diberi kesempatan, kenapa harus disia-siakan dengan pikiran-pikiran semacam itu?”, katanya panjang lebar kemudian mengunyah permen dalam mulutnya yang sedari tadi dikulum-kulumnya itu dan menelennya hingga habis.
“Kupikir kita sudah terlalu lama di sini. Ayo pulang!”, ajaknya kemudian berdiri. Akupun juga ikut berdiri, tepat di sampingnya. Kami berdiri berdampingan. Kalau benar-benar berdekatan begini, terlihat jelas kalau ternyata dia sedikit lebih tinggi daripada aku.
“Ngomong-ngomong, Lin.. Kau tadi bilang saat ini kau sedang menghadapi masalah besar. Aku boleh tahu apa itu?”, tanyaku sambil sedikit mendongak memiringkan wajahku untuk menatapnya, dia tertawa sebentar.
“Nanti kau juga tahu sendiri.”, katanya tak mau bercerita, aku mengangguk tak memaksa kemudian melepas tatapanku dari wajahnya. Seketika, Alina tiba-tiba saja meraih tangan kiriku dan digenggamnya erat dengan tangan kanannya. Aku benar-benar terkejut. Kurasakan sesuatu dalam diriku, sesuatu yang tak kupahami, terlalu asing. Rasanya, entahlah, seperti malu, seperti bahagia, seperti bangga, seperti bahagia, seperti terbang. Tak beraturan, tak bisa kujelaskan, terlalu aneh. Tapi satu hal yang pasti, ini terasa begitu hangat.
***