It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lanjut
kritik apa ya? kalo dari segi penulisan sih udah bagus ceritanya aja kali ya yg trlalu lambat jatuh bosenin..
waaaa, maap yak.. ak kasih opini sbg pembaca aja ya belum bisa kasih opini sebagai penulis.. wong saya bukan penulis. hihi
@Dakon_bek nastar isi pecahan kaca yak. hihi
iya ya? Kebiasaan baca novel terjemahan. Jadinya ga asik, ga nyaman nulis pake 'lo-gue'. Kalo lambat, kali gara-gara gue potong-potong ya? Padahal itu baru satu chapter loh. Coba deh baca dari awal, pasti ga ada tigapuluh menit kelar. Hehe. Kalo aku lanjutpun, pasti bakalan kepotong-potong lagi. Gapapa? Betewe, terimakasih ya.
Bro @Josejoseph kita sealiran! #tos! (thanks buat bang Aby manggil aku ke sini. Tumben2an nih bang. Padahal aku lagi libur baca.)
Untuk bro @Josejoseph, walaupun km g minta aku komen tpi brhubung dah diseret bang Aby k sini, gpp ya klo aku ikutan komen. Km bsa cuekin atau saring2 kali aja ada yg bsa km terima. Semua terserah km kok.
Dan berhubung hampir semuanya dh disampein bang Aby, aku nanmbahin dikit aja ya, dikiiiiiiiiiit dan mgkn bsa dibilang hal yg paling dasar n sepele.
1. Kalau km pengen bikin kalimat putus2 (nunjukin keraguan atau tujuan laen), tanda elipsisnya tiga titik ya, jangan kurang n jangan lebih. Ini dasar banget lho, anggep aja kyak kalimat tanya harus pake tanda tanya atau kalimat berita harus pake tanda titik. Udah dari sananya.
2. Untuk penulisan kalimat langsung, hampir semuanya km bikin kyk gini : “Kalimat langsung.”, penjelasan. Atau “Kalimat langsung ?/!”, penjelasan.
Ini buat reperensi aja mungkin, penulisan yg lazim atau kebanyakan yg dipakai itu biasanya:
“Kalimat langsung,” penjelasan.
“Kalimat langsung.” Narasi.
“Kalimat langsung? / !” penjelasan / Narasi.
De el el. Btw aku baru ngeh ginian jga baru bbrapa bulan lalu.
Sperti yg bang Aby bilang, mgkn utk sebgian reader enggk peduli dgn hal kyk gini, tapi gak semuanya. Gak punya tujuan apa2 sih Cuma kayaknya biar lebih enak diliat. Di dalem novel2 yang kamu baca, perhatiin hal2 detil kyak gini. Ya kecuali kalau kamu niatnya iseng2 dan gak terlalu serius nulis sih sah2 aja kamu nulis kyak apa juga. Tpi, yang dari kulihat, sepertinya kamu bukan tipe2 yg kayak gitu. Bner?
3. Aku tadi ngitung ada banyak banget kata “entahlah”. Mgkn klo satu atau dua kali di saat yg sama sih enggk apa2. Tpi klo banyak dan sering di waktu yg berdekatan dan berulang2 sehingga lebih ke arah yg udah berlebihan, kesannya jadi monoton banget (ini kesanku lho ya bukan berarti km salah, sklai lagi ini kesan pribadi yg kutangkep). Sebenernya, ada banyak kata yang bisa kmu mainin dan km rangkai untuk alternatif pengganti kata “entahlah” itu untuk nunjukin keraguan tokoh. Jadi biar lebih beragam dan gak ninggalin kesan “kata itu lagi kata itu lagi”.
4. Untuk dialog satu orang yang berjejer jadi satu dan numpuk, selaen gabung kalimat kyk yg ditunjukin bang Aby, pisahin aja dua dialog itu pake penjelasan kalimat langsung. Km udah banyak pake yang begituan tadi klo gak salah inget.
5. Aku sebenernya masih gak ngeh ini cerita ttg apa, maksudku intinya. Gak tahu karena kamu banyak banget updatenya atau karena alurnya detil dan lambat atau karena akunya aja yg emang belom ngerti karena baca kecepetan. Klo aku cium sih km kayak pengen bikin reader penasaran kan ya? Nah masalahnya rasa penasaran yg kamu kasih ke reader itu bisa berujung dua hal. Satu, bisa bner2 bkin reader ngikutin cerita kamu, atau dua, bkin reader agak males ngikutin. Jadi pertimbangin kadar rasa penasaran yang mau kamu kasih. Jangan keseringan bkin kalimat atau hal2 yang terlalu ninggalin tanda tanya yang terlewat besar karena bisa jadi cerita kamu bakal ‘blur’. Ini juga opiniku lho ya.
6. Suer kita banyak kesamaanya. Aku juga suka baca novel terjemahan (tapi cuma yg genre remaja-fantasi aja sih hhehehe), aku juga gak (blom) suka nulis “lo-gue” di dalem cerita, dan biasanya pake bahasa baku.
7. Itu aja sih, btw km updatenya dikit2 aja. Karena jika kamu pngen kritik dan saran dari reader, reader jadi bisa lebih fokus klo bahan untuk kritik dan sarannya itu porsinya pas. Klo banyak kyak gini, agak repot klo mesti inget2 lagi “tadi mau komen apa”. Keseluruhan dah bagus kok, gak kliatan ngasalnya waktu nulis. Aku suka benget perumpamaan (atau filosofi ya?) dari daon ijo di awal2 itu.
Keep writing!
1. Oh gitu ya? Tapi dari pertma nulis, yang bikin penasaran, abis tiga titik itu disambung pake huruf kapital di awal atau engga kalo ngeliat itu masih dalam satu kalimat kan?
2. Whooaaa iyaaa, aku liat liat novel di rak bukuku, semuanya begitu. Hehe. Bego banget sampe ngga ngeh.
3. Kalo kata 'entahlah' itu emang sengaja tak bikin banyak kok, tapi ngga banyak banget sih. Intinya pengen bikin karakter si han ini jadi orang yang suka bilang 'entahlah' yang di beberapa bagian bikin orang di sekitar dia komplain.
4. Haha iya. Itu juga liat di novel.
5. Boring banget ya detilnya? Ngga tau sih, aku emang sengaja belom ngeluarin masalah apa-apa di tiga chapter pertama, cenderung ekspos kedekatan han sama alina. Kalo bikin penasaran sih ngga juga, kali gara-gara aku potong-potong jadinya kaya 'ini kenapa ya? Apa yang terjadi?' padahal setelahnya langsung dijelasin.
6. Hehe. Tos!
7. Oh kalo gitu iya deh, sekalian nunggu laptop balik, sekalian edit-edit sesuai sarannya mas.
By the way, thanks banget ya mas atas kritik dan masukannya.
Zahara degh jeung @mamomento..!!
Kirim via jne gpp..#tetep maksa..
Xexexe..
@JoseJoseph..
Tolong di mention ya bng..
Tiba2 dagh jauh aja tuh ceritanya..
Thx.. Keep writing..
“Kali ini tidak! Ayolah, Han! Seperti apa?”, rengeknya tiba-tiba, akupun menghela nafas
sebentar.
“Jadi dulu aku punya teman, dia sepertimu. Bagiku, dia juga seperti
malaikat penyelamatku.” Aku menghela nafas lagi.
“Lalu?”
“Kita berpisah... Kau lihat ini?” Aku
mengeluarkan sesuatu dari dalam
kemeja seragamku. Sebuah tali berwarna hitam terikat simpul
tanpa bandul yang kukenakan
layaknya sebuah kalung.
“Dari malaikatmu itu?”, tanyanya dengan raut wajah aneh, datar tak
kumengerti.
“Iya. Tepat di hari perpisahan kami. Dengan ini aku selalu bisa mengingat dia,” jelasku kemudian menggigit bibirku sendiri. Aku memutar-mutar benda itu.
“Kau cinta padanya?” tanyanya tiba-tiba sambil menatap wajahku lekat.
“Tentu saja tidak! Dia malaikatku juga, sama sepertimu. Maka dari itu, aku tak mau berpisah denganmu, Lin. Aku tak mau kehilangan malaikatku untuk yang kedua kalinya,” jelasku
kepadanya yang masih menatapku lekat. Dan entah karena didorong semacam
kekuatan yang tak jelas asalnya atau hal lain yang aku sendiri tak mengerti, tiba-tiba saja kuraih kedua tangan Alina dan kugenggamnya erat, dia tiba-tiba
menunduk lesu. Seketika, langsung kulepaskan
genggamanku.
“Kau kenapa?” tanyaku ragu.
“Ah tidak. Aku tak apa,” kilahnya sambil tersenyum, dia berusaha merubah air mukanya, tapi tetap saja masih bisa kulihat kemasaman di sana.
“Oh ya, Han. Aku ingin
menunjukkanmu sesuatu.”, katanya tiba-tiba.
“Apa?”
“Begini, bukankah kau tadi bilang mereka mengerjaimu di saat jam istirahat dan jam kosong saja?” Dia mengedipkan matanya, pertanda apa, aku tak tahu.
“Lalu?”
“Kalau kau memang tak bisa melawan, setidaknya kau masih bisa menghindar bukan? Maksudku, kau bisa habiskan waktumu di sana, tempat kesukaanku. Tempat di mana aku bisa menemukan ketenangan. Sungguh!” katanya menjelaskan penuh semangat.
“Tapi tadi kau bilang ini yang terakhir?” Aku membalikkan badanku, membelakanginya kemudian menunjuk sisa permen karet yang menempel di celanaku.
“Hanya antisipasi saja, Han. Ayolah!” ajaknya sedikit memaksa.
“Tunggu dulu! Tempat apa itu?” tanyaku meminta penjelasan, aku masih merasa ragu.
“Tempat kesukaanku di sini.”
“Masih di areal sekolah?”
“Tentu saja.”, jawabnya singkat.
“Bukan tempat yang seram kan?”, tanyaku lagi, aku masih belum merasa benar-benar yakin.
“Tentu saja bukan! Kau mulai begitu lagi, Han.”, gerutunya.
“Sudahlah, jangan cerewet!” serunya sambil meraih pergelangan tanganku, mencengkeramnya erat, dan mulai berlari kencang, menarik mememaksaku mengikutinya.
“Pelan-pelan, Lin,” keluhku mulai terengah-engah.
“Sudahlah, jangan manja!”, gerutunya lagi, dia masih terus menarikku. Kami berdua berlari melewati kelas demi kelas, memutari gedung sekolah, membuatku mengerti bahwa dia sedang membawaku ke bagian belakang bangunan ini.
“Sudah sampai! Ini dia!” serunya sesaat setelah menghentikan langkah larinya itu. Dia
tersenyum lebar sambil menunjuk dinding pembatas halaman belakang sekolah yang berada tepat di depan kami.
“Apa? Jadi ini? Hanya ini? Di sini? Tembok pembatas ini?” tanyaku bertubi-tubi karena merasa heran dan tak mengerti.
“Tentu saja bukan!” sahutnya cepat.
“Lalu?”
“Tunggu sampai kau lihat apa yang ada di baliknya.” Dia tersenyum lebar lagi.
“Memangnya ada apa di balik ini?” Kudekati tembok itu dan kutepuk-tepuknya beberapa kali, kulihatnya dengan heran, kedua alisku saling bertautan.
“Sudahlah! Lihat saja nanti!” katanya sedikit menggerutu.
“Tapi bagaimana caranya?” Aku mengangkat kedua bahuku sambil masih menatap dinding yang tingginya sedikit melebihi tinggi badan Alina itu.
“Lihat itu!” serunya tiba-tiba, dia nunjuk setumpuk kotak kayu yang berada tak jauh dari kami. Dia mengedipkan matanya beberapa kali, aku menatapnya aneh. Pikirku, bagaimana bisa ada setumpuk kotak seperti itu di tempat seperti ini.
Dia berlari mendekati kotak-kotak itu, perlahan aku berjalan mengikutinya dari belakang.
“Dari mana kau dapat semua ini? Kau gila! Kau bisa dihukum karena ini,” gerutuku mulai merasa cemas sambil menatap lekat kotak-kotak yang disusun sedemikan rupa mirip tangga itu. Dia hanya tersenyum saja, mengabaikan kecemasanku sama sekali.
“Berbalik badanlah!”, perintahnya tiba-tiba.
“Kenapa memangnya?”
“Aku tak mau kau mengintipku!” serunya sambil berkacak pinggang.
“Baiklah, baiklah,” seruku menuruti kemudian membalikkan
badanku.
“Nah, sekarang giliranmu!” teriaknya beberapa saat kemudian, suaranya terdengar sedikit samar. Sepertinya dia sudah berada di balik dinding pembatas, sudah berada di luar sekolah.
“Giliran? Giliran apa?” tanyaku pura-pura tak mengerti dengan berteriak juga.
“Cepat naik lah!” gerutunya memerintah.
“Ah, tidak! Aku di sini saja!” seruku menolak.
“Ayolah, ini tak apa-apa! Apa kau tak mau melihat yang ada di sini?” teriaknya mencoba membuatku penasaran.
“Bagaimana kalau ketahuan?”
“Sejauh ini aku tidak pernah. Maka dari itu cepatlah!” teriaknya lagi, kali ini dengan nada sedikit kesal. Aku menghela nafas lagi, kubalikkan badanku dan mulai menuruti kemauan Alina. Kupijakkan kakiku di atas kotak kayu itu dengan ragu, dengan hati-hati, takut-takut kalau kotak itu ternyata rapuh.
Sampai di kotak yang paling atas, aku melihat ke luar bawah tembok itu, ternyata juga sudah ada kotak-kotak kayu yang disusun sama seperti yang sedang kupijaki ini, hanya saja terlihat sedikit tak rapi. Di samping kotak-kotak itu, kulihat Alina berdiri sambil mendongakkan kepalanya menatapku, dia tersenyum puas.
“Kau gila! Kau sudah menyiapkan semua ini,” gerutuku.
“Sudahlah! Selain cerewet, kau itu juga lamban.”, ejeknya kemudian, aku memicingkan mataku.
“Cepatlah turun ke sini!”, lanjutnya memerintah.
“Tapi apa itu aman?” Aku menunjuk kotak-kotak itu sambil menggigit bibirku sendiri karena
ragu.
“Kau lihat aku di sini? Lagipula, berat badanmu sepertinya tak lebih dariku.”, katanya
meyakinkanku, walaupun cenderung terdengar seperti sebuah sindiran di telingaku.
Dengan sangat hati-hati, akhirnya akupun melangkahi tembok itu dan mulai memijakkan kakiku di atas kotak kayu di luar. Beberapa bulir keringatpun kurasakan bermunculan di pelipisku, mengalir mengucur melewati wajahku. Aku melangkah sangat perlahan, sangat hati-hati.
Sampai di kotak terakhir, aku langsung meloncat saja ke atas tanah karena sudah terlalu
ketakutan, nafasku tersengal-sengal, aku terengah-engah. Kuhela nafas lega, sedikit untuk menenangkan diriku sendiri.
“Kau gila! Kupikir kau tipe yang taat aturan.” Aku langsung menggerutuinya.
“Hanya sedikit kegilaan itu perlu, Han,” katanya sambil tertawa.
“Lihat itu!” lanjutnya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah suatu tempat.
Tampak jelas kulihat di sana, tempat yang ditunjuk oleh Alina, sebuah lapangan yang cukup luas yang beberapa sisinya ditumbuhi rumput-rumput kecil liar dengan tinggi tak sama, tak beraturan, tapi hijau dan indah. Pohon-pohon beringin berdaun lebat dengan akar-akar besar mencuat dari dalam tanah sementara akar gantungnya menjuntai-juntai sebagian ada yang sampai menyentuh tanah tampak mengelilingi lapangan tersebut, sebuah bangku kayu panjang berwarna coklat bernaung di bawah salah satunya. Di dekat pohon beringin itu kulihat ada sebuah jalan setapak berbatu yang samping-sampingnya ditumbuhi tanaman liar yang tak kutahu namanya, seperti rumput tapi berbunga-bunga berwarna kuning.
Sungguh indah, pikirku. Semuanya tampak basah berkilauan, daun, rumput-rumput liar, bebatuan, bahkan batang-batang kekar beringin itu. Bau tanah basah sehabis hujan yang dibawa
angin semilirpun menambah suasana yang benar-benar membuaiku ini. Benar-benar indah.
“Astaga, aku tak pernah menyangka ada tempat semacam ini di sekitar sini”, gumamku terkesima.
“Sudah kubilang! Indah bukan? Aku sering ke sini. Kau tahu, untuk mencari inspirasi dalam
menulis,” katanya bangga.
“Apa?” Aku tersentak kaget. “Kau bilang apa? Inspirasi? Menulis? Cerita-cerita serammu itu?” lanjutku dengan nada tinggi.
“Iya,” sahutnya cepat kemudian tertawa keras sekali.
“Kau benar-benar gila, Lin! Ini bukan tempat yang... seperti... kau tahu kan maksudku?” Aku mulai merasa takut.
“Tentu saja bukan! Lagi-lagi kau berpikir yang seperti itu, Han,” serunya masih sambil sedikit tertawa. “Tempat ini begitu indah begitu nyaman,” lanjutnya sambil
menarik nafas panjang menghirup udara sekitar yang segar.
“Lalu? Apa maksudmu dengan inspirasi menulis tadi? Kau hanya mencoba menakutiku?” tanyaku kesal.
“Bukan, bukan begitu. Maksudku, aku sering mendapat inspirasi di tempat ini, bukan dari tempat
ini. Kau paham maksduku?”
“Jadi?”
“Sudahlah, Han! Berhentilah berpikir yang semacam itu! Ayo kita ke sana!” Dia menarikku menuju kursi kayu di bawah pohon beringin di kejauhan itu.
“Kalau sedikit lebih siang, biasanya banyak anak kecil bermain bola di sini, Han. Kau bisa ikut bermain dengan mereka, daripada harus menderita di kelas,” katanya sambil menunjuk lapangan yang terbentang di hadapan kami itu kemudian mendudukkan dirinya di atas kursi kayu yang ternyata sedikit basah di beberapa sisinya itu.
“Ah, tidak! Aku tidak terlalu suka permainan olahraga, termasuk sepakbola.” Aku mendudukkan diriku di sebelahnya, kini kami berdua tepat duduk bernaung di bawah salah satu pohon beringin
itu.
“Kenapa?”
“Entahlah. Tidak berbakat. Dan tidak suka. Dan tidak bisa,” kataku sambil menatapnya.
“Hei, Lin! Kau pucat lagi,” seruku tiba-tiba, seketika dia menatapku balik.
“Kau gila? Selalu saja kau bilang aku ini pucat. Lagipula aku memang belum sarapan pagi ini. Jadi kalaupun memang aku terlihat pucat, itu wajar. Sudahlah! Aku tak apa,” protesnya.
“Baiklah, baiklah,” kataku mengalah. “Ngomong-ngomong, Lin. Kenapa kau suka tempat ini?” lanjutku bertanya.
“Aku suka tempat-tempat indah seperti ini, selalu saja seperti membuka pikiranku. Sebenarnya aku ingin sekali mengunjungi banyak tempat indah di negeri ini, Han. Kau tahu, untuk mendapat
lebih banyak inspirasi,” ceritanya dengan antusias.
“Misalnya?”
“Bali. Atau Toraja. Atau Papua. yaBanyak sekali!” serunya.
“Bali?” tanyaku bersemangat, dia menatapku heran. “Kau tahu, aku lahir di sana. Aku sempat tinggal di sana. Dulu. Aku tahu tempat-tempat indah di sana,“ kataku penuh semangat.
“Benarkah? Aku benar-benar ingin ke sana, ingin sekali. Pasti aku akan mendapat banyak ide menulis di sana,” sahutnya tak kalah bersemangat.
“Kenapa kau tak berlibur ke sana saja? Liburan semester ini mungkin?” Aku menyarankan.
“Aku ingin sekali, tapi... sepertinya
waktunya..” Dia sengaja menghentikan ucapannya, wajahnya tiba-tiba menunduk. Belum sempat aku bertanya kenapa, dia sudah mengangkat wajahnya kembali, berusaha mengubah air wajahnya seperti tadi, dan mulai nerocos lagi, “Ngomong-ngomong, Han. Bagaimana kau bisa sampai di
sini, di Surabaya ini?” Dia bertanya sambil tersenyum, memaksa dirinya untuk tersenyum.
“Oh, itu... Orangtuaku, mereka memutuskan untuk berpisah. Dan aku ikut mamaku ke sini, begitupun Stevan,” ceritaku.
“Mereka bercerai?” tanyanya sambil menatapku.
“Tidak! Hanya berpisah saja. Benar-benar berpisah, kau tahu maksudku, hanya masalah jarak,”
kataku menjelaskan.
“Jadi sekarang papamu di Bali? Masih tinggal di sana?” tanyanya lagi.
“Iya, Denpasar lebih tepatnya,” jawabku sambil mengangguk.
“Kau tak merindukannya?” Tatapannya padaku semakin lekat.
“Entahlah. Sepertinya tidak.” Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tak begitu dekat dengannya. Bahkan aku hampir saja tidak bisa
mengingat dia itu seperti apa,” lanjutku menambahi.
“Apa dia tidak pernah menghubungi kalian?”
“Yang kutahu, akhir-akhir ini dia sering menelepon. Tapi, hanya mamaku yang mau berbicara. Sedangkan aku dan Stevan sepertinya sama, tak berminat”
“Oh. Kau dan kakakmu itu sepertinya kompak sekali ya?” tanyanya sambil tersenyum.
“Kau gila? Tidak! Kami tidak kompak sama sekali!” seruku sambil melambai-lambaikan tangan kiriku ke kanan dan ke kiri cepat.
“Benarkah? Tapi yang kulihat, sepertinya begitu. Sepertinya menyenangkan punya saudara.”
“Oh, tentu! Asal bukan Stevan saja,” gerutuku.
“Kenapa begitu?” tanyanya penasaran.
“Entahlah. Hanya saja, dia itu selalu saja menjengkelkan, tak pernah ramah kepadaku. Sepertinya dia itu membenciku sekali.”
“Mungkin hanya perasaanmu saja. Dia itu kakakmu, Han. Tak mungkin seperti itu. Coba saja kau yang bersikap ramah kepadanya lebih dulu”
“Tak mau!” seruku menolak. Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tak mau! Di dunia ini, ada dua tipe orang yang aku tak mau bersikap ramah padanya. Pertama, mereka yang kubenci. Dan kedua, mereka yang membenciku, seperti Stevan itu.”
“Kenapa kau yakin sekali kalau dia itu membencimu?”
“Karena aku dan dia, kami terlalu berbeda.”
“Berbeda?”
“Iya. Kau tahu, semua ini tentang band, basket, dan kepopuleran itu. Sepertinya hampir dalam segala hal kecuali perasaan, dia lebih baik dariku.”
“Perasaan?”
“Entahlah. Hanya saja, sudah terlalu banyak gadis yang dia sakiti. Walaupun yang kulihat, akhir-akhir ini dia sepertinya mulai berubah,” kataku berpendapat.
“Berubah? Maksudmu?”, tanyanya tak paham.
“Entahlah. Tapi yang jelas, Olivia itu adalah gadis yang paling lama dipacarinya. Kupikir, mungkin Stevan sudah benar-benar berubah.” Aku meneruskan pendapatku.
“Tapi, Han...” Alina menghentikan kata-katanya, kulihat dia mulai berpikir. Mungkin berpikir untuk memilih melanjutkan kata-katanya itu atau tidak.
“Tapi apa?” tanyaku mencoba membuatnya melanjutkan apa yang tadi ingin dia katakan.
“Mereka berakhir di malam itu, malam kemarin, ketika aku ke rumahmu itu. Kau ingat?”
“Benarkah? Darimana kau tahu?” Aku sedikit tak percaya.
“Olivia sendiri,” jawabnya singkat.
“Sudah kuduga. Stevan tak benar-benar telah berubah,” gumamku sendiri. “Ngomong-ngomong, apa yang dikatakan Olivia, Lin?” tanyaku mencoba mencari tahu.
“Dia bilang, hubungan jarak jauh tidak akan pernah berhasil,” ceritanya.
“Jarak jauh? Memangnya kemana Olivia akan pergi?”
“Bukan Olivia, tapi kakakmu,” kata Alina menegaskan.
“Apa? Stevan? Dia itu memang gila!” gerutuku.
“Mungkin dia akan melanjutkan kuliah di luar kota?” Alina mulai menebak.
“Ah, omong kosong! Stevan itu masih kelas sebelas,” sahutku cepat.
“Benarkah? Kalau begitu apa maksudnya?”, tanyanya lagi, kali ini dengan wajah berpikir.
“Entahlah,” kataku sambil mengangkat kedua bahuku.
“Dia itu kakakmu. Seharusnya kau tahu, Han,” protesnya tiba-tiba.
“Tidak harus begitu juga, Lin. Tidak semua darinya itu harus kutahu. Apalagi kau tahu sendiri, hubunganku dengan orang itu tak begitu baik... Lagipula, apa kau tak mengerti, Lin? Sudah terlihat begitu.”
“Terlihat? Apanya yang terlihat?”
“Ini semua tak lebih dari sekedar kebohongan Stevan saja, Lin. Apalagi kalau bukan untuk mencampakkan Olivia. Jadi kupikir Stevan sebenarnya tak akan pergi kemana-mana. Coba saja kau pikir! Stevan dan Olivia, mereka tak belajar di satu tempat kan?”
“Memang,” jawabnya singkat sambil mengangguk. Kami diam beberapa saat.
“Oh ya, Lin. Kalau boleh tahu, kenapa kau suka menulis cerita seram?”, tanyaku mulai mengganti topik pembicaraan, terlalu malas dan bosan jika masih harus membicarakan Stevan.
“Itu karena aku sebenarnya punya sebuah harapan, Han,” jawabnya sambil tersenyum.
“Harapan?”
“Mungkin terdengar sedikit aneh, tapi aku ingin sekali jika aku mati nanti, orang akan lebih mengingat cerita-ceritaku daripada aku sendiri, penulisnya,” jelasnya.
“Maksudmu?” tanyaku masih tak mengerti.
“Aku ingin membuat sebuah, kau tahu, semacam legenda,” jawabnya sambil nyengir.
“Tapi kenapa harus cerita seram, cerita hantu?”
“Tidak semuanya kan?”, gerutunya.
“Tapi sebagian besar!” seruku menggerutu balik.
“Baiklah, baiklah,” katanya menyerah kemudian tertawa. “Jadi begini, Han.” Dia mulai bercerita. “Cerita-cerita hantu sepertinya lebih mendukung harapanku itu.”
“Maksudmu, dengan cerita-cerita hantu, orang-orang akan lebih mudah menganggap semuanya itu benar-benar nyata, benar-benar pernah terjadi hingga menjadi bahan omongan dan kemudian menjadi...”
“Sebuah legenda! Yang akan selalu diingat. Cerita yang tak pernah mati,” tukasnya dengan cepat.
“Tidak, bukan begitu. Maksudku, semakin ceritamu itu diyakini sebagai cerita yang nyata, hingga kemudian dibicarakan banyak orang, bukankah cerita-cerita itu akan menjadi semakin besar. Maksudku ditambahi ini itu, opini-opini yang ngawur, hingga kemudian berubah sama sekali dari versi aslinya?” gerutuku panjang lebar.
“Semacam sebuah mitos maksudmu?”
“Tepat sekali!”, seruku mengiyakan, dia mengangguk-angguk membenarkan. “Tapi bukankah yang seperti itu sama saja kau telah menipu mereka?” protesku kemudian.
“Ah, tidak juga! Aku hanya ingin membuka imajinasi orang-orang dengan cerita-ceritaku,” kilahnya kemudian tertawa lagi.
“Tentu saja, sampai-sampai menjadi sebuah mitos,” gerutuku sambil menyipitkan mataku.
“Jika memang begitu, berarti aku berhasil. Imajinasi mereka akan ceritaku sudah benar-benar
terbuka.” Dia tertawa lagi, kali ini lebih keras.
“Baiklah, apa saja katamu,” kataku menyerah.
“Lalu apa langkahmu untuk memulainya? Kau benar-benar ingin mempublikasikan cerita-ceritamu itu?”
“Aku tak tahu, Han. Kan kubilang itu hanya sekedar harapan, tak terwujud juga tak apa. Lagipula, kalau dalam waktu dekat ini, sepertinya tak mungkin kalau harus kuketik semuanya.” Dia menghela nafas berat.
“Kenapa harus terburu-buru? Santai saja, Lin. Ceritamu bagus, aku yakin orang-orang akan menyukainya,” kataku memuji.
“Mungkin saja, Han. Tapi..” Dia berhenti berbicara, diam, kemudian melamun.
“Kenapa?” tanyaku membuyarkan lamunannya.
“Oh... Itu... Umm... Entahlah.” Dia menirukan gayaku kemudian tertawa.
“Dasar kau, Lin!” gerutuku. Dia tertawa semakin lepas.
“Oh iya, Han. Apa hobimu?” tanyanya tiba-tiba sesaat setelah berhenti tertawa, aku menyipitkan mataku lagi.
“Kau ingin mewawancaraiku lagi?” tanyaku masih dengan mata menyipit.
“Hanya ingin sedikit lebih mengenalimu saja.” Dia mulai tertawa lagi.
“Entahlah. Tak ada sesuatu yang benar-benar aku sukai, tak ada yang benar-benar kujadikan
hobi.”
“Kau bohong! Kau dulu bilang kau suka membaca,” serunya sambil menepuk lenganku.
“Oh itu... Maksudku... Kadang aku merasa bosan saja membaca,” kataku sambil nyengir.
“Kau pikir aku tidak pernah merasa bosan menulis?” gerutunya. Aku tertawa mendengar dia berkata seperti itu.
“Tumben sekali kau tertawa.” katanya menyindir. Seketika, akupun berhenti tertawa. Kupikir mukaku sudah berubah menjadi merah.
“Itu karena kau lucu,” kataku malu-malu.
“Baiklah. Jadi apa hobimu?” Dia menanyakan hal itu kembali, aku memicingkan mataku lagi.
“Entahlah. Mungkin musik,” jawabku asal, tak begitu yakin.
“Jadi kau suka musik? Kau suka bermain musik? Kau suka bernyanyi?” tanyanya bersemangat.
“Sedikit,” jawabku singkat sambil
mengangkat ibu jari dan jari telunjukku bersamaan dan mendekatkan ujung-ujungnya.
“Bernyanyilah untukku, Han!”, pintanya tiba-tiba dengan sedikit merengek.
“Kau gila? Tidak. Aku tidak mau!” Aku menggelengkan kepalaku.
“Kenapa?” Dia memasang wajah kecewa.
“Entahlah... Hanya saja... malu.” Aku meringis.
“Ayolah, Han! Cobalah! Kalahkan rasa malumu,” rengeknya lagi. Akupun berpikir sebentar, tapi tiba-tiba saja ditepuknya bahuku. “Ayolah!”, lanjutnya memohon, ditarik-tariknya lengan bajuku.
“Tapi..”
“Ah, kau ini! Sifatmu yang seperti ini yang membuat Samuel suka
mengerjaimu. Ayolah, Han!”
“Baiklah. Tapi jangan ditertawakan!” Aku akhirnya menyerah.
“Aku janji!” serunya sambil tersenyum lebar sekali.
Akupun mulai menutup mataku. Terlalu tak berani, terlalu takut, terlalu malu kalau harus bernyanyi sambil melihat wajah Alina. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian dengan sedikit tak yakin mulai mengeluarkan suara dari dalam mulutku.
Sing, sing a song~
Sing out loud, sing out strong~
Sing of good things, not bad~
Sing of happy, not sad~
Sing, sing a song~
Make it simpe, to last your whole life long~
Don’t worry that it’s not good enough, for anyone else to hear~
Just sing, sing a song~
Setelah kupikir cukup, akupun membuka kembali kedua mataku secara perlahan kemudian menghela nafas lega. Dengan ragu, kualihkan pandanganku ke arah Alina untuk memastikan ekspresi wajahnya. Dia ternyata juga sudah menatapku, kulihat dia menyunggingkan sebuah senyuman puas.
“Suaramu bagus, Han,” komentarnya tiba-tiba.
“Ah, kau mengerjaiku, Lin.” Aku memicingkan mataku entah untuk yang keberapa kalinya.
“Tidak. Sungguh, Han! Aku serius,” katanya meyakinkanku.
“Baiklah, apa saja katamu,” gerutuku. Dia hanya tertawa kecil kemudian berdiri dan kuikuti, kami berdiri berdampingan. Dan seperti terdorong kekuatan yang aku tak tahu dari mana asalnya
itu lagi, tiba-tiba saja kuraih tangan kirinya dengan tangan kananku.
Hatiku mendadak berdebar kencang. Aku mendadak kaku, diapun begitu, kami hening.
“Lin...” ucapku pelan yang sungguh terdengar dipaksakan. Aku hanya ingin mencairkan suasana.
“Iya, Han?” sahutnya tak kalah pelan.
“Umm...” Aku mendengung tak jelas, tak tahu harus berucap apa.
“Kenapa, Han?” tanyanya tiba-tiba. Aku sedikit mengangkat wajahku, kuperhatikan dia lekat-lekat.
“Aku benar-benar merasa senang dan beruntung bisa mengenal dan dekat denganmu, Lin. Aku tak mau berpisah denganmu, aku tak mau kehilangan teman sepertimu lagi, Lin,” ucapku masih pelan. Dia tak menjawab, hanya diam kemudian menundukkan wajahnya, kami hening lagi. Kulihat dia begitu muram.
“Kau kenapa, Lin?”
“Tidak. Hanya saja.. Kalau kemudian kita benar-benar harus berpisah, apa kau akan terus mengingatku?” tanyanya dengan wajah masih tertunduk, suaranya parau.
“Lihat ini!” perintahku sambil menarik tali yang kupakai layaknya kalung itu sampai
tekanannya terasa sedikit menyakiti bagian belakang leherku. Dia mengangkat wajahnya dan mencondongkan kepalanya ke arahku melihat benda itu. “Kau pikir aku melupakan dia? Tidak, Lin! Tidak sama sekali! Aku tidak akan pernah melupakan orang-orang baik yang pernah kukenal,” jelasku, dia tersenyum getir. “Lagipula, kenapa kau bertanya seperti itu? Kau tidak akan meninggalkanku kan?” tanyaku cemas.
“Tentu saja tidak. Kau tidak usah khawatir, Han. Aku tidak akan,” jawabnya sambil melempar sebuah senyuman ke arahku, senyuman yang tak getir seperti sebelumnya, akupun membalasnya.
“Ayo kembali! Sudah hampir pergantian jam.”, ajaknya tiba-tiba sambil melepas tangannya dari genggamanku kemudian ditepuknya bahuku.
“Sebentar dulu!” kataku menahan, meminta sedikit waktu.
“Kenapa?”
“Bagaimana dengan ini?” kataku sambil menunjuk bagian belakang celanaku, dia tertawa.
“Pakai jaketku saja untuk menutupinya! Kita ambil dulu di kelasku.”, jawabnya memberi solusi, aku mengangguk menyetujui. Dan begitulah, hari-hari selalu kami lewati dan habiskan bersama. Di taman, di belakang sekolah, di rumahnya, di rumahku. Kami sering bertemu untuk bercerita, berbagi ini dan itu.
Semakin hari, hubungan di antara kami semakin dekat. Segalanya menjadi lebih baik. Aku tak pernah lagi mendapat kejahilan-
kejahilan dari Samuel dan teman-temannya itu.
Alhasil, aku menjadi lebih bersemangat untuk bersekolah, bahkan lebih daripada saat aku masih kelas tujuh dulu itu. Akupun mulai yakin bahwa nilai-nilaiku akan kembali naik.
Benar-benar semua ini karena dia. Dia benar-benar seperti malaikat bagiku. Dia gadis ceria yang membuat hari-hariku menjadi ceria juga. Dia Alina.
***
Ada kata yg sepertinya keliru scra EYD. Napas bukan nafas ya?
Terus, kenapa harus pakai kata berakhir instead of putus? Sepertinya kata itu nggak lazim dipakai untuk menyatakan hubungan seperti Stevan dan Olivia, apalagi oleh anak SMP.
Kamu blg sering bc novel terjemahan, mgkn waktunya kamu lbh bnyk bc novel2 dlm negeri? Krna, jgn sampai kamu kebawa cara nulis novel2 terjemahan.
Msh ada bbrp yg perlu dbenahi terutama soal spacing dan dmana harus mutus paragraf, tp tetep bgs kok.
Anyway, hmpr berteriak histeris pas Han nyanyi Sing. I'm a fans of The Carpenters!
Sama kyk @totalfreak, ada tendensi pembaca dsini bakal bosen sama cerita kamu krn aku belum liat scene yg berbau gay. Berbau gay bukan berarti vulgar ya? Kalau bs, jgn trlalu bnyk scene sama Alina nya, takutnya jgn2 nanti bnyk yg ngira ini cerita straight lg.
Aku udah bs ngebaca bkl kyk apa nanti ceritanya, but let me keep that for myself
Keep writing!
Tapi bahasanya agak terlalu nyastra untuk ukuran bf, well gw ga bilang nyastra itu ga bagus, tApi ini kan pembacanya anak2 bf. Yg biasanya suka cerita2 dg bahasa yg mudah dicerna.
Bagus, memang sih.
Tapi terlalu berat. Meskipun gw suka.
pas pertama2 baca si stevan udah kepikir pasti tampan itu orang, eehhh pas di tngah Lin bilang gitu hohoho ... logat2 orang cakep emang ngejengkelin Wakakaka
bingung mau comment apa, aku tunggu cerita lanjutannya yaahhh... thanks for tag qaqa :-)
Lebih mengalir dari yg sebelumnya..
#good.. \m/