It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Ada Rendi diluar sana yang mahir memaki, aku harap
kemampuan memaki si Rendi lain tertular kepada Rendi-ku."
Haha ) Irfandi Abal-Abal, beraninya engkau berkata gue suka memaki. Gue itu org baik-baik tau. Pintar, cerdas, bijaksana, suka menolong, lemah-lembut, suka menabung, tidak sombong, tidak cepat sewotan, dan selalu memberi perhatian lebih. *Semua kebalikannya*
@LittlePigeon : kayaknya org satu ini seneng bgt ya kalau gue kena ejek. #santet #hujat #larikepelukanpacar "Mama, aku diejek sama Tante Pigeon Dia jahat, masa aku dibilang suka memaki. Bunuh dia Mama, bunuh!"
Hahaha )
Kritik gue untuk lo sih cuman ini Fan:
Untuk penulisannya yg harus lo perbaiki Fan.
Di- Ke- Pun- masih ada banyak yg miss! Oke. Lain kali harus diperhatiin ya
dia itu baik hati, bijaksana, suka menabung dan menanam bunga kayak dewi quan in
*salah minum obat* *habis minum obat serangga campur autan campur spritus*
Keritik dan saranya ditunggu yaa
@ramadhani_rizky @paranoid @pujakusuma_rudi @obay @adzhar @n0e_n0et @VBear
@kimo_chie.@galau_er @alfa_centaury @tama_putra
@Kiyomori @PrincePrayoga @aicasukakonde @Taylorheaven @rudirudiart @ElunesTear @aii @SeveRiandRa @faisalits_ @xcode @agran @yubdi @adachi
@the_angel_of_hell @aryadi_Lahat @rezka15 @jony94 @myoumeow @iamyogi96 @amira_fujoshi
@lasiafti @arieat @alvian_reimond
@zeamays @rebelicious
@mamomento @earthymooned
@Sicnus @Klanting801
@egosantoso @4ndh0
@Bintang96 @agungrahmat
@danar23 @rendifebrian
@Zhar12 @heavenstar
@adinu @RyoutaRanshirou. @Bintang96 @Tsu_no_YanYan
@egalite @Adam08 @saverio makasih udah baca
Levi gusar di atas kasur empuknya.
Rendi murung saat mengenakan seragam sekolahnya.
Aku benar tidak mengerti harus berbicara apa saat ini, seperti terseret dalam dilema mereka.
***
“Apa ini kak?” Ferdi masuk ke dalam kelas Rendi, karena masa ulangan akhir semester telah berakhir jadi para murid bebas berkeliaran di lingkungan sekolah, tidak ada lagi pelajaran untuk dibahas hanya murid yang nilai ulangannya tidak mencapai KKM-lah yang mengerjakan tugas remedial, murid lain yang tidak bermasalah bebas.
“Kamu liatnya apa?” Ferdi duduk di bangku sebelah Rendi.
“Tas, iya maksud Rendi ini buat apa?”
“Buat kamulah Ren, masa buat pak Wahid” kata Ferdi dengan nada sedikit kesal.
“Tapi kak-”
“Tapi apa? Itu tas kamu udah harus nerima zakat tau, hahaahaa.” Ferdi tertawa kecil.
Rendi memicingkan matanya ke arah Ferdi - tas baru - tas lama Rendi.
“Hey, aku bencanda Ren, maksud aku, itu tas udah harus diganti, liat slempangnya di iket pakek tali plastik gitu, nanti kalo jatoh terus kena air terus buku di dalamnya rusak gimana hayo.” jelas Ferdi panjang lebar.
“Nanti kalo kak Desi gajian aku beli tas baru kok kak.”
“Kamu nggak mau terima nih tas dari aku? Yaudah aku buang aja yak!” Ferdi berdiri melangkah pelan meninggalkan Rendi.
“Eh, jangan kak.” Rendi menahannya.
“Jangan gimana? Kamu aja nggak mau, mending dibuang!” seru Ferdi malas.
“Iya-iya Rendi terima, makasih ya kak, lain kali jangan repot gini kak, Rendi hutang banyak sama kakakkan jadinya.” Wajah Rendi bersemu merah, meraih tas yang diberikan Ferdi dengan wajah tertunduk.
“Emang aku apaan? Aku ikhlas kok, siapa lagi yang minta diganti” Ferdi kembali duduk di tempatnya tadi.
“Makasih ya kak.”
“Iya bawel, yaudah pindahin dulu buku-bukunya” Ferdi berdiri membantu Rendi memindahkan isi tas lamanya ke tas baru Rendi.
“Okeh, ayo makan!” Ferdi menarik lengan Rendi dengan lembutnya.
“Kak, nggak usah, Rendi udah makan kok dari rumah, nggak enak apa-apa dibeliin, nanti kebiasaan.” bisik Rendi dari belakang Ferdi ketika mereka berbelok ke arah koridor kantin.
“Kamu emang harus kebiasa, jadi kamu selalu butuhun aku.”
“Kok gitu kak?” tanya Rendi bingung atas perkataan Ferdi.
Segitukah Rendi? Terlalu besarkah semua tentang Levi di hati dan pikirannya, sampai-sampai tak mengerti semua perhatian Ferdi dan tatapan cinta Ferdi kepada Rendi? Sebagian anak adam memang begini saat jatuh cinta.
“Iya pokoknya gitu deh, bawel nih” runtuk Ferdi sambil tertawa kecil. Rendi hanya meringis mengikuti langkah Ferdi masuk ke area kantin.
***
Langit mendung, warna hitam pekat dari awan berarak mendekat.
“Aku anter yuk ke rumah Figi-kan?” Rendi hanya mengangguk ketika Ferdi menyusulnya di depan gerbang sekolah.
---
“Hujan, aaaaah rasanya aku bebas sekarang ini, zatku terasa kental dan kuat bertahan di kala siang ini” seru Embun sumringah di sampingku.
“Petir ikut bergabung, pasti banyak manusia yang takut saat ini” jawabku tersenyum ke arah Embun.
“Untung Rendi sedang bersama Ferdi, pasti tidak terlalu takut” kata Embun. “Romantis” susulnya.
---
Ferdi menepi, pengguna motor jelas menepi saat hujan apalagi sekarang hujan dibarengi dengan petir.
Basah kuyup. Hanya sebentar saja mereka berada di bawah siraman air hujan yang datang secara bersamaan, cuaca tiba-tiba gelap tidak lama petir menggelegar udara dingin terbawa angin yang bergerak riang dan hujan dengan jeritan bahagia turun dibarengi dengan amarah sang petir.
Biasa. Untuk penduduk kota ini khususnya, ini bukan lagi fenomena, ini sebuah, sebuah cuaca yang lumrah disegala musim. Kalian harus tahu, dua musim di negara tropis ini tak berpengarung di kota ini. Jika saatnya hujan maka hujanlah, tidak perduli saat kemarau nan gersang sekalipun.
Ferdi menarik cepat Rendi memasuki sebuah warung yang tak terpakai, hitam pekat seakan dipenuhi bekas kepulan asap dan kotor banyak sampah dedaunan dipojok kanan belakang dekat bangku dan spanduk sponsor khas warung kopi.
Warna asli cat warung yang tidak terpakai ini aku yakin aslinya oranye tapi tertutup warna hitam pekat yang berbinyak bak daki seorang kuli. Ya seperti itulah dinding kayu warung ini yang terlapisi warna hitam pekat ini, kalian mengerti? Aku susah menjabarkannya.
“Kamu kenapa Ren?” seru Ferdi, nada amat khawatir tidak bisa terelakan dari suaranya begitupula akan tatapannya.
Rendi menggigil, wajahnya pucat pasih jika Levi yang mengalami ini pasti sudah persis seperti vampir kesukaan si Embun itu, si vampir yang bertubuh biasa saja ala Figi, sudahlah, malas sekali membahas Levi di saat Ferdi dan Rendi berdua seperti sekarang ini.
Rendi terpaku, sudut bibirnya memang terlihat bergetar karena menggigil tapi tetap tatapannya terpaku ke sorot mata Ferdi yang penuh cinta.
Bunyi kilat yang keras menyadarkannya, mereka berhimpitan atau berpelukan? Yang aku tahu wajah Rendi dibenamkan ke dada Ferdi sebelah kanan hanya itu.
Rendi kembali sadar dengan cepatnya memundurkan kakinya beberapah langkah saat Ferdi menggerakan tangannya untuk menggapai tubuh ringkih Rendi.
Rendi seperti menelai air liurnya memalingkan cepat pandangannya ke arah jalan yang sepi, hujan mulai deras sangat amat deras menurutku, angin dan petir mulai berdansa di jagat ini, semua orang yang tinggal di kota ini pasti tak heran lagi walau mereka mengeluh setiap cuaca berubah mencekam seperti ini.
Petir kembali menggelegar, membuat Rendi terhuyung kebelakang sambil menutup semua indranya rapat-rapat meminimalisir rasa takut dari dentuman keras sang petir.
Aku merasakan pandangan Ferdi yang tajam dari arah belakang Rendi, entah apa yang terjadi dengan mereka. Semula biasa saja, tapi hanya dengan kejadian tadi mereka seperti orang yang baru saling kenal.
“Kamu sakit ya Ren?” Ferdi mendekat dengan kikuknya.
“Nggak kak, aku baik-baik aja kok” sahut Rendi masih menatap ngeri ke arah jalan, takut-takut kilatan petir yang menyeramkan terlihat dalam pandangannya.
“Serius” Ferdi memegang dahi Rendi tapi dengan cepat Rendi memegang tangan Ferdi lalu menurunkannya dengan pelan.
“Kamu panas nih Ren” Ferdi bergerak hingga wajah mereka saling menatap.
Badan aspal yang gersang tertimpa hujan mulai menguap memberikan aroma yang gersang di tutup embun, hangus alam menurut kami. Aroma pengap ditambah atap tempat mereka berteduh banyak berlubang hingga istilah kebocoran mereka alami sekarang ini.
“Nggak kok kak serius deh, eh kakak nggak punya acara gitu sama pacar kakak?”
Tepat prediksiku. Rendi sadar tatapan Ferdi berbeda, tatapan penuh cinta yang telah lama dan baru disadari saat ini. Rendi sontak menghindar menandakan Levi masih bertahta di dalam hati dan fikirannya tidak satupun yang diizinkan masuk dan mengisi tempat Levi, itu yang aku kira saat ini.
“Aku nggak punya pacar, hahaa” jawab Ferdi cuek.
Rendi hanya diam terpaku, menyeka tiap bulir air hujan yang tersimpan di rambut lurusnya yang mulai membasahi wajahnya.
Tangan Ferdi mencegah kegiatan Rendi atas wajahnya, Ferdi menyeka wajah Rendi dengan handuk berukuran sedang miliknya pemain basket pasti punya, harusnya.
“Engh” Rendi bergerak mengelak hingga posisinya dipojok kiri warung besender ke pintu warung yang usah, tua dan kotor.
“Aku cuman mau elap aja kok” jelas Ferdi setelah dia rasa rambut dan wajah Rendi kering.
Rendi tertunduk, tidak hanya itu dia mulai gusar terlihat jelas kegusaranya malah, sampai-sampai aku merasa tidak nyaman.
“Apa kamu udah punya pacar Ren?” Ferdi mengangkat dagu Rendi hingga mereka saling pandang.
“Aku nggak akan pacaran sampai aku selesai sekolah!” Rendi menepis pelan pegangan tangan Ferdi kedagunya.
“Apa kamu cinta sama cowok lain?”
“Cowok?” Rendi menyipitkan kedua matanya, menatap agak ragu ke dalam mata Ferdi.
Aku sudah tahu, Ferdi itu memang seorang gay, tidak ada terkejutan antara aku dan Embun mendengar pengakuan Ferdi.
“Aku cinta sama kamu Ren, aku sayang sama kamu. Aku udah perhatiin kamu saat kamu diperkenalkan oleh kepala sekolah sebagai salah satu siswa yang mendapatkan beasiswa penuh dari sekolah. Aku gay!”
Kepala belakang Rendi menyentuh pintu kayu usang, tangannya tak lagi bisa bergerak luwes karena Ferdi telah menggenggamnya. Rendi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mata Ferdi berbinar penuh cinta, ketakutan pun terselip di dalamnya, semua pandangannya terpusat penuh kearah Rendi yang mulai terbelalak.
Mulut Rendi terbuka sedikit, Ferdi bergerak. Pasti ingin mencium Rendi, hujan diluar sana membuat suasana sangat sepi pengendara bisa dihitung yang berlalu lalang.
Rendi menghindar, seakan tak rela ciuman pertamanya diberikan kepada lelaki yang belum dicintainya. Ferdi dengan cepat memegang dagu Rendi mengarahkannya tepat dihadapan wajahnya, Rendi memejamkan matanya menutup bibirnya rapat.
Rendi terbelalak pelan ketika ciuman hangat tepat di dahinya. “Aku cinta sama kamu, aku nggak akan berbuat apa yang nggak kamu suka, aku akan buat kamu cinta sama aku, jangan pernah pergi dari aku ya, tetap kayak gini. I love you” Ferdi memeluk Rendi erat, tidak ada jawaban dan tindakan sedikit pun dari Rendi.
---
“Masih besar”
“Apanya Embun?” tanyaku heran.
“Cintanya untuk Levi” Embun terdengar malas menyebut nama Levi.
“Ini baru permulaan, tidak ada yang tahu ke depannya akan jadi apa, tidak ada yang tahu!” tegasku.
“Iya, tidak ada yang tahu memang, aku harap siapapun nantinya, mereka akan membuat Rendi bahagia”
“Amin” jawabku cepat.
----
Mereka terdiam menunggu hujan reda, Rendi tidak lagi berkata-kata.
Rendi kembali menggigil, Ferdi berlari cepat menerobos hujan yang tak memberi celah kekeringan dimanapun, petir menggelegar dengan kejinya membuat nyali tiap manusia mengecil.
Rendi mundur dengan cepat kembali keposisi awalnya didekat pintu masuk ke dalam warung.
Wajah Rendi terlihat sedikit cemas tapi tidak berani untuk menyusul Ferdi yang tiba-tiba pergi.
Ferdi membeli dua air teh hangay dalam plastik dan beberapa roti disebrang jalan. Langkahnya cepat menerobos hujan kembali ketempat Rendi menunggunya.
“Ini minum, biar kamu nggak kedinginan” Rendi menggapai cepat air teh hangat dari tangan Ferdi.
Mereka meminum dan mengunyah roti yang tadi juga dibeli Ferdi.
“Aturan kakak nggak usah repot-repot”
“Alah, udah, habisin aja deh” Rendi diam mendengar perkataan Ferdi.
“Makasih ya kak”
“Haah, itu kewajiban aku, kan aku yang bawa kamu sampe kehujanan” jelas Ferdi, Rendi hanya mengangguk.
“Andai aku pakek jaket, aku bakalan kasih kamu jaket aku biar nggak kedinginan, kayak di tivi ituloh” kelakar Ferdi membuat Rendi juga tertawa kecil, mereka saling pandang, tak lama Rendi membuang pandangannya tidak dengan Ferdi yang malah tersenyum masygul, salut.
“Liburan nanti mau kemana Ren?” tanya Ferdi membangun kembali suasana yang banyak orang pintar bilang suasana awkward.
“Bantu Ibu full seharian kak” jawab Rendi datar.
“Jalan-jalan yuk sama aku?” Ferdi mendorong bahu Rendi dengan bahunya pelan.
“Aku usahain kak” jawab Rendi masih datar.
“Kamu nggak bakalan ngehindar dari aku kan?”
“Nggak! Itu hak semua orang mau suka sama siapa kak” Rendi menjawabnya cepat, senyumnya terlihat sekarang ini. Ferdi membalas senyum tak kalah sumringah.
“Ayoo, ujannya udah redah nih” Ferdinand menggenggam jari jemari Rendi dengan sangat mantap. Ferdinan tersenyum masygul.
“Makasih ya kak, jadi ujan-ujanan nih gara-gara anter Rendi”
“Ah, kayak sama siapa aja, kau jangan lupa ganti baju, pinjem ke si Figi kek, pokoknya jangan pake baju itu, basah nanti sakit”
“Iya kak, makasih ya, hati-hati” Rendi setengah berteriak karena Ferdi telah melaju bersama motornya.
“De, kamu hujan-hujanan?” Ibu Rendi muncul dari balik garasi.
Rendi hanya mengangguk, mencium punggung tangan Ibunya, masuk bersama ke dalam rumah megah Figi lalu menganti bajunya dengan baju pak Imam supir pribadi Ayah Figi.
“Kegedean yah Ren?” Tanya pak imam terkikik.
Rendi hanya tersenyum, senyumnya. Tulus. Senyum yang jarang aku lihat sekarang ini diantara anak adam khususnya pemuda yang penuh sandiwara.
“Nggak apalah pak, daripada si Rendi masuk angin” timpal sang Ibu.
Setelah mengucapkan terimakasih Rendi mulai melakukan tugasnya, menaiki tangga dari pualam mengarak kesudut kiri rumah melewati pernak-pernik rumah dengan warna emas dan abu-abu yang mendominasi ruangan. Beberapa foto keluarga yang indah di alam terbuka menandakan kerukunan keluarga mereka.
Rendi berdiri, menatap sendu ke arah figura yang cukup besar di atas pintu yang menghubungkan balkon dengan ruang santai keluarga ini. Figura yang berisikan foto dimana Figi dan keluarga berfoto di pinggir pantai, sang Ayah menggendong Figi dan sang Ibu menggendong adiknya dengan background karang besar dan laut berombak besar.
Iri, itu yang aku tangkap dari sorot matanya yang paling bawah, bukan iri dalam maksud jahat, hanya iri Rendi tak pernah berfoto bersama seluruh anggota keluarganya, sang Ayah meninggal ketika pulang dari rantau, menjadi korban tabrak lari, empat tahun di tinggal sang Ayah dan bertemu kembali ketika sang Ayah telah kaku membiru.
Hembusan nafas menandakan ketabahan, aku tahu Rendi anak yang kuat! Jika tuhan mengizinkan kita menapaki sebuah perjalanan yang berat maka tuhan akan memberikan kita sepatu yang kuat! Aku yakin!
Rendi berjalan mantap, memutar gagang pintu perpustakaan kecil Figi.
Tak akan terganti
Setiap kenangan yang telah terukir
Yang terendap indah
Dan melekat di hati
Akankah berakhir
Semua rasa yang telah tercipta
Didalam benakku
Dan didalam asa-ku.
Lagu itu berhenti, Rendi masih mematung melihat Figi menatap sendu poster Figi dan Doni di pantai.
“Mau sampai kapan kau disitu?” Tanya Figi menoleh ke arah Rendi yang masih berdiri di pintu.
“Maaf ya kak, hujan jadi aku neduh” Rendi mendekat ke arah Figi.
“Nggak apa-apa kok, kakak tau, lagi pula kamu neduhnya di temenin Ferdinand kan? Enak doang nggak ada yang ganggu” ledek Figi. Rendi bergegas meraih beberapa buku yang berserakan di meja pojok dekat jendela.
“Kayaknya Ferdi suka ya sama kamu Ren?”
“Eh?” Rendi terkejut, berbalik dengan gugup memandang Figi.
“Cerita lah” Figi mengisyaratkan untuk Rendi duduk di sebelahnya.
Rendi berjalan pelan lalu duduk di samping Figi dan mereka mulai bercerita, memiliki orientasi dan rolle yang sama membuat mereka saling mengerti. Rolle? Ah aku sok tahu, tapi aku yakin mereka -uke-.
“Yah, seperti itulah cinta, tapi kamu masih hebat nggak terjebak dengan dua cinta kayak aku yang labil banget nentuin perasaan” Figi tersenyum bangga ke arah Rendi yang selesai bercerita.
“Tapi, aku rasa almarhum kak Doni itu cowok yang hebat, dia cinta banget pasti sama kak Figi, sampai di akhir dia jujur tentang semuanya dan dia nitipin kak Figi ke kak Agus, ke orang yang juga kak cinta” kata Rendi dengan bangga untuk almarhum Doni.
“Ya, Doni ya akan tetap jadi Doni dan begitupula rasa sayang kakak ke dia, Agus ya akan tetap jadi Agus, aku emang cinta dua-duanya tapi cinta yang aku punya nggak sama ngak bisa dibilang lebih besar kesiapa, aku cinta mereka berdua dengan beda cara dan beda tempat” Figi menunjuk dadanya.
“Kamu cinta kak Levi, usaha, aku juga nggak bisa buat Doni cinta sama aku gitu aja, Doni itu straight, sedangkan Levi punya indikasi” Figi mengedipkan matanya lalu berdiri menunggalkan Rendi yang juga tersenyum, entah tersenyum karena apa aku tak bisa mengartikannya.
*****
*****
Kembali-Embun.
----
“Gersang, menurutmu bagaimana?”
“Aku benar-benar tak mengerti Embun, lebih baik kita diam, hanya membuat runyam jika kita ikut berkomentar saat ini” ucapku cepat, memang seharusnya kami diam, ini bukan zona kami, kalian paham yang aku maksudkan?
----
Hari sudah malam, sudah pukul setengah delapan, dan hujan baru usai.
Rendi berbincang bincang banyak hal bersama Ibunya tertawa-tawa bersama melewati perumahan dan berbelok ke arah perkampungan.
“Assalamualaikum” sapa seseorang.
“Kak Agus, Kak Figi?” seru Rendi heran.
Tadi memang Figi keluar saat sore, hujan tak menghalangi setiap orang kayak, kalian mengerti maksudku? Orang kaya punya kendaraan beratap tidak seperti orang yang sederhana meneduh saat hujan turun. Okey aku tak ingin membahas kemampuan seseorang.
“Den Figi?” kata Ibu Rendi heran juga.
“Bik, boleh pinjem Rendi buat main? Boleh ya? Kan udah nggak ulangan lagi” cerocos Figi.
Sang Ibu hanya mengangguk menyetujui.
“Kita mau kemana kak?” tanya Rendi masih mengukit di belakang Agus dan Figi yang melangkah jenjang.
“Ada deh, itu kamu ganti baju dulu yak, sana dalem mobil udah aku siapin kok bajunya” Figi mengisyaratkan Rendi untuk masuk kedalam mobil Freed putihnya.
Tak lama Rendi keluar, tubuhnya menegang melihat sosok cowok tinggi memakai kemeja berlengan panjang berwarna abu-abu dengan denim hitam bersepatu senada, aroma kayu manis menyeruak seketika membuat cekat di tengah tenggorokan Rendi, membuatnya tidak mampu berkata dan bergerak sama sekali.
Rambut Levi yang berantakan semakin terkoyak ketika angin malam menerpa tubuh Levi.
“Kamu keren loh Ren pakek baju itu” puji Levi.
“Iya, inikan baju orang kaya wajar bikin pemakainya jadi keren diliatnya” cetus Rendi ketus.
“Hey, hey, udah yaaah kangen-kangenannya kita jalan aja okeh” Agus menghentikan bibit-bibit pertikaian.
Mereka masuk ke dalam mobil, mobil melaju entah kemana Rendi tertidur di kursi belakang, lelah mungkin dirasa Rendi kini.
Aku memicingkan semua indraku, menyimak apa yang akan terjadi antara Levi-Rendi.
Levi menatap lekat wajah Rendi yang tertidur dengan damainya. Tangan Levi menggapai kepala Rendi menaruhnya di pundak kokohnya.
Belaian lembut dari tangan Levi beberapakali mendarat di wajah polos Rendi.
Levi tercekat, senyum malu dan rona merah mewarnai penuh wajahnya.
Rendi terbangun lalu bergerak menjauh. Aku lihat Agus dan Figi diam sambil sesekali mencuri pandang melalui cermin.
“Ren-” panggil Levi tertahan.
Tas Rendi bergetar dan berdering seperti ada handphone di dalamnya, Rendi tidak punya handphone atau barang mewah lainnya, catat.
“Kak Ferdi? Halo kak? Ini handphone kakak yak?” Rendi memburu saat mengangkat penggilan tersebut.
“Happy birthday Rendi, wish you all the best sorry nggak bisa ucapin langsung tadi, aku blank banget tadi hehehe, semoga kamu suka kado dari aku, iya hape itu dan tas itu kado dari aku” seru Ferdi di sebrang sana.
Rendi tersenyum getir, melihat nama dilayar handphonenya yang bertuliskan nama Ferdi.
Aku merasakan suatu rasa yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata tapi aku merasakannya.
Semacam, bahagia, tak percaya, dan satu hal! Rendi berharap orang yang pertama mengucapkan itu adalah orang yang duduk di sampingnya kini.
“Ah,, kita keduluan!!!” seru Figi kecewa setengah teriak.
“Yah, ada yang tau hari ini ulang tahun si Rendi yak, yaaah nggak surprise lagi” tambah Agus.
Levi tak bersuara. Dia memalingkan wajahnya ke arah kanan, melihat mobil dan pemandangan malam, lampu temaram yang menghiasi sisi jalan.
Wajahnya mengisyaratkan sesuatu yang keras sedang terjadi, matanya menatap nanr ke arah luar, sudut bibirnya berkedut entah soal kebencian kepada siapa.
Aku tahu Levi kecewa didahului. Makan semua hal munafik dan perlakuan jahat yang kau lakukan terhadap Rendi-ku. Fahlevi Hermawan! Rasakan bagaimana sebuah kekecewan meradang di tiap sisi hatimu! Rasakan pedihnya kalah dalam persaingan! Rasakan semua hal ambigu yang kau pertahankan. Aku Embun yang menertawaimu kini. Aku yang akan mewakilkan Rendi yang kau sakiti tanpa sadarmu!
Tolong yak yang baca komen apapun deh asal jangan -lanjut- so kalo kalian komen lanjut bikin ide ilang! Camkan! Seriusan! Hahaha .. Nggak komen impoten! Mau? Mandul! Mau? Kalo kagak ya komentar okey!!! Keritik sepedes-pedesnya level kripik ma icih okeh... Semoga nggak mengecewakan.