It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
10 menit lg update
@ramadhani_rizky @paranoid @pujakusuma_rudi @obay @adzhar @n0e_n0et @VBear
@kimo_chie.@galau_er @alfa_centaury @tama_putra
@Kiyomori @PrincePrayoga @aicasukakonde @Taylorheaven @rudirudiart @ElunesTear @aii @SeveRiandRa @faisalits_ @xcode @agran @yubdi @adachi
@the_angel_of_hell @aryadi_Lahat @rezka15 @jony94 @myoumeow @iamyogi96 @amira_fujoshi
@lasiafti @arieat @alvian_reimond
@zeamays @rebelicious
@mamomento @earthymooned
@Sicnus @Klanting801
@egosantoso @4ndh0
@Bintang96 @agungrahmat
@danar23 @rendifebrian
@Zhar12 @heavenstar
@adinu @RyoutaRanshirou. @Bintang96 @Tsu_no_YanYan
@egalite @Adam08 @saverio makasih udah baca SO MUCH!!!
Mereka terjolak kegirangan melihat daftar nama siswa yang lulus di mading sekolah, tidak ada satu pun siswa kelas tiga yang merenung atau nelangsa, mereka semua tertawa bahagia melakukan banyak selebrasi seunik mungkin, melemparkan topi bahkan melepas seragam mereka sambil bersorak gembira mengekspresikan banyak kebahagiaan yang kini mereka rasakan.
Perhatianku tercuri kepada sekelompok siswa yang sangat tinggi pamornya di sekolah ini, Figi dan enam sahabatnya serta teman-teman terdekatnya saling mengungkapkan ekspresi mereka. Rasanya kurang, aku merasakan sesuatu yang benar-benar kurang. Aku tahu sekarang, Figi terhenti dan merasakan apa yang aku rasakan, menatap pohon cemara berukuran cukup tinggi yang biasa di tempati untuk berteduh saat ikrar atau upacara bendera, oleh seorang siswa berambut ikal, dengan kumis tipis di bawah hidungnya, rahang persegi yang menandakan ketegasan, dengan tatapan sendu serta harum tubuhnya yang memikat.
Doni Ardansyah Putra. Aku yakin Figi sedang membayangkan mantan kekasihnya tersenyum lebar dengan tatapan yang sanga mampu membuatnya memuja setengah mati, aku tahu semua itu dari Embun, entah kenapa aku suka percinatan Figi-Doni. “Lo harusnya bahagia, dia akan lebih bahagia kalau kita nggak lagi merapatinya” Rama merangkul Figi dengan senyum yang di usahakan untuk tidak getir.
“Gue bukan sok bijak. Tapi bener kata Rama, dia akan lebih damai di sana kalau kita nggak lagi ngeratapinya Gi” Eliot berdiri di depan Figi, menatapnya dalam-dalam mencoba memberikan ketegaran.
“Nggak ada yang nggak ngerasa kehilangan dia! Semua ngerasain yang elo rasain Gi” Agus meremas lengan kiri Figi.
“Nggak ada yang mau itu terjadi” tambah Huda.
“Tapi itu yang terjadi” Andri menepuk pundak Figi.
“Kita cuman bisa ikhlasin” Dwi berkata sambil menganggukan kepalanya dengan amat bijak, lalu membuat suasana kembali seperti sedia kala, Resti, Juwita, Ratna pun ikut membaur menghidupkan suasana.
“Pak, dulu janjinya kita di perbolehin coret-coretankan kalo lulus semua, boleh dong sekarang?” rajuk Resti kepada sang kepala sekolah langsung. Memang sedikit terlihat tidak pantas tapi ini yang terjadi. Sang kepala sekolah menggeleng-gelengkan kepala sembari menyeringai ke para siswanya yang menunggu jawaban tapi aku tahu kalau itu tandanya -iya-.
“Aaaaaa, cium dulu sini Pak” seru Juwita terjolak senang. “Wuss,, kalo mau cium jangan depan yang lain, hahaha” gurau sang kepala sekolah. “Bapak di cium juga nggak nih?” tanya seorang guru dengan badan kekar berotot, Pak Wahid. “Mau banget mau ajah? Ahahaha” tawa mereka bersamaan, kekeluargaan yang sangat kental. Aku yakin sampai kapan pun mereka akan mengingat masa ini bahkan akan selalu merindukannya.
“Foto dulu dong” kata Pak Jay keluar dari kantor. Kemeriahan di mulai, mereka sibuk berfoto ria, mengabadikan banyak moment di masa putih abu-abu yang tidak lama lagi mereka akan tanggalkan.
“Nanti coret-coretanya di luar sekolah, sekarang nggak apa-apa minta tanda tangan, inget jangan ada tawuran atau tidakan anarkis yang nggak berarti sama sekali” tegas sang kepala sekolah.
“Sip boss” mereka hormat secara bersamaan. Menggundang gelak tawa yang lebih melarutkan mereka dalam kebahagian, yang akan menyisakan kerinduan yang mendalam saat mereka lulus nanti. PASTI.
Di sisi lain. Rendi bersebelahan dengan Ferdi menatap ke arah lapangan sambil bertepuk tangan dengan rasa bangga kepada kakak kelas mereka. Murid-murid yang lain pun bertepuk tangan tidak kalah meriah menyuarakan ke banggaan mereka terhadap kakak kelasnya.
“Kak” panggil Rendi masih menatap lurus ke arah lapangan dengan pandangan berbinar.
“Apa?” tanya Ferdi lalu menatap Rendi.
“Jangan sok berkuasa nanti di kelas tiga kayak FD4 ya” kekeh Rendi.
“Nanti aku bakalan bully kamu, iya bully kamu pakek rasa cintaku. Tsah” Ferdi tertawa lumayan keras sambil menepuk tangannya sekali ala-ala pelawak yang klimaks dengan leluconnya.
Rendi tersenyum lebar, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ferdi.
“Rendiiii,,, dedeknya kakak Juju… Aaaaa, minta tanda tangannya dong” Juwita dan Figi bersama yang lain menyeruak mendekat ke arah Ferdi dan Rendi.
“Kakak pasti kangen banget sama adek-adek-an satu ini, yang paling polos dan imutnya ituloh nggak ketulungan” Juwita mencubit pipi Rendi berkali-kali.
“Ganjen banget sih lu Ju” kata Huda yang telah mendapakan tanda tangan Rendi.
“Bawel!” sentak Juwita di lanjuti dengan cibirannya.
“Liat noh laki lu” tambah Ratna yang melihat Eliot menatap aneh ke arah kekasihnya.
“Terakhiran ya elah” alibi Juwita lagi.
“Kamu mau ikut makan nggak?” tanya Figi kepada Rendi. Rendi spontan menggelengkan kepalanya.
“Yakin nih?” tanya Agus mengkonfirmasi gestur Rendi. “Iya kak” jawab Rendi dengan senyumnya.
“Yaudah” Andri menarik teman-temannya menjauh dengan isyaratnya.
“Selamat bersenang-senang ya” teriak Rendi saat mereka masuk ke dalam mobil Figi dan Dwi.
“Dadah” lambai Juwita tak kalah antusias.
Ferdi merangkul Rendi berjalan ke arah kantin.
“Ayo,” Ferdi mengisyarakan agar Rendi naik ke motornya.
“Kita nggak ganti baju dulu kak?” tanya Rendi ragu-ragu.
“Kelamaan Ren” jawab Ferdi sambil memakai helm-nya lalu memberikan helm untuk Rendi, hari ini memang Ferdi sudah berniat untuk jalan-jalan dengan Rendi. Lelaki yang gigih memperjuangkan cintanya, aku banyak belajar dari si kecil Ferdi.
Rendi mengangguk, memijakan kakinya lalu duduk manis di belakang Ferdi.
***
“Aku minta maaf Lev, kamu jangan marah terus dong” Meisya memohon kepada Levi.
Mereka berada di Foodcourt out door di bilangan Sentul. Levi masih memasang wajah bosannya menanggapi Meisya yang banyak merajuk di depannya, ck.
Kalau aku, aku tidak akan pernah mau bertemu Meisya lagi jika aku Levi, Meisya akan kembali seperti dulu lagi jika Levi telah luluh dan jatuh lagi ke dalam pelukannya, lagi. Itu sih menurutku.
“Lev, foto yuk, view-nya bagus loh, foto yaa?”
“Apa sih Meiy” Levi menepis rangkulan Meisya yang sudah siap mem-foto mereka berdua dengan Blackberry nya. Meisya kembali ketempat duduknya dengan bibir di tekuk, rasakan itu Meisya, rasakan!
Kalau Meisya orang baik aku akan mengacungkan dua ibu jariku, kalau saja aku punya, semua kata-kataku tentang wujudku yang berupa manusia itu hanya kiasan agar lebih mudah menceritakan kisah mereka kepada kalian, aku ya tetap Gersang. Tidak berwujud apapun.
“Gimana kalau kita main ABC lima dasar? Yang kalah harus minum air putih yang banyak” tawar Meisya, lagi.
Levi hanya menggelengkan kepalanya lalu menyesap kopi Late–Cappucino nya lagi. “Kamu punya ide nggak kita main apa? Supaya nggak bete kayak gini” tanya Meisya.
Levi menatap pemandangan bukit dan wahana Jungle land yang menjulang tinggi dari Sentul City Point tempat mereka makan sekarang ini.
“Pulang yuk, udah dua jam di sini, bosen juga nih, lagi pula aku harus siap-siap ke acara Figi malam ini” Levi berdiri merenggangkan otot-ototnya yang kaku karena duduk dua jam lebih di tempat ini.
“Acara apa?” tanya Meisya penasaran.
“Mereka lulus, Figi bikin acara sama temen-temennya di rumah si Figi, aku di undang” jawab Levi malas. Meisya menajamkan pandangannya ke arah Levi seperti anjing pelacak mengendus sesuatu.
“Kok kamu di undang? Kan kamu bukan anak SMA lagi? Apa karena kamu kakaknya Agus?” tanya Meisya, ada sesuatu yang tertahan dan belum dia sampaikan sepertinya, tapi aku belum tahu apa itu.
“Iya itu tau!” jawab Levi meraih tas punggung coklatnya.
“Yang lain kakak-kakaknya emang di undang?” tanya Meisya lagi.
“Nggak tau” jawab Levi acuh.
“Jangan bilang kamu di undang karena Agus sama Figi itu ada hubungan–“
“Pacaran maksud lo!” kata Levi spontan, tatapannya mulai membuat Meisya gusar saat ini.
Meisya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan amat gugup. “Aku nggak maksud kayak gitu Lev”. “Iya terserah deh, cepetan mau pulang bareng nggak nih” tanya Levi tak sabar.
“I-iya Lev, kan kita ke sininya barengan”
“Ye kirain” jawab Levi yang aku yakin itu menjengkelkan Meisya.
“Aku boleh ikut nanti malem?” Meisya bertanya setelah masuk ke dalam mobil Levi.
“Aku udah janji sama orang, nggak bisa.”
Entah bagaimana, aku merasakan buncahan kebencianku tersalurkan kini, puas saja melihat Meisya tidak di perlakukan semanis dulu. “Siapa?” tanya Meisya memasang wajah cemburu–kecewa–kesal. “Kamu nggak berhak tau kan?” jawab Levi yang masih berkosentrasi mengemudi.
***
Semilir angin sejuk menerpa wajah mereka, memberikan kedamaian yang amat membuat nyaman, Rendi dan Ferdi menutup mata mereka, tangan mereka mencengkram erat pipa-pipa pembatas tebing ini. Udara sejuk sudah pasti menemani mereka, Puncak memang tempat yang amat nyaman.
Ada yang tertahan dari Ferdi entah apa itu, tapi aku yakin Ferdi memendam sesuatu yang belum sempat dia katakan kepada seseorang yang dia cinta, seseorang yang berdiri dengan mata tertutup dan raut wajah amat damai di sisinya kini, Rendi sudah pasti.
Ferdi menghela nafasnya, menggenggam lembut tangan kanan Rendi dengan tangan kirinya, sore hari yang indah. Langit jingga membuat Embun terbangun dan berada di sisiku kini dengan penuh ke anggunannya
“Ada apa Embun?” aku bertanya saat aku yakin embun sudah sepenuhnya terbangun.“Tidak, tidak ada yang ingin aku katakan, aku hanya ingin menatap mereka saja. Oh, tentunya bersamamu” kata Embun membuat aku tersenyum, tersenyum–kiasan.
Hatiku, oh aku tidak punya hati, tapi tak apalah, umpamakan aku punya hati. Hatiku tergelitik dengan perkataan Embun Aku hanya ingin menatap mereka saja. Oh, tentunya bersamamu. Seperti mendapakan kado yang kalian dambakan, seperti itu rasanya.
Zatku menguat, senang sekali rasanya.
Rendi membuka matanya ketika Ferdi meletakan tangan kirinya dengan lembut ke tangan kiri Rendi. Pandangan Rendi yang sedari tadi bahagia menatap hamparan kebun teh di sebrang jalan di bawah tebing yang mereka tempati kini mengarah kepada ke dua bola mata Ferdi yang hitam sempurna.
Rendi baru membuka setengah mulutnya, “Aku sayang kamu” Ferdi menggerakan kepalanya dengan luwes ke sisi kanan telinga Rendi, membisikan kata-kata yang jika di tujukan kepadaku pasti aku sangat bahagia dan meng-iyakan, kalau aku jadi Rendi tentunya.
Rendi hanya membalas perkataan Ferdi dengan tersenyum, senyum yang sarat akan keraguan dan ketidak tegaan, begitu yang aku tangkap dari ekspresi wajahnya.
Tatapan sendu Ferdi berubah menjadi berbinar seketika, bukan karena Rendi mengatakan kata cinta kepadanya, tetapi karena Ferdi lelaki yang kuat, tidak mau membuat kekasih hatinya tidak nyaman. Itu yang aku tangkap, biarlah aku di bilang sok tahu.
“Jangan merasa bersalah, aku aja nggak apa-apa toh?”
“Kita emang nggak pernah bisa bohongin hati kita masing-masing” jawab Rendi sambil menatap tangan mereka yang menyatu.
Ferdi mengangguk, tersenyum lebih tegar dan tidak ada kepura-puraan sama sekali.
Handphone Rendi bordering, Rendi meminta izin mengangkat telepon dan berjalan menjauh dari tebing serta Ferdi, langit jingga mewarnai langit di daerah Puncak, langit masih terlihat jauh walaupun kini Rendi sedang berada di Puncak.
“Hallo kak?” Rendi berkata gugup, Levi meneleponnya, aku lihat di layar handphone nya sebelum benda itu ditempelkan di telinga Rendi.
“Iya kak tadi kak Figi juga SMS aku kok” Rendi mengulas senyum sambil menjawab pertanyaan Levi dari balik teleponnya.
“Bi-bisa kak” Rendi makin sumringah
“Iya kak, iya, sampai nanti kak” Rendi mengakhiri senyumnya, berjalan ke arah Ferdi yang sudah menunggu Rendi.
“Telepon dari siapa Ren?” tanya Ferdi dengan nada biasa tidak ada raut kecemburuan, aku suka lelaki seperti Ferdi, berpikir positif.
“Dari temen kak, dan makasih ya handphone nya, aku jadi bisa komunikasi sama temen-temen” kata Rendi dengan wajah yang amat sumringah.
Ferdi hanya mengerenyikan matanya lalu tersenyum, “Mau sampai kapan bilang makasih mulu, udah ah jangan bilang gitu mulu, nggak enak di dengernya!” pinta Ferdi.
“Rendi usahain kak”
Ferdi malah tertawa mendengar perkataan Rendi, entah dari mana pandangan lucu dari kata-kata Rendi. “Hahaha… emangnya aku lagi foto copy–laundry–servis motor apah? Segala bilang diusahain lagi”.
“Ya pokoknya gitu deh kak, hehe..” Rendi tersenyum lebar.
“Mau pulang?” tanya Ferdi, Rendi hanya mengangguk mantap.
Mereka berjalan ke arah parkiran di belakang mereka lalu turun kembali ke jantung kota Bogor. Aku ikut merasa merana, entah kenapa aku merana? Aku merasa merana saja ketika Rendi menyandarkan kepalanya di pundak Ferdi yang kokoh saat perjalanan pulang walaupun tidak memeluk Ferdi. Aku yakin kalian pasti juga akan merana jika melihat sorot mata yang kosong dari Rendi, melihat matanya kala ini seperti mendengarkan lagu yang amat galau menenggelamkan siapapun pendengarnya dalam kesedihan, begitupula saat ini, seperti itu yang aku rasakan.
Aku tahu, Rendi amat ingin membalas cinta Ferdi yang begitu tulus dan kuat menyelimutinya, membuatnya merasa menjadi seseorang yang jauh lebih hidup dari saat sebelum dia mengenal jauh Ferdi. Sedikit banyak Rendi mengerti betapa pentingnya Ferdi untuk hidupnya, tapi posisi Levi di hatinya tidak bisa di gantikan siapapun, tidak bisa. Sekuat dia mencoba sekuat itu pula tembok hati yang Rendi coba bangun akan hancur kala Levi bertahtah di hadapannya.
Aku tidak kuat berlama-lama menatap mata coklat muda milik Rendi.
“Makasih ya Ren,” Ferdi tersenyum, meraih helm-nya yang dipakai Rendi lalu pergi.
Rendi baru masuk ke dalam rumahnya ketika Ferdi hilang dari pandangannya, matanya menyorotkan banyak kesedihan menatap ke arah Ferdi menghilang bersama motornya lalu menatap ke arah barat menatap rumah yang berada di atas sana, rumah Levi.
***
Seorang wanita berdiri di samping mobil sedan hitamnya. Memicingkan mata dengan amat menyeramkan, penuh rasa ingin tahu dan kebencian, dari dulu aku tidak suka Meisya. Untuk apa dia berada di sekitar perkampungan Levi-Rendi?
Astaga! Jangan bilang kalau dia hendak membututi Levi! Aku menatap Levi-Rendi yang sedang asik mengobrol dengan Desi kakak Rendi, wanita yang tiga ratus enam puluh derajat sangat amat berbeda, walaupun Meisya terlihat cantik dengan penampilannya tapi jauh jika di bandingkan dengan kepribadian Desi.
“Des, kita pergi dulu ya!” Levi pamit kepada kakak satu-satunya Rendi. Wanita cantik seumuran dengan Levi dengan rambut hitam pekatnya teruntai sepinggang. Hidung mancung dengan ke dua bola mata yang berbinar ketika memandang seseorang, aku suka tatapannya seakan penuh cinta, pembawa ketenangan dan amat nyaman melihat wanita ini tersenyum.
Ayolah Levi, sadar kalau kini kau dibuntuti. Aku gugup benar-benar gugup, ingin rasanya aku pergi. Oh tidak. Ingin rasanya aku membuat Meisya pergi,tapi aku tak kuasa. Jika aku punya jantung pastilah jantungku berdegup amat kencang saat ini.
Rendi dan Levi sampai di rumah Figi, aku memutar pandanganku.
Seperti sederetan kejadian yang sangat tidak mengenakan dan parahnya ini beruntun. Ferdi berdiri delapan puluh meter di atas motornya, rambutnya tertata rapih dibuat berdiri, memakai sweater hitam di dalamnya menggunakan kemeja berkerah putih layaknya eksmud.
Wajahnya terlihat amat sendu menatap seseorang yang dia amat cintai berdiri bersama seseorang yang di cintai kekasih hatinya. Dia cinta Rendi, Rendi cinta Levi, entah Levi cinta siapa, Levi benar-benar ambigu seperti kata Gersang.
Aku berada di samping Ferdi kini memberikan kesejukan yang aku bisa, kesejukan yang aku harap juga akan membantunya. Tapi aku rasa semua sia-sia. Jika aku di posisi Ferdi mungkin aku sudah menangis, tentunya kalau aku jadi Ferdi ya! Aku Embun, aku tidak bisa menangis tentunya menangis itu hanya kiasan.
Rendi menatap dalam penuh cinta ke arah Levi saat Levi menggenggam tangan Rendi, ini kali pertama aku tidak suka melihat Levi memperlakukan Rendi seperti sekarang ini. Meisya menatap Levi dan Rendi dengan pandangan aneh lalu berubah tidak percaya, aku lihat dia gusar, semakin gusar ingin melangkahkan kakinya namun di tahan kembali dan terus begitu hingga empat kali.
Wajah Ferdi memerah dari cahaya jalan perumahan yang temaram aku masih bisa melihatnya. Ya wajar, lelaki mana yang tidak sakit hati, ya minimal amarahnya mencuat melihat orang yang di cintainya bersama orang lain dengan mesra dan penuh cinta seperti saat ini.
Rendi dan Levi masuk ke dalam rumah Figi yang memang terlihat ramai dari luar sini, Ferdi memukul keras stank motornya melampiaskan sediki amarahnya saat ini dan melaju dengan akselerasi mengerikan.
Begitupula Meisya, masuk ke dalam mobil lalu memukul stirnya dan melaju meninggalkan rumah Figi dengan tanda tanya besar di dalam benaknya.
Tak inginku paksakan cinta ini, meski tiada sanggup untuk kau terima….
Aku memang manusia paling bedosa….
Khianati rasa demi keinginan semu…
Lebih baik jangan mencinta biar ku dan semua hatiku….
Karena takan pernah kau temui cinta sejati….
Semoga saja kan kau dapati hati yang tulus mencintaimu, tapi bukan aku….
Berakhi lah sudah semua kisah ini dan jangan kau tangisi lagi….
Sekalipun aku takan pernah kembali padamu…
Sejuta kata maaf terasa kan percuma, sebab rasaku telah mati untuk menyadarinya…
Ferdi menghentikan petikan gitarnya lagunya mengibaratkan sedikit perasaan kalutnya kini, aku tahu tidak semua lirik yang dinyanyikan akan di realisasikan, aku yakin Ferdi masih akan berjuang, aku yakin.
Ferdi melihat foto di handphone nya, foto Ferdi bersama Rendi di Puncak tadi dengan senyum lebar nan-tulus, baru saja dia bersenang-senang tadi tapi sekarang sudah sakit hati. Kalian merasa kurang mendapat feel galaunya ya? Jelas, karena Ferdi berpikir realistis tidak menye-menye, seorang top sejati, eh. Aku benar-benar salut dengan Ferdi.
“Aku berbahagia untukmu” kata Ferdi menatap ke arahku membuat aku kikuk dan semakin tidak tega, memang benar kata orang kebahagiaan dan kesedihan itu satu paket.
***
“Gimana perkembangannya?” tanya Figi sangat ingin tahu.
“Perkembangan? Apanya kak?” tanya Rendi balik dengan ekspresi lucu.
Sebenarnya aku tidak ingin melihat pesta ini tapi aku penasaran, aku juga tidak ingin banyak berkomentar. Seperti kata Gersang, lebih baik kita hanya melihat biar mereka yang menentukan toh itu hidup mereka lagi pula aku rasa Gersang benar ambisiku tentang Rendi dan Levi itu sungguh tidak baik.
“Kamu sama kak Levi” jelas Figi tidak sabar.
“Nggak ada, sejak kemarin ulang tahun aku kita baru jalan lagi hari ini” jawab Rendi sungkan.
“Emang kamu nggak SMS-an sama dia?”
“Nggak kak” jawab Rendi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan santai.
“Kenapa?” tanya Figi lagi. Rendi hanya mengangkat ke dua bahunya.
Baru saja Figi hendak bertanya lagi, Rama datang lalu mengajak Figi pergi dari pinggir kolam.
Pesta yang sederhana, hanya ada lantunan musik kencang di sudut kolam renang sebelah kiri tepatnya di sebrang Rendi saat ini hanya sudut itu yang dipasang musik itu juga hanya ada Juwita, Dwi dan beberapa anak-anak borjunis, bahkan Eliot tidak bersama Juwita, dia sedang mengobrol serius dengan Agus di sisi kolam renang jauh dari tempat bermusik memekakan telinga.
Tidak ada kesan mewah sama sekali, tapi kesan kekeluargaan amat kental terasa di siti sudut lain dari halaman belakang rumah Figi menjadi tempat bakar-bakar kalau kata orang kaya ini pesta Baberque.
“Maaf ya aku lama” Levi datang dari arah belakang Rendi lalu duduk di sebelah Rendi dengan sangat luwes, Rendi hanya merapatkan mulutnya tapi tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Mereka mulai berbincang bincang, seperti dunia berhenti berputar semua tercekat berhenti dan milik mereka berdua, kamu menatap ke dua insan yang saling berpandangan sambil membicarakan hal-hal kecil walaupun Rendi masih terlihat gugup, mereka seperti tidak memperdulikan yang lain terus berbincang-bincang tanpa memikirkan yang lain.
“Hey, keknya ngobrolin sesuatu yang seru banget nih Ren? Kak Lev gantengan banget sih pakek kemeja putih lengan panjang ketat kek gitu” kata Juwita antusias, semakin-makin antusias ketika menyadari penampilan Levi yang memang malam ini sangat oke menuruku, berbalut kemeja putih lengan panjang yang ketat dengan celana hitam elegannya.
“Gantengan juga gue” protes seseorang di samping Figi. “Elo kawe-kawean Gus ahahaha” ledek Juwita. “Asem!!” cibir Agus, Agus juga tampan dengan kemeja berbahan levisnya kontras dengan penampilan Levi memang.
“Dih Juju elo ganjen banget itu si Elul ngedumel mulu tuh” ledek Dwi.
“Meh!!! Ngapain cemburu sama si cangcorang” sentak Elul dengan nada penuh gurauan.
“Idung” ledek Juwita sembari menjulurkan lidahnya.
“Pada kemana eh?” Levi memutar pandangnya, hanya ada sahabat-sahabat Figi dan pacar mereka masing-masing, Huda bersama pacar barunya yang lebih mirip dengan biduan dangdut, berpakaian mini dress ketat dengan body yang terlampau montok.
“Sepi ye kak?” kata Elul mendekat ke arah Juwita mengambil Blackbarry yang di pegang pacarnya lalu dengan sekali hentakan, “Jbuurrr” suara seseorang tercebur. Tepatnya Juwita yang diceburkan oleh Elul yang langsung disambut gelak tawa mereka.
“Iduuuung!!!” pekik Juwita yang langsung kalap.
“Gila” Rama menjerit ketika tubuhnya berhasil tercebur oleh ulang Figi.
Agus memeluk Figi lalu menceburkan diri membuat tawa mereka semakin kecang.
Levi mendorong Rendi lalu ikut menceburkan diri seperti Agus dan Figi. “Hape aku!” pekik Rendi panik, handphone nya terlepas dari genggaman Rendi yang hendak membalas SMS dari kakaknya.
Aku merasakan betapa paniknya Rendi kini, panik di sela-sela kebahagiaan itu sangat menyakitkan banyak yang tidak perduli. Rendi menenggelamkan diri mencari di dasar kolam benda kotak pemberian Ferdi. Benar, itu pemberian Ferdi maka dari itu Rendi sanga panik, barang mewah pertama sebagai kado ke enam belas tahunnya. “Kenapa Ren” tanya Levi panik ketika Levi melihat Rendi menyembul kepermukaan dengan nafas terengah dan wajah yang amat panik. “Hape aku,” kata Rendi frustasi suaranya kalah keras dengan tawa Huda di belakangnya. Rendi menyelam kembali mencari handphone nya sebisa dan secepat mungkin, tapi hasilnya nihil sampai ketakutan menyelimuti Rendi, aku merasakan banyak kekecewaan dan rasa mengutuk diri sendiri atas kelalaiannya menjaga pemberian orang.
“Ini” Rama berhasil menemukan handphone Rendi.
Secepat mungkin dia berjalan berat ketepi kolam naik lalu mengelap handphone nya dengan jaket di bangku tepi kolam, entah jaket siapa.
“Ayo dong nyalah,.” ratap Rendi. sangat panik, aku sangat menangkap kepanikan dari mata coklat mudanya. Rendi mencopot baterai handphone nya lalu menyekanya memasangnya lagi namun hasilnya tetap, handphone nya tidak bisa menyala lagi.
“Maafin aku ya, nanti aku ganti deh handphone nya” Levi berdiri kikuk di samping Rendi yang duduk memegangi handphone nya. “Nggak sesederhana itu kak” keluh Rendi aku melihatnya sangat putus asa.
“Nanti biar suruh si Levi gantiin hape yang sama persis Ren, santai aja” Agus datang memberikan suaranya. Rendi menatap nanar ke arah kakak beradik ini, bagian kanan wajahnya mengerenyit menandakan kesedihan aku yakin Rendi butuh di mengerti, bukan soal harga atau merk handphone nya tapi soal tanggung jawab walaupun Rendi tahu Ferdi tidak akan begitu marah kalau tahu handphone pemberiannya rusak.
“Kamu pakek baju aku dulu nih Ren” Figi menyodorkan bajunya. Rendi hanya diam saja seelah kejadian itu sampai kini dia selesai berbilas Rendi masih diam. “Aku tahu, kamu ngerasa gagal ngejaga pemberian orang, aku juga mau minta maaf gara-gara aku handphone kamu itu jadi rusak, tapi semuanya udah kejadian, ngumpat dan marah pun nggak berguna, benar kata Agus, biar kak Levi beliin handphone yang sama persis kaya itu” Figi menunjuk handphone Rendi yang tergeletak di meja sebelah tempat tidur Figi. Figi bergerak ke sisi Rendi memberikan pakaiannya dan merangkulnya perlahan, Rendi hanya mengangguk lemah.
“Sekali lagi maafin aku ya?” mohon Levi saat sampai di depan rumah Rendi. Rendi hanya menganggukn dengan wajah datar.
“Aku pulang dulu ya, besok aku ke sini lagi nganterin hape yang persis kayak itu” kata Levi lalu tak lama masuk ke dalam mobilnya.
“Ayo Gus, lama banget sih loh aaah” keluh Levi memprotes adiknya yang sedang memakai sepatunya.
“Bawel banget sih Lev! Nggak liat ini gue lagi pakek sepatu! Gue kan langsung ke sekolah nanti, lagi pula baru setengah sembilan itu Mall bukanya jam sembilankan” Agus membela diri.
“Jalanan macet, mangkanya kalo main jangan cuman ke rumah Figi atau sahabat lo yang lain, ke pusat Bogor dong” keluh Levi lagi masih bernada kesal.
“Norak!! Gue tauk kali” Agus menyambar tas punggunnya.
Mereka melaju ke salah satu Mall, pasti ingin membeli handphone yang sama persis seperti punya Rendi yang tadi malam rusak karena tercebur ke dalam kolam renang.
“Nggak ada mas, yang tipe itu jarang, meningan bebe aja mas lagi modelkan” tawar sang pemilik kios handphone.
“Wah saya nyari hape yang model itu bukan yang lain” balas Levi.
“Makasih mas” Agus menarik kakaknya, sudah took yang ke delapan sejak tadi mereka sampai di Mall ini, masih banyak yang belum buka took-toko handphone karena masih pagi.
“Coba liat di kaskus atau toko bagus, udah siang nih beloman dapet juga aah” Levi mengacak-acak rambutnya tanda frustasi dia sesekali memutar pandangnya berharap menemukan handphone yang dicari terpampang di estalase toko.
Agus mengeluarkan iPad dari tasnya iPad punya Figi. “Adanya yang bekas gimana nih?” tanya Agus sembari meminum teh dalam botolnya.
“Yang ori lah Gus, masa ngasih yang bekas!” timpal Levi entah kenapa wajahnya kusut.
Kakak beradik itu duduk di selasar Mall ini. Beberapa SPG, Karyawan dan pengunjung Mall ini tertangkap melirik-lirik mereka, tidak luput juga beberapa lelaki yang tertangkap basah memperhtikan mereka berdua. Aku rasa mereka juga memiliki orientasi yang sama seperti Agus, sayang mereka tidak tahu kalau tahu pasti Agus–Levi sudah di perkosa, aku ngomong apa sih?
“Lo panik banget sih kak?” Agus meletakan teh dalam botolnya di sisi kiri kakinya lalu menatap Levi dengan alis terangkat.
“Gue janjinya hari ini mau balikin hapenya si Rendi, pokoknya hari ini gue janji mau nganterin itu hape ke sekolah” Levi merebut iPad yang dipegang Agus lalu mengutak-atiknya.
“Segitunya kah?” tanya Agus lagi, aku tahu Agus sedang mengira-ngira dari ekpresi Levi yang cukup risau saat handphone yang mereka cari tidak kunjung dapat di toko-toko Mall ini untuk mereka beli dan diberikan kepada Rendi.
“Iyalah, gue kan penyebab hapenya kecebur”
“Ciah, anak kuliahan bahasanya..” ledek Agus sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gue beneran monyong!” Levi mendorong pundak adiknya pelan.
Aku mulai merentangkan apa yang bisa aku rentangkan, terlihat dari sudut dahi Agus dan Levi yang menghasilkan beberapa bulir keringat hawa hangat cenderung panas terbang besama tiupan sang angin. walau langit saat ini sudah menunjukan akan hujan.
“Elo nggak mau buat si Rendi kecewa maksud lo?” tanya Agus lagi.
“Nah tuh tumben pinter!” ujar Levi cepat.
“NAH BERARTI ELO SUKA SAMA SI RENDEH” sela Agus dengan berapi-api, Levi sontak mendelik menutup mulut adiknya yang terlanjur mengatakan semuanya, utung saja tidak ada orang yang lewat di dekat mereka jadi aku rasa tidak ada yang mendengar ucapan Agus tadi.
“Berisik amat sih lo!” Levi mendelik ke arah Agus yang malah cengar-cengir dan berkpresi menyebalkan kakaknya.
“Elo Bisex ya kak?” bisik Agus.
Levi hanya mengangkat kedua belah pundaknya, “Gue nggak pernah suka cowok sebelumnya bahkan ada anak di kampus gue yang lebih soft dari Rendi pun gue nggak suka, tapi nggak tau aja kalo sama Rendi itu gue nyaman serasa dia itu tempat buat gue lepasin penat, tempat gue berbagi rasa, gue suka aja setiap moment-moment gue sama dia” ucap Levi panjang.
“Cinta datang tanpa alasan, kalau bisa gue bakalan nolak, tapi gue telat sadar soal cinta itu banyak hal dan obsesi gue yang salah sampai saatnya cinta itu terasa dan gue ngerasa nggak akan rela untuk ninggalinnya” tambah Levi sendu.
“Cinta nggak akan pernah salah kak, walaupun semilyar orang di luar sana bilang kalau apa yang kita rasain ini salah, mereka bisa bilang begitu karena mereka nggak ngerasain apa yang kita rasain,” Agus tersenyum masygul.
Levi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengangkat bahunya tanda tidak tahu harus berkata apalagi.
“Sesuatu yang baik nggak selalu bersumber dari kebenaran mulut seseorang, apa yang orang katakan salah belum tentu menghasilkan suatu–kesalahan itu maksud gue” timpal Agus.
Hujan turun.
“Aku mendengar semua perkataan Agus, aku tidak menyangka. Benar-benar tidak menyangka, dia begitu dewasa” seru Embun di sisiku.
“Ya, aku juga tidak menyangka, aku kira Agus hanya anak kecil yang suka dengan hal-hal menantang dan menghiburnya”
“Kau selalu berprejudis!” seru Embun agak kesal di sisiku.
“Aku sedang berbenah diri Embun” aku membela diri, aku tidak ingin terlihat buruk atau mengecewakan siapa yang aku cinta dalam konteks ini aku tidak ingin terlihat payah, jelek atau mengecewakan dihadapan Embun.
“Di Jambu Dua yang, kenapa? Oh iya aku tunggu” Agus memasukan kembali handphone nya kedalam saku kanannya.
“Figi mau kesini” kata Agus, padahal baru saja Levi ingin menanyakan apa yang sudah di jawab adiknya terlebih dahulu.
Tak lama Figi muncul bersama Rama dengan ke adaan sedikit basah. “Elo nggak bawa payung?” tanya Agus kepada mereka berdua, mereka menggelang bersamaan.
“Hey mbak” goda Rama kepada salah satu karyawan Robinson di Mall ini yang terliha sedang buru-buru melangkah memasuki Mall mungkin telat.
“Sa–ik,” pekik Agus sambil menertawai Rama. Figi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Memakai baju bebas membuat Rama berani menggoda sejumlah wanita yang lewat di dekatnya, tentu yang umurnya tidak terpaut jauh.
“Nih kak hapenya, yang kayak ini kan?” Figi menyodorkan satu kardus handphone.
“Ah, thanks banget ya Gi, nanti gue trasferin uang gantinya ya! cash gue nggak cukup kayaknya” kata Levi sembari memasukan dompetnya ke belakang.
“Gampang kak” kata Figi santai.
“Dapet dimana? Gue muterin ini Mall gak dapet-dapet loh” tanya Levi antusias
“Di depan sana pas gue mau masuk Mall gue liat tuh haoe di estalase tuh toko” jelas Figi, Levi hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Makan dulu nggak nih? Gue yang traktir deh” tawar Levi.
“Nggak usah, Resti udah SMSin gue dari tadi nih” keluh Figi.
“Laaah, pacarnya kan gue Gi” Rama terlihat bingung sambil menunjuk diri dengan telunjuknya sendiri. “Gue lebih berpengaruh buat hidupnya Resti di banding elo, week” Figi berlari kecil menghindar serangan Rama. “Asem” pekik Rama.
“Gue sama kak Levi aja ya!” pinta Figi setelah sampai di parkiran Mall ini. Figi mengedipkan matanya mengisyaratkan kepada Agus bahwa ada sesuatu yang ingin Figi bicarakan kepada Levi. Eh? Aku kok jadi sok tahu seperti Embun ya?
“Mau nyobain yang gantengan, sebelom di cobain orang” seru Figi bangga.
“Orang gila!” ledek Rama, Figi hanya tertawa terbahak-bahak.
“Awas lo, gak gue kasih jatah!” pekik Agus yang tidak jadi masuk ke dalam mobil. Levi sedari tadi hanya tersenyum, menggelengkan kepala dan tertawa renyah menanggapi ulah mereka.
“Jatah BLT?” sahut Figi ngeyel.
“Wah beneran nih orang” Agus menunjuk Figi dengan raut antara ingin tertawa dan marah.
“Yang ini juga bisa ngasih gue jatah” kata Figi yang tertawa lebih keras lagi memicu banyak kepala menoleh ke arah mereka.
“Gila” kata Levi yang baru membuka suaranya.
“Laporin Pol-PP aja kak kalo dia macem-macem” timpal Rama yang sudah tertawa terpingkal-pingkal di dekat pintu mobil Figi.
“Monyong” pekik Figi tapi Rama telah masuk ke dalam mobil sebelum Figi berhasil melemparnya dengan tissue yang ada di dalam mobil Levi.
“Semoga persahabatan mereka akan terus terjalin erat hingga kapan pun, aku selalu berdoa untuk persahabatan mereka. Walau puluhan manusia meragukan persahabatan mereka, mencerca bahkan meremehkan, aku akan tetap berdoa, semoga tuhan menguatkan persahabatan mereka. Amin” Embun berdoa di sisiku sebelum dia tertidur karena hujan telah surut.
“Banyak banget yang di pikirin yak kak” kaa Figi memulai pembicaraan saat mobil mereka memasuki daerah Talang. “Hidup memang pasti mikirin banyak hal Gi” kata Levi bijak.
“Ragu ya kak” tanya Figi setelah meminum air mineral dari botol yang diambil dari dalam tasnya.
Lagi-lagi Levi mengangkat bahunya, tapi aku masih belum mengerti tentang pertanyaan Figi? Ragu. “Kakak ngingetin aku ke seseorang” kata Figi, nadanya berubah sangat datar. “Dodon?” kata Levi cepat dan masih fokus ke jalan. Figi mengangguk lirih.
“Dia itu dulu satu kampung sama aku, tetanggaan, entah kenapa rumah besarnya di jual.” Levi menghela nafas. “Denger-denger abis itu dia beli tahannya Elul yak di kampung sebelah” lanjut Levi, Figi hanya mengangguk mungkin Figi tahu sejarah hidup Doni. “Tapi nggak lama dia pindah ke deket perumahan Villa Bogor Indah ya?” kata Levi dengan nada bertanya, aku jadi bingung kok mereka malah membahas soal rumah sih?
“Apanya yang mirip dari aku dan dia Gi?” tanya Levi lagi. “Sorot mata yang penuh sesuatu yang mungkin bisa dikatakan cinta plus keraguan. Keraguan karena kata banyak orang cinta yang seperti ini salah. Cinta dan keraguannya sama-sama besar dan semua keliaan dari sorot mata, cara kakak mandang Rendi dari jauh itu nginggetin aku sama Almarhum.” kata Figi, aku tahu hatinya lirih kini, tapi Figi tidak menangis sama sekali walaupun senyumnya palsu saat ini.
“Apa kamu masih cinta dia?”
“JELAS! sampai kapan pun aku akan cinta dia, cinta pertama aku” jelas Figi. Levi mengerenyit aneh, pasti Levi berpikir lalu kenapa dia berpacaran dengan adiknya kalau masih mencintai Doni. Baru saja Levi hendak membuka mulutnya Figi menyela, “Kakak pasti inget salah satu mantan kakak kan? mantan yang kakak cintai lalu kakak cinta lagi sama seseorang, itu bukan berarti kakak main-main sama cinta kakak yang sekarang, ini misalkan lho! misalkan aja kayak gitu ya. Kayak aku yang cinta sama Agus, aku nggak main-main atau cuman ngisi hari-hari aku aja, nama Doni ada di dasar hati dan Agus berada di atasnya mengisi tiap sudut dan rongganya” jelas Figi sambil menunjuk dada kirinya dengan empat jari minus ibu jari.
Aku menatap lekat Levi yang bertarung dengan pemikirannya saat ini. Mereka sampai di gerbang sekolah. Figi turun dan naik ke dalam mobilnya bersama Agus dan Rama yang berada di dalamnya, tadi Figi berpesan kepada Levi untuk menunggu di sini karena Figi akan memanggilkan Rendi.
Aku mungkin cinta Meisya? tapi itu dulu! bahkan aku masih belum yakin aku cinta Meisya. Entah, cinta atau obsesi aku masih belum mengerti. Tapi sesuatu yang menggebu di dadaku terasa memberikan aku sebuah semangat sesuatu yang membuat dadaku menggebu itu berasal darinya, aku tak tahu harus bersikap dan berkeputusan apa. Aku takut. Aku takut jika aku mengungkapkan semuanya akan mengecewakan keluargaku dan pada akhirnya jika aku memilih keluargaku pria itu akan tersakiti, aku mungkin lebih payah dari adikku yang berani mengambil keputusan. Aku benar bimbang, ini kali pertama dan begitu kuat, itu permasalahannya. KALI PERTAMA NAMUM BEGITU KUAT. Jujur aku tidak mampu melepaskannya tapi aku masih takut memintanya menjadi milikku. Aku tidak bisa hidup tanpanya tapi aku juga takut jika hidup bersamanya. Ah, ini amat menyiksa. Biarlah waktu akan menjawabnya.
Aku mendengar suara hati Levi. Ya, aku yakin yang aku dengar itu suara hati Levi, Embun harus tahu, tapi. Kegersangan menyelimuti Levi kini aku harap Rendi menjadi Embun di kegersangan hatinya.
***
Derap langkah Rendi terdengar dari langkah jenjangnya melangkah ke kelas Ferdi di lantai dua. “Hey, kayaknya cowok homo nambah satu lagi ya di sekolah kita” lima orang yang paling tidak di sukai di sekolah ini berjalan di belakang Rendi. Rendi masih melangkah jenjang tidak menoleh sedikit pun, membela diri atau membalas cemooh FD4 itu bukan sesuatu tindakan yang baik untuk orang seperti Rendi. Payah, kalau aku sudah kupukul mulut mereka.
“Woi berenti gue lagi ngomong sama lo homo!” sentak Faris.
Rendi berhenti, karena memang hanya dia yang berjalan di depan FD4 siswa kelas dua dan satu hanya menatap Rendi dengan tatapan kasihan sebagian menatap dengan berbagai seringaian.
Rendi berbalik menatap FD4 dengan senyum menghiasi wajah Rendi, “Nggak usah masang senyum depan kita, kita gak bakalan nafsu kayak personil Rama and the boys, poor people” ejek Diatmika. “Ada apa kak?” tanya Rendi seperi tidak mendengar ejekan Diatmika.
“Ini anak satu sumpah ngeselin, jangan sok polos di depan kita, orang kek lo itu munafik cuman tutupin kelemahan lo supaya kita kasihan!” sentak Darriel mendorong tubuh ringkih Rendi.
“Lo nggak pernah berhenti bertingkah konyol ya?” kata Resti di belakang FD4 baju muslim berwarna coklat yang dia kenakan menambah kesan tegasnya saat ini. Kelas tiga memang sekarang memakai baju bebas karena hari ini hanya pengarahan untuk besok acara perpisahan rekreasi ke Kepulauan Seribu.
“Woow Ibu kepala sekolah?” Ejek Deni.
Resti menatap FD4 dengan sangat tajam membuat FD4 terpecah menjadi dua bagian lalu dengan sangat angkuh Resti melewatinya menyelamatkan Rendi bagai sosok Ibu peri. “Mau elo kemanain mainan gue” kata Faris sangat tengil kalau aku bilang.
“Dia manusia FARIS! JAGA MULUT LO!” sentak balik Resti dengan nada yang meledak membuat Darriel dan Diatmika terdiam dan pucat, aku rasa Faris merekrut orang yang banyak omongnya saja.
“Istrinya Rama and the boys sok galak” Ejek Deni. Danniel bergerak merebut Rendi dari genggaman Resti. “ini bukan urusan lo Rest”. “Nggak bisa! Ini urasan gue lah, gue punya kerjaan OSIS sama Rendi” Resti menarik balik Rendi. “Anjri banget nggak sih?” kata Danniel dengan sangat sok kepada anggota Gank-nya. “Yaudah sini gue keplak dulu” tambah Deni, Rendi memejamkan mata ketika tangan Deni melayang ke arahnya, bodoh sekali bukan? kalau aku sudah ku piting dan ku jatuhkan dia.
Ferdi berdiri kokoh menahan tangan Deni yang hampir mengenai Rendi, dengan cepat Resti menarik Rendi menjauh dari jangkauan FD4 lainnya. “Wew vampir homoannya dateng,” seru Diatmika sok ketakutan. “Rendi punya harga diri kak, kita semua juga, dan nggak pantes kakak perlakuin adek kelas kayak gitu” baru saja Ferdi menyelesaikan ucapannya tinju Deni tepat berada di perutnya.
Curang, ini cara yang paling aku benci, satu lawan banyak, itu tindakan yang sangat lemah menurutku, satu-lawan-satu itu harga mati untuk seorang pejantan. tubuh Ferdi yang terkulai lemas dengan wajah yang sudah sedikit lebam ditarik paksa untuk berdiri lalu di seret ke dekat tembok sepertinya ingin di hantamkan ke tembok, tidak ada satu pun yang berani membentu Ferdi, Resti sedang di halang-halangi Darriel hingga tidak bisa berbuat banyak guru pun tidak ada yang terlihat karena kantor guru berada di balik kelas di sebrang lapangan lokasi yang sangat rumit di jabarkan dalam kondisi seperti ini.
Keributan bertambah besar, Figi, Rama, Agus datang dari arah perama kali Resti datang. Mereka sedang bertikai di lantai dua tepatnya. Banyak perubahan Figi sekarang ini dia lebih berani semenjak Doni meninggal dunia, sekarang ini dia berhasil memukul mundur Darriel.
“Gue peringatin ke elo, mereka berdua masuk ke dalam list siswa yang nggak boleh kalian usik!” bentak Figi sangat emosi.
FD4 pergi bergitu saja ketika Rama ngengerang menyeramkan. “Kak kita ke UKS ayo” Rendi memapah Ferdi menuruni tangga memutar ke arah UKS di sebrang lapangan sekolah.
“Ren” panggil Levi.
Rendi mendelik ke arah Levi seakan tidak yakin akan keberadaan Levi. Levi berlari kecil menghampirinya, Rendi melepaskan rangkulan Ferdi dan genggaman tangan kanannya dengan tangan kanan milik Ferdi. Mata Ferdi seperti berair bukan seperti air mata kalau aku bilang, seperti melihat perusak kebahagiaan datang menghampirinya. Iya, aku yakin seperti itu.
Figi pun berhenti tak jauh dari belakang Ferdi dan Rendi dia serasa merasakan apa yang aku rasakan sesuatu yang tidak baik dan ah pokoknya ini buruk, aku melihat Figi menelan ludahnya sebelum Ferdi bergerak.
Update-an kali ini biasa aja. Bagus2 aja sih, tp kurang berkesan coz belum ada perkembangan jalan cerita cinta mereka. Msh stucked aja pd hubungan dan perasaan mereka masing2. Bs dibilang update-an ini kayak track filler. Tp gpp sih, asyik2 aja buat diikutin.
Tapi FD4? Sebentar2, kalau gak salah stlh Doni meninggal, mereka udah tobat kan? Trs si Dimas jg diamputasi kalau gak salah ya? Kok skrg berulah lg? Hadeeh