It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lanjuuuuuuuuuuuuut
(●*∩_∩*●)
sip bang.!!! ahaha thanks udah baca.
10 menit
Entah harus berkata apalagi aku tak tahu dan benar serta jelas semakin tidak mengerti, aku merasa menonton pertunjukan yang hanya itu-itu saja di setiap harinya. Kita pasti sama sama bosan.
Ferdi terlihat sedang berpikir keras menatap gambar diri dari depan cermin sekarang ini, guratan wajahnya menandakan dia sedang berpikir sekarang ini, tiap kali pemikirannya menemukan suatu masalah atau alasan, matanya selalu mengerenyit berharap menemukan kejelasan dari hasil renungannya, entah benar atau tidak dugaanku tapi aku berpikir seperti itu.
Semenjak kedatangan Levi ke sekolah mereka kemarin, Ferdi lebih banyak diam tidak aktif seperti biasa dalam hal mendapakan hati Rendi, aku bisa merasakan kekalahan dari tiap tatapannya ketika melihat Rendi menatap Levi, aku pun begitu. Rendi amat mencintai Levi dan itu tidak bisa terbantah oleh apapun sekarang ini.
Cinta memang rumit, aku sebenarnya tidak suka saat seseorang tersakiti akan cintanya yang tulus. Tetapi sudah bukan hal tabu cinta yang tulus pun tidak menjamin kita akan bahagia dengan cinta yang kita pilih, memangnya cinta bisa memilih?
Aku selalu berdoa agar para pemilik ketulusan hati akan mendapatkan banyak kebahagiaan dalam hidupnya. Aku selalu berdoa.
~ Embun
Rendi tidak terlihat menonton Levi bermain bola? Aku sedari tadi memperhatikan para penonton di lapangan desa mereka. Padahal sekarang ini desa mereka sedang melaksanakan pertandingan sepak bola antar desa.
Aku tutup semua indraku dengan ke anggunan yang aku miliki, merentangkan seluruh embun yang aku miliki untuk mententramkan malam ini.
Rendi sakit? Aku melihatnya sedang meringkuk lemas di atas kasur kapuk tuanya, menikmati sesi demi sesi rasa yang amat tidak di harapkan siapa pun.
“Hey,” Astaga. Ferdi berdiri di pintu kamar Rendi yang hanya memakai gorden sebagai penutupnya.
“Kak Ferdi?” kata Rendi malu, entah mengapa Rendi malu aku tidak tahu.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sakit Ren?” tanya Ferdi cemas ketika mendapati orang yang di cintainya terkulai lemas di atas kasur.
“Aku cuman demam biasa, buat apa ngabarin kakak. Eh kakak ada perlu apa ke sini?” Rendi berusaha duduk dari tidurnya, tapi Ferdi bergerak cepat dan mendorong dada Rendi dengan sangat halus seakan menuntun Rendi kembali ke posisi tidurnya.
Aku lihat wajah Ferdi memerah saat pertanyaan Rendi tertuju kepadanya. “Nggak ada apa-apa kok, aku bolehkan main ke sini? Liburan bosen kalau di habisin di ruman aja” kata Ferdi kikuk.
“Kamu udah makan Ren” Rendi mengangguk.
“Minum obat ?” lagi-lagi Rendi mengangguk. Ferdi hanya ikut mengangguk melihat jawaban verbal dari Rendi.
“Aku keluar sebentar ya nanti ke sini lagi kok, kamu jangan tidur dulu” kata Ferdi seraya bangkit dari duduknya di samping Rendi. Terdengar percakapan singkat antara Ibu Rendi dengan Ferdi.
“Hey Ren, kamu sakit ya? Aku kira kamu masih marah sampe nggak nonton pertandingan bola di lapangan?” Levi tiba-tiba tidak lama dari Ferdi keluar dari rumah ini, apa mungkin tadi Ferdi melihat Levi sebelum meninggalkan rumah ini?
Aku lihat perubahan ekspresi Rendi yang terlihat jelas ketika Levi masuk ke dalam kamarnya, duduk di sisi Rendi dan memegangi dahi Rendi. “Mau berbagi panas tubuh nggak Ren?” gurau Levi dengan gerakan seakan-akan dia akan membuka Jersey-nya.
Rendi menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, rona wajahnya merah padam saat Levi menggodanya. “Keluar yuk cari angin jangan manja gini di dalam kamar mulu” saran Levi. Rendi hanya mengangguk saat Levi meraih lengan Rendi dan membantunya berdiri.
“Mau kemana A Lev?” tanya Ibu Rendi saat Rendi dan Levi keluar dari kamar.
“Cari angin Bu di depan, kasian Rendi sumpek di kamar mulu” jawab Levi.
“Rendinya kan lagi demam” larang sang Ibu.
“Ada Levi kok Bu, Levi yang jagain dari angin malam” kata Levi sambil terkekeh pelan.
“Yaudah sebentar Ibu ambilin jaketnya Rendi dulu” sang Ibu bergerak cepat masuk ke dalam kamar Rendi dan segera keluar dengan jaket lusuh berwana coklat yang langsung dipakaikan sang Ibu ketubuh anaknya.
“Di sini aja kak” pinta Rendi yang langsung duduk di teras kecil rumahnya.
Levi hanya melihat Rendi, tersenyum lalu mengangguk. “Kamu udah nggak marahkan sama kakak Ren?” tanya Levi membuka percakapan. Rendi hanya mengangguk dengan sangat kaku entah kenapa.
“Umm, serius nih?” tanya Levi meyakinkan. Rendi lagi-lagi mengangguk. “Makasih ya” kata Levi ceria.
“Eh, udah makan terus udah minum obat belum?” tanya Levi spontan.
“Udah kok tadi habis mahgrib.” jawab Rendi pelan.
“Ke dokter aja yuk” ajak Levi. Rendi menggeleng-geleng kepala dengan cepat. “Eh biar cepet sembuh sakinya biar kita bisa jalan-jalan lagi” Levi tersenyum sambil memainkan alis matanya yang sukses membuat Rendi tertunduk dan memerah rona wajahnya.
Deruan motor terdengar mendekat. Astaga. Aku melihat Ferdi turun dari motor matanya mengeryit ke arah Levi dan Rendi, ada raut keraguan yang aku baca dari guratan wajah Ferdi kini, ini benar-benar tidak mengenakan. “Lev, kamu di sini, aku cari di lapangan pantes nggak ada?” Meisya. Meisya berjalan anggun ke arah mereka dengan tatapan yang sangat tidak suka ke arah Rendi, aku benar-benar bisa membaca mata Meisya yang menurutku dia akan menjadi sumber bencana nantinya.
“Ren, ini buah buat kamu” dengan santai Ferdi duduk di sisi Rendi dan menyerahkan satu buah parcel berisi buah-buahan, “Kak ngerepotin banget” kata Rendi sungkan di lanjutkan dengan ucapan terimakasihnya. Levi menatap Ferdi dengan tatapan ingin tahu tapi Meisya sukses menariknya berdiri dan menyeretnya menjauh dari Rendi. “Eh, Ren, cepet sembuh ya” kata Levi setelah hampir cukup jauh di tarik Meisya, Rendi hanya mengangguk tanda meng-iya-kan perkataan Levi.
“Dia siapa Ren? Kemarin aku belum sempat nanya soal dia sama kamu kan?” tanya Ferdi merapihkan Raglan berlengan biru mudanya. Rendi hanya diam kepalanya tertunduk namun terkadang bergerak risau.
“Seberapa besar kamu cinta sama dia?” kata Ferdi mengejutkan.
Aku kembali menatap Levi yang sedang di repotkan Meisya lalu memandang balik ke arah Rendi. Ferdi menyadari hal itu, sebegitu peka kah dia sampai tahu tentang perasaan Rendi? Aku mungkin tidak terlalu terkejut tapi sedikiat salut.
“Maksud kakak?” tanya Rendi terkejut.
“Seberapa besar kamu suka sama kakaknya si Agus?” Ferdi tersenyum, entah senyumnya seperti apa tapi itu bukan senyum yang membahagiakan menurutku. Mulut Rendi terbuka sedikit mungkin karena terkejut dengan perkataan Rendi.
“Sebentar kak” Rendi bergerak cepat mengangkat parcel dari Ferdi bergegas masuk ke dalam dan terdengar dia berbincang singkat dengan sang Ibu lalu keluar menghampiri Ferdi.
“Ayo kak” panggil Rendi yang sudah berjalan santai keluar teras, Ferdi mengekor di belakangnya.
Mereka menunju danau, sejenak aku melihat Rendi menghela nafasnya dalam. “Ke sebelah sini” Rendi menarik Ferdi mendeka ke tepi danau dan menjejakan kakinya di atas rakit bambu.
Ferdi mengayuk rakit sementara itu Rendi duduk mengadap Ferdi. “Apa yang kakak mau tahu dari aku” kata Rendi lemah. Mereka sudah di tengah danau kini ada dua warga yang menaiki rakit di sebelah selatan dan utara, yang satu memancing dan yang lain menjala ikan.
Ferdi meletakan batang bambu di ujung rakit lalu duduk bersila tepat di hadapan Rendi. Aku menutup semua indraku, menurunkan embunku lebih banyak lagi berharap sang angin membawa terbang embunku sampai masuk ke dalam rongga-rongga tubuh manusia yang panas terbakar emosi atau cemburu dan menyembuhkan banyak penyakit hati, aku berharap begitu.
Malam ini sunyi, sangat sunyi untuk ukuran waktu yang belum bisa dikatakan larut.
Rendi mulai menjawab semua yang ditanyakan Ferdi dengan amat jujur. Aku saja yang mendengarnya amat sangat merasa pilu, apalagi Ferdi? Aku tidak mau merasakan apa yang sedang di rasakan Ferdi pasti amat sakit dan tertohok oleh cintanya. Sebeginikah cinta? Hal yang pasti bermuara dari hasil cinta hanya ada dua, sangat bahagia atau amat menyakitkan.
“Aku nggak bisa kasih kakak cinta yang kakak mau, aku juga nggak bisa janji walaupun cintaku bertepuk sebelah tangan dengan kak Levi aku akan cari kakak. Kakak terlalu berharga untuk jadi pelampiasanku, aku nggak akan pernah bisa maafin diri aku sendiri kalau aku nyakitin kakak lebih dari ini” Rendi berkata dengan nada amat lesu, seakan-akan kata-katanya mampu membuat Ferdi mati lemas seketika.
“Cinta, bahagia sama rasa sakitnya memang sudah satu paket dalam cinta. Mencintai seseorang berarti sudah sangat dan harus siap untuk tersakiti. Aku siap jadi obat kamu ketika kamu merasa tersakiti oleh cinta yang kamu pilih Ren” kata Ferdi sangat mantap.
“Berhenti berkata kayak gitu kak” mohon Rendi, matanya menatap nanar ke arah bayangan bulan yang temaram di atas air danau.
“Aku nggak akan pergi atau ninggalin kamu kemana pun Ren, setiap saat kamu butuh aku! Aku selalu ada di belakang kamu, aku masih nunggu kamu sampai kamu benar-benar bahagia dengan cinta yang kamu pilih”
“Kak. Please” ratap Rendi.
“Aku sayang sama kamu tanpa alasan, dan aku juga tau. Cinta itu memang nggak harus memiliki, walaupun sampai sekarang aku masih menganggap kata-kata itu kata-kaa yang paling munafik! Tapi itu yang sebenarnya.” Kata Fedri tersenyum masygul dan mengenggam tangan kiri Rendi.
“Maafi—“
“Ayo kita balik, udah malam aku harus pulang” potong Ferdi.
Ferdi mengayuh rakit itu lagi menuju ke tepian sambil sesekali membuat lelucon mencoba mencairkan suasana.
“Kak, kalau cinta bisa di pilih, aku akan pilih kakak” Ferdi menghentikan langkahnya. Semenjak turun dari rakit Ferdi berjalan di depan Rendi dengan wajah tertunduk, aku bisa merasakan kekecewaannya aku sangat merasakannya hanya dari guratan wajah dan sorot matanya.
“Aku akan pilih kakak jika cinta itu bisa di pilih dan bisa dibuat hanya dengan harapan” sekali lagi Rendi berkata seperti itu membuat jari-jemari Ferdi bergetar, aku melihat senyum nelangsanya dari cahaya malam yang temaram.
“Aku harap tuhan dengar do’aku” Ferdi berbalik menghadap Rendi. Menarik nafasnya dan tersenyum tulus.
“Aku pulang dulu ya!” kata Ferdi dengan suara beratnya lalu mengenakan helm nya.
“Makasih buat semuanya ya kak” kata Rendi sedikit canggung.
Ferdi menghilang dari tatapan Rendi, dengan perlahan Rendi memasuki rumahnya. Meletakan jaket di rak baju yang terbuat dari rotan yang sudah sangat tua dan meraih selembar kertas usang pemberian mendiang Ayahnya. Sudah lama aku tidak melihat dia menulis lagi.
*****
Salahkah ketika sesuatu yang tulus datang dan merengkuh namun dengan angkuh aku menolaknya?
Sesuatu yang tulus? Aku punya tapi tidak untuknya. Kenapa cinta tidak sesederhana Embun dalam Gersang?
Sesederhana Embun yang membuat Gersang melunak, sesederhana Gersang yang selalu membutuhkan Embun sebagai pendampingnya. Seserderhana Gersang dan Embun, hanya mereka berdua yang saling berputar membuat suatu harmonisasi yang seimbang, tidak ada yang lain seperti hatiku saat ini.
Jika cinta sesederhana yang aku harapkan aku pasti akan meninggalkan tulusku dan merengkuh seseorang yang menawarkan ketulusannya untukku. Tapi tidak begitu. Aku mencintai tulusku dan tidak ingin menyakiti seseorang yang dengan terhormatnya menyerahkan ketulusannya untuk aku genggam. Aku ingin bahagia tanpa menyakiti siapapun. Walau seribu kali orang itu berkata bahwa dia telah siap menerima rasa sakit akan cintanya yang tulus kepadaku. Tentu itu hanya ucapannya. Aku yakin sekuat dan semurni apapun cintanya untukku dia akan tetap tersakiti.
Aku harap Embun dapat menentramkan hatinya yang Gersang.
Tulusku adalah Gersang untukku, namun aku adalah Gersang untuk seseorang yang menawarkan ketulusannya untukku. Kami butuh Embun.
Aku harap ini sebuah mimpi dalam catatan lusuh hidupku, jika ini mimpi aku berdoa kepada tuhan agar esok dibangunkan dan hanya ada—aku dan tulusku yang mencintaiku juga dengan tulusnya—Amin.
*****
Aku menatap Ferdi dari kejauhan, menatapnya yang sedang melamum, kepalanya di sandarkan kepada gitar yang di peluknya.
Aku terlambat mendengarnya bernyanyi dengan diiringi petikan gitarnya.
But just walking in the dark
And you can see the look on my face
It just tears me apart….
Aku mulai memperhatikannya bernyanyi dengan hati-hati memetik senar gitarnya, membuat nada yang mulai membawaku menuju perasaanya.
So we fight, so we fight. Through the hurt, through the hurt…
And we cry, and cry and cry and cry…
And we live and we love, and we learn and we love…
And we try, and try and try and try…
Petikan gitarnya mulai menguat membuat aku terpaku kepada ekspresi wajahnya yang mengisyaratkan isi hatinya.
So it’s up to you and it’s up to me
That we meet in the middle on our right back down to Earth
Down to Earth, down to Earth…
Ferdi seakan melihatku yang berada di tepat di hadapannya. Matanya melirikku dan tangannya yang selalu berpindah mengikuti kunci gitar yang harus dia tahan.
You tell me this is for the best
So tell me why am I in tears…
Woaaaah…..
So far away and I just need you here
Aku merasa suara Ferdi semakin nelangsa, aku ingin lagu ini cepat dia selesaikan dan dia tertidur seperti biasanya.
I never thought it’d be easy
Cause we both so distant now
And the walls are closing in on us
And we’re wondering now
Petikan gitar terakhirnya di barengi dengan nafas suamnya.
***
“Lev, aku mau kamu jadi pacar aku” Meisya menggenggam lengan kanan Levi dengan erat.
“Aku nggak bisa Meiy maaf” Levi menarik lengannya cepat-cepat.
“Aku udah minta maaf soal dulu aku sama Fadli, kalaupun kamu minta ganti uang yang udah kamu kasih ke aku, aku rela kok. Kalau itu syaratnya biar kamu mau jadi pacar aku” Meisya masih bersi kukuh, apa dia tidak malu? Aku makin tidak suka.
“Aku udah nggak pernah permasalahin itu lagi kok” kata Levi cuek sambil menyeruput kopinya shiffon Toraja-nya . Mereka sedang berada di Kedai Kopi Java di daerah Pemda Cibinong.
Meisya menganduk-aduk teh tarik di depannya, matanya terfokus ke dalam isi gelas seperti mencari sesuatu di dalamnya.
“Lalu kalau bukan soal itu kenapa kamu nolak aku, aku tahu kamu masih cinta sama aku kan? Aku sekarang sadar Lev, aku cintanya sama kamu bukan sama Fadli” ratap Meisya membuat aku semakin muak kepadanya.
“Aku kayaknya lupa ngasih tau kamu!” kata Levi, wajahnya berubah ceria tapi tidak begitu meyakinkan, lebih mirip seringaian.
“Apa?” tanya Meisya penasaran.
“Aku sadar kalau selama ini aku cuman terobsesi sama kamu. NGGAK LEBIH. Dan sekarang aku tau siapa yang aku cinta sebenarnya” Levi menutup mulutnya, lalu tersenyum seperti seorang karyawan yang berhasil di promosikan di depan meja redaksi perusahaan.
Meisya melongo seketika, wajah cantiknya terlihat sangat dingin seperti habis di cium Dementor dalam Film kesukaan Figi.
“Sii ya pa orang nya Le ev?” kata Meisya sedikit terbata seakan enggan percaya.
“Kamu nggak berhak tau kan?” kata Levi, alisnya di angkat satu lalu menyeringai ke arah Meisya.
“Jangan bilang orang yang kamu cinta itu adalah orang yang kamu ajak ke pesta kelulusan Agus dan Figi?”
“Iya bener banget, dia orangnya”
Meisya terjolak hingga kursinya bergeser mundur menjauh dari meja, wajahnya yang cantik menatap nanar ke arah Levi dan masih terus menutup mulutnya, “Mau kemana Meis” panggil Levi tapi masih bernada cuek. Meisya tidak menjawab dan Levi juga terlihat tidak mengambil pusing, setelah membayar Levi menaiki motor adiknya lalu pulang ke rumah.
~ Gersang
Rendi terlihat sibuk berdampingan dengan siswi perempuan, mereka mengatur sebuah acara besar yang di selenggarakan di gedung kesenian di pusat distrik pemerintahan kota mereka.
“Sudah saatnya” bisik Pak Jay yang mengisyaratkan kepada ketua Osis dan bendaharanya yaitu Rendi dan Clara, naik ke atas panggung membuka acara perpisahaan angkatan Figi dan kawan-kawannya.
Tepuk riuh rendah mengiringi Rendi dan Clara menaiki panggung besar di dalam gedung.
“Siswa paling berprestasi, Kak Resti Lestari” ucap Clara dan di sambut dengan tepuk tangan dari seantero gedung.
Kepala sekolah dan guru memberikan sebuah piala, piagam dan sertifikat kepada siswi cantik berprestasi tersebut. Kepala sekolah mempersilakannya naik dan berbicara di depan podium, memang sekolah ini memberikan penghargaan terakhir kepada para siswa yang masuk ke dalam katagori yang sudah di tentukan oleh sekolah.
“Assalamualaikum, alhamdulillah, terimakasih untuk Allah, untuk ke dua orang tua saya, untuk sekolah ini yang memberikan beasiswa penuh kepada saya, walaupun jujur saya pertama kali tidak sama sekali berminat bersekolah di sini, tapi saya sekarang berdiri di sini dengan bangga dan tanpa penyesalan sedikit pun. Di pojok kiri belakang sahabat dan keluarga saya berkumpul, piala dan semua penghargaan ini untuk mereka , tanpa mereka mungkin masa SMK saya tidak akan menyenangkan seperti ini, terimakasih sekali lagi untuk para sahabat saya” teriakan Huda dan Figi beserta susulan tepuk tangan dari seluruh antero sekolah menggema di dalam gedung ini, aku lihat Resti turun dari podium sambil menitikan air mata.
Ferdi menatap Rendi dari pinggir panggung dengan sanga seksama, matanya terpaku hanya kepada Rendi, dan sekilas mereka bertukar senyum sebelum Rendi membacakan siapa lagi pemenang katagori selanjutnya.
“Kak Rama Ardiansatya” seru Clara. “Sebagai siswa terbaik tahun ini” tambah Rendi tidak kalah antusias. Terdengar jeritan para adik kelas mengiringi Rama yang berjalan menuju panggung, Huda dan Dwi memeluk Rama sebelum pergi meninggalkan para sahabatnya.
“Terimakasih” baru saja Rama memulai para siswi-siswi entah kenapa menjerit dan meneriaki nama Rama membuat anak laki-laki menyoraki balik karena iri. “Terimakasih buat para fans saya” kekeh Rama di atas podium membuat para lelaki mencemooh Rama dan para wanita tambah konsisten menjerit-jerit seperti kesurupan setan terlampau lebay.
“Terimakasih untuk tuhan saya Allah SubhanaWata’ala, terimakasih untuk Mamah saya” Rama menunjuk ke arah Ibunya dengan sangat bangga. “Terimakasih untuk semua guru dan teman-teman saya. Dan yang paling ingin saya sampaikan, terimakasih untuk sahabat-sahabat saya” Rama kembali menunjuk ke arah yang sama dengan telunjuk Resti tadi. “Untuk Figi, almarhum Doni, untuk Eliot Dharmakumadji” Rama pelan menyebutkan nama Doni lalu berubah sangat berapi-api menyebut nama Eliot seakan-akan Eliot sumber semangat. “Huda, Agus, Dwi dan Andri tentunya” teriakan para fans Rama kembali menggila ketika Rama menyebutkan nama para sahabatnya satu persatu. “Tanpa kalian, masa-masa ini bukan apa-apa” tukas Rama turun dari podium.
Selanjutnya Faris yang di panggil ke podium sebagai siswa percontohan, Rendi dan Clara saja amat malas, monopoli masih di lakukan bahkan di akhir masa sekolahnya, ambisnya ingin tenar dan tidak terkalahkan oleh Rama dan sahabat-sahabatnya masih sangat kuat di anut oleh Faris.
“Dan terakhir penutup dari katagori siswa-siswi terpilih di penghujung tahun” ujar Clara lebih bersemangat dari sebelumnya. “Sekolah menambah satu katagori di tahun ini dan di tahun-tahun mendatang, Siswa paling berpengaruh” ucap Rendi cepat membuat hening seketika.
“Figi Antala Rahman” ucap Clara dan Rendi walau suara Rendi tertutup suara Clara yang semakin lama terdengar seperti teriakan histeris.
Beberapa teman satu angkatan yang tidak menyukai Figi berteriak tidak kalah keras untuk mencemoohnya ketika Figi lewat di depan mereka, FD4 sudah tentu masuk ke dalam kumpulan pembenci Figi walau mereka sudah tidak mengusik Figi lagi.
“Terimakasi untuk seluruh sahabat saya, seluruh kenangan yang tiga tahun ini mereka berikan, mungkin di penghujung sekolah ini akan sangat menjenuhkan tanpa sosok Eliot Dharmakumadji” tepuk tangan riuh dan teriakan wanita para fans Eliot kini terdengar, karena ini mungkin menjadi waktu terakhir untuk mereka. “Terimakasih untuk Resti dengan semua pemikiran bijaknya” kini para guru ikut bertepuk tangan. “Terimakasih untuk Rama, Dwi, Andri, Huda, Juwita dan Ratna untuk rasa persahabatan dan saling menjaga yang kalian ajarkan” para siswi-siswi mulai bertepuk tangan dan berteriak histeris lagi. “Agus Hermawan, terimaksih buat kebahagian yang kalian berikan, untuk semua yang aku gagal ucapkan di depan kalian” semua sahabat Figi berdiri bertepuk tangan dengan senyum berjuta-juta watt mereka. “Buat Almarhum Doni Ardansyah Putra, semoga amal ibadahnya diterima, kita nggak pernah lupain semua kenangan kita. Amin” tepuk tangan seantero ruangan mengiringi turunnya Figi dari podium.
Aku menatap Rendi yang telah selesai melaksanakan tugasnya.
Levi menghampiri Rendi dengan balutan batik aksen jawa timur berwarna coklat, membuat Ferdi tercekat dan mengurungkan niatnya menghampiri Rendi. Figi dan Agus juga berjalan menghampiri Rendi. “Kita bakalan ke bali tiga hari lagi dan kamu harus ikut” kata Figi membuat Rendi tidak bisa membantah lagi.
Mereka akan ke pulau dewata? Berempat sajakah? Aku sudah tidak sabar menunggu hari itu.
update bang