It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Rumah itu masih sama sibuknya seperti tadi. Masih dihiasi ketokan palu dari pekerja bangunan ditingkahi dengan kotekan ayam. Rayan tak memperdulikan semuanya. Ia berjalan terus menapaki teras dan mengetuk daun pintu dengan gusar.
Lagi-lagi Emak yang menyambutnya.
"Rayan...?"
"Diki mana, Mak?" tanya Rayan tanpa basa-basi.
"Diki..."
"Diki beneran udah kawin?"
Emak mengangguk.
Rayan menarik napas dalam. Sekujur tubuhnya gemetaran. Ia kembali mengepalkan kedua tinjunya. Berton-ton es serasa mengguyur tubuhnya. Dinginnya tajam menusuk.
"Jadi... Benar Diki udah k-kaw...in?"
"Iyo Nak Rayan. Diki la kawin duo bulanan yang lewat. Maaf nian idak ngundang. Jujur, Emak benar-benar lupo... (Iya Nak Rayan. Diki sudah kawin dua bulanan yang lalu. Maaf sekali tidak memberitahu. Jujur, Emak benat-benat lupa...)"
Rayan menggigit bibirnya. Sekujur tubuhnya bergetar hebat.
"B-beb... Hhhh..." mulut Rayan tercekat. Ia tak mampu mengeluarkan suara barang sekatah patahpun.
Rayan berjalan mundur menjauhi Emak dengan hati tak karuan. Bahkan sangat sulit menggambarkan dengan kata-kata.
"Nak Rayan..."
Rayan semakin kuat menggigit bibirnya. Tubuhnya pun semakin bergetar hebat. Setelah kakinya sudah melintasi lantai teras, tanpa berkata-kata ia balik badan dan berjalan lunglai.
"Rayaaann..." panggil Emak.
Rayan tak perduli. Ia terus saja berjalan dengan mulut terkunci rapat. Air mukanya begitu dingin dengan pandangan hampa. Saat ini ia mati rasa. Ia tak bisa merasakan perasaan apapun lagi.
Tapi semua itu tak berlangsung lama. Setengah perjalanan menyusuri gang, pandangannya mulai kabur karena air mata. Dadanya turun naik. Sesak terasa. Serta merta rasa sakit yang luar biasa menghantam ulu hatinya. Perih sebenarnya perih. Bahkan air matapun takkan sanggup meluruhkan perihnya.
Rayan menangis tertahan. Air matanya mengalir deras. Diambilnya surat dari kantong celana. Dibentangkannya kertas surat itu. Sekarang ia baru memahami maksud sebenarnya dari isi surat itu. Tangis Rayan semakin menganak sungai. Kristal-kristal bening itu berjatuhan menimpa goresan tinta yang dituliskan Diki.
Rayan meremas kertas itu sekuat tenaga. Kemarahan bergejolak di dalam dadanya. Entah ia harus Melampiaskan kemarahannya pada siapa atas nasib cintanya yang malang.
Rayan mendongak ke atas. Menantang langit kebiruan dengan air mata mengalir sampai ke leher. Ia harus mengadu pada siapa?
Rayan kemudian berlari kencang menyusuri jalan. Tak perduli orang-orang menatapnya keheranan. Ia sudah tak sanggup menutupi kesedihan ini. Ia hanya butuh menangis dan berlari sampai ia terjatuh hingga letih menyerangnya. Ia ingin bebas dari rasa perih yang begitu menyayat ini. Rayan berharap dengan berlari, maka pedih ini akan tertinggal di belakang.
Rayan terus berlari dan berlari..
Ia menuju sungai tempat Diki pernah mandi. Ia berharap Diki akan menyambutnya di sana sambil bertelanjang dada. Tapi nihil. Tak ada Diki di sana. Yang ada hanyalah sungai yang mengalir pelan.
Rayan menangis terisak. Ia menceburkan diri ke sana sambil memukul-mukul permukaan air yang tak perduli akan kesedihannya. Ia berendam di sana beberapa saat sambil menangis. Dinginnya air semakin membekukan hatinya. Semakin memperperih luka hatinya.
Rayan terseok-seok keluar dari Sungai dengan tubuh basah kuyup. Ia berjalan menyusuri pematang sawah sambil terus menangis. Air matanya bercampur dengan tetes air yang berjatuhan dari rambutnya.
Ia kembali berlari. Menyusuri pematang sawah yang sempit lagi licin. Berkali-kali ia tergelincir. Bahkan terjatuh dan terjerambab ke lumpur sawah. Tapi ia tak perduli. Ia bangkit dan berlari lagi. Yang terpikirkannya saat inilah hanyalah berlari. Berlari...
Rayan menyambangi telaga tempat mereka sering memancing dulu. Hanya ada bebatuan kali sebesar gajah serta suasana senyap yang menyambutnya. Rayan membaringkan tubuhnya di sisi sebuah batu. Persis si tempat Diki duduk memancing dahulu. Ditempelkannya kepala sambil dielus-elusnya permukaan batu itu. Air matanya mengalir semakin deras. Butiran air matanya berjatuhan ke permukaan batu yang keras lantas luruh tak berbekas.
Rayan memukul-mukul batu dengan perasaan kesal bercampur marah. Berkali-kali ia memanggil nama Diki disela tangisnya. Tapi semua itu sia-sia. Diki tak kunjung muncul untuk mengusap air matanya...
Rayan mulai putus asa. Semua pencariannya hanyalah sia-sia adanya. Diki tak akan datang meskipun ia menangis darah. Diki telah pergi bersama cinta yang lain.
Dengan langkah lunglai ia berjalan kembali pulang. Ia tak sanggup lagi berlari. Kedua tungkai kakinya terasa letih, seletih hatinya yang tak kunjung menemukan Diki.
Rayan mengusap pipinya yang sembab. Sekarang untuk menangis saja ia tak sanggup. Matanya terasa perih karena terlalu lama menangis.
Kini ia tersenyum. Senyum yang sangat kecut. Senyum yang berbanding terbalik dengan hatinya yang terus menangis.
Rayan berhenti berjalan. Ia berdiri mematung sambil mendongakkan wajahnya menghadap langit. Langit tetap sama. Biru membentang dengan awan seputih kapas. Sesekali segerombolan burung melintas dengan kicauan mereka yang riang. Rayan menyentuh daun telinganya. Angin bertiup lembut menggoyang rerumputan dan dedaunan yang menimbulkan gesekan halus. Hari ini begitu ceria. Sama cerianya seperti saat ia masih bersama Diki. Tapi kenapa hari ini ia merasakan nestapa?
Rayan menampari pipinya. Ia berharap ini hanyalah mimpi buruk. Ia ingin segera terbangun lalu melihat sosok Diki duduk di sampingnya sambil membaca buku 25 Legenda Nusantara. Sayangnya tamparan itu terasa sakit dan perih. Ini bukan mimpi.
Rayan tertawa. Tertawa sumbang. Ia mentertawai dirinya sendiri. Mentertawai cintanya yang berkhianat. Mentertawai dirinya bodoh. Mentertawai sikap Diki yang sudah mencampakkannya...
Rayan lantas teringat dengan isi surat Diki lagi. Dirabanya saku celana yang basah. Kertas itu masih ada dan berbentuk bola kecil karena tadi ia remas. Dibukanya kertas itu dengan hati-hati. Tapi tetap saja kertas itu robek karena sudah basah. Bahkan tintanya sudah meleber kemana-mana. Surat itu hancur berantakan. Sama berantakan seperti suasana hati Rayan saat ini.
Rayan kembali menangis. Tapi setetes air matapun tak lagi keluar. Air matanya sudah kering. Yang terisa hanyalah perih.
Rayan berusaha mengingat kalimat demi kalimat yang Diki tulis. Kekasihnya itu tak menyinggung sedikitpun tentang pernikahan. Ia hanya menuliskan bahwa ia memulai kehidupan baru di Bermani Ilir. Kehidupan baru seperti apa?
Sepercik asa terbit di hati Rayan. Mungkinkah semua ini hanyalah sandiwara? Diki, Nenek dan Emak sudah bersekongkol untuk mengerjainya? Bukankah saat ulang tahunnya dulu Diki juga mengerjainya? Mungkinkah sekarang ia lagi terjebak dalam permainan yang sudah Diki rancang?
Rayan mengangguk-angguk. Ini bisa saja sebuah permainan sialan yang dibuat Diki. Setelah membuatnya menangis seperti orang gila, maka Diki akan muncul di hadapannya seolah-olah ia tak melakukan apa-apa.
Hati Rayan berdebar. Asa semakin besar melingkupi hatinya. Kenapa ia tak terpikir akan kemungkinan ini??
Kalau memang benar begitu, jadi dimanakah Diki sekarang?
Pikiran Rayan langsung tertuju pada Rumah Pohon.
Rumah pohon, rumah mereka. Bukankah itu tempat yang sempurna untuk melabuhkan rindu dan mengungkapkan semua rasa?
Kekuatan Rayan kembali muncul. Harapan yang meletup di dalam sanubarinya menggerakkan kakinya untuk kembali berlari. Tujuannya ke Padang Hijau.
"Dik...gue datang..." desis Rayan berkali-kali.
Padang Hijau itu masih sama hijaunya dengan lima bulan yang lalu. Bahkan sekarang rerumputan tengah berbunga. Kelopaknya kecil-kecil beraneka ragam. Merah, kuning dan ungu. Padang Hijau itu tak ubahnya lembah bunga di pegunungan Alpine. Indah dan menebarkan bau yang semerbak harum.
Rayan berlari melintasi rerumputan yang bergoyang gemulai di tiup angin. Ia tak memperdulikan semua keindahan itu. Kepalanya terlalu sibuk merapalkan nama Diki.
Semakin lama langkahnya semakin dekat dengan pohon besar yang masih tetap kokoh berdiri di tepi padang. Bunyi gemericik air pun semakin jelas terdengar dari bawah jurang sana.
Rayan berhenti tepat di bawah bayangan pohon. Dadanya turun naik. Ia mendongak ke atas, tepat di bawah lantai rumah pohon yang menyimpan kenangan cinta penuh gairah.
"Dikiiii...!!" teriak Rayan keras. "I'm coming, Beib!!"
cicit burung yang bertengger di ranting pohon menyambut seruannya.
"Dikiiii..."
Tetap sunyi senyap.
Rayan menaiki pohon dengan bantuan torehan yang dibuat Diki sebagai pengganti tangga di permukaan batang. Bekas torehannya sudah berlumut.
Rayan yakin Diki ada di dalam. Pacarnya itu sengaja tak menyahut seruannya.
"Game is over, Dik. Aku udah tahu ini semua hanya game sialan...!" kata Rayan sambil menjejakkan kakinya di teras rumah pohon.
"Dan lagi-lagi kamu berhasil membuat aku kelimpungan akibat ulahmu itu. Aku hampir saja gila dengan permainanmu ini, Dik..." sambung Rayan dengan nada gusar sambil menendang pintu rumah pohon yang tertutup rapat.
"Sekarang, keluar...lah..." suara Rayan langsung tertahan saat menatap seisi ruangan yang tanpa penghuni.
Tak ada sosok Diki yang menyambutnya. Yang ada hanya debu berterbangan, ruangan yang terasa lembab dan jaring laba-laba di sana-sini.
"Diki..." desis Rayan dengan mata nyalang.
"Diki..."
"Diki di mana?"
"Diki di mana kamu?"
"Dik, keluarlah..."
"Dik..."
"Diki..."
"DIKIIIIII....!!" teriak Rayan dengan suara parau. Ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai berdebu. Bibirnya terus memanggil-manggil nama Diki.
"Jadi...semua ini benar Dik? Kamu benar-benar udah ninggalin aku? Ini bukan permainan seperti yang aku kira? Jadi hanya sebatas ini ikatan cinta kita? Hanya sampai di sini aku bisa memilikimu? Hanya hitungan bulan saja aku jadi pemilik hatimu?
Lu tega Dik! Lu benar-benar kejam! Lu tahu kalau sangat cinta sama lu! Gue melakukan apapun agar bisa membuat lu bahagia. Gue turutin semua keinginan lu! Tapi kenapa saat gue datang lagi, lu malah pergi sama cewek sialan itu?
Lu sama aja kek yang lain! Lu nggak sama bedanya dengan lelaki di luar sana! Lu gak butuh cinta! Lu cuma ngincer harta. Lu materialistis!
Bulshit semua ucapan bersahaja lu selama ini! Lu marah sama apa yang ingin gue berikan, tapi kenyataannya apa sekarang, hah?! Lu kawin dengan perek itu demi uang! Demi merehab rumah jelek lu itu! Demi masa depan yang terjamin!
Mana bukti cinta lu ke gue? MANAAA?! Anjing semuanya! Sampah semua kata cinta lu itu! Gak ada yang bisa dipercaya!
Gue selalu mempercayai cinta kita! Tak pernah terbesit sedikitpun di benak gue untuk mendua! Tapi ternyata lu di sini menikah dengan orang lain! Cewek yang lu cinta! Sementara gue begitu bodohnya menjaga komitmen kita!
Hiks...hikss... Padahal lu tahu Dik, lu adalah tongkat gue untuk berjalan. Lu adalah pelita gue untuk melihat. Tapi begitu mudahnya lu ambil tongkat itu. Begitu entengnya lu padamkan pelita itu.
Dan sekarang gue terjatuh dalam kegelapan yang hampa, Dik! GUE JATUH! JATUH! Entah sampai kapan gue bisa bangkit lagi. Atau selamanya gue akan larut dalam kubangan kesedihan ini.
Hiks...hiks...
Baiklah, semoga lu bahagia di sana. Gue doakan yang terbaik buat lu. Biar gue yang menikmati kepedihan ini sendiri. Jadilah suami yang baik buat Niken-lu itu. Limpahi dia dengan cinta yang tulus. Manjakan ia setiap hari dengan kata-kata mesra lu itu. Binalah keluarga yang bahagia selama-lamanya. Jangan perdulikan apapun. Lupakan gue. Anggap gue nggak pernah ada! Anggap semua tentang kita hanyalah mimpi buruk yang harus lu singkirkan dari benak lu.
Gue... Gue akan berusaha menjadi Rayan yang manis. Rayan seperti lu inginkan. Tapi gue gak bisa janji. Hiks..."
Rayan memejamkan kelopak matanya. Butiran air mata merembes jatuh. Perasaannya luluh lantak. Dinikmatinya segala rasa sakit yang ada. Rasa sakit yang sudah membuat hatinya hancur tak berbentuk.
Perlahan-lahan ia buka matanya. Ditatapnya seisi ruangan yang sepi. Tangis Rayan semakin pecah saat melihat bentangan tikar dari anyaman. Tergambar lagi di benaknya saat-saat indah bersama Diki. Di atas tikar itulah mereka pernah memadu kasih. Di sana pula mereka pernah berjanji untuk terus saling mencintai. Kembali terngiang-ngiang di telinga semua kata-kata Diki yang semanis madu.
Rayan merangkak maju. Diremasnya permukaan tikar itu dengan kuat. Pandangannya juga tertuju pada tumpukan kartu Remi di pinggit dinding. Juga lampu teplok dan plastik bekas tempat keripik singkong. Semua benda-benda semakin membuat lukanya menganga. Perih itu semakin terasa.
"Dik... Semua benda-benda ini menjadi saksinya. Saksi akan perjalanan cinta kita. Benda-benda ini yang tahu persis bagaimana indahnya malam itu. Tapi sekarang, semua benda ini pula yang menjadi saksi betapa kejamnya cinta menjatuhkan gue hingga tersungkur.
Lu dengarkan kicauan burung-burung itu? Lu juga bisa dengar gemericik sungai dari bawah sana? Lu juga bisa ngerasain kan hembusan angin dari pegunungan itu? Semuanya bertanya Dik, kenapa lu tega ninggalin gue? Kenapa lu tega hancurkan cinta kita? Huuu...huuu... Kenapaaa...? Kenapaaa??"
Rayan menghapus air matanya.
"Tuhan... Jika pada akhirnya gue hanya akan mendapatkan luka yang lebih perih lagi, kenapa Engkau pertemukan dua anak manusia ini?? Kenapa kau biarkan waktu mempertemukan kami jika pada akhirnya takdir memisahkan kami? Kenapa Tuhan? Jika akhirnya akan seburuk ini, seharusnya Kau tak usah mempertemukan aku dengan dia. Tak usah kau tumbuhkan cinta di antara kami. Apa arti semua ini Tuhan? Kenapa aku harus mengecap nikmatnya cinta cuma sekejap tapi pada akhirnya nestapa berkepanjangan yang kudapat?
Ini tidak adil Tuhan. Kenapa hanya aku yang harus menderita? Apakah yang kupersembahkan untuk cinta selama ini belum cukup sehingga selalu di pihakku yang menelan pil pahit? Ooohh... Tuhaaaannn... Bebaskan akuuu, aku letih. Hati ini terlalu letih dan rapuh menerima semuanya... Aku tak sanggup selalu menjadi persinggahan cinta orang lain! Hati ini bukan terminal yang bisa seenaknya saja orang datang dan pergi. Huu...huuu..."
***
Kaki ini terasa berat untuk melangkah. Ingin rasanya selamanya berdiri menangis di bawah bayangan pohon dan mendengar segala ratapannya.
Memang aku yang salah. Aku yang kejam. Aku yang laknat. Aku memang terlalu bodoh melepaskan cinta sesempurna dia. Tapi apa dayaku. Aku harus mengalah pada keadaan.
Jangan sangka aku tak ingin bertemu denganmu. Jangan sangka aku tak ingin menatap wajahmu. Ingin sekali rasanya diri ini mengecup tangkup bibir merahmu. Ingin sekali rasanya menampakkan diri ini di hadapanmu lalu mendekap erat tubuhmu. Aku juga ingin menghapus air matamu dan menenangkanmu. Tapi diri ini tiada daya, Sayang. Aku tak mungkin melakukan semua itu. Aku memanglah pecundang yang tak akan pernah bisa menjadi pelita bagimu. Aku juga bukanlah tongkat kokoh yang bisa menopang kakimu. Aku sama rapuhnya dengan dirimu.
Maafkan aku Sayang, yang hanya bisa mematung di bawah 'rumah kita' dengan segala perih dan sesak di dada setiap mendengar ratapan serta isak tangismu. Hanya inilah yang bisa kulakukan. Tumpahkan segala kemarahanmu. Caci makilah aku sampai kamu puas agar rasa bersalah ini tak semakin menggunung. Aku menerima semua caci maki itu, Sayang. Kutuklah aku! Bencilah aku sampai semua kepedihan itu pergi dari hatimu. Setelah itu, lupakanlah aku! Lupakan lelaki tak berguna ini! Carilah lelaki lain yang bisa membahagiakanmu setiap waktu. Biarkan aku saja yang terpuruk dalam penyesalan. Biarkan aku saja yang selalu dihantui rasa bersalah karena telah mengkhianatimu. Aku memang pantas mendapatkan itu.
Menangislah sepuasnya hari ini, Sayang. Setelah itu kudoakan air mata kesedihanmu tak akan pernah jatuh lagi. Kau harus bahagia. Kau tak boleh bersedih. Cukup aku saja yang bersedih di sini. Kau tak pantas mendapatkan semua kesedihan ini.
Jika aku masih pantas meminta kepadamu, aku minta satu hal saja, Sayang... Tanpa aku, tolong jadilah Rayan yang manis. Hanya itu yang aku inginkan. Kau tetap jadi Rayan yang ceria dan menggemaskan...
Rayanku sayang, maafkan aku atas semua kepedihan ini. Cepatlah bangun dan berdiri. Hapuslah air matamu... Tinggalkan rumah kenangan kita ini, dan buatlah kenangan yang baru...
***
Kuraba bekas kaki dan tangannya dengan hati-hati. Kubaringkan tubuhku di atas tikar yang terasa lembab. Mungkin ini karena pakaiannya tadi. Dari balik pohon lain aku bisa melihat seluruh pakaiannya yang basah. Entah hal bodoh apa yang telah ia lakukan demi lelaki tak berguna macam aku ini.
Kuciumi bekas tubuhnya. Wangi tubuhnya masih sama seperti lima bulan yang lalu. Begitu memantik gairah. Akh! Seandainya saja aku punya kekuatan untuk mendekap tubuh itu...
Kupejamkan mataku. Kubiarkan angin membelai kulitku. Aku ingin bebas dari semua kesakitan ini walau sebentar saja.
Tuhan... Terbangkanlah ragaku... Bawalah aku kembali ke masa-masa terindah saat aku masih bersamanya. Dan janganlah Kau bangunkan aku lagi...
The End
@ozy_permana
@wooyoung
@littlepigeon
@cevans
@hwankyung69
@tyo_ary
@kurokuro
@newsista
@4ndh0
@kimo_chie
@adam08
@indra_hunks
@yans filan
@bladex
@the_angel_of_hell
@BB3117
@fad31
@el_crush
@karena
@angelofgay
Knp gk coba di bikin ulang lg. Ayolah... Cemungudd
eh eh eh kok main tamat aja??? lanjutin lah... yg dulu aja udah nyampe agak jauh... lanjut lanjut lanjut...
*peluk kiran*
Malah gw blom baca lanjutan yang dulu lagi .