It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lnjut lg bang yg byk...hehee
@handikautama - Bapaknya aja yang jadi dokter,, kemarin kan dah anaknya yang jadi dokter waktu yang Boggi,, hehehehe,,
@khieveihk - Monggo mas disimak,, selamat menikmati,, mohon maaf kalau banyak kekurangan ya,,
@Just_PJ - Iya apa gitu ?? hehehehe,, Rivi bang bukan Revi,,hahahaa
@erickhidayat - hahahahaha,, baunya cinta seperti apakah itu ??
@jokerz - waduh mas apanya yang diamankan dulu?? hehehe
Sekali lagi selamat membaca mohon maaf kalau banyak kekurangan ya
Suasana ruang seminar tampak ramai dengan diskusi yang hidup dan menarik. Peserta yang berjumlah tiga puluh orang terlihat antusias mengangkat tangan untuk bertanya. Dirga berdiri di depan dengan senyuman yang sungguh membuatnya tampan. Harinya menggelembung karena sensasi baru, sensasi kenikmatan yang baru pertama kali ini dirasakannya. Ia baru saja selesai menjelaskan topik prinsip penularan virus HIV.
“ Jadi yang harus diingat adalah faktor ESSE. Apa itu ESSE?? “
“ Exit, Sufficient, Survive, Enter!! “ koor seluruh peserta
“ Ya benar, penularan virus HIV terjadi bila virus tersebut keluar dari dalam tubuh dengan jumlah yang cukup, serta virus tersebut masih hidup. Dan terakhir adalah , virus tersebut harus masuk ke tubuh atau sel darah manusia,,”
Beberapa tangan serentak terangkat ingin bertanya.
“ Pak, apa berenang bisa menularkan virus HIV?? “ tanya orang perempuan muda.
Dirga tersenyum.
“ Menurut Kakak, apakah dalam berenang terdapat empat prinsip penularan itu?? “
Perempuan muda itu terdiam sejenak untuk memikirkan jawabanya,,” Hmmm,, bisa saja kan?? Virus ini keluar dari tubuh penderita dan tertelan oleh orang lain. Kan kita suka nelan air kalau pas berenang,,!!”
Serentak terdengar suara “ uuuhhhhhhh “ di dalam ruangan.
Dirga tersenyum,,, “ Oke, kita harus lihat prinsip-prinsip yang lain. Apakah virus tersebut masih hidup di air kolam?? Sedangkan tadi sudah dijelaskan bahwa virus HIV tidak bertahan lama di udara. Virus HIV hanya hidup di dalam empat cairan tubuh manusia yaitu ........... ?? Dirga menunggu sejenak.
“ Cairan darah, cairan vagina, cairan sperma dan air susu Ibu!! “ serentak semua peserta menjawab.
Dirga mengangguk puas.
Dari sudut ruangan, Gulid tersenyum bangga. Siapa sangka dalam waktu singkat Dirga bisa menguasai semua pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan membuat modul pelatihan yang mengesankan. Padahal Pria itu dulu sempat berpikir untuk mengundurkan diri, pikir Gulid geli.
Dua buah gelas berisi jus alpukat saling berdenting keras.
Ting!!!!
“ Wah, sukses training kita kali ini!! “ seru Gulid puas.
“ Bukan Cuma kali ini. Selama sebulan ini sudah ada tujuh training dan semuanya sukses,,” koreksi Dirga.
Gulid mengangguk sambil tertawa. “ Kayaknya kamu semakin menguasai pekerjaan ini ya?? “ tanya Gulid setengah meledek.
Dirga tersipu,, “ Lama-kelamaan, pekerjaan ini menyenangkan juga!! “
Gulid tertawa spontan,, “ Wah nggak nyangka. Padahal waktu itu bukan main bencinya melihat Rivi!! “
“ Hmmm,,sekarang sih kadang-kadang masih benci,,” Dirga mencibir.
“ Apalagi kalau sedang kumat judesnya,,” imbuh Gulid
Mereka berdua tertawa ngakak.
Dirga melirik jam tangannya,, “ Belum terlalu malam nih, nonton di rumahku Bang!! “ ajak Dirga.
Gulid ikut melirik jam tangannya. Sesaat rona mukanya terlihat kaget. Sebelah tangannya buru-buru merogoh tasnya dan mengambil sebuah plastik kecil. Dari plastik itu Gulid mengeluarkan sebuah kemasan kecil yang bertuliskan “ Kamis “. Didalam kemasan kecil itu terdapat tiga butir pil yang langsung ditenggaknya dalam sekali telan.
Dirga memerhatikan semua gerak-gerik Gulid tadi dengan heran.
“ Obat apa itu Bang?? “
“ Vitamin!! “ sahut Gulid tak acuh.
Kening Dirga berkerut tak percaya. “ Kok vitamin dikasih tulisan ‘ Kamis ‘ sih?? “ tanyanya masih penasaran.
“ Supaya nggak lupa. Udah ah, kok jadi ngomongin itu sih!! Ayo katanya mau nonton ke rumahmu “..
Gulid bangkit dari kursi dan segera menarik tangan Dirga.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Suati siang di hari Minggu. Mobil Dirga meluncur lambat di sepanjang Jalan Raya Mandala Bambu Pemali. Ia memegang kemudi dengan santai sambil sesekali melihat ke kiri ke kanan. Di sebelahnya, Gulid duduk sambil mengunyah apel. Sesekali Dirga melirik ke samping dengan tatapan geli.
“ Abang benar-benar sadar kesehatan ya,,” komentar Dirga.
Gulid melirik,, “ Menjaga kesehatan kan perlu Ga. Yah minimal makan buah tiap hari,,”
Dirga membelokkan mobilnya kekiri dan masuk ke daerah kota. Arus lalu lintas padat dengan sopir angkutan yang menyetir seenaknya.
“ Eh, kita mau makan dimana nih Bang?? “ tanya Dirga setelah capek berkeliling tanpa tujuan.
“ Kok aku tiba-tiba pengen Mie Ayam ya,,” celetuk Gulid
“ Iya ya, siang-siang gini enak makan mie ayam,,” angguk Dirga sambil membawa mobilnya ke warung Mie Ayam langganan.
Setengah jam kemudian mereka duduk menunggu pesanan di sebuah rumah makan Mie Ayam dan Bakso. Seorang pelayan datang mengantarkan dua teh botol. Dirga segera menyerumputnya tak sabar. Gulid geleng-geleng kepala.
“ Dirga, apa sih yang membuatmu menerima pekerjaan di Asian Care Center?? “ tanya Gulid ingin tahu.
Dirga mengernyitkan kening. Sejenak ia sibuk mencari Jawaban,, “ Sudah pasti sih karena gaji yang tinggi. Dan ternyata lingkungan kerjanya cukup menyenangkan. Yah, kecuali si bos yang kadang menjengkelkan!! “
Gulid tersenyum geli. “ Selain itu, ada alasan lain?? Misalnya, kau tertarik untuk menjadi Aktivis Peduli AIDS gitu?? “
Dirga mengerucutkan bibir sambil menggelengkan kepala.
“ Nggak ah. Untuk apa?? Kayak kurang kerjaan aja!! “
“ Maksudmu?? “
“ Sebenarnya aku nggak terlalu tertarik mengurusi HIV/AIDS ini,,”
Gulid terbelalak.. “ Hah?! Lantas kenapa kau bekerja di bidang HIV/AIDS?? “
Dirga terkekeh,, “ Sudah kukatakan, gaji yang kuterima di sini tiga kali lipat dibanding gajiku dulu,,”
“ Jadi sebenarnya kamu tidak peduli dengan permasalahan HIV/AIDS?? “ cetus Gulid.
Dirga mengangkat bahu. Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan mie ayam mereka.
“ Sebenarnya tidak ada yang sulit dalam hal ini. Toh kita sama-sama tahu perilaku bagaimana yang bisa menularkan virus ini. Semuanya perilaku yang nggak benar. Lihat saja pengguna narkoba, seks bebas atau gay adalah contoh kelompok beresiko tinggi. Coba kalau mereka menjalani hidup normal, pasti tidak akan tertular virus ini. Jadi sebenarnya wajar saja kalau akhirnya masyarakat menyebut ini sebagai penyakit kutukan,,” Jelas Dirga panjang lebar.
Gulid diam mendengarkan. Wajahnya tampak datar, tanpa emosi. Sesekali kepalanya mengangguk.
“ Berarti kau pun setuju dengan pandangan masyarakat yang menganggap AIDS adalah penyakit kutukan?? “
Dirga mengangguk sambil menambahkan sambal ke mie ayamnya.
“ Lantas menurutmu, solusi apa yang paling tepat untuk mencegah peningkatan kasus HIV ini?? ”
“ Kenapa gak dibuatkan tempat khusus untuk para ODHA?? Supaya mereka tidak bisa menularkan virusnya pada orang lain,,” usul Dirga
Gulid mendadak terbatuk. Dirga buru-buru menyodorkan botol minuman yang segera diteguk habis oleh Gulid. Dirga mengangkat tangan memanggil pelayan dan minta dibawakan sebotol minuman lagi.
“ Kamu sadar tidak, bahwa usulanmu itu secara tidak langsung telah mendiskriminasikan ODHA?? “ Tanya Gulid setelah batuknya reda.
“ Yeah terpaksa. Daripada membiarkan mereka berinteraksi dan akhirnya menularkan virus kepada orang lain?? “ sahut Dirga santai.
Gulid manggut-manggut. Beberapa menit berlalu dan keduanya sibuk dengan Mie Ayam masing-masing.
“ Ga, pernah terpikir nggak, kamu makan bersama ODHA?? “ Tanya Gulid sambil melirik temannya sekilas.
Bahu Dirga spontan bergidik,, “ Ogah!! “
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga menambahkan beberapa kalimat lagi untuk menyempurnakan modul mengenai topik stigma dan diskriminasi. Setelah selesai, dibacanya sekali lagi untuk memastikan. Memiliki bos yang selalu mencari kesempurnaan memang payah. Bikin sakit kepala saja. Setelah merasa puas dengan hasil kerjanya. Dirga segera mengirim modul tersebut ke alamat e-mail Rivi. Kemudian dibukanya inbox untuk melihat e-mail yang masuk. Sebuah email dengan subyek “ Memakan semangka tertular virus HIV “ segera menarik perhatian Dirga. E-mail yang berasal dari Fitry, teman kuliahnya itu, segera dibacanya.
********************************************************
Dirga kamu kan kerja di bidang HIV/AIDS. Betulkah e-mail dibawah ini??
Lima belas hari setelah memakan semangka, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun jatuh sakit. Ketika diperiksa dokter mendiagnosis bahwa anak itu terkena virus HIV. Orang tua anak itu tidak dapat memercayai berita tersebut. Kemudian semua anggota keluarga melakukan medical chek up. Hasilnya tidak ada yang menderita AIDS.
Dokter memeriksa ulang anak itu, apakah dia pernah memakan sesuatu. Anak itu membenarkan bahwa dia pernah memakan sepotong semangka. Segera, sekelompok paramedis dari Malaya Hospital menemui pedagang semangka itu dan melakukan pemeriksaan. Mereka mendapat jari tangan pedagang semangka itu terluka. Saat memotong semangka, darahnya menyebar ke semangka yang dipotongnya. Saat darahnya diperiksa, ternyata pedagang itu menderita AIDS, namun pedagang itu tidak mengetahuinya.
Sampai saat ini, anak itu masih menderita AIDS. Berhati-hatilah bila Anda memakan makanan yang berasal dari pinggir jalan. Silakan kirim e-mail ini kepada teman dan keluarga yang Anda sayangi.
********************************************************
Dirga tercenung membaca isi e-mail tersebut. Beberapa kali ia mengulang membacanya. Semakin dibaca, sesuatu semakin menggelitik pikirannya. Otak Dirga mulai dipenuhi kekhawatiran yang tidak ia mengerti.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Hari ini Rivi akan mengajak Dirga dan Gulid ke Yayasan Cenderawasih, yayasan yang khusus mendampingi ODHA di Merauke.
Dirga menjawil lengan Gulid saat mereka sedang mengikuti langkah Rivi ke lapangan parkir.
“ Abang pernah lihat ODHA?? “ Tanya Dirga.
Gulid menoleh sekilas. Matanya bersinar aneh,, “ Pernah, kenapa?? “
“ Mereka itu seperti apa sih?? “
“ Maksudmu?? “ tanya Gulid tak mengerti.
“ Ng........., maksudku, apa penampilan mereka sangar seperti penjahat atau dengan mata ngantuk seperti kebanyakan mata pemabuk?? “
Ekspresi wajah Gulid tak dapat ditebak,, “ Kenapa kamu menduga seperti itu Ga?? “
Dirga mengangkat bahu. “ Kan kebanyakan mereka itu pengguna narkoba jarum suntik. Atau yang melakukan seks bebas,,”
“ Tidak semuanya. Nanti kamu akan tahu sendiri,,” sahut Gulid pendek.
Dirga melirik Gulid dengan kecewa karena temannya itu tidak menjawab pertanyaannya.
Mereka berdua segera masuk ke kijang krista mengikuti Rivi yang sudah duduk di depan.
Setibanya di Yayasan Cenderawasih, Dirga melangkah lambat-lambat di belakang Gulid dan Rivi. Sesekali matanya menyapu suasana sekelilingnya. Senyum para pegawai Yayasan Cenderawasih menyambut kedatangan mereka. Sesekali Dirga balas tersenyum meskipun setengah terpaksa. Hatinya masih berdebar karena kekhawatiran tiba-tiba muncul. Bagaimana kalau ia tiba-tiba tertular virus HIV?? Hampir semua pegawai yayasan ini adalah orang-orang yang terinfeksi virus tersebut. Lalu bagaimana kalau, entah bagaimana caranya, Dirga jadi tertular?? Hatinya mulai bergedik ketakutan. Ia tidak ingin mati konyol akibat tertular virus HIV.
Gulid sesekali melirik Dirga dengan kening berkerut.
“ Kamu kenapa Ga?? Kok tegang begitu?? “
Dirga menggeleng kaku.
“ Kenapa kedua tanganmu dimasukkan ke saku?? “ tanya Gulid heran.
Dirga diam, tak menjawab.
Rivi membawa mereka ke sebuah ruangan besar yang digunakan sebagai ruang rapat. Bu Lita ketua Yayasan Cenderawasih, menyambut mereka dengan senyuman lebar. Beberapa pegawai sudah berkumpul di ruangan itu. Bu Lita membuka pertemuan dengan mengucapkan terima kasih atas kedatangan Asian Care Center, kemudian menjelaskan sejarah berdirinya Yayasan Cenderawasih. Selanjutnya Rivi memberikan sambutan dan menjelaskan maksud kedatangan mereka. Asian Care Center menawarkan program kerjasama dengan Yayasan Cenderawasih dalam melakukan tugas penyuluhan. Rivi juga memperkenalkan Dirga dan Gulid sebagai konsultan Asian Care Center yang akan berkoordinasi dengan Yayasan Cenderawasih.
“ Nah, gantian saya yang akan memperkenalkan teman-teman dari Yayasan Cenderawasih,,” ujar Bu Lita sambil mulai menyebutkan karyawanya satu per satu.
Dirga mengangguk tersenyum sembari menatap satu persatu wajah yang hadir di ruangan itu. Tampaknya Yayasan Cenderawasih tidak memilik banyak karyawan. Pak Rusdi sebagai koordinator program berusia sekitar tiga puluhan. Disampingnya ada Reni sebagai koordinator tim penyuluh. Duduk dibelakang mereka adalah Andi, Alfred dan Dini.
“ Nah Dini ini baru bergabung di sini. Baru sekitar dua bulan. Jadi mungkin untuk beberapa waktu dia hanya akan mendampingi, belum turun langsung untuk memberikan penyuluhan,,” ujar Bu Lita.
Sesekali Dirga melirik Bu Lita dengan kagum. Ia tidak menyangka dengan dedikasi Bu Lita.
Rivi hanya mengangguk maklum.
Setelah berbasa-basi sejenak, pintu terbuka dan masuk dua orang pegawai yayasan membawa minuman dan beberapa piring berisi makanan kecil. Dirga menelan ludah diam-diam. Hatinya yang sejenak mulai tenang kini kembali berdegup kencang. Matanya tak henti mengawasi saat kedua pegawai itu menuangkan teh dari teko ke cangkir-cangkir kecil. Ia juga terus memperhatikan saat pegawai itu menyodorkan beberapa piring berisi jajanan tradisional ke hadapan mereka. Sepertinya makanan ini di beli diluar, pikir Dirga menenangkan diri. Setelah semua minuman dan makanan terhidang, Bu Lita mempersilakan tamunya mencicipi.
“ Ayo dicoba. Ini buatan teman-teman di Yayasan ini lho!! “
Glek!! Dirga spontan menelan ludah kaget. Tangannya yang sudah sempat terulur mengambil sepotong risoles mendadak berhenti. Gulid menjawil lengannya.
“ Sssttt, kamu kenapa sih?? “
Rivi juga menatap Dirga dengan alis nyaris bertaut.
“ Ayo, dicoba makanannya. Enak-enak lho. Mereka sudah sering membuat makanan seperti ini, “ promosi Bu Lita ketika melihat keraguan Dirga.
“ Sssssssstttttttt, ambil tuh risolesnya. Jangan pasang muka begitu donk!! “ desis Gulid galak.
Dirga tersenyum jengah kerah Bu Lita. Sambil mengangguk sekilas, tanganya mengambil risoles tadi dan segera memasukkannya ke mulut.
“ Aku sakit perut, mau ke toilet,,” bisik Dirga sembari lari ke luar ruangan. Masih sempat didengarnya suara Gulid meminta maaf untuknya.
“ Dirga mau ke toilet Bu,, biasa dari pagi perutnya memang tidak enak.........”
Setelah bertanya kepada seorang pegawai tentang lokasi toilet, Dirga segera berlari dengan mulut penuh. Di dorongnya pintu toilet setengah tak sabar, kemudian dikuncinya dua kali. Setelah membuka tutup kloset, ia berdiri setengah menunduk.
“ Hueeekkkkkkkkkk!! “ Risoles yang tadi dimasukkannya ke mulut sudah berpindah ke dalam kloset berikut sebagaian isi perutnya. Perutnya yang mual sedari tadi mulai bereaksi. Muka Dirga pucat dan merah. Bayangan orang-orang penderita HIV yang sedang menggulung adonan risoles semakin membuat kepalanya pusing. Beberapa kali ia terpakasa membuka mulut karena seluruh isi perutnya mendesak keluar. Beberapa menit berlalu, Dirga mulai kelelahan, perutnya kosong dan kepalanya mulai pusing. Setelah selesai, Dirga segera keluar dari toilet dan mencuci tangannya di wastafel berulang-ulang dengan sabun.
“ Kakak nggak apa-apa kan?? “ sebuah suara terdengar dari belakang Dirga. Spontan ia menoleh. Dini berdiri di ambang pintu dengan tatapan sulit dimengerti.
Dirga mengangguk sambil buru-buru memutar keran air dan segera kembali ke ruang rapat diikuti tatapan tajam Dini.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Kejadian di Yayasan Cenderawasih kemarin masih membekas di kepala Dirga. Masih mengganjal, tapi ia bingung harus berbuat apa atau bertanya pada siapa. Rivi?? Sama saja dengan menyerahkan kepalanya bulat-bulat untuk ditebas atau dipecat dengan paksa. Gulid?? Sama saja. Sahabatnya itu selalu over sensitif kalau Dirga menanyakan sesuatu yang tak biasa tentang ODHA. Sementara kalau dipendam terus, lama-lama kepalanya bisa pecah.
Dirga kembali membuka lembar demi lembar buku tentang HIV/AIDS yang ketebalannya melebihi bantal. Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan tak sabar. Kemudian berubah menjadi gerakan panik. Sudah dicari-carinya tapi tidak ada satu pun penjelasan yang memuaskan mengenai risiko memakan makanan yang di masak ODHA atau bersalaman dengan ODHA. Secara logika, kedua tindakan tersebut tidak memiliki risiko sama sekali. Tapi entah kenapa pikiran Dirga sulit menerimanya. Seperti ada ketakutan yang tidak dimengerti muncul dari alam bawah sadarnya. Ketakutan bahwa sewaktu-waktu ia akan terinfeksi HIV dari ODHA yang ada disekitarnya. Apa lagi Yayasan Cenderawasih akan bekerja sama dengan Asian Care Center dan itu berarti intensitas pertemuannya dengan ODHA akan bertambah. Bagimana kalau terjadi penularan saat mereka sedang bekerja bersama, atau saat diskusi serius dan tak sengaja virus HIV menular melalui udara yang keluar dari mulut?? Tubuh Dirga bergidik seketika. Sontak kedua telapak tangannya menutupi wajah dengan penuh ketakutan.
Hari demi hari berlalu, Dirga semakin dicekam perasaan takut yang tak menentu. Hingga akhirnya pagi ini ia memilih berbicara dengan Papanya.
“ Pa, pernah nggak Papa ketemu dengan ODHA?? “ Tanya Dirga sambil menyodorkan secangkir teh untuk papanya.
Dr, Poernomo memandang putranya dengan heran. Senyuman terukir tipis di bibir.
“ Pernah “,, jawabnya kalem.
“ Terus, Papa ngapain dengan dia?? “
Senyum Dr Poernomo berubah menjadi senyuman geli.
“ Ya nggak ngapa-ngapain. Memangnya kenapa nak?? “
Dirga menghela napas. Pikirannya masih galau,, “ Beberapa hari yang lalu Rivi mengajak aku dan Gulid ke Yayasan Cenderawasih. Rencananya Asian Care Center akan bekerjasama dengan mereka di setiap kegiatan penyuluhan kami. Jadi untuk ke depannya nanti, setelah program Asian Care Center selesai, Yayasan Cenderawasih yang akan meneruskannya. Itu salah satu strategi untuk kelangsungan program Pa,,,”
Dr, Poernomo manggut-manggut mendengarkannya.
“ Lantas apa hubungannya dengan ODHA?? “ Tanyanya tak mengerti.
“ Sebagian besar hampir semua pegawai yayasan itu adalah ODHA, Pa!! “
“ Iya,, Papa tahu, lantas?? “ Dr. Poernomo menatap putranya heran.
“ Kemarin itu kami disuguhi teh dan makanan. Makanannya dibuat oleh mereka,,”
“ Wah, bagus itu, Memberdayakan ODHA yang pintar masak,,,” jawab Dr Poernomo santai.
Dirga menggertakkan giginya kesal.
“ Papa ini ngerti gak sih?? Aku terpaksa minum teh itu dan memakan makanan yang disuguhi mereka, meskipun akhirnya risoles itu kumuntahkan juga. Tapi pasti ada sebagian yang terlanjur tertelan! “
“ Kenapa terpaksa?? Kalau memang enak, ya dinimati saja. Nggak perlu sampai dimuntahkan. Nggak mungkin seburuk itu kan rasanya?? “ Dr Poernomo tertawa kecil.
“ PAPA!! Yang membuat kue itu ODHA!! Bagimana kalau aku tertular HIV dari mereka?? Aku juga bersalaman dengan mereka, meskipun aku sudah cuci tangan pakai sabun!! “ jerit Dirga setengah frustasi.
Dr Poernomo menatap putranya heran.
“ Tertular virus HIV hanya karena kamu memakan masakan yang dimasak ODHA?? Memangnya kamu nggak tahu cara-cara penularan virus HIV?? Selama ini kamu kan yang membuat silabus pelatihan dan memberikan pelatihan mengenai informasi HIV/AIDS?? Kenapa sekarang kamu jadi ketakutan begini?? “
“ Iya,, Tapi........”
“ Penularan HIV kan hanya melalui pertukaran cairan darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu, Nak !! Kamu juga tahu perilaku apa yang berisiko tinggi dan perilaku apa yang tidak berisiko sama sekali,,”
“ Iya sih Pa, tapi kami nanti akan bekerja bersama, berpartner dengan yayasan itu,,”
“ Tapi bekerja bersama kan tidak berisiko sama sekali, Dirga. Apalagi memakan makanan yang dimasak mereka atau sekedar bersalaman. Kamu tahu betul tentang itu kan?? “
Dirga menunduk menekuri piringnya yang masih penuh berisi nasi goreng, Raut mukanya masih terlihat gundah, Dr Poernomo tersenyum maklum.
“ Dirga, Papa mengerti perasaanmu. Meskipun kelihatannya mudah, sebenarnya pekerjaan ini berat untukmu. Apalagi masih banyak stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman ODHA. Karena kamu sudah tahu informasi yang benar, maka kamu bertanggung jawab meluruskan persepsi yang keliru itu. Bukan justru ikut mendiskriminasikan mereka “
“ Aku nggak mendiskriminasikan mereka kok!! “
“ Lantas apa namanya kalau bukan diskriminasi saat kamu memuntahkan makanan itu hanya karena yang memasak adalah ODHA?? Apa bukan diskriminasi juga saat kamu mencuci tangan setelah bersalaman dengan mereka?? “
Dirga terdiam. Kepalanya tertunduk lesu.
“ Pekerjaanmu ini bukan sekedar kerja Dirga. Lakukanlah dengan hati, maka kamu akan mengerti,,” ujar Dr Poernomo sambil menepuk pundak putranya sebelum pergi ke ruang kerja meninggalkan Dirga yang masih termangu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga memeriksa sekali lagi laporan mengenai pelaksanaan training minggu lalu. Setelah sempurna, segera dikirimnya ke alamat e-mail Rivi. Kemudian Dirga membuka inbox untuk melihat e-mail yang masuk. Tidak ada e-mail baru. Mendadak perhatian Dirga tertuju pada e-mail dari Fitry. Seingatnya e-mail ini belum dibalasnya. E-mail ini juga yang semakin menambah keraguan di hati Dirga. Sebelum Fitry meneruskan e-mail ini ke semua orang dan menimbulkan keraguan yang sama, lebih baik dibalas sekarang.
********************************************************
Halo, Fitry
Maaf karena lama tidak membalas e-mailmu.
E-mail forward-an ini sama sekali nggak benar.
First of all, siapa sih yang mau membeli sesuatu jika tangan penjualnya berdarah?? Atau memakan sesuatu yang ada noda darahnya?? Pliss deh, memang kita vampir??!!
Lagi pula masa inkubasi virus HIV itu antara 3-6 bulan. Jadi nggak benar bangat kalo baru 15 hari udah tertular dan langsung ketahuan hasilnya. And please, itu nama-nya terinfeksi virus HIV, bukan karena penyakit AIDS.
Lain kali, sebelum meneruskan e-mail seperti ini, cek lagi ya. Informasi yang menyesatkan bisa membuat orang semakin takut tidak beralasan terhadap ODHA. Oke??
Cheers,
Dirga
Sebuah gulungan kertas melayang dari meja Dirga dan mendarat manis di kepala Gulid, diikuti gerakan Dirga yang mencondongkan kepalanya.
“ Sssttt.......!! Jadi nggak Bang mau cari celana?? “ bisik Dirga.
Dirga menoleh sembari mengerjapkan mata,, “ Jadi dong, tapi kita makan dimana?? “
“ Hmmm, mau makan mie ayam lagi......?? “
Bibir Dirga berkerut tanda keberatan,, “ Terus-terusan makan Mie Ayam bisa gempor nie perut,,!! “
“ Ikan bakar?? “ kedip Dirga.
Gulid spontan mengangguk sambil tersenyum lebar.
Dirga kembali menatap layar laptop, mencoba konsentrasi di menit-menit terakhir jam kantor hari itu, tapi tak berhasil karena di detik berikutnya gantian segumpal kertas yang mendarat di kepalanya. Ia menoleh dan melihat cengiran Gulid.
“ Menurutmu, kemeja itu kubeli saja atau nggak, ya?? Tanya Gulid menimbang-nimbang.
“ Beli, saja. Keren lho!! “
“ Tapi modelnya kuno banget,,”
“ Hmm,,, gak kuno ko Bang, pakai kemeja itu abang pasti seksi,,” Dirga mengedip nakal. Sebuah gulungan kertas kembali mendarat di kepala Dirga diikuti kikik geli Gulid.
“ Atau bahasanya si Rivi ke Luna kemarin,, Oohhhh, seksi sekali baju mu hari ini !! “ Dirga berdiri dari kursi dan mengembangkan kedua tangannya penuh gaya. Dirga semakin terkikik.
“ Apa yang seksi?? “ Sebuah suara berat mendadak membungkam mulut Dirga dan Gulid. Serentak mereka menoleh ke pintu yang sudah terbuka dan melihat senyum si bos yang menggoda.
Gulid dan Dirga terdiam dengan muka merah. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyiksa buat kedua Pria itu, tapi menyenangkan buat Rivi. Apalagi melihat kulit putih Dirga yang akan bersemu merah setiap Dirga salah tingkah atau marah, pertama kali bertemu Dirga, sebenarnya Rivi merasa bingung dengan kulit putih Dirga yang seorang pria. Akhirnya Rivi berdeham.
“ Well, aku Cuma ingin minta tolong. Mobiku mogok dan sopir kita menyuruhku untuk naik kendaraan umum. Tapi aku ragu dengan kendaraan umum di sini. Kamu tidak keberatan mengantarku ke hotel Dirga?? If you don’t mind............” pinta Rivi dengan suara lembut.
Dirga terdiam bingung. Gulid yang melihat hal itu segera merespons.
“ Pasti Dirga tidak keberatan, Rivi. Kebetulan kami juga mau makan ikan bakar dulu untuk makan malam. Mungkin kau mau bergabung dengan kami?? “
Dirga spontan melirik tajam ke arah Gulid, tapi yang dilirik pura-pura nggak tahu.
“ Wow good idea. Sejujurnya saya mulai bosan dengan makanan hotel. Oke, sampai jumpa nanti ya!! “ sambut Rivi antusias sebelum menutup pintu.
Sepeninggalan Rivi, Dirga spontan mendelik ke arah Gulid.
“ Abang gila ya, pakai ngajak-ngajak preman itu segala!! Pokoknya kita antar dia ke hotel, terus kita lanjutkan acara kita!! “ Dirga berkeras.
Gulid merangkul bahu temannya dengan gaya membujuk,, “ Ayolah, sesekali ngajak dia kan nggak masalah. Siapa tahu bos kita orangnya menyenangkan?? “
Dirga mencibir,,, “ Kalau dia menyenangkan, nggak mungkin aku pernah terpikir untuk resign,,”
Gulid tertawa,,,” Itu sih memang salahmu yang belum tahu cara membuat modul. Sekarang kanmalah jadi konsultan favoritnya kan?? “ ledek Gulid.
Dirga melengos, malas menanggapi celotehan Dirga.
“ Ga,, awas lho,, kalau benci banget jadi cinta,, heheheh,,”
“ Abang,, mana mungkin cowok cinta sama cowok,,” Dirga berkata sambil melempar pulpen ke arah Gulid.
********************************************************
Dear Dhio
Ada sesuatu yang masih mengganjal mengenai sikap pria itu terhadap ODHA, meskipun akhir-akhir ini sudah ada perubahan. Bisa kurasakan perubahan itu.
Anyway, hari ini mobil kantor mogok. Sopir menyuruhku naik kendaraan umum. Untung pria itu bersedia mengantarku ke hotel. Konsultanku yang satu lagi malah menyarankan kami makan malam dulu. Thank God. Karena makanan hotel nyaris membuatku bunuh diri.
Apa kabarmu hari ini, dear??
_Rivi_
********************************************************
Setengah jam kemudian,,,
********************************************************
My dearest Rivi,
Sikap Pria itu “ biasa “ kok, and you know that very well, don’t you?? Itu merupakan satu dari sekian banyak tantangan yang harus kamu dan mereka yang berkecimpung di bidang ini hadapi.
Jangan pernah menyerah, Sayang. Kamu memiliki seluruh dukunganku!!
Oh ya, selamat mencoba makanan lokal bersama kedua konsultanmu. By the way, aku baik-baik saja.
Love,
Dhio
********************************************************
Pondok Bambu adalah tempat makan yang dekat dengan Masjid Raya, kami sengaja memilih tempat itu karena suasana malam yang banyak terdapat pasar kaget. Dirga memarkir mobilnya di tepi jalan. Pengunjung Podok Bambu mulai ramai. Tempat duduk mulai terisi semua. Gulid bergegas menuju sebuah meja yang masih kosong.
“ Ga, pesankan aku gurame bakar ya. Biar aku yang jaga meja, ntar diambil orang!! “
“ Kamu mau makan apa?? “ tanya Dirga ke arah Rivi. Lelaki itu berpikir sejenak.
“ Hmm, aku sedang tergila-gila nasi goreng sih,,”
“ Oke, kuanggap itu menu pilihanmu,,” sahut Dirga cepat dan segera memesan nasi goreng dan gurame bakar untuknya,,”
Setelah itu mereka kembali ke meja.
“ Hmm, aku kok nggak tahu ada tempat seperti ini di dekat kantor kita ya?? Kalau tau begini, setiap makan siang aku kemari,,” jelas Rivi.
“ Sayangnya, tempat ini Cuma buka sore hari,,”
Rivi menatap Gulid tak percaya,, “ Kenapa?? “
“ Ya karena memang begitu,,” jawab Gulid sambil mengangkat bahu.
Tak lama pesanan mereka datang. Tiba-tiba Gulid menjawil lengan Dirga. Kepalanya mengedik ke arah meja di sebelah mereka. Sepasang kekasih sedang makan sepiring berdua. Dirga tersenyum menggoda ke arah Gulid.
“ Kenapa Bang?? Kepingin ya?? Makanya cari pacar!! “ ledek Dirga.
Rivi ikut melirik kearah meja yang jadi perbincangan kedua pria itu.
“ Aku Cuma terpikir, andai salah seseorang dari mereka HIV positif, tidak bakalan deh ada kemesraan seperti itu,,” cibir Gulid.
“ Oh ya?? “ Rivi jadi ingin tahu pendapat Gulid.
“ Of course. Di sini stigma dan diskriminasi masih kuat. Kebanyakan orang masih menganggap AIDS itu penyakit kutukan. Penyakit moral. Jangankan sepiring berdua, berbicara saja orang masih enggan!! “ ujar Gulid lugas.
Rivi manggut-manggut mendengarkan. Dirga terdiam, salah tingkah. Kata-kata Gulid seperti sedang menyindirnya. Menyindir kenaifannya dulu saat mereka berkunjung ke Yayasan Cenderawasih. Juga prinsip konyolnya saat mereka ngobrol di tempat mie ayam dulu. Tapi itu kan dulu, saat pemahamanku mengenai informasi HIV/AIDS belum terlalu mendalam, Dirga membela dirinya. Untungnya, Gulid tidak tahu apa yang terjadi di toilet saat itu
“ Stigma dan diskriminasi ada di mana-mana, Gulid. Bahkan di lingkungan yang orang-orangnya sangat memahami isu HIV/AIDS dan prinsip penularannya, diskriminasi tetap terjadi,,” Jelas Rivi.
“ Kenapa bisa begitu?? Bukankah semuanya tergantung pada pemahaman seseorang?? Semakin mereka tahu, seharusnya semakin mengerti,,” Bantah Dirga.
Rivi tersenyum kecil. “ Seharusnya memang begitu. Tapi pemahaman dan perilaku adalah dua hal yang berbeda. Misalnya saja, berapa persen sih orang yang menghentikan kebiasan merokok setelah mengetahui dampak merokok terhadap kesehatan?? Tidak sampai 40 persen. Nah, apalagi kalau sola AIDS, aspek norma agama dan budaya ikut terlibat,, “
Dirga dan Gulid mengangguk mengiyakan.
“ Jadi tantangan program ini sangat besar. Strategi dan pelaksanaan yang jitu dari kalian berdua sangat dibutuhkan,,”
“ Setuju. Tapi tergantung bagaimana caramu sebagai bos menghargai kinerja kami,,” sambar Gulid.
Rivi terperangah kaget. Dirga mencubit lengan Gulid yang tersenyum manis dan lugu.
“ not hard feeling. Boss. Just joking!! “
Rivi tersenyum, tak mampu memberi jawaban.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Jam menunjukan pukul sembilan malam ketika mobil Dirga berhenti di depan lobi hotel. Rivi turun dari pintu belakang. Sejenak ia berhenti di samping pintu depan.
“ terimakasih banyak Dirga, malam yang menyenangkan bersama kalian,,”
“ Bye,, Rivi!! “
“ Hati-hati di jalan ya,,” kata Rivi.
Setelah saling melambatkan tangan, mobil Dirga bergerak meninggalkan area salah satu hotel termegah di Merauke itu. Setelah cukup jauh, Dirga menoleh ke arah Gulid.
“ Abang gila, mengajaknya belanja di pasar kaget tadi,,”
“ Heheheh,,sesekali mendapatkan opini ke-tiga dari bos saat belanja kan seru juga,,” celoteh Gulid.
“ Biasanya Abang kalau pergi belanja atau jalan-jalan dengan siapa?? “ tanya Dirga ingin tahu.
“ Dulu sih bareng teman-temanku. Tapi beberapa tahun terakhir ini aku selalu sendiri,,”
“ Memang teman abang pada kemana?? Sudah menikah semua?? “
“ Yah, begitulah,,” sahut Gulid datar. Dirga menoleh. Jawabannya Gulid selalu saja begitu setiap obrolan mereka menyerempet soal kehidupan.
“ Kalau kamu dengan siapa Ga?? “ Giliran Gulid bertanya.
“ Lebih senang sendiri. Terlalu banyak orang, terlalu banyak opini nanti, malah semakin membingungkan,,”
Gulid tertawa,,” Pacar?? “
Dirga menggeleng,, “ Belum ada yang cocok,,”
“ Masa sih?? Kamu mencari yang seperti apa?? Seperti Papamu ya?? “ tebak Gulid sambil tertawa,,
“ Abang kalau jenis kelamin mah nggak mungkin kaya Papa, tapi dia harus pintar, cerdas dan bijak seperti Papa dan cantik seperti Mama,,”
Gulid tertawa. Matanya menatap Dirga iri,, “ Hubungan kalian berdua sangat erat, ya?? “
“ Maksudmu, aku dan Papaku?? Kayaknya sih iya, lagi pula sejak Mamaku meninggal, kami hanya tinggal berdua. Tidak memiliki siapa-siapa lagi,,”
Gulid melemparkan pandangan ke luar jendela mobil. Air matanya merebak.
“ Sering kali perasaan senasib dapat membuat hubungan semakin erat,,” bisiknya lirih. Sesuatu mengusik dirinya.
Dirga mengangguk. “ Senasib dan Cinta, mungkin?? “
“ Yah, senasib dan cinta,,” tegas Gulid. Setetes air mata jatuh di pipinya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga mematikan lampu kamar dan menghidupkan lampu tidur. Senyum cerah terukir di bibirnya. Malam ini terasa menyenangkan buatnya. Bukan hanya karena acara belanja bareng Gulid, meskipun itu bisa menjadi alasan yang cukup valid. Sudah beberapa tahun terakhir ini Dirga tidak memiliki teman untuk sekedar hang out dan ngerumpi. Sahabatnya waktu kuliah dulu mulai sibuk mengurus kehidupan pribadi masing-masing. Demikian juga Dirga. Tapi karakter Dirga yang hangat dan senang bercanda membuat Dirga betah berteman dengan pria itu. Apalagi sikap Gulid yang beberapa hal jauh lebih dewasa dan bijak seakan menghadirkan figur seorang kakak yang tidak pernah dimiliki Dirga. Andai Dirga bisa meminta seorang kakak, maka sosok Gulid-lah yang ia inginkan.
Tapi bukan itu sepenuhnya alasan senyuman Dirga terukir malam ini. Kehadiran Rivi yang tidak diinginkan dan tidak sepenuhnya benar-benar mengusik hati Dirga. Mengusik?? Hmm, sepertinya kata “ mengusik “ terlalu bombastis. Lantas kata apa yang tepat untuk menggambarkan perasaan Dirga setiap melihat raut muka Rivi yang terkadang serius, santai dan sesekali tersenyum menggoda.
Dirga menutup wajahnya dengan bantal. Duh, kenapa tiba-tiba ia bertingkah seperti remaja yang kasmaran begini?? Padahal umurnya sudah 27 tahun. Lagi pula, Rivi itu laki-laki dan juga manajernya. Tepatnya, manajer yang menyebalkan, pemarah dan suka membentak. Kalau tidak ada Gulid dan tidak dibujuk Papanya, pasti Dirga sudah sejak dulu mengundurkan diri. Tapi akhir-akhir ini Rivi kan tidak pernah marah lagi, sudut hati Dirga membela. Tapi tetap saja itu tidak bisa menghapus perlakuan Rivi padanya dulu, Dirga masih ngeyel. Beberapa saat terjadi pertentangan di hati Dirga mengenai Rivi. Hingga akhirnya ia mulai letih dan kantuk semakin menyerang.
Bagaimanapun perlakuan Rivi, tetap saja sudut bibirnya terlihat sangat seksi saat lelaki tersenyum, bisik hati Dirga akhirnya sebelum terlelap.