It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mention gue ya bang kalo update #cipooook
Boggi mengecek penampilannya dengan cepat di spion depan sebelum keluar mobil. Boggi mengumpulkan berkas jurnal terjemahannya, beberapa textbook penyakit bedah yang mau dipinjam Julian, dan memakai jas putihnya. Kemudian Boggi keluar mobil, siap memulai hari di Rumah Sakit. Jam ditangan baru menunjukan pukul enam limabels menit, Boggi masih memiliki waktu untuk berjalan santai menuju ruang konferensi. Setiap pagi, di bagian UGD selalu dilakukan presentasi kasus malam sebelumnya yang dilakukan oleh dokter umum jaga UGD, dihadiri oleh seluruh dokter umum dan dokter spesialis. Menurut Boggi itu merupakan rutinitas yang cukup baik. Mereka bisa saling belajat kasus yang dihadapi teman sejawat lain, mengoreksi jika ada penanganan yang kurang tepat, mencotoh cara terapi yang baik, dan membagikan ilmu terbaru tentang pengobtan dan tindakan medis. Ilmu – ilmu lama yang sudah usang bisa diperbarui, demi pelayanan yang optimal kepada pasien. Dokter-dokter spesialis di Rumah Sakit itu pun sangat komperatif. Mereka tidak memandang juniornya sebelah mata. Bimbingan dan konsultasi selalu diberikan dengan ramah dan terbuka. Suasana kerja di Rumah Sakit itu membuat Boggi betah selama satu tahun ini.
Kesibukan Rumah Sakit pagi itu sudah mulai terasa, sesuatu yang selalu menakjubkannya. Rumah Sakit tidak pernah tidur, duapuluh empat jam, kegiatan selalu berjalan. DI UGD, pasien tidak ada putus – putusnya masuk untuk ditangani. Di bangsal, selalu ada pasien baru yang masuk atau pasien lama yang bermasalah. Di ruang persalinan, setiap saat terlahir jiwa baru. Dan di beberapa tempat, beberapa jiwa meninggalkan dunia dengan tenang. Sungguh pembelajaran siklus hidup yang luar biasa.
Boggi tersenyum, menyapa petugas oksigen yang berpapasan dengannya, hendak mengambil persedian oksigen di tabung oksigen raksasa dekat lapangan parkir. Pak Jon pagi ini kelihatan lelah, tapi tetap bersemangat mendorong tabung yang beratnya puluhan kilo, mungkin melebihi berat badannya sendiri. Boggi berjalan melewati pintu UGD, berpapasan dengan seseorang kakek yang nampak sesak nafas dengan selang oksigen terpasang menutupi mulut dan hidungnya, didorong diatas brankar. Di tangan kirinya terpasang selang infus. Pak Wito, satpam jaga, membantu Galih, perawat jaga malam, mendorong pasien ke dalam UGD. Hmmmm,,,,,,,,,,, Pasien gangguan nafas akut. Mungkin asma atau Penumpukan cairan pada paru (udem pulmo), batin Boggi.
“ Selamat pagi dokter Boggi,,,” Sapa pak Wito ramah, Boggi tersenyum manis.
“ Pagi pak Wito, pasieb rujukan ?? “ Boggi bertanya sambil ujung matanya melirik ke pasien di atas brankar. Pak Wito mengangguk.
“ Iya dok,, kiriman dari Wonosari,,” Jawab Pak Wito. Boggi mengangguk maklum. Ia menyapa pasien, berbincang sejenak, lalu pamit sambil memberinya senyuman,, “ Semoga cepat sembuh,, “,, Kakek itu mengangguk dan tampak senang walau kepayahan menghirup oksigen dan maskernya. Kemudian Boggi mengucapkan selamat bekerja kepada Pak Wito dan Galih, dan berjalan terus menuju ruang konferensi di bagian belakang bangunan UGD.
“ Sudah pak Wito, bantuin sayamindah pasien,,” Galih mengalihkan perhatian Pak Wito yang terus menatap punggung dokter Boggi, Pak Wito tersadar.
“ Iya,, as Galih, Dokter satu itu ramah sekali. Senang saya lihatnya. Apalagi kalau sama pasien. Wah.. kalau semua dokter banyak begitu, saya rasa tidak ada pengaduan dokter malpraktek ya,, “ Pak Wito mengomentari sambil membereskan ujung selimut Kakek itu, siap mengangkatnya. Galih mengangguk setuju, mengatur selang oksigen yang membelit tiang infus.
“ Memang kalau menurutku ya pak, di antara dokter umum yang jaga disini, dokter Boggi itu paling perhatian sama pasien. Penjelasannya juga enak diterima pasien, jadi jarang ada pasien yang komplain karena kurang paham atau salah pengertian. Dia juga mau kalau ditanyai perawat, suka ngajarin githu, Pinter enak ngejelasinnya... “ Galih menambahkan. Sekarang mereka siap untuk memindahkan Kakek itu dari branker ke tempat tidur UGD.
“ Oke,,siap dipindah ya pak,,,, pelan-pelan pak,,, geser kita bantu angkat,,,”
Ruang konferensi mulai ramai. Lima menit lagi konferensi dimulai. Boggi masuk dan mengambil posisi di barisan dokter umum jaga, bersebelahan dengan Julian. Baru saja duduk, dokter Nia mendatanginya.
“ Pagi Boggi,, jurnal stroke yang kemarin aku titipkan ke Ira sudah sampai kamu ?? “ Tanyanya ramah. Dokter Nia adalah dokter spesialis saraf baru dirumah sakit ini, baru enam bulan yang lalu ia lulus pendidikan spesialis.
“ Oh sudah mbak,, yang sepuluh lembar kan ?? “
“ Iya aku minta tolong diterjemahkan ya Gi,,untuk presentasi journal reading minggu depan,,,” Boggi mengangguk tersenyum, dokter Nia balas tersenyum.
“ Thanks banget Boggi,,,,,,, “
“ Sama-sama mbak, saya juga senang kok, sekalian belajar,,,”
Sepeninggalam dokter Nia, Boggi membuka buku agendanya, menambah satu lagi item ‘ terjeman journal storke ‘ di deretan panjang daftar must to do – nya. Sebagian sudah disilangnya, yang berarti tugasnya sudah kelar. Di atasnya ternyata masih ada beberapa PR terjemahan. Jurnal diabetes titipan dokter ilyas penyakit dalam, jurnal tentang antibiotika dalam Otitis Media Akut titipan dokter Ros spesialis THT, dan laporan kemajuan pasien titipan dokter Shani. Ah,,, pasien itu,, Batin Boggi. Kalu boleh memilih Boggi lebih senang diminta menterjemahkan satu textbook daripada mengawasi pasien HIV. Sambil cemberut, dicoret coretnya poin ‘laporan pasien HIV titipan ‘ di buku. Malas sekali mengerjakannya.
“ Pagi-pagi ko cemberut Gi,,” Boggi mengangkat kepalanya,, Dokter Thomas, spesialis mata yang masih bujangan itu duduk dikursi depannya, nyengir. Boggi suka sifatnya yang ramah dan santai, Boggi memonyongkan bibirnya dan mengerutkan keningnya.
“ mana ada cembetut, siapa yang cemberut ?? “ ,,, Jawab Boggi masih dengan ekspresi wajah yang habis memakan jeruk asam. Dokter Thomas terkekeh-kekeh.
“ Dasar kamu. Gimana bisa tidak aku minta tolong dibuatkan power point untuk presentasi bulanan mata ?? “ Tanyanya santai. Alisnya diangkat-angkat. Kalau orang belum kenal, pasti mengira dokter ini centil dan suka menggoda. Padahal kebiasaan itu sudah dilakukannya tanpa sadar. Boggi mengecek agendanya sekilas,,,
“ Untuk kapan sih mas ?? “ tanya Boggi.
“ Hari Senin,, “ sekarang hari Jumat masih ada waktu dan membuat power point toh tidak butuh waktu lama.
“ Hmmm,, oke. Kasih aja bahannya di flasdisk-ku ,,,” Boggi mengangsurkan flasdisk-nya ,,” Jangan ditambahin virus ya,,” pesan Boggi galak. Dokter Thomas terkekeh lagi.
“ Iya,, iyaaaa....... mana tega aku ngasih virus. Paling adanya ngasih hamburger, project thank you buat adikku tersayang yang sering bantuin masnya bikin powerpoint,, “ godanya,, Boggi meringis.
“ Iya sayangnya mas ku yang satu ini ndeso sekali. Msa bikin power point aja nggak bisa. Kapan-kapan kuajarin aja ya, daripada tergantung terus sama orang lain,,,” gerutu Boggi dalam candanya.
“ Nggak mau ah kalau diajarin, nanti kalau sudah bisa bikin sendiri, nggak ada alasan buat nraktir kamu dong,, “ dokter Thomas ngeles.
“ Dasar aslinya malas !! “ gerutu Boggi. Dokter Thomas terkekeh geli sambil menuju kursinya di barisan belakang, bersiap mengambil data bahan yang diperlukan untuk membuat presentasi bulanan.
“ Laris amat Gi,,,” Fika,, teman sejawat dokter umum yang duduk di depannya memutar badan. Boggi mengedikkan bahu, agak malas meladeni, karena dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakannya, sayang Fika perempuan, kalau seandainya Laki-laki sudah Boggi pukul dia. Ya,, Fika memang dikenal sebagai ‘ ratu gosip ‘ suka ngomongin orang.
“ Hati-hati lho, kadang dokter-dokter ahli kita suka memanfaatkan, apalagi kalau tahu ada juniornya yang agak pinter.. “ Fika memberikan penekanan menyebalkan disini,,,” dan mau aja disuruh bantu-bantu, awalnya sih mereka sok-sok baik, tapi terus minta tolong ini itu. Terjemahin jurnal inilah, bantuin bikin presentasi itulah, titip pasienlah, lama-lama kamu diminta nganterin anaknya sekolah,, cape sendiri kamu nanti,, “ ujarnya panjang lebar, menasihati Boggi, dan Boggi mengangkat alisnya.
“ Oke,, mbak,, Thanks for warning me,, “ sahutnya dengan sedikit senyum, Fika mengangkat bahu dan menyahut lagi.
“ Yaah,, nggak apa-apa sih kalau niatnya membantu,, asal nggak dengan alasan mencari muka di depan senior ajah,,,” Ujar Vika dengan mimik menyebalkan, bola matanya dibulat-bulatkan, Boggi menghembuskan nafas sebal, mencoba meredam jengkelnya.
Look who,s talking,,batinnya geram. Baru selesai Fika menutup mulutnya, Prof Johan senior bagian anak lewat didepan barisan tempat duduk mereka. Fika langsung berdiri menyusul.
“ Ehm,, selamat pagi Prof, sugeng enjang, ini kemarin jurnal tumbuh kembang anak yang Prof minta. Ehmmm.. mungkin ada lagi jurnal prof butuhkan ?? “ Ujar Fika dengan kesopanan yang berlebihan. Badannya membungkuk-bungkuk, dan senyum yang dimanis-maniskan. Boggi memandangi dari kursinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Siapa coba yang cari muka “ gumam Boggi.
Sebelum Fika, Boggi sudah sering diperingatkan oleh teman-temannya tentang hal serupa ini. Hati-hati, kate mereka. Senior – senior itu sering memanfaatkan juniornya. Apalagi kalau juniornya itu membuka peluang. Sekali mau diminta menerjemahkan jurnal, membuatkan presentasi kasus, atau dititipi pasien untuk diawasi, besok-besok pasti terulang lagi. Karena itu banyak teman sejawat dokter umumnya yang sering menolak jika diminta tolong ini itu oleh senior, dokter umum lama atau dokter spesialis.
Boggi hanya menanggapinya dengan senyuman, Ia berterimakasih atas peringatan mereka. Tapi menurutnya, kalau memandang dari sudut pandang yang lain, pasti akan menjadi enak untuk semua. Misalnya begini, kalau mau menganggap junior dimanfaatkan oleh senior dengan mengerjakan ini itu, maka yang disarankan hanyalah beban ketika mengerjakan. Visite pasien dititipan hanya akan menjadi momen yang menyebalkan. Itu simbiosis parasitisme , Junior durugikan oleh senior. Namun kalau memandang bahwa mereka saling membantu , junior akan merasa mendapat kesempatan belajar dengan memperbolehkan junior ikut merawat pasiennya, maka yang terjadi adalah simbiosis mutualisme. Mereka saling menguntungkan. Prinsip yang kedua ini uang dianut oleh Boggi . Boggi merasa, dengan membantu senior menerjemahkan jurnal atau membantu merangkai presentasi kasus, dia mendapat kesempatan belajar. Dan lagi, jika Boggi mau membantu mereka, di kemudian hari jika Boggi konsultasi suatu kasus, mereka akan dengan senang hati menerangkan padanya. Boggi sama sekali tidak merasa dirugikan. Jadi intinya memang perspektif dan positive thinking, ujarnya dalam hati.
Boggi membereskan bawaan yang tertumpuk di kursi sebelahnya, menunggu presentasi yang sempet tertunda sebentar karena Prof Dahlan sedang menerima telepon, sepertinya konsultasi pasien dari bangsal. Ketika Boggi melihat textbook bedah yang tadi dibawanya, Boggi jadi teringat Julian.
“ Hai Ju, nih buku yang kemarin loe minta, tapi maaf gw Cuma punya Sabiston dan buku-buku saku begini,,,” Ujar Boggi sambil menyerahkan textbook yang dibawanya. Julian yang sedang menekuri agendanya mengangkat wajahnya. Jambangnya tampak belum dicukur, namun wajahnya justru terlihat sangar.
“ Eh Gi, makasih ya,, gw pinjem dua hari untuk bikin presentasi kasus meninggal ya. Pasienku yang habis operasi hernia di bangsal cempaka kemarin meninggal. Padahal dia pasiennya Prof Dahlan. Mati gua..........pasti bakal dibantai abis nih ,,, “ Julian nampak takut.
Oh,, itu sebabnya Julian sampai tidak sempet cukur jambang,, batin Boggi.
“ Meninggalnya kenapa Ju ?? Sukses kan operasinya ?? Ususnya di-reseksi (dipotong) gak ?? “ tanya Boggi.
“ nah itu gi, aku juga baru tahu riwayatnya, ternyata hernianya kemarin itu tidak dapat kembali ke susunan organ semula (irreponibel) dan sudah cukup lama ususnya kejepit di pintu hernianya, Suplai darahnya tidak bagus, ususnya tidak bertahan hidup, jadi harus dipotong sepuluh sentimeter. Gw gak ngeh, jadi ketika Pasien sudah kentut (flatus) dan nanya bisa makan nggak, aku iya-kan aja, Dua hari kemudian pasien ngeluh sakit perutnya dan........ “ Julian mengangkat bahu, tampak lemas.
Ups..... kalau begitu ceritanya, nampaknya Julian memang akan disidang, batin Boggi prihatin. Seseorang dengan usus yang baru saja dipotong memang harus bertahap dietnya. Diet cair dulu, lalu jika tidak ada keluhan dinaikkan jadi diet lunak, dan akhirnya diet biasa.
“ memangnya angka leukosit berapa Ju ?? Ada tanda – tanda peritonitis ?? “ Buru Boggi, Julian memandangnya bengong.
“ kalau sudah ada infeksi selaput rongga perut atau peritoneum, penyebab pasien meninggal bukan karena advismu meng-iya-kan makan saja kan ?? “ Boggi mencoba memberi pencerahan, Julian tersenyum lemah dengan pandangan berterimakasih.
“ Beberapa minggu ini gua memang tidak beruntung, kalau pembagian jatah visite pasien bangsal, seringnya dapat pasien Prof Dahlan. Karena gua takut, jadi kadang kalau ada apa-apa aku malah malas konsultasi ke Beliau,, ‘ Keluh Julian, Boggi hanya tersenyum simpati, menepuk punggung Julian hangat.
Prof Dahlan memang disiplin dan ketat dalam merawat pasien. Banyak dokter umum yang ngeri kalau kena giliran merawat pasien Prof Dahlan di bangsal, karena berarti harus benar – benar sesuai kaidah kedokteran yang baik, benar, dan paling update. Setiap pasien bangsal adalah pasien dokter spesialis, dan dokter umum diberi tugas untuk merawat bersama, melaporkan kondisi hariannya dan memberi usulan terapi. Kemudian, untuk keputusan terapinya adalah wewenang dokter spesialis. Pergiliran pembagian pasien dilakukan setiap seminggu sekali, hari Jumat. Hari ini.
“ kapan-kapan kalau dapat prof Dahlan, tuker aja sama gua, gua kadang malah kepingin merawat pasien bareng Prof Dahlan, selama bulan ini, bisa dihitung jari deh pasien Prof Dahlan yang kurawat,, “ kata Boggi menghibur, julian tersenyum penuh terimakasih.
“ Bener,, Gi ?? kamu emang baik banget. Kalau sekarang tukeran mau gak ?? Pasien Prof nih, post operasi angkat tumor jinak berupa penumpukan lemak di bawah kulit (multiple lipoma) di punggung. Masuk perawatan hari kedua,, “ tawar Julian penuh harap, Boggi mengangguk.
“ Boleh. Stabil nggak pasiennya ?? “tanya Boggi sambil siap mencatat di agendanya.
“ Hmm... stabil Gi,, tapi pay special attention ya, dia HIV Positif,, “ tangan Boggi berhenti mencatat.
“ Wah dengan sangat menyesal. Kalau pasien HIV positif, gw nggak mau Ju. Ada pasien lain nggak ?? “ Julian menggeleng. Boggi menutup agendanya, batal mencatat dan Julian nampak kecewa.
“ Maaf ya Ju, mungkin lain kali,,, “ Ujar Boggi manis. Julian tersenyum lemas.
“ okeh,, ehm,, Boggi,, “ Julian ingin bertanya mengapa Boggi enggan merawat pasien HIV positif tapi urung. Presentasi kasusu segera dimulai. Didepan, nampak dokter Igo yang gugup membacakan kasus selama dia jaga UGD semalam.
Satu setengah jam yang menguras keringat utuk Igo. Kasus jaganya semalam, pasien kecelakaan lalu lintas dengan cedera kepala dianggap Prof Dahlan dan dokter Nia kurang tepat penanganannya. Pasien 23 tahun, datang dengan kesadaran yang baik, namun ada riwayat pingsan di tempat kejadian selama sepuluh menit. Oleh Igo, pasien tidak dianjurkan CT Scan dan langsung dipulangkan setelah diobservasi di ruang UGD selama limabelas menit.
“ dokter Igo,, dokter Igo,, kemarin waktu koasisten, lulus stase bedah dapat nilai apa ?? “ Tanya Prof Dahlan, santai tapi serius. Seisi ruangan terdiam. Prof Dahlan bukan sedang bercanda, Igo tertawa gugup, butir – butir keringat sebesar jagung terbit dikeningnya.
“ Da,,, dapat..” Igo menulan ludah,,,, “ ..........A Prof,,,” terdengar gumaman dan sedikit tawa di seluruh ruangan. Prof Dahlan berdehem, ruangan tenang lagi.
“ Kalau begitu, Anda sudah jadi Ahli Bedah ya kan,, Bedah Thorak, bedah plastik, bedah saraf, semua lulus dengan nilai A,, “ ujar prof Dahlan,, Igo semakin menciut.
Prof melanjutkan,,, “ Sudah pernah dengar tentang istilah lucid interval ?? “ seisi ruangan diam, Prof Dahlan tampak tenang. Tapi nada suaranya tegas membuat semua hadirin mengerti bahwa Prof sedang marah. Marah untuk kebaikkan.
“ Dokter Igo,,!! “panggil Prof Dahlan, menyadarkan Igo yang nampak kalut di depan ruangan. Igo meremas – remas kertas ditangannya. Prof Dahlan menghembuskan nafas panjang,nampak prihatin.
“ Oke,, kalau belum pernah dengar yah,, siapa tahu nila A-nya dari langit,, ya kan,,,” Hadirin tertawa simpul.
“ Terangkan pada rekan – rekan sejawat, apa pertimbangan Anda memulangkan pasien, dan apa edukasi yang Anda berikan padanya ?? “ Prof Dahlan melipat tangannya di depan dada, siap mendengarkan jawaban Igo. Dengan gugup Igo mengelap keringat di jidatnya dengan kertas yang dia remas-remas sebelum menjawab.
“ Aaa...anu Prof GCS-nya empat lima enam, kesadaran pasien co,pos mentis, sadar penuh, tidak ada penurunan kesadaran, tidak pusing, tidak mual, dan tidak ada luka di anggota badan lain yang serius,,,’ Ujar Igo melemah.
“ Lalu edukasinya ?? “ geram Prof Dahlan.
“ Emm,,, saya minta pasien untuk kontrol jika pusing atau muntah-muntah,,” sahut dokter Igo terbata-bata. Terdengar gumam lagi dari kursi hadirin.
“ Lainnya ?? “ Igo tampak berpikir keras, lalu akhirnya menyerah dan menggeleng. Prof dahlan mengetuk – ngetukan jarinya disandaran kursi.
“ Dokter Igo, saya tanya satu hal,,” wajah dokter Igo menegang,,, “ Pasiennya apakah cantik ?? “ seisi ruangan tertawa, Igo juga tertawa gugup, nampak lega.
“ Cantik Prof, masih kuliah semester akhir di manajeman,,” Jawab dokter Igo cepat dan bersemangat,,tawa hadirin semakin keras.
“ Cepat sekali jawabnya ya,, coba tadi kalau saya tanya kasusu jawabnya seepat ini,, Hmm....berarti dokter tahu donk nomor handphonenya ?? “ Prof Dahlan mencondongkan badannya kedepan, Igo tampak bingung. Igo memang sempat kenalan dan mereka bertukar nomor handphone. Tapi untuk apa Prof Dahlan menanyakan hal ini ?? Igo sudah berniat mengatakan ‘ tidak tahu ‘, tapi ia Khawatir kalau jawaban itu malah semakin memojokkan dirinya. Akhirnya Igo menjawab ‘ tahu Prof ‘ secara perlahan. Seperti yang diduganya, hadirin semakin keras tertawa. Beberapa ada yang bersuit-suit. Kadang dokter, apalagi yang laki-laki dan masih bujangan, memang mencari kesempatan dalam kesempitan. Jika berjumpa dengan pasien yang bening kesempatan berkenalan tidak dilewatkan.
Yah dokterkan manusia,, batin Igo gondok,, apa salahnya ngajak kenalan ??
“ Oke bagus, sekarang saya minta seisi ruangan tenang,,” Riuh rendah mereda.
“ Dokter Igo, silakan telepon dia, ponsel Anda di set ke speaker, dan tanyakan apakah keadaannya baik-baik saja,,” Igo ternganga.
“ Ma,,, maksud Prof ?? “ Igo kebingungan. Di kursinya Boggi juga tidak menebak pikiran Prof. Tapi beginilah Prof Dahlan penuh dengan kejutan.
“ Apa permintaan saya kurang jelas,,apa perlu dengan bahasa latin ?? “ Igo mengatupkan mulutnya yang ternganga.
“ Ah,,, iya-iya Prof, jelas,, “ Sahut Igo gugup, lalu mengeluarkan ponselnya, melakukan permintaan super seniornya dengan pikiran kosong. Ruangan sunyi, menebak apa yang akan terjadi. Prof mengkode supaya mike didekatkan di speaker ponsel. Igo melakukannya dengan gugup, sejurus kemudian..........................................................
“ lay lay lay lay lay lay, panggil aku si jablay, abang jarang pulang, aku jarang dibelai,,” nada sambung pasein wanita terdengar di saentero ruangan. Terdengar cekikikan yang disamarkan menjadi batuk, Boggi menutup mulutnya kaget dan geli., Igo salah tingkah dan wajahnya sudah memerah seperti kepeting rebus., sampai kuping kanan kirinya, lalu terdengarlah suara manja.
“ Eh, halo dokter Igo,, tumben telepon, kangen ya ?? kirain dah lupa sama lehe,, eh Julie,, “ batuk-batuk semakin keras dan sering. Prof Dahlan sendiri sudah menutup mulutnya supaya tawanya tidak terloncat keluar. Lalu tanpa suara dia mengkomando Igo,, ‘ tanyakan keadaannya ‘ dan menunjuk kepalanya lalu menutup mulutnya lagi. Igo mengangguk bloon, ia sudah tidak bisa berpikir.
“ Ehm,,,dek Julie Abang mau tanya,, “
“ Eh,, boleh ni Julie panggil Abang ?? Kalau Abang dokter sayang boleh ?? “ sial, ternyata kenalan dengan cewek jablay, batin Igo gemas campur malu. Uhuk,,uhuk,,uhuk.
“ Eh,, Abang dokter sayang baru di mana sih ?? lagi periksa orang te be se ye ?? ati-ati yang bang,, nanti ketularan,, adek leha,,eh Julie nggak mau Abang dokter sakit... Nanti siapa donk yang rawat adek kalau Abang dokter sayang sakit ?? “ Igo tersedak lali terbatu – batuk sendiri.
“ Tuh kan,, dah mulai batuk-batuk ,, nanti gantian Leha,, eh Julie obatin deh,, dengan cinta,,,” ,, seisi ruangan sudah hampir tidak tahan lagi menahan tawanya. Dokter Thomas sampai jongkok di lantai dekat tempat duduknya. Dokter Dhio menggigit sapu tangannya kuat-kuat, Igo sendiri sudah hampir kencing di dalam celana, ini bukan karena menahan tawa, tapi Igo menahan malu, ini harus segera diakhiri.
Habis sudah harga diriku,,batin dokter Igo nelangsa.
“ Ehm,, dek,, Abang mau tanya kepalanya. Masih sakit nggak ?? Pingsan lagi nggak ?? “ Ujar Igo cepat. Julie atau Julieha di ujung sana mengikik manja.
“ Ohh... Kuatir sama Adek ya. Perhatian sekali Abang dokter sayang,, Adek baik- baik aja ko Bang, kan kemarin sudah Abang obatin dengan sentuhan say,,”
“ Ya udah kalau gitu. Terimakasih ya,,” sahut Igo cepat dan mematikan ponselnya. Tawa langsung meledak Prof Dahlan terbahak-bahak.
“ Gila Igo,, seleranya Jabalay,,” kekeh Julian. Pembantaiannya sedikit terlupa dengan hiburan pagi ini.
“ Iya tuh, nggak nyangka, ganteng-ganteng ga selektif juga rupanya,,” timpal Fika. Boggi sendiri tidak sempet komentar, air matanya bercucuran saking gelinya. Boggi sudah tahu dari dulu kalau Igo itu jahil dan semi buaya. Tapi kejadian kali ini benar-benar akan membuatnya berpikir dua kali kalau mau menyambar sembarang cewek. Setelah tawa mulai mereda, Prof Dahlan angkat bicara, masih dengan sisa-sisa tawanya.
“ Terimakasih, Dokter Igo. Semoga hubunganya dengan Adek Lena,, eh Julie, langgeng-langgeng saja,,” tawa meledak lagi, wajah Igo sudah tidak karuan. Prof Dahlan berdehem, mengatur nafas, ketawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Mendengar suaranya kita semua yakin bahwa pasien ini baik – baik saja,,” suasana mulai serius, ruangan kembali tenang.
“ Mugkin dokter Igo bisa menebak, mengapa saya meminta Anda menelepon pasien dengan riwayat pingsan setelah cedera kepala ?? “.. Igo menunduk, berpikir sejenak, lalu menggeleng. Sumpah, dikepalanya Igo tidak bisa menebak mengapa kesialan selalu menimpanya.
“ Ini ada hubungannya dengan lucid interval yang tadi saya tanyakan. Ada sejawat dokter umum yang bisa membantu menerangkannya ?? Dokter Boggi ?? “ Kepala Prof Dahlan berputar menghadap Boggi. Juga kepala seisi ruangan, Boggi berdehem kecil sebelum menjawab.
‘ Lucid Interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada pendarahan di selaput otak paling tepi. Pasien akan pingsan, lalu sadar penuh selama 2 s.d 3 jam, dan jika pendarahan dari arteri besar berlangsung terus, otak akan terdesak maka kesadaran pasien akan menurun lagi,,” Jawab Boggi,, Prof Dahlan mengangguk puas.
“ Oh,, yang itu,,” Ujar Igo polos tanpa sadar.
“ Memang yang itu Dokter Igo,,” Prof Dahlan menimpali, Igo tersipu – sipu.
“ Jadi pasien ini, karena ternyata setelah lebih dari dua belas jam pasca kejadiannya baik – baik saja masih centil dan manja,,” Hadirin tertawa,,,,, “ pingsannya dia setelah kejadian bisa jadi hanya merupakan reaksi psikologis karena terkejut,, Tapi............ “ Prof Dahlan mengambil air mineral gelas dan meminumnya sebentar,, “ jangan lupakan kemungkinan EDH pada semua pasien cedera kepala dengan riwayat pingsan. Lakukan CT Scan evaluasi jika perlu, observasi lebih lama, jangan hanya lima belas menit,, “ Prof Dahlan menatap Igo tajam, Igo menunduk.
“ Dan jangan lupa jika memutuskan untuk memulangkan pasien, beri edukasi dengan sangat jelas tentang kemungkinan adanya pendarahan lambat akibat benturan. Beri tahu pasien dan keluarganya tentang tanda – tanda penurunan kesadaran. Tidur sulit dibangunkan, mengantuk terus, bingung, penglihatan kabur, sulit bicara, nyeri kepala hebat, mual, pusing, berkeringat, pucat dan sebagainya,, “ Terang Prof Dahlan panjang lebar. Hadirin mengangguk-angguk, sebagian mencatat dalam agendanya.
“ Ini sangat penting untuk dokter siapapun yang berjaga di UGD,,” Prof Dahlan menekankan sekali lagi.
“ Hmmm,, baik,, karena kita masing- masing juga mempunyai tugas dan tanggung jawab pasien, maka sekarang saya serahkan kepada dokter Vita untuk membagi pasien bangsal visite dokter umum untuk seminggu ini,, “ Ujar Prof Dahlan mengakhiri presentasi dan menyerahkan mike pada dokter Vita, dokter umum senior koordinator bangsal. Igo membereskan berkas presentasinya dengan wajah lega dan bergegas duduk kembali di barisan kursi dokter umum.
Boggi melihat kembali kertas fotocopy pembagian pasien bangsal yang menjadi tanggung jawabnya selama seminggu penuh. Di sekitarnya, teman-teman sejawatnya sibuk berkomentar. Dokter Dhio minggu ini mendapat tiga pasien Prof Ibnu, Dhio sibuk merayu Igo untuk tukar dan langsung ditolak mentah – mentah oleh Igo. Fika ketawa – ketiwi lega, pasiennya adalah Dokter Nia, Dokter Hasan spesialis kulit dan dokter Thomas, semuanya dokter yang santai. Julian kali ini bisa menarik nafas lega, karena pasien visitenya adalah pasien Dokter Ilyas dan Dokter Ros, yang keduanya adalah dokter spesialis yang masih muda yang ramah dan santai. Sedangkan Boggi, mukanya keruh. Seminggu ini Boggi mendapatkan giliran visite di bangsal Bougenvill A1, memegang tiga pasien penyakit dalam HIV Positiv, semuanya adalah pasien Dokter Shani. Kalau kemarin Dokter Shani menitipkan pasiennya selama seminggu karena kerelaan Boggi, sebenarnya itu karena Boggi berutang budi. Dokter Shani dulu pernah membantunya menyusun karya tulis (referat) tugas akhir di stase Penyakit Dalam sewaktu Boggi masih koasistensi dan sekarang lah koordinator bangsalnya lah yang mewajibkannya visite. Bertukar dengan sesama dokter umum yang lain sangat dimungkinkan, tapi Boggi ragu karena semua teman sejawatnya dokter umum sudah semua mendapat giliran visite disana.
“ Gi,, kenapa loe,, muram sekali tuh muka,, dapat visite pasien siapa ?? Aku dong dapat pasiennya Prof Johan yang baik,,” Ujar Igo senang, tidak ada lagi bekas-bekas penyiksaan Prof Dahlan beberapa menit yang lalu. Boggi membuang nafas dan mendecakkan bibirnya.
“ Males banget, dapat pasien Bougenvile A 1, tiga orang lagi,,” Boggi melipat kertas pembagian pasien dan menyelipkannya di agenda tanpa semangat.
“ Nah kali ini gua nggak mau gantikkan loe visite Gi,, sudah sering kali loe minta gua visitekan pasien A1 mu,,” Ujar Igo,,
“ Iya,, Iya Tahu,, cerewet,,” Boggi mengambil tasnya dan bangkit, Igo mengikuti.
“ Waduh galak amat........ Segitu betenya dapat giliran visite pasien A 1. Semua dari kita udah pernah kok, biasa – biasa aja tuh,,” Kata Igo.
“ Muak aja,,semua...brengsek,,” gumam Boggi, Igo ternganga.
“ Hah,, gila loe Gi,,lagi dapat loe ya,,?? “ Igo mencoba bercanda, akibatnya, Ia kena timpuk agenda hardcover Boggi, Igo mengelus-ngelus kepalanya yang memar.
“ Enak aja. Setiap ketemu pasien HIV Positif, atau masih suspek, atau lebih-lebih sudah AIDS, aku eneg. Mereka itu sampah masyarakat,, “ gerutu Boggi, Igo semakin ternganga. Tidak disangkanya, Boggi yang begitu ramah, idola para pasien dan senior ternyata sebegini skeptisnya terhadap pasien HIV. Memang sudah sejak dulu Igo heren, mengapa setiap Boggi mendapat pasien visite bangsal dengan catatan khusus HIV positif selalu saja dialihkan ke diri ku atau teman lain. Sejauh ini Igo menduga karena kerjaan Boggi yang terlalu banyak, itu saja. Ternyata dibalik itu ada alasan lain.
“ Kok loe bisa bilang begitu ?? ‘ Kejar Igo. Boggi hanya mengankat bahu.
“ Mereka dapat penyakit itu kan dari hal-hal dosa, free sex, ngdrugs, jajan... sesuatu yang salah, sama sekali salah. Padahal mereka itu kan sudah dewasa, bisa mikir, punya agama, ada tatanan sosial sebagai kontrol untuk bisa milih untuk nggak begitu, tapi tetap aja nglakuin itu. Akibatnya, mereka terkena HIV. Salahnya sendiri,, “ Boggi menggerutu, nampak sangat tidak suka. Saking terkejutnya dengan opini sahabatnya dari sejak kuliah, Igo kehilangan kata.
“ Hah...” langkahnya terhenti. Boggi berjalan terus,,,, “...Kok bisa loe mikir kaya gitu Gi ?? “ Tanya Igo heran. Boggi berhenti.
“ Karena aku benci kehidupan malam. Dan kegiatan di dalamnya, dan mereka pelakunya,, “ jawab Boggi dingin lewat punggungnya,,
“ Duluan ya Go, gua harus menyelesaikan visite semua sampah masyarakat itu sebelum jaga poliklinik pagi,, “ Kata Boggi,, lalu melanjutkan langkahnya,, “
“ Eh,, wait,, wait,, Boggi !! ‘ seru Igo, Boggi terus berjalan, tidak memperdulikan panggilannya. Igo garuk – garuk kepala, tidak habis pikir.
“ Sampah masyarakat ?? Gua pernah jajan sekali, Gua berarti juga sampah masyarakat ?? ‘ lalu Igo menepuk-nepuk pipinya sendiri.
Boggi berbalik ke arah Igo
“ Tenang,,, Igo,, tenang,, Cuma sekali mah tidak apa-apa,, “ Boggi menghibur dirinya sendiri.
“ Gi loe pernah diposisi sebagai orang yang dianggap sampah kan ?? loe harusnya belajar dari sana,, Kalau loe aja memperlakukan orang dengan HIV dan AIDS seperti ini sama aja kan dengan orang – orang lain yang memperlakukan Gay seperti sampah,, “ Igo berkata sebagai sahabat Boggi
“ Itu beda Go.. “ Boggi hanya berkata itu dan mengambil nafas dalam-dalam.
“ Loe renungkan ya Gi,, omongan gua tadi,, gua Cuma bisa berharap sahabat gua bisa memperlakukan semua orang sama,, seperti yang loe lakukan ketika Loe berjuang atas nama cinta dengan Rivi,,Gua rasa Gay, Hetero, HIV atau Tidak gak seharusnya dapat perlakuan yang diskriminatif,, “
Igo memeluk sahabatnya dan melangkah pergi ke ruang visite, sementara Boggi masih berdiri menatap Igo.
Bangsal Bougenville, bangsal penyakit dalam di lantai dua gedung instalasi rawat inap. Seluruh lantai ini ditempati oleh pasien dengan problem terkait penyakit dalam. Gula darah yang terlalu tinggi atau rendah, tekanan darah tinggi, gangguan ginjal, gangguan hati, kelainan jantung, infeksi tropis semacam malaria, demam berdarah sampai buang – buang air.
Satu lantai ini dibagi menjadi empat su bangsal, A1 samapi A4. A1 untuk merawat pasien menular dan ruang isolasi. A2 untuk pasien berjenis kelamin wanita dengan kelainan yang tidak menular, A3 untuk pasien berjenis kelamin pria dengan kelainan yang tidak menular, dan A4 untuk pasien infeksi tropis. Minggu ini Boggi mendapat jatah pasien visite lima orang di bangsal ini. Satu pasien dengan diabetes di A2, satu pasien demam berdarah di A4, dan tiga pasien di A1. Boggi menaikki tangga dan langsung menuju ruang perawat yang merupakan tempat jaga perawat dan rekam medis atau status pasien. Boggi memulai dari subbangsal A2.
“ Halo, Mbak Tyas jaga pagi ini ya,,’ sapa Boggi ramah pada teman perawat yang sedang membersihkan tempat penyimpanan obat masing-masing pasien. Memilah antara obat yang masih utuh dan yang tinggal bungkusnya. Kadang perawat magang malas membuang bungkusnya di tempat sampah, hanya dimasukkan lagi ke kotak obat. Jadinya kotak obat penuh dan tampak kotor.
“ Halo juga Mas Dokterku yang ganteng,, Iya nih,, Mau visite ?? Dapat pasien sini ya ?? “ Ujar Mbak Tyas sambil kakinya berusaha menyeret tempat sampah untuk didekatkan ke meja. Tangannya penuh bungkus obat kosong. Boggi membantu memindahkan tempat sampah, Mbak Tyas hanya nyengir penuh terimakasih.
“ Iya, dapat satu di sini, Ibu Sita 40 tahun,, “ Boggi membuka agendanya, mengecek identitas pasiennya.
“ Oh kadar gula darah lebih tinggi dari normal (hiperglikemi) ya, Di kamar satu, pasien dokter Yan penyakit dalam kan ?? ,, Kata Mbak Tyas dengan dagu menunjuk meja pencatatan,, “ Aku baru aja ngisi grafik vital sign-nya ,, “ Jelasnya sambil mencuci tangan di wastafel. Boggi mengambil statusnya. Hmm... riwayat diabetes lama, sudah sepuluh tahun dan sudah pernah dirawat disini tiga kali dengan kasus luka berongga di kakinya. Sekarang dirawat karena gula darahnya sangat tinggi. Owww,,,,,,,, masuk pertama sehari yang lalu, kadar gula darahnya hampir enamratus dengan kesadaran masih baik, hanya keluhan haus dan sering kencing. Oleh Dokter Yan sekarang didiagnosis Hiperglikemi Hiperosmolar Syndrome.
Boggi geleng – geleng kepala. Hebat juga orang-orang Jakarta ini, beberapa pasien diabetes yang pernah dirawatnya datang ke UGD dengan kadar gula limaratus lebih. Dan bila dilihat riwayatnya mereka adalah orang Jawa, apa ini karena kegemaran orang jawa yang suka makan manis ?? atau karena banyak kuah manis dari santan kental di gudeg ?? Kapan – kapan harus dilakukan penelitian, Batin Boggi geli.
“ Advis terapi Dokter Yan, selain Insulin regulasi cepat dan mengembalikan cairan yang hilang apa lagi Mbak ?? Program cek laboratoriumnya apa aja ?? “ Tanya Boggi sambil membolak-balik status, mencari informasi. Kadang Dokter spesialis lupa mencatat terapinya, mungkin sangking sibuk dan banyak pasien yang harus dirawat. Karena itulah dokter umum diperlukan untuk perawatan harian bersama supaya pasien selalu dalam monitor. Mbak tyas melihat papan program besar pasien di dekat dispenser air minum.
“ Cek kadar gula per empat jam, mungkin mau di sliding scale ya. Kurang jelas juga, kemarin dokter Yan terburu – buru. Lalu cek Laboratorium lainnya urin rutin, fungsi ginjal, elektrolit dan rekam jantung. Dokter mau kasih usulan apa ?? “ Tanya mbak Tyas, tangan gemuknya membuka spidol marker, siap menambahkan catatan di papan tulis. Boggi berpikir sebentar, mencermati riwayat pasien.
“ nanti kutambahkan setelah liat pasiennya ya. Ayo kita visite,, “ ajak Boggi, bangkit dari kursinya, mengambil stetoskep di tasnya. Mbak Tyas mengikuti di belakangnya sambil membawa buku catatan. Boggi suka mengajak perawat jaga saat Visite. Selain untuk adanya koordinasi yang baik antara medis dan paramedis, Boggi merasa bahwa perawat sering memberikan masukan yang berharga utuk penatalaksanaan pasien-pasiennya. Boggi mengakui kalau dia masih sangat hijau dan perlu belajar. Boggi baru satu tahun ini dilantik menjadi dokter, sedangkan perawat disini sebagian adalah perawat senior dengan masa pengabdian sudah belasan bahkan puluhan tahun. Termasuk Mbak Tyas ini, tahun ini adalah tahun kesepuluhnya bekerja sebagai perawat disini. Kadang Boggi heran pada teman sejawat seangkatannya yang merendahkan perawat, padahal mereka rekan sejawat kesehatan juga dan lebih berpengalaman.
Boggi mengetuk pintu kamar satu dengan ringan, lalu masuk.
“ Selamat pagi Bu Sita, apa kabar ?? “ sapa Boggi sambil tersenyum manis. Bu Sita berusia empat puluh tahun, dengan berat badan tergolong gemuk, dan wajah yang menyisakan kecantikannya di masa mudanya. Bu Sita sedang membaca tabloid wanita sambil bersandar santai di tempat tidur yang bagian kepalanya ditegakkan 45 derajat. Bu Sita membalas senyuman Boggi dan meletakkan tabloidnya.
“ Pagi Dokter,,” Lalu Bu Sita menoleh pada suaminya yang nampak tertidur di sofa tunggu pasien, “ Pah, bangun ada Dokter kunjungan nih,, “
“ Sudah bu, tidak apa – apa,,” cegah Boggi halus, Suami Bu Sita nampak kelelahan, mungkin karena semalam tidak dapat tidur. Lagipula, jika Saudara apalagi pasangan hidupnya dirawat di rumah sakit, siapa sih yang bisa tidur nyenyak ??
“ Kenalkan Bu, nama saya Dokter Boggi, untuk beberapa hari ke depan selama Ibu dirawat disini, saya yang akan memantau kondisi ibu dan melaporkannya kepada Dokter Yan,, “ Ujar Boggi memperkenalkan diri, kebiasannya setiap berjumpa dengan pasien baru. Bukan apa – apa, itu supaya hubungan di antara dokter dan pasien lebih personal dan manusiawai. Boggi sering menjumpai pasien yang tidak tahu nama dokter yang merawat, padahal sudah dirawat dua hari lebih di bangsal dan ketika mau mengajukan pertanyaan sehubungan dengan kondisinya, Pasien akan bingung sendiri dan harus menghubungi siapa, kasihan pasiennya. Ibu Sita mengangguk dan tersenyum lebar.
“ Saya Sita dok,, Rumahnya di Kebayoran Baru,,” Sahut Ibu Sita kocak, suka bercanda juga ibu ini, batin Boggi senang. Hati yang gembira adalah obat yang mujarab.
Boggi lalu melakukan pemeriksaan dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ibu Sita, setelah itu Ia pamit.
Setelah itu Boggi menuju ke bangsal Bougenville A4 adalah seorang Pemuda berusia dua puluh tiga tahun, demam berdarah hari ke tiga. Trombositnya terus turun, sekarang sudah mencapai angka sembilan puluh. Sejauh ini, tanda perdarahan yang nampak hanyalah bercak – bercak perdarahan di kulit pada tes provokasi ptekie dengan cara menahan pembuluh darah menggunakan alat tensimenter pada tekanan tertentu. Tes trombosit dilakukkan per empat jam dan Boggi mengusulkan cek urin rutin per hari untuk melihat adanya perdarahan tak kasat mata pada kencingnya.
“ Hmm,, banyak minum ya mas, sehari minimal sepuluh gelas,, “ Saran Boggi. Mas Hendra, pasien itu tertawa sambil menunjuk meja di samping tempat tidurnya yang penuh dengan botol minuman.
“ Iya dok, tuh persedian jus jambu merah saya sudah berlimpah. Sampai – sampai rasanya pulang dari sini saya nggak mau lihat pohon Jambu lagi,, “ Boggi dan Feri, perawat yang menemani Visite tertawa menanggapi candaan Hendra. Selesai menulis di catatan kemajuan pasien sendirian, Boggi meneruskan langkahnya ke Subbangsal A1, rasanya berat sekali langkahnya. Boggi menghembuskan nafas kesal berkali – kali.
Ruang perawat A1 tidak ada orang, mungkin perawat masih pertemuan pagi. Seperti rutinitas dokter, perawat juga melakukan pertemuan tiap pagi di subbangsal masing-masing. Boggi melirik jam dinding, sudah pukul sembilan, kebetulan, jadi Boggi punya alasan untuk visite lebih cepat karena harus piket di poliklinik umum. Boggi segera mengambil sarung tangan latex dan masker, menyimpannya di saku jasnya untuk persiapan. Kamar dua, lima dan enam,, batinnya.
Boggi berhenti di depan pintu kamar dua, mendecakkan bibir, mengetuk pintu, membukanya sedikit. Nampak seorang lelaki kurus, usianya sekitar awal tiga puluhan, terbaring lemas. Doni namanya, tertulis di papan pasien di kaki tempat tidurnya. Bibirnya pecah-pecah, dari apa yang dibacanya di status, pasien ini mengalami dehidresi karena muntah – muntah keracunan makanan, dan pasien ini juga menderita tuberkulosis. Pasien ini tertular HIV dari selingkuhannya, seorang PSK. Batin Boggi geram, Satu lagi orang bodoh. Boggi menjengukkan kepalanya ke dalam, malas masuk.
“ Pagi pak, saya dokter Boggi bagaimana kondisinya ?? “ lelaki itu perlahan menoleh ke pintu. Tadi pasien itu sedang memandang ke luar jendela, tidak ada orang yang menunggunya, hanya Dony sendiri du ruangan itu.
“ Lumayan,,,” katanya begitu lemah dan mencoba tersenyum.
“ Masih muntah ?? “ tanya Boggi, masih dari pintu, lelaki itu menggeleng dan Boggi tersenyum sedikit.
“ Baik, selamat istirahat Pak Doni, coba minum sedikit-sedikit ya, kalau ada apa-apa pencet saja belnya,, “ Ujar Boggi sambil menunjuk bel di samping tempat tidur pasien. Doni mengangguk lemas. Boggi menutup pintu. Kunjungan berikutnya ke-dua pasien HIV yang lain juga sama singkatnya, lalu Boggi bergegas menuju ruang perawat, menulis hasil visitenya. Muntah, negatif, lemas positif.
“ Lho dokter Boggi, sudah visite toh,, tidak nunggu kita selesai pertemuan biar ditemani,,” terdengar suara di belakangnya. Perawat-perawat baru saja selesai pertemuan pagi. Boggi mengangkat mukanya. Pak Hari, kepala ruangan seorang perawat senior tersenyum sambil mengangsurkan buku usulan terapi kepada Boggi. Boggi tersenyum simpul.
“ Trus ada usulan terapi apa untuk pasiennya ?? “ Tanya Pak Hari, Boggi menggigit-gigit bibir bawahnya. Usulan apa ya ?? Boleh gak kalau usul pasiennya dipulangkan saja supaya tudak merepotkannya ?? Boggi membatin.
“ Hm,, sementara gak ada dah pak,, terapi Dokter Shani lanjut aja,,” Sahut Boggi, mengembalikan buku usulan terapi dan bersiap pergi. Pak hari tersenyum. Lalu seakan teringat sesuatu, dia menahan Boggi.
“ Oh iya dok, ARV pasien boleh diteruskan ?? “ tanya Pak Hari, kening Boggi berkerut. ARV...Kalau tidak salah.......
“ Maaf bos, aku terburu – buru, hari ini dapat jatah piket poli umum,, “ Ujar Boggi mencoba ceria, memberi alasan. Padahal sebenarnya, Boggi memang tidak mau berlama – lama. Kalau visite bersama perawat, Boggi harus terpaksa masuk dan memeriksa pasien. Membayangkannya saja perut Boggi terasa mulas. Pak Hari mengangguk maklum.
“ Antiretroviral-nya dok,,” tambah Pak Hari seakan tahu kebingungan Boggi. Boggi nyengir. ARV adalah obat yang diminum teratur oleh Odha untuk menekan perkembangan virus HIV-nya.
“ Iya saya tahu kok,, ‘ Boggi berbohong, lalu Ia berpikir.
Boggi terlihat berpikir bingung,, di dalam hatinya bertanya-tanya diteruskan tidak ya ?? Bagaimana aturan pakainya ya ?? Ah gara – gara skeptis terhadap HIV, Boggi jadi malas membaca pengetahuan ter-update tentang HIV atau AIDS. Akibatnya ARV saja tadi bingung. Apalagi aturan pakainya, mana tahu ?? Boggi tersenyum lebar untuk menutupi ketidaktahuannya.
“ Nanti saya tanyakan Dokter Shani ya, karena bukan wewenang saya memutuskan untuk lanjut atau berhenti,,” Jawab Boggi cepat dan diplomatis, lalu segera pamit. Khawatir ditanya lebih banyak lagi, dalam hati Boggi berencana untuk mengulangi visite singkatnya besok.
Poliklinik umum sudah ramai, Boggi menyapa perawat di meja pendaftaran, dan segera bersiap di ruang periksa. Perawat mulai memanggil pasien satu demi satu. Ketika pasien kelima baru saja keluar ruang periksa, ponsel Boggi berbunyi. Rivi. Boggi memberi kode perawat untuk rehat sebentar, lalu mengangkat telepon.
“ Halo sayang,,” Sapa Boggi,, Mbak Ida perawat yang bertugas bersama Boggi di ruang praktik tersentum maklum dan keluar.
“ Halo Jelek,, lagi sibuk ya ?? “ Suara Rivi terlihat segar dan ceria.
“ Nggak ko,piket Poli seperti biasanya,, hari ini pasien tidak terlalu ramai, karena hari Jumat,, Hari pendek,,”
“ Ada apa sayang ?? “ tanya Boggi sambil mengambil gelas teh manis di mejanya.
“ Nggak, Cuma hal kecil ko,, Undangan yang untuk sahabat-sahabat kita dan keluarga kita sudah siap cetak, mau warna apa ?? Gelas terhenti di depan bibirnya, untung teh itu belum diminumnya. Kalau sudah pasti Boggi akan tersedak.
“ What ?? Kan aku dah bilang tidak usah pakai undangan, dan kalau pakai juga konsepnya seperti yang kubilang, yang sederhana saja dan lagian kita belum sepaham tentang ada dan tidak ada undangan ?? “,, Boggi berbicara agak keras, dan diujung telepon sana Rivi terdengar decak sebal.
“ Jelek,, kamu itu memusingkanhal kecil,, masih banyak yang harus dipikirkan selain undangan. Biaralah mamah yang merancang, untung mamah mau repot untuk kita,,” kata Rivi,,Boggi memegang keningnya. Ia masih ragu untuk undangan apakah perlu dalam sebuah perkawaninan sejenis, walaupun undangan itu hanya untuk sahabat dan keluarga.
“ Oh iya satu lagi, kita belum sepakat kan akan mencantumkan gelar atau tidak ?? Aku masih kekeh kalau jadi pakai undangan, aku mau pakai pencantuman gelar, cukup nama kita aja langsung,, kan lebih mesra,, “ Kata Boggi panjang lebar, Didengarnya Rivi mengehala nafas panjang.
“ Aku juga kekeh dengan pendirian ku sayang,, kita tulis gelar,,” sahut Rivi tidak mau kalah. Boggi menghembuskan nafas kesal. Mbak Ida menjengukkan kepalanya, Boggi teringat masih ada sepuluh pasien lagi mengantri.
“ Sudahlah sayang,, kita teruskan nanti saja, setelah selesai piket poli aku mampir ke rumah mu,, “ ujar Boggi singkat dan memutus telepon. Meneguk teh, menghela nafas panjang lagi. Terpekur sejenak menatap cincin pertunangan di jari manis kirinya.
“ pasien selanjutnya,,” kata Boggi akhirnya,, mencoba fokus kepada tugasnya.
“ Boggi,,Boggi,,” Gumam Bunda. Barusan Mamah Rivi, menelepon mengatakan bahwa hari ini Rivi telah membicarakan beberapa detail pernikahan dengan anaknya dan ada beberapa ketidaksepahaman di beberapa detail, di mana menurut Mamahnya Rivi, Boggi itu keras kepala dan tidak mau mengalah. Hal itu melukai perasaan Mamah Rivi karena menurutnya, Mamahnya Rivi ingin yang terbaik untuk pernikahan Rivi dan Boggi, meski ini merupakan pernikahan yang yang berbeda. Dan malam ini Bunda ingin meminta penjelasan kepada Putra bungsunya.
“ Boggi,, Gi,, Boggi...” panggil Bunda dari ruang keluarga, dimana telepon diletakkan. Bunda menunggu sebentar. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Boggi dari kamar. Bunda tahu Boggi ada di kamar.
Boggi terbaring telungkup di kasurnya, di kamar. Dia memeluk guling kesayangannya. Boggi tahu, barusan Mamah menelepon Bunda. Hal yang sudah diduganya. Siang tadi setelah piket poliklinik selesai, Boggi pergi ke rumah Rivi. Rumah Rivi, namun sesampainya di rumah buka Rivi yang menemuinya untuk membicarakan hal-hal yang tadi tertunda untuk didiskusikan di telepon, tapi Mamah.
“ Rivi tadi dapat dari resort, Boggi ada beberapa masalah manajeman. Rivi harus segera ke sana untuk mengatasinya,,” terang Mamah. Bohong, batin Boggi gemas. Kalau Rivi mau, dia bisa minta orang kepercayaannya untuk mengatasinya. Bogi sudah mengenal pak Wijaya, tangan kanan keluarga Rivi. Justru menurutnya Pak Wijaya yang lebih tahu banyak tentang resort daripada Rivi. Pak Wijaya sudah mengelola di sana sejak Rivi masih SMU, dan semenjak Rivi lulus S2 manajeman, Pak Wijaya jugalah yang mengajari Rivi tentang seluk beluk resort. Rivi sengaja mengelak dari pembicaraan tawar-menawar ini dan mengajukan Mamah. Tidak gentle, gerutunya dalam hati.
“ Boggi,,Nang,,” Bunda membuka pintu kamarnya, menjengukkan kepalanya ke dalam. Boggi tidak menjawab dan hanya menggeser badannya, memberi tempat untuk Bunda di kasurnya. Bunda masuk dan duduk disebelah Boggi. Keduanya terdiam beberapa saat.
“ Mamah telepon Bunda ya barusan ?? “ tanya Boggi pelan, memecah kebisuan, Bunda tersenyum lembut. Diusapnya rambut putranya yang gondrong..
“ Kamu dengar ya,,” sahut Bunda
“ Lalu kamu mau cerita ke Bunda apa yang terjadi tadi siang ?? Cerita Mamah tadi kan sepihak,, Bunda ingin tahu dari sudut pandang mu,,” Ujar Bunda arif,, Boggi tersenyum keci, Bunda memang selalu demokratis, tidak pernah langsung menghakimi tanpa mendengar penjelasan dari orang terkait. Inilah satu hal yang dikagumi Boggi dari kedua orang tuanya. Boggi bangkit dari posisi berbaringnya, menyandarkan tubuh di kepala tempat tidur, di sebelah Bunda. Langsung terbayang pembicaraannya dengan Mamah tadi siang.
Pembicaran tadi siang di rumah Mamah dengan Boggi membicarakan ketidaksetujuan Boggi bila acara menggunakan Undangan, dan bila itu mau ada sebuah undangan Boggi hanya ingin yang sederhana. Namun undangan yang dibuat oeh Mamah Rivi begitu mewah dari tiga contoh undangan yang tadi siang disodorkan kepadanya. Boggi juga tidak mau bila di dalam undangan tersebut dicantumkan gelar. Namun hali ini ditolak semua oleh Mamah Rivi. Menurut mamah Rivi, walaupun ini pernikahan sesama jenis, namun Rivi adalah anaknya, jadi Mamah ingin agar pernikahan ini seperti pernikahan lainnya yang menggunakan undangan, mesiki hanya saudara dan sahabat karib yang diundang. Mamah juga mengatakan bahwa undangan yang dibuat mewah merupakan standar kelurga Rivi, dan masalah gelar Mamah Rivi berkata bahwa itu merupakan bentuk sebuah penghargaan bagi orang tua.
Boggi tersenyum lemah, dan merasa lelah lahir dan batin. Boggi akhirnya mengalah dan memilih undangan yang kotak kayu, Mengalah adalah hal yang paling sederhana, namun Boggi masih tetap tawar menawar masalah gelar yang dicantumkan, dan itu satu hal yang membuat Mamah tersinggung.
Bunda hanya menghembuskan nafas panjang, setelah mendengar cerita Boggi.
“ jadi begitu toh ceritanya,,” Boggi mengangguk, Bunda terdiam sejenak, lalu angkat bicara.
“ menurut cah lanang,,,” Ujar Bunda berhati-hati,,, “ Apa ruginya kalau kamu mencantumkan gelarmu di undangan pernikahan kalian ?? “ Boggi melipat bibir dan memeluk gulingnya.
“ Hmm... sebenarnya tidak ada ruginya Bun. Boggi hanya ingin lebih bebas aja. Pernikahan antara pribadi dan pribadi, bukan gelar lawan gelar. Lagian juga kan pernikahan ini berbeda Bun dengan yang lain,, Aku dan Rivi adalah laki-laki jadi aneh aja pakai Undangan walaupun katanya hanya untu keluarga dan sahabat,, Seandainya ada Undangan juga Boggi ingin dipandang sebagai Boggi, bukan sebagai dokter,,”,, Suara Boggi melemah, Boggi tahu Bunda tidak keberatan dengan Undangan dan pencantuman gelar sependapat dengan mamah. Mereka terdiam, Yang terdengar hanya detik jam.
“ Kalau kamu tidak melihat ruginya, bisakah kamu mengalah untuk kebaikkan semua, nang ?? “ tanya Bunda akhirnya lembut, Boggi menunduk. Bunda hanya tidak ingin berkonflik dengan keluarga calon besannya. Boggi tahu itu dan sebenarnya Boggi pun demikian. Boggi tahu, Ia harus mengalah kali ini. Posisi tawarnya sangat rendah, lagipula gelar ini hanya masalah kecil.
“ Oke-lah Bun,, Boggi mengalah,, Boggi direstiun kalian berdua saja sangat bersyukur,, “ Boggi tersenyum lemah,,, “ Bunda bisa kabari Mamah kalau Boggi nurut apapun desain yang Mamah mau, apapun tulisannya,, “ Sekalian kalau mau mencantumkan indeks prestasi cum laudenya, tambahnya dalam hati. Bunda tersenyum lembut, mencium kening putranya, Boggi memang penurut dan selalu bisa mengambil keputusan yang melegakan orang tuanya.
“ Terimakasih ya sayang,,, “Boggi mengangguk, tersenyum . Bunda bangkit dari tempat tidur, sekilas dilihatnya laptop Boggi yang masih menyala di atas meja.
“ Masih banyak tugas mu nang ?? Sudah jam 10 malam lho, jangan lembur kemalaman ya,, “ Pesannya,,
“ Nggak Bun,, Boggi Cuma ngerjain tugas presentasi, buat power point,, sebentar lagi kelar,,” Bunda tersenyum lagi, mengucapkan selamat tidur dari pintu dan menutupnya perlahan.
Sepeninggalan Bunda, Boggi merebahkan badannya di kasur. Matanya menerawang, menatap menerawang ke atas kamar sambil pikirannya mengembara. Akhirnya Boggi mengalah juga tentang undangan, Akhirnya satu mimpinya tentang rencana pernikahannya tidak bisa terwujud. Dari awal Boggi tidak ada undangan, namun jika pun ada undangan itu bisa dirancangnya sendiri bersama Rivi. Merancang berdua, memilih bahan kertas yang sederhana tapi unik, membuat desain yang hanya diciptakan oleh dan untuk mereka. Merancang kata-katanya, warnanya, layoutnya..lalu diujung bawahnya tertulis special designed by Boggi @ Rivi,, sangat personal. Sangat special dan menciptakan kesan. Tapi ketika Boggi mengalah dengan adanya undangan dan ide ini dilontarkan pada Rivi, dia hanya ketawa.
“ Repot amat, jelek.... Mamah sudah siap desain kok,,”,, Jawabnya singkat. Alasan Boggi demi suatu yang bisa dikenang dan berkesan tidak menggoyahkan pendirian Rivi. Boggi kecewa. Boggi ingin memutuskan sendiri apa yang dia inginkan, bukan atas pertimbangan orang lain. Contohnya dalam hal undangan.
Boggi berpikir, ini baru dalam urusan kecil, undangan, Mamah turut campur dalam urusan mereka. Bagaimana kalau hal yang lebih besar ?? Boggi menghela nafas panjang, mengganti posisinya menjadi miring, memeluk guling. Belum lagi dengan standar hidup keluarga Boggi yang yang tinggi, lebih tinggi bertingkat – tingkat dibanding keseharian keluarga Boggi. Apakah Boggi harus memanjat tingkat setinggi itu demi menyamakan posisi ?? Apakah Boggi akan nyaman dengan posisi panasnya sebagai pendamping hidup seorang pengusaha ?? Hal – hal ini dulu pernah terbersit di pikirannya semasa mereka pacaran, namun belum pernah meresahkannya separah malam ini, di saat semuanya semakin mendekat. Rencana pernikahannya yang mulai detil, hari-hari merayap mendekati waktu pernikahan mereka. Hal ini membuat Boggi takut.
Boggi menutup mukanya. Kalut. Pusing. Ah... apa ini namanya premarital syndrome ?? Akhirnya Boggi memaksakan dirinya tidur, berharap malam bisa menelan ketakutannya. Dia melupakan pr power point Mas Thomas, lupa mematikan laptopnya. Dalam tidurnya, Boggi bermimpi menjadi benda langit imitasi, yang hanya mampu menyebarkan cahaya yang diserap dan sekitarnya, tidak punya cahaya sendiri.
Seminggu berlalu sejak kejadian undangan. Hubungan Boggi dengan Mamah sudah membaik lagi. Rivi juga sudah kembali mesra dan romantis. Hari-hari Boggi berjalan seperti biasa. Masuk setengah tujuh pagi untuk presentasi kasus, setelah itu visite pasien, lalu tergantung piketnya. Bisa dipoliklinik sampai jam satu siang, jaga UGD pagi sampai jam dua siang, jaga bangsal pagi sampai jam dua, atau kosong jaga. Saat kosong jaga, dokter umum harus stand by di rumah sakit tapi tidak mendapat kewajiban untuk masuk poliklinik, UGD, maupun bangsal. Istilah lainnya adalah jaga bayangan,,
Jika mendapat jatah jaga bayangan dan tidak ada kasus emergensi yang membutuhkan tambahan tangannya, biasanya Boggi berkeliling di unit perawatan intensif, instalasi hemodialisa atau cuci darah, kamar operasi untuk mencari pengalaman, atau sekedar duduk di perpustakaan rumah sakit, mencari jurnal atau membaca-baca buku.
Sehubungan dengan visite pasien bangsalnya, minggu ini adalah minggu terparah Boggi dalam sejarahnya menjadi seorang dokter. Boggi melakukan visite sekenanya, tanpa semangat, dan minimalis. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena pasien bangsal A-1 nya, tiga orang HIV Positif. Akibatnya hari ini, saat laporan kemajuan pasien visite selama satu minggu harus dikumpulkan kepada dokter Vita, Boggi tidak punya bahan untuk ditulis. Bagaimana bisa punya bahan, setiap hari Boggi hanya melihat pasien selama tiga menit, menjenguk dari pintu, lalu sudah.
“ Boggi laporan kemajuan pasien mu minggu ini kurang ya ?? Baru bangsal A2 dan A4. A1 nya belum ?? “ tanya dokter Vita pagi tadi selepas presentasi kasus. Di tangan Boggi sudah ada daftar baru pembagian pasien visite bangsal untuk seminggu ke depan. Minggu ini Boggi bisa bernafas lega karena tidak harus mengurusi pasien A1 itu lagi. Boggi mendapat jatah merawat pasien bersama Dokter Ros, Dokter Ilyas, dan Prof Johan.
Boggi memandang dokter seniornya dengan pandangan minta maaf.
“ Maaf mbak, kalau siang ini bagaimana ?? Ada beberapa data laboratorium minggu lalu yang belum kucatat,,” Ujar Boggi memberi alasan. Doter Vita tersenyum, mengangguk. Dokter Vita tahu juniornya yang satu ini selalu tepat waktu dalam memberikan laporan kemajuan pasien. Laporannya pun selalu lengkap dan analisisnya pas. Kalau kali ini Boggi sedikit terlambat, pasti memang ada hal yang menghalanginya.
Boggi mengucapkan terimakasih dan perlahan bangkit dari tempat duduknya. Memaksakan diri melangkah ke bangsal A1 untuk mencari bahan laporan. Tadi malam Boggi jaga malam, jadi hari ini Boggi turun jaga. Dan tidak bisa istirahat lagi, karena harus menyelesaikan laporan kemajuan pasien sebelum jam dua siang. Untung pasien tadi malam tidak banyak, jadi Boggi mendapat kesempatan istirahat cukup dan pagi ini Boggi tidak begitu mengantuk. Presentasi kasusnya tadi pun lancar karena pasien tadi malam aman – aman. Demam berdarah, muntaber dan pasien rutin hemodialisis yang datang dari luar kota, sehingga masuknya lewat UGD. Jika jam kerja, pasien rutin seperti itu masuk rawat inap lewat poliklinik.
Hari ini perasaan Boggi tidak cerah, entah karena lepas jaga, atau karena pasien A1 nya, atau karena perasaan gamang menghadapi pernikahan yang kadang tiba-tiba muncul, Boggi tidak tahu pasti. Atau mungkin juga campuran dari ketiganya. Dalam situasi seperti ini Boggi ingin ngobrol dengan seseorang untuk sekedar mengalihkan perhatian. Sayangnya hari ini Igo mendapat jatah piket poliklinik umum, jadi setelah presentasi Igo langsung pergi dengan marah-marah karena Julie Jablay terus – terusan meneleponnya. Igo sampai ingin bertukar sim card dengan Boggi untuk hari ini saja, demi menghindari teror cinta mantan pasiennya itu. Jelas saja Boggi menolak. Hari-hari ini Mamah dan Rivi sering menghubunginya untuk urusan persiapan ke Belanda. Kalau nomornya dipegang Bobi dan waktu mamah yang telepon, urusannya bisa panjang.
Ruang perawat A1 cukup lenggang, membuat Boggi bisa bernafas lega. Diruang itu hanya ada satu orang perawat jaga Pagi dan satu orang perawat magang. Dua perawat yang lain sedang berkeliling ke kamar membagikan obat pagi dan ijeksi.
“ Pagi, pagi, pagi,,,” sapa Boggi riang, sesuntuk apapun hatinya, Boggi tidak ingin orang mengetahuinya. Mas Yono perawat senior membalas sapaannya tak kalah riang.
“ Siang,, siang,, siang,,,” Jawaban Mas Yono,, Boggi menoleh ke arah jam dinding.
“ Mana baru juga jam sembilan,,” sahut Boggi,, Mas Yono hanya nyengir,,
“ Kalau buat dokter Boggi, visite jam segini kan siang, Biasanya kalau di bangsal lainnya lebih pagi, kan “,, ujar Mas Yono masih dalam candanya. Tapi perkataan Mas Yono itu menyentilnya. Memang selama mendapat jatah di sini, Boggi sengaja memulai visite sesiang mungkin supaya ada alasan untuk cepat-cepat pergi. Boggi tersenyum malu.
“ Iya Mas,, akhir-akhir ini banyak yang harus dikerjakan dulu sih,,” kata Boggi sambil meletakkan tasnya di meja pencatatan. Perawat magang yang sedang duduk disitu sambil mengisi grafik vital sign tersenyum dan memperkenalkan dirinya, Eni, mahasiswa tingkat akhir Akper. Boggi membalas senyumannya, memperkenalkan diri, dan menyemangatinya untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya waktu magang. Boggi jadi teringat zaman koasistensinya dulu. Eni tersenyum penuh terimakasih.
“ Kalau ada sesuatu yang saya tidak paham, boleh saya tanya ke dokter kan ?? “ Pinta Eni
“ Jelas boleh dong, gratis lagi. Nanti kalau saya tidak bisa jawab, saya tanyakan ke ahlinya lagi,,” jawab Boggi ramah, senyum Eni semakin lebar.
“ Mas Yono, saya pinjam statusnya pasien kamar dua, lima dan enam ya,, “ Pinta Boggi.
“ Boleh dok, tapi jangan di bawa pulang ya,,” candanya. Boggi nyengir, hendak mencari di rak status. Eni langsung sigap memberikan, kebetulan tiga status itu sedang diisi oleh Eni.
“ Wah ini pasien Dokter Boggi ya, kebetulan Dok, saya mau tanya,, “ Ujarnya penuh semangat. Tanpa sadar Boggi menggigit bibirnya. Jangan sekarang... Jangan pasien ini...batin Boggi. Bolehlah tanya pasien di rumah sakit ini, asal jangan tiga ini. Tapi karena tadi sudah berkata akan menjawab pertanyaannya, maka Boggi memaksakan diri tersenyum.
“ Ya, tanya apa dek ?? “ Eni mengambil status pasien kamar dua, Pak Doni, membuka lembar grafik vital sign, menunjukkan grafik suhu harian.
“ Tiga hari ini suhunya naik, Dok, kemungkinan kenapa ya ?? Di statusnya ditulisnya Cuma muntah negatif, lemas positif,,” Tanya Eny polos. Rasa dingin langsung menjalari punggung Boggi. Tiga hari pasiennya demam dan Boggi tidak tahu ?? Suhunya selalu diatas 39 derajat. Boggi mengambil status dari tangan Eni, mencermati grafik suhunya. Sempat turun, dan Boggi melihat tulisan ekstra parasetamol. Perawat sudah memberi parasetamol, lalu Boggi melihat lembar catatan perkembangan pasien yang diisinya seminggu ini. Memang isinya hanya minimalis, lalu Boggi membuka catatan pasien yang diisi oleh perawat. Tertulis klien merasa sesak. Batuk dahak banyak, demam, konsul dokter Shani via telepon, advis terapi,,,,
Tiga hari ini pasien yang masih dalam tanggung jawabnya didiagnosa oleh seniornya sebagai pneumonia. Radang paru-paru yang memang banyak menyerang pasien HIV positif dengan pertahanan tubuh rendah. Tiga hari pasien sudah mendapat antibiotik sesuai dosis yang disarankan dokter Shani langsung. Dan ini yang melaporkan adalah perawat, padahal seharusnya Boggi lah yang bertanggung jawab memonitor perkembangan harian pasien dan melaporkannya ke dokter Shani jika ada apa-apa. Menyedihkannya, selama tiga hari ini laporan follow up hariannya hanya muntah negatif, lemas positif, seperti orang bodoh. Lembar follow up nua harus diganti, supaya Boggi tidak mendapat masalah dengan mengabaikan pneumonia pasiennya, bisiknya dalam hati.
“ Dok........” suara Eni membuyarkan lamunan Boggi.
“ Ah,,, ya,, emm,, Pasien ini kan radang paru-paru dek, jadinya wajar dong kalau suhunya naik, kan ada infeksi,,” Jawab Boggi singkat. Lalu sebelum Eny bertanya lebih banyak lagi, Boggi segera pergi dari ruang perawat, dengan membawa tiga buah status pasiennya. Mau dikerjakan diruang sebelah, pamitnya pada Mas Yono. Mas Yono mengangguk. Eni memandang punggung Boggi bingung.
“ Dokter Boggi baru banyak pikiran En,, nanti saja kalau sudah selesai membuat laporan kemajuan pasien, baru kamu nanya banyak-banyak. Dokter Boggi enak ko kalau ditanyai, visite pasien pun rajin. Baru seminggu ini aja agak berbeda, performa kerjannya agak menurun. Seminggu ini tidak pernah ngajak perawat bangsal visite, ke pasien juga sebentar-sebentar,,,” terang Mas Yono, ternyata perawat bangsal A1 memperhatikan kelainan Boggi seminggu ini. Eni mengangguk-angguk.
“ Hmm,, kabarnya sih, karena dokter Boggi akan menikah jadi banyak yang diurus,,” Lanjut Mas Yono setengah bergosip. Bibir Eni membentuk “ oh “.
Di ruang konsultasi di sebelah ruang perawat, Boggi menjatuhkan dirinya di sofa. Ruang ini disediakan untuk pasien atau keluarganya yang berkonsultasi dengan dokternya. Siang ini kebetulan tidaka da keluarga atau pasie yang ingin konsultasi, jadi Boggi bisa mengurung diri disini dengan aman.
“ Sial,, sial kecolongan,,” gumam Boggi. Boggi membuka-buka status pasiennya. Boggi langsung menulis lapaoran dengan memperhatikan status yang ditulis perawat, bukan yang ditulis oleh dirinya yang minimalis. Akhirnya selesai juga laporan selama seminggu, sementara laporan yang lama dibuang oleh Boggi. Boggi menarik nafas lega, Boggi akan terhindar dari teguran dokter Vita karena melalaikan kondisi pasien, walau nyatanya memang begitu.
“ Pasien yang menyusahkan,,,” gerutu Boggi. Walaupun demikian, tindakannya ini licik. Boggi sedikit merasa bersalah karena memanipulasi laporan. Baru pertama kali ini dilakukannya selama satu tahun ini. Boggi merasa menjadi penjahat yang curang.
“ Tidak papa, sekali ini aja kok,,” Boggi menghibur diri dan bangkit dari duduknya, mau mengembalikan status yang sudah dimanipulasinya. Tapi ketika Boggi hendak membuka pintu, gelombang bersalah itu menerpanya lagi, tangannya tertahan di pegangan pintu.
“ Licik sekali aku mengganti data,,” Boggi memandangi tiga status di tangannya. Lalu Boggi teringat lagi pada riwayat pasien,, tertular dari,,,
Pandangan Boggi menjadi dingin, Boggi mengeraskan hatinya. Perasaan tidak suka pada pasien-pasien ini muncul lagi. Boggi menghembuskan nafas.
“ Tidak akan kulakukan pada pasien lain. Hanya pada pasien ini,,” Geramnya. Boggi dengan cepat mengembalikan status pasien ke raknya, dan untungnya Eni sudah tidak ada di ruang perawat. Pukul setengah dua laporan A1 Selesai dan siap dikumpulkan ke Dokter Vita. Namun saat berjalan menuju ruang seniornya itu, ponsel Boggi berbunyi.
“ Halo selamat siang,,” Boggi mengangkat ponselnya tanpa melihat siapa peneleponnya.
“ Hai Boggi, dimana kamu sekarang ?? “ Langkah Boggi terhenti, Dokter Shani.
“ Mm,, aku sekarang di rumah sakit Mbak, mau ke kantor gedung rawat inap,, “ Jawab Boggi berdebar – debar.
“ Oh,, aku mau tanya tentang kondisi pasien A1 gimana Gi ?? Aku sekarang masih di Yogya, sore nanti baru sampai jakarta, kemarin aku ditelepon Pak Hari katanya pasien itu Pneumonia ya ?? “
“ I,,,,iya mbak. Tiga hari yang lalu di demam, batuk produktif. Suhu awalnya tiga puluh sembilan derajat. Sudah diterapi sesuai advis mbak Shani. Lalu keadaannya sekarang membaik,,Dan juga batuk sekarang mulai berkurang, sesaknya juga berkurang, leukositnya...... “ Boggi menyebutkan data sepanjang yang dia ingat tadi pagi saat membaca status pasien, sebersitrasa bersalah menghingapinya lagi dan segera ditepisnya,,,, Dokter Shani tampak puas dengan jawaban Boggi, dan Beliau juga mengucapkan terimakasih dan menutup ponselnya. Boggi menghembuskan nafas lega, hampir saja, pikirnya. Lalu melanjutkan langkahnya ke gedung kantor rawat inap untuk bertemu Vita dan menyerahkan laporannya.
Igo sedang mengendap-ngendap di balik rimbunan tanaman teh-tehan yang dibentuk burung di dekat parkiran. Dari belakang , sosoknya tampak konyol sekali. Jas dokter tersampir di pundaknya, tali tas cangklongnya ditaruh di kepala, kedua tangannya menyibak tanaman teh-tehan itu pelan-pela, seperti mengintai sesuatu. Boggi yang sedang berjalan menuju mobilnya setelah mengumpulkan laporan pasiennya mengerutkan keningnya.
Itu igo kan,, dalam hati Boggi penasaran, dengan cepat Boggi mengendap-ngendap ke Igo,,dan Igo yang sedang sibuk mengintai sesuatu tidak menyadari kehadiran Boggi.
“ WOI !!,,, Ngapain Lo Go,,,’ Boggi menepuk punggungnya dengan keras, mengejutkannya. Igo berteriak kaget.
“ Ampun Jablay,,, Ampun,,, Abang nggak mau ,, sumpah,,,” teriak Igo latah. Boggi tertawa terbahak-bahak melihat Igo yang menutup kepalanya,, Akhirnya Igo menyadari yang menepuk punggunya adalah Boggi.
Hari ini Dokter Igo menerima pasien Julie si jablay yang kontrol kepalanya, bahkan saat kontrol Dokter Igo sudah bilang kalau Julie baik-baik saja, namun yang terjadi adalah pasien meminta paksa untuk diperiksa dan menimbulkan keributan di ruang poliklinik, semua pasien disana mendengar keributan itu. Saat Igo sudah selesai si Julie ternyata menunggunya diparkiran. Igo mengumpet – ngumpet untuk menghindarinya. Dokter Igo takut bila yang terjadi hari ini ketahuan oleh pacarnya Rani. Namun Boggi berjanji akan membantu menjelaskannya.
Lampu di tempat clubbing berpendar, sinarnya mengabur karena kepulan asap rokok dari sekumpulan pria yang duduk dibawahnya. Musik host terdengar menghentak. Beberapa pasang pria dan beberapa pasang pria dan wanita masuk memadati ruangan yang sudah padat ini. Ada yang langsung turun melantai, ada juga yang masih santai-santai duduk di dekat meja bar. Seorang laki-laki berbaju merah dengan celana jeans menyelinap sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya mengikuti musik, mendekati meja bar. Tubuhnya penuh peluh. Sudah satu sam lenih dia melantai, sekarang dia kehausan.
“ Mineral water, please,,” mintanya pada bartender. Bartender dengan rambut dicat pirang itu memenuhi pesanannya.
“ Tumben mineral water,, nggak pingin pesan sesuatu yang lebih menggigit dok ?? “ tanya Kelvin pada langganannya. Dhio hanya tersenyum sambil meneguk air mineral. Tangan kirinya mengelus-elus rambut.
“ Besok pagi gw gak bisa bangun kalau minum sesuatu selain mineral water,,” sahut Dhio, meletakkan gelasnya. “ Bisa gawat nanti, bos gua sangar, ketahuan nguap waktu presentasi aja bisa panjang urusannya,, “ Kelvin tertawa, memamarken gigi putihnya.
“ boyfriend-nya nggak diajak nih ?? “ tanya Kevin lagi, Dhio merengut mengeluarkan rokoknya.
“ boyfriend mana maksud loe ?? Hendri ?? Greg ?? Paul ?? “ Dhio menyulut rokoknya.
“.........Cuma one night stand aja. Bosen kalau dipelihara lama-lama,,,” lanjut Dhio berbicara, sementara kelvin tertawa lagi. Langganan yang satu ini memang ajaib, tampan, penuh percaya diri, cerdas, banyak wanita yang mendekatinya, tapi Dhio tidak suka dengan wanita, belum lagi Dhio adalah seorang dokter salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Dalam hati Kelvin membatin, kalau dokter ini mau, Kelvin bersedia jadi piarannya walau sebentar.
Dhio menikmati kepulan asap rokoknya. Kegiatannya membuang sebal ini rutin dilakukannya, biasanya Dhio datang kesini sendiri. Dhio tidak terlalu suka datang berkelompok, ramai-ramai, lalu membuat heboh. Lebih enak sendiri, mau ke mana-mana bisa. Mau duduk tidak ada yang protes, mau dancing gak ada yang ngomentarin. Dulu Dhio pernah mengajak Boggi untuk menemaninya, tapi Boggi anak yang terlalu lurus. Boggi tidak bisa enjoy. Masuk tempat clubbing paling banter Cuma dihalamannya, waktu itu Boggi menungguinya sampai Dhio pusa dancing.
Dhio menghembuskan asap rokoknya, Boggi memang anak yang konservatif dan lurus. Walau begitu Ia sama dengan dirinya seorang Gay. Boggi anak yang baik, sering membantu teman, mengerjakan tugas atau mau dimintai tolong senironya. Mengantar dan menunggui Dhio clubbing pun Boggi mau. Tapi itu hanya sekali, setelah utu Boggi tidak pernah menawari dan Dhio juga tidak tega memintanya menemani ke tempat clubbing. Kalau Boggi rasakan, Boggi juga agak menjauh dan jaga jarak setelah itu. Dhio tahu Boggi sudah memiliki pacar seorang pria, namun hingga hari ini Dhio belum tahu siapa pacar Boggi. Aku dan Boggi beda dunia. Rokok ditanganya habis, Dhio memutar badannya menghadap meja mencari asbak untuk membuang puntungnya. Dan seseorang menaruh sebuah gelas di dekat tangannya. Dhio mengangkat wajahnya.
“ Halo,,Red wine ?? “ sebuah suara menyapanya,, Dhio membalas senyumannya.
“ Now wine this night, thank you,,”
“ Dance ?? “ tawarnya lagi. Dhio mengangguk, turun dari kursinya, menyambut uluran tangan pemilik suara itu. Kelvin yang sedang menuang minuman mengikuti Dhio dengan pandangan matanya sedih.
“ Lucky you, Boss...” Bisiknya....
Ruang UGD Rumah Sakit Fatmawati pukul sepuluh malam.Boggi baru saja selesai menjahit kepala seorang bapak yang terserempet motor. Lukanya tidak begitu dalam, tapi panjang. Boggi harus menghadiahinya tujuh jahitan. Belum lagi lukanya di tangan, dan kakinya yang tertusuk pecahan kayu yang ada di pinggir jalan. Bapak ini perlu suntikan antitetanus.
“ Mbak Hen tolong di skin-tes (tes alergi) ya, lima belas menit kalau gak alergi, injeksi dipantatnya. Suruh bapak itu milih mau yang dikiri atau kanan,,” Kata Boggi pada perawat jaga. Mbak Heni tertawa, Boggi mencuci tangannya kemudian duduk diruang TV mengistirahatkan kakinya. Sudah hampir lewat waktu pergantian shift jaga dokter, tapi Igo belum datang juga. Seharusnya Igo datang limabelas menit yang lalu. Boggi sudah kelelahan, dan tadi pasien yang datang tidak berhenti-henti. Tindakan pun banyak, jahit-menjahit. Maklum malam minggu, mobilitas tinggi. Angka kecelakaan tinggi. Boggi melihat-lihat daftar pasien yang sudah ditanganinya sejak pukul dua tadi siang.
“ Gi,, maaf terlambat,,” Igo nyengir lebar, minta dimaafkan.
“ rani ngambek, malem minggu begini aku dapat jatah jaga. Jadi harus ngrayu Rani dulu tadi,, “ Lanjut Boggi memberi alasan, dan Boggi hanya mengangguk-angguk.
“ oke-oke,, dimaafkan, telatnya tidak lama juga kok, baru limabelas menit,, “ sahut Boggi. Mbak heni menjengukkan kepala ke dalam ruang TV.
“ Dok ada pasien lagi,,” Igo dan Boggi berpandangan,,
“ I’ll handle it... Kamu ganti baju dulu sana,,” kata Boggi
“ Oke Boss !! I owe you pizza,,” Jawab Igo sambil mengedipkan sebelah mata, bergegas menaiki tangga samping ruang TV, ke ruang jaga dokter UGD.
“ Janji melulu, total dah lima pizza tuh !! “ sahut Boggi sambil membetulkan jasnya lalu keluar.
Pasien terbaring di ruang periksa satu, ditemani satu orang lelaki. MungkIn temannyakarena mereka tampak sepantaran. Pasien laki-laki, perkiraan Boggi berusia sekitar dua puluh tahun akhir, kurus nampak pucat. Boggi masuk dan mendekati laki-laki itu, tersenyum. Lelaki itu membalas senyum dengan lemah.
“ Mas Jacki ?? “ tanya Boggi membaca rekam medisnya. Lelaki itu mengangguk.
“ Apa mas keluhannya ?? “ lelaki itu mengatakan dia muntah-muntah hebat, malam ini sudah lima kali. Ada diare ?? Tidak, jawab Jacki. Demam ?? Mual sebelumnya ?? Tidak. Boggi mengambil stetoskpo di meja.
“ Saya periksa ya, tolong dibuka jaketnya “,, jackie membuka jaketnya. Saat itu Boggi melihat bekas jarum di tangannya. Boggi membeku. Jangan-jangan pria ini........... Stetoskop yang sudah hendak ditempelkan di dada pasien untuk pemeriksaan fisik menggantung di udara.
“ Saya mau kasih satu informasi dok,, mungkin bisa membantu ketepatan diagnosis,, “ ...sebentuk suara bariton terdengar di belakangnya. Boggi memutar tubuhnya, pengatar pasien itu angkat bicara.
“ Ya,, apa yang belum saya tahu mas ?? “ tanya Boggi ramah. Bayangan needle track di tangan pasien itu sedikit mengusiknya.
“ Teman saya ini HIV positif. Sudah tiga bulan mulai terapi ARV. Mungkin muntah ini efek samping dari obat itu,,” Ujar pengantar pasien itu tenang.
Spontan Boggi menarik tangannya, urung menempelkan stetoskop, pasang wajah beku dan bergegas pergi meninggalkan pasien dan temannya tanpa kata.
Satu lagi positif, rutuknya. Satu lagi orang tidak bermoral.
Kecurigaan bahwa pasien ini pengguna narkoba suntik terbukti. Sesuai prosedur, Boggi menelepon dokter Shani yang kebetulan sedang visite malam di bangsal, melaporkan pasien HIV positif muntah-muntah dan mengusulkan agar pasien dipulangkan.
“ Hmmm,,aku lihat kondisinya dulu. Sepuluh menit aku samapi UGD,,” Jawab Dokter Shani. Boggi membuang nafas sebalsambil menutup telepon.
Ketika Boggi kembali ke ruang periksa, ditangannya sudah terpasang sarung tangan latex steril, dan memakai facemask. Lalu memeriksa pasien kembali yang sudah sangat lemas dengan secepat mungkin. Lalu dengan dingin berkata kepada pasien itu,,
“ Oke, saya resepkan obat. Anda boleh pulang tapi menunggu pemeriksaan satu dokter ahli lagi,,,,” Terdengar dengus geli dibelakangnya. Boggi menoleh ke arah teman pengantar pasien, dia sedang tertawa geli sampai memukul-mukul dinding. Boggi tersinggung.
“ Maaf Anda tidak waras ?? “ Tanya Boggi ketus.
Apa,,,atau siapa yang dia tertawakan ?? Aku ?? batin Boggi.
“ Ma,,,maaf Dok,,,” pengatar pasien itu mengatur nafasnya, masih dengan sisa-sisa tawanya dia bertanya.
“ Dokter ini lulusan universitas mana ya ?? “ mulut Boggi ternganga, tidak mengira pertanyan itu akan terlontar dari pria ini. Ketika Boggi ingin mengeluarkan suara, pengatar pasien itu angkat suara lagi, masih dengan sisa tawanya.
“ IP nya dulu berapa ?? “ Nganga Boggi semakin lebar.
“ lulusan tahun berapa ?? “ Kali ini tidak ada sisa tawa di suaranya.
“ Dokter harusnya lebih cerdas lagi. HIV tidak menular lewat sentuhan atau udara. Sudah pernah dengar ?? Apa teman saya terlihat sangat virulen (ganas) ?? sampai harus memakai sarung tangan dan itu...itu...fuckin tutup mulut untuk memeriksanya ?? “ pengatar pasien itu menunjuk facemask yang masih menutupi hidung dan mulutnya. Boggi terpojok. Melepas tutup mulutnya tanpa sadar. Boggi sudah tidak bisa bicara lagi.
“ Dan !! kondisinya sudah sangat lemas, setahu saya, kondisinya namanya dehidrasi dan membutuhkan pertolongan cairan infus atau intravena line segera !! Dokter tahu itu kan ?? Tapi Dokter menyuruhnya pulang. Saya tahu kenapa, karena status HIV dia kan ?? Dokter takut pasang infusnya. Dokter tahu kan HIV banyak terdapat di dalam cairan darah ?? Atau........ jangan-jangan Dokter juga tidak tahu ?? “,,,,,,, Pengantar pasien itu sekarang mulai serius. Boggi terpukul dengan rentetan panjang omongannya.
“ Saya...saya...” Boggi tergagap. Pengatar pasien itu menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin.
“ Gawat sekali kalau semua Dokter seperti Anda, pengetahuan setengah-setengah tapi sudah berani praktik !! HIV dan AIDS saja tidak paham !! Saya jadi maklum kenapa semua promosi kesehatan terkait tidak sukses. Banyak diskriminasi di pelayanan kesehatan, itukarena dokter – dokter seperti Anda !! “,,, Boggi tidak mampu lagi menahan malu, marah, syok terkejut semua campur. Dalam situasi genting itu, Dokter Shani masuk ruang periksa, dan tanpa sadar Boggi mengeluarkan air matanya.
“ Boggi gimana kondisinya.... Oh he,, Yoga,,temanmu ?? ... Oh,, Jacki, baru tiga bulan ini ya kamu kasih terapi ARV. Lho,, lho..... Boggi,,, Gi...?? “
Boggi bergegas meninggalkan ruang periksa dengan air mata yang berebut keluar dari matanya. Boggi malu, Boggi marah. Boggi tersinggung. Boggi snagat marah dengan orang itu. Siapa sih dia, berani-beraninya mengkritiknya sedemikian pedas. Dia tidak punya Hak !!
Di ruang periksa Dokter Shani memandang bingung ke arah Yoga, minta penjelasan,, dan Yoga angkat Bahu,
“ A little live disscusion,, “ Kata Yoga sambil memutar bola mata. Dokter Shani mengangkat ujung bibirnya, berdecak.
“ Aku tahu kamu Sahala Yoga,,walau baru tiga tahun ini aku kenal kamu sejak kamu konsumsi ARV, lalu, kamu bilang apa tadi sama Dokter Boggi ?? “
Boggi menaiki tangga menuju ruang jaga Dokter UGD sambil mengusap air matanya dengan geram. Siapa laki-laki itu ?? belum pernah seumur hidupnya Boggi merasa setersinggung dan dipermalukan seperti ini. Dengan kalap Boggi masuk ruang jaga. Igo sedang berbaring, ketika Boggi masuk, Igo langsung terlompat dari tidurnya.
“ Sori Gi, capai sekali gua,, tadi baring sebentar,,,”
“ Siaallll !! “ jerit Boggi dengan air mata kemarahan keluar dari matanya, membanting facemask ke meja. Igo terkejut.
“ Kenapa Gi ?? “ Boggi berdiri di depan meja, tangannya mencengkeram pinggiran meja kuat-kuat , menahan marah.
“ Fuckin HIV Positif !! Aku benci semuanya!! “ Igo paham, pasien yang baru saja ditanganinya pasti seorang HIV positif.
“ Iya,, emang kenapa sialnya ?? “ Igo mencoba meredam amarah sahabatnya.
“ Mereka orang – orang bejat !! “ Igo teringat pembicaran mereka yang sempat terputus beberapa hari yang lalu. Boggi jadi ingat ketidaksetujuannya terhadap pandangan Boggi yang sangat skeptis.
“ Gi,, loe belum ngerti kata gua kemarin,, liat diri loe sendiri gi,, inget gimana loe pernah mendapat diskriminasi sebagai Gay kan ?? Loe gak ada hak gi menghakimi mereka, terutama sumpah dokter kita itu. Masih ingat kan loe sama sumpah itu ?? Jangan membeda – bedakan pasien berdasarkan penyakitnya !! “ Igo mencoba mengingatkan Boggi, namun Boggi semakin meradang.
“ Gua tahu Go,, ini tidak profesional. Seorang dokter seharusnya tidak membedakan pasien. Itu ada di sumpah Hipocrates. Tapi HIV ?? Itu penyakit Dosa !! “
“ Tunggu Gi,, gua tidak setuju dengan kata-kata mu terkahir, penyakit dosa,,”
“ Iya Igo,, banyak pasien yang kutangani, apa kerjaan mereka ?? dari mana mereka ketularan ?? Perek, pecandu, Orang tukang selingkuh, orang suka nglonthe, orang yang gak bisa nahan nafsu,,,” Mendengar omongan Boggi, Igo mulai emosi,,
“ Hah,,loe lupa Gi,, orang kaya loe itu juga masuk ke daftar salah satu penyumbang HIV dan AIDS,, Gay atau Homo,, loe lupa itu ?? Dari kemarin kutahan marahku,, Macam ustad saja loe menghakimi orang, Macam paling suci saja loe Gi,,Liat diri loe sendiri Gi,, Gw tahu loe orang lurus, kecuali menjadi gay,, tapi loe harus ingat loe ini DOKTER !! Bukan santo petrus, Kerjaan loe itu mengobati orang, bukan memutuskannya berdosa atau tidak !! “ Seru Igo, Boggi berbalik menatap Igo. Mereka berhadapan.
“ Dokter juga manusia Go,, punya penilaian pribadi !! Dan menurut Gua mereka memang tidak pantas ditolong, lebih cepat mati lebih baik, dan masalah Gay, loe bisa liat berapa persen sih Gay yang tertular HIV,, dikit sekali Go,, !!! “,, Boggi berbicara ketus kepada Igo, sementara Igo menggebrak meja.
“ Loe gila Gi,, loe tuh emang gila,,!! Semua pasien loe memuja diri loe kecuali pasien HIV – Semuanya mencintai Loe karena loe sangat total !! semua senior memuji loe, menganggap loe sempurna sebagai dokter,, Loe pintar, Cerdas, Rajin, Ramah, Baik,,,,, Tapi sama sekali tidak kusangka loe dangkal !! Mana ada Dokter berpikir lebih baik pasiennya mati ?? Dokter macam apa loe ?? loe kenapa sih Gi,, Gua kaya gak kenal loe sama sekali,,,,” bentak Igo.
“ Karena Dokter punya risiko besar untuk tertular Go !! “,, Jerit Boggi memotong suara besar Igo, Mereka terdiam kemarahan menggantung di Udara.
“ Menjadi seorang gay bukan merupakan risiko besar kah ?? “ tanya Igo berbalik.
Boggi hanya terdiam dengan pertanyaan sahabatnya itu,,,
“ Gua takut !! gw sering membaca berita Dokter atau perawat yang tertular HIV dari pasiennya. Aku tidak mau bernasib seperti mereka !! karena itu aku benci mereka !! Mereka itu menghancurkan dirinya sendiri dan hidup orang lain,, Mereka itu berbuat bejat lalu menulari orang – orang yang seumur hidupnya berusaha hidup lurus !! “ Boggi Kalut. Perasaannya campur aduk. Omongan kasar pengantar pasie tadi menghidupkan semua kekhawatiran sekaligus menyinggungnya.
Boggi membanting pintu mobilnya. Boggi tersedu- sedu di atas setirnya. Terbayang omongan pedas pengatar pasiennya dan juga bentakan Igo tadi.
“ Memangnya kenapa kalau aku mendiskriminasikannya ?? Aku Cuma melindungi diriku sendiri !! Salahkah temanmu yang jadi pecandu lalu tertular !! Jangan minta orang berbuat baik kepadanya kalau dia sendiri tidak berbuat baik pada dirinya sendiri... Siallaaaannnnnnnnnnn !! “ Boggi seorang diri, melampiaskan kemarahannya. Diraihnya ponsel di dalam tasnya, hari ini Boggi ingin bertemu dengan Rivi.
Musik host menghentak, mengiringi goyangan anak muda di temaram lampu dan sorot cahaya lampu warna – warni. Dhio dan pasangannya nampak asyik menikmati musik itu. Sesekali mereka menempelkan tubuhnya, saling menggoda. Namun sesaat, Pria itu berhenti bergoyang. Pria itu meraba saku celananya. Rupanya Pria itu mendapat panggilan di ponselnya. Dhio mengawasi sambil terus bergoyang, Dhio mengira lelaki itu akan mengangkat ponselnya, namun Lelaki itu hanya melihat layarnya. Menunggu ringtone berhenti, dan memasukkan kembali ke saku celananya.
“ Dari pacar ?? terima aja,, “ goda Dhio sambil terus mengikuti lagu, peluhnya menetes, membuat kulit cokelat mulusnya mengkilat tertimpa lampu. Seksi. Rivi hanya mengedikkan bahunya, lalu bergoyang lagi. Sesaat kemudian ponselnya berdering lagi, Seperti tadi, Rivi hanya menunggu ringtone selesai, tidak mengangkatnya . lalu Rivi memencet tombol off.
“ Nggak diterima aja ?? siapa tahu penting,, “ Ujar Dhio lagi.
“ Nggak penting ko,, “ Jawab Rivi singkat sambil , meraih tangan Dhio, meletakkan di leharnya. Dhio tertawa, sudah biasa menghadapi pria-pria seperti ini. Punya pacar tapi masih cari makanan selingan. Mereka bergoyang semakin panas. Rivi mendekatkan kepala ke telinga Dhio.
“ Pulang bareng sayang ?? Aku punya tempat asyik sebelum pulang,, “ bisik Rivi nakal. Dhio menanggapinya dengan tawanya yang remah, ending seperti itu sudah diduganya. Tanpa kata Dhio mencium bibir Rivi, dan Rivi membalasnya dengan penuh nafsu,, lalu mereka meninggalkan ruangan.
“,,,,,, the number you are calling is not active or not in the coverage area...........”
Dengan putus asa Boggi mematikan ponselnya, tadi dua kali Boggi menelepon bisa tersambung, tidak diangkat, namun kali ini tidak aktif. Rivi dimana ?? Tadi sore terakhir Rivi menelepon bahwa ia akan ada meeting dengan tokoh masyarakat sekitar resort untuk membahas permasalahan yang terjadi selama ini,,, tapi masa sampai semalam ini ?? jam diatas dashboard mobilnya menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh lima menit malam. Akhirnya Boggi menstarter mobilnya, dan perlahan meninggalkan area parkir Rumah Sakit.
Disaat perjalanan pulang, Boggi ingin mengarahkan mobilnya kerumah Rivi, namun ini sudah pagi. Dan Boggi takut mengganggunya dan keluarganya. Selama perjalanan Boggi masih terngiang ucapan sahabatnya Igo,,, “ Kamu itu emmang lurus...................” Boggi masih ingat perasaan takutnya yang menjalarinya waktu itu. Profesinya Dokter, tentu Boggi akan bersinggungan dengan produk darah. Boggi berpikir alangkah besarnya kemungkinana Boggi tertular HIV. Memang waktu itu diterangkan bahwa HIV tidak menular lewat sentuhan, bersin, batuk, menggunakan fasilitas umum bersama, atau air liur. Tapi siapa Tahu ?? cibir Boggi.
Pandangan lurus yang dianut Boggi terbawa juga terhadap hubungannya dengan Rivi, selama bersama Rivi hal paling jauh yang dilakukan mereka berdua hanya sebatas kissing.
“ Rivi dear Kamu dimana ?? bisiknya sedih.
Boggi memasuki halaman rumahnya, memarkir mobilnya pelan-pelan digarasi. Rumah sudah sunyi, Bapak dan Bunda pasti sudah tidur sejak jam sepuluh tadi. Boggi masuk ke kamarnya, meletakkan barang-barangnya sembarangan, mengganti bajunya dengan kaos dan celana pendek, cuci tangan dan cuci kaki, lalu berdiri didepan wastafel. Matanya sembab dan ada lingkaran hitam dibawah matanya. Boggi mencuci mukanya dengan cepat dan menjatuhkan dirinya dikasur. Badan capai tapi pikirannya penuh. Boggi ingin teman bicara, diraihnya ponsel dan mencoba menghubungi Rivi.
“.............nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif......”
“ sayang aku kangen...kamu dimana...” desah Boggi sedih, kemudian Boggi tertidur saking lelahnya, sambil memeluk guling kesayangannya.
“ Waw,, ternyata loe tajir juga ya,, “ decak Dhio kagum memandang kamar suite hotel. Hotel ini hotel Papa. Rivi tidak meladeni kekaguman Dhio. Rivi sudah biasa mendengar para laki-laki yang kesenangan dibawanya tidur di kamar-kamar hotel papa yang lux. Rivi langsung menyambar tubuh Dhio yang sudah basah oleh peluh, tampak seksi dan matang. Dhio tertawa manja.
“ Ganas juga kamu,,” mereka berpelukan dan bibir mereka saling memagut, Rivi mencopoti kancing bajunya dengan tidak sabar dan berusaha melepas pakaian Dhio, Dhio mendesah kesenangan.
“ Punya kondom kana ?? “ tanya Dhio disela desahnya,, Rivi mengangkat alisnya.
“ Kondom ?? “ enggahnya..........” Nggak perlu pakai begituan,,,”
“ i always play safe sex,,,’ kata Dhio sambil meraih tasnya, mencari persedian kondomnya. Dhio tidak mau tertular PMS termasuk HIV. Rivi mendecak sebal, permainannya terinterupsi.
Tapi tidak lama kemudian mereka sudah bergulingan lagi di double bad yang lembut. Ketika Rivi menciumi lejer Dhio dengan penuh nafsu dan tangannya mengelus-elus pipinya, Dhio baru sadar melihat sebentuk cincin di jari manisnya.
“ Hey,,you’re married,,,”
Ruang VIP Paviliun Cendrawasih, kamar dua, Yoga menatap dinding dengan nanar, sejak tiga jam lalu Jacki sudah tertidur pulas. Selang nafas sudah terpasang ditangan kirinya, muntahnya juga sudah berkurang. Tadi Mbak Shani sudah memberi obat antimuntah lewat infusnya dan sekarang mualnya juga sudah hilang. Karena kelelahan, Jacki tertidur begitu dipindahkan ke kamar. Seperti perkiraannya, Mbak Shani mendiagnosisnya dengan dehidrasi dan menyuruhnya di rawat inap paling tidak dua hari, sekalian mengevaluasi efek obat ARV-nya. Yoga mengubah posisi duduknya, menghembuskan nafas panjang. Kejadian di UGD tadi memenuhi pikirannya. Sering Yoga mendengar adanya diskriminasi ODHA di pelayanan kesehatan, rumah sakit, klinik atau puskesmas. Namun secara gambalang Yoga baru melihatnya tadi, dengan mata kepalanya sendiri.
Dokter itu tadi, siapa namanya ?? kalau tidak salah mbak Shani menyebutnya “ Boggi “,, Yoga tertawa kecil mengingat kejadian tadi. Awalnya dokter itu sangat ramah menyapa Jacki, Yoga sempat terpukau dengan senyumannya yang begitu manis yang dihiasi gigi yang putih dan teratur. Setelah Yoga memberitahunya tentang kemungkinan muntahnya akibat mengkonsumsi ARV, sikapnya langsung berubah 180 derajat, dan menggelikannya lagi, selain bagian sarung tangan dan masker, Dia juga berniat memulangkan Jacki. Saat itulah yang membuat Yoga kesal, Dan Yoga juga menyesali karena dirinya sudah berbicara keras, tapi Dokter itu perlu diberikan sedikit pelajaran, supaya teman-teman sesam ODHA-nya yang lain tidak mendapat perlakukan yang sama, Hmmm............Yoga tadi sempat berpikir juga untuk membuat pemberitaan di koran, namun Mbak Shani mencegahnya.
“ Kalau kamu menuliskan nama Boggi di koran, Aku tidak akan memaafkan mu, Boggi itu juniorku yang rajin dan cerdas. Untuk kejadian ini, biar aku yang menegurnya secara pribadi. Kalau kamu mau buat artikel di koran, buatlah tanpa mencantumkan nama Boggi,, “ Ujar Dokter Shani tadi,, Yoga hanya garuk-garuk kepala. Kalau Dokter Boggi cerdas, mengapa sebegitu beloonnya Ia dengan menggunakan semua alat perang yang tidak perlu itu ?? Berarti kecurigaan bahwa Dokter itu, Dokter Boggi kurang pengetahuan, bisa dicoretnya.
Yoga merebahkan tubuhnya di sofa tunggu pasien berbaring dengan berbantalkan lengannya. Kalau tidak dengan cara frontal, bagaimana dia bisa membuat Dokter itu tahu bahwa caranya salah,,, Mbak Shani memang mau menegurnya secara pribadi. Tapi Yoga harus memiliki cara untuk menegurnya juga. Lagi,,percuma saja bila Yoga yang bekerja di LSM yang menyuarakan antidiskriminasi terhadap ODHA kalau Yoga diam melihat perlakuanseperti itu di depan matanya. Namun, bagaimana caranya ??
“............ Ga,, Yoga,,,” Yoga medengar Jacki memanggilonya dengan suara lemah. Yoga segera bangkit dari tidurnya.
“ Yo pal,,,, “ Yoga mendekat ke tempat tidur.
“ Aus...minum dong,, “ pintanya. Yoga mengambilakn sebotolo air mineral di samping tempat tidur. Dengan lahap Jacki menyedot air itu sampai habis sepertiga.
“ Udan gak mual lagi ?? “ Jackie menggeleng
“ Udah telepon Ibu ?? “ Jackie bertanya.
“ Udah tadi, begutu Mbak Shani bilang kamu harus nginep, malam ini Ibu sama Bapak langsung berangkat dari Bandung naik travel, paling nanti shubuh samapi,, “ jackie hanya tersenyum lemas.
“ Terimakasih pal,,, “ kata Jackie,,,
“ Nevermind,,, “ sahut Yoga
Beberapa menit kemudian, Jackie sudah pulas lagi, terdengar dari dengkuran lembutnya. Yoga meletakkan badannya lagi di sofa. Untunglah Ibu dan bapak Jackie sama dengan Mama dan saudara – saudaranya, tidak menjauhi atau menyalahkannya ketika mengetahui status HIV-nya. Mereka mendukung dan mendorongnya supaya clean dari narkoba suntik yang membuatnya tertular, dan menyemangatinya untuk memulai terapi antiretroviral tiga tahun lalu. Yoga memiringkan badannya, menghadap dinding.
Matanya mulai berat. Beberapa saat Yoga tertidur menyusul jackie. Dalam tidurnya Yoga bermimpi berjalan bergandengan dengan seorang laki-laki. Ketika Yoga melihat tangan yang menggandengnya, Yoga terkejut karena tangan itu memakai sarung tangan latex. Dan ketika Yoga mengangkat pandangannya, Yoga bertemu pandang dengan mata dokter Boggi.