It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Boggi sudah menyelesaikan jahitannya yang terakhir di lutut seorang anak SMU yang baru kecelakaan, ketika Boggi menangkap sosok Yoga di pintu UGD.
“ Tinggal di betadin, tutup luka,,, “ Kata Boggi kepada Ika, perawat magang UGD. Ika mengangguk dan mengambil alih luka itu. Boggi membuka maskernya, tersenyum pada Yoga yang menunggunya sambil bersandar di dekat pintu.
“ Universal precaution yang pada tempatnya kan,, “,, Kata Boggi sambil melepas sarung tangan latexnya. Yoga mengangguk, mengancungkan jempolnya.
“ Masih sibuk dok ?? “ Tanya Yoga. Boggi memandang UGD yang lenggang. Dua jam yang lalu pasien masuk tak henti-henti. Baru saja UGD sepi dan Boggi bisa bernafas lega.
“ sudah tidak terlalu,, Emm....... tunggu saya di cafetaria aja ya, saya cuci tangan dan langsung nyusul ke sana. Haus juga dari tadi sliwar – sliwer,,, “ Kata Boggi.
“ Oke,,, “ Jawab Yoga, lalu keluar ruangan UGD.
Sepeninggalan Yoga, Boggi mencuci tangannya lalu naik ke ruangan jaga untuk mengambil jaket Yoga yang sudah dicucinya. Boggi sudah sampai pintu, lalu kembali lagi untuk menyisir rambut. Lalu Boggi tersadar, mengapa harus melakukan ini dan berhenti menyisir. Sambil tertawa kecil Boggi turun.
“ Cuma mau jaga penampilan kok, bukan karena mau ketemu Yoga,, “ Gumam Boggi.
Cafetaria sudah mulai sepi karena jam makan malam sudah lewat, Boggi menghampiri meja Yoga dan mengulurkan bungkusan jaketnya.
“ Terimakasih ya mas,,” Ujar Boggi sambil tersenyum, Yoga menerima bungkusan itu, tersenyum.
“ sama – sama,,, “ sahut Yoga,, menangkap kilauan di jari Boggi. Cincin.
Sementara Boggi memesan minum dan makanan kecil di konter cafetaria. Ketika Boggi kembali ke meja, Yoga sedang memegang bungkusan kecil dengan agak heran.
“ Mmmm,, sekedar terimakasih,, “ terang Boggi sambil meletakkan nampannya.
“ Buat apa ?? “ Tanya Yoga.
Buat apa ?? buat banyak hal, kata Boggi dalam hati. Artikel, CD, buku jurnal,,,,,,,,,,
“ Buat,,, buat semuanya,, buat pengetahuan yang mas Yoga bagikan ke saya. Buat marah-marahnya, buat handscoen dan facemask... “ Boggi mengedikkan bahu,,, “ Semuanya,,,,” Yoga manggut – manggut.
“ Sebenarnya tidak perlu dok, itu tugasku ke sebagai pekerja sosial kok,, “ Kata Yoga.
“ Hmm,, oke,, anggap saja gantian saya yang mau berbagi info tentang buku terbaik yang pernah saya baca. Bukan tanda terimakasih,, “ Boggi memberi alasan, Yoga menatapnya dengan pandangan geli.
“ Dokter raja ngeles,, “ Kata Yoga sambil nyengir, lalu membuka bungkusan itu, lalu terpaku melihat sampul buku itu. Boggi menangkap perubahan wajah Yoga.
“ Ups,, tidak suka ya ?? atau sudah pernah baca ?? Mmm... karena Mas Yoga suka menulis, jadi saya pikir suka baca juga,, Jadi ya saya belikan,,, “
“...........Aku baru saja berpikir untuk membeli buku ini. Beberapa tahun lalu aku baca punya temanku dan buku ini mengubah hidupku. Jadi aku berpikir untuk membelinya sebagai koleksi pribadi,, “,, Yoga mengangkat wajahnya, memandang Boggi dengan pandangan berbinar. Tangannya memegang buku The Alchemist karangan Paulo Coelho.
“ Terimakasih Dok,, “ Ujar Yoga. Boggi mengangguk agak salah tingkah tapi dalam hati dia lega luar biasa. Untung Yoga menyukainya. Buku itu merupakan salah satu favorit Boggi.
“ Saya fans berat Paulo Coelho.. “ Kata Boggi sambil mengunyah risol-nya pelan-pelan. Yoga memandangnya dengan tatapan aneh.
“ The Fifth Mountain ?? Veronica Decides to Die ?? The Zahir ?? The Devil and Miss Prym ?? “ Ujar Boggi. Boggi menghentikan kunyahnya.
“ Mas Yoga suka juga ?? “ Tanya Boggi takjub. Yoga mengedikkan bahu.
“ Novelnya Inspiratif,, “ Boggi tersenyum senang. Jarang ada teman sejawatnya yang suka membaca. Sebentar saja mereka sudah terlibat dalam pembicaraan seru tentang buku-buku itu. Mereka berdua bersenda gurau, tertawa bersama.
“ Syukurlah Pak Dokter sudah hidup lagi listriknya,,Tadi kelihatan gelap.. “ Ujar Yoga. Boggi tercenung, lalu tersenyum sedikit salah tingkah.
Yoga mengetahui perasaan hati Boggi. Apa karena wajah Boggi yang terlalu terus terang, atau Yoga seorang pembaca pikiran ??
“ Hmm,,, kelihatannya ya,, Cuma lagi ada sedikit pikiran aja tadi, kepingin roti tapi tidak kesampaian,, “ Yang Boggi maksudkan adalah masalahnya dengan Rivi. Boggi mengumpakannya. Yoga terdiam sebentar.
“.... Dan saat engkau menginginkan sesuatu, maka seluruh jagad raya,,,,” Yoga berkata.
“............akan bersatu padu untuk membantunya meraihnya,,” Sambung Boggi. Mereka tersenyum lebar. Itu salah satu percakapan pada karangan Paulo Coelho.
Ponsel Boggi berbunyi. Yoga menyimak pembicaraannya. Ada pasien di UGD, wanita hamil tujuh bulan yang pendarahan.
“ Okeh Dok, selamat meneruskan jaga. Terimakasih bukunya,, “ Kata Yoga setelah Boggi menutup telepon dari perawatnya. Boggi tersenyum.
“ Sama-sama,, “ Kata Boggi. Boggi membayar minuman, lalu mereka berjalan beriringan menuju UGD. Dipintu Depan UGD mereka berpamitan. Yoga membalikkan badan menuju parkiran, tetapi sesaat kemudian berbalik lagi.
“ Dok,, “ Panggil Yoga. Boggi yang sudah membuka pinti UGD menoleh.
“ Aku punya artikel baru tentang PMTCT. Kalau berminat nanti aku kopikan,, “ Boggi mengangguk senang.
“ Berminat sekali,, “ Jawab Boggi. Yoga menimbang-nimbang sebentar.
“ Terus aku titipkan tukang sapu atau........ “ Yoga menggantung kalimatnya.
“ Besok saya libur turun jaga, ketemu saja di perpus rumah sakit sekitar jam sebelas,, “ Jawab Boggi dengan senyumnya.
“ Oke,,” Kata Yoga, lalu membalikkan badan.
“ Yoga apa yang kamu lakukan.. Dokter itu sudah pakai cincin... Tapi masih juga mengajak ketemuan ?? “ geram Yoga, sambil menyalakan mobil.
Ah, tapi mereka ketemuan untuk membicarakan PMTCT, atau pengobatan ARV, atau apapun. Bukan untuk hal lain di luar itu, ralat Yoga pada dirinya sendiri. Lalu menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir.
Boggi membereskan kertas-kertas catatan pasien di meja presentasi. Konferensi pagi laporan kasus jaga UGD-nya baru saja selesai. Ruangan mulai kosong karena masing-masing dokter sudah keluar untuk melakukan tugasnya masing-masing. Igo mendekatinya.
“ Gi,, beberapa hari ini penampilan baru ya, “ Ujar Igo. Boggi menautkan alisnya, bingung apa maksud Igo. Igo kemudian menunjuk jambang yang sudah dipotong dan tentu rambut Boggi yang biasanya gondrong sudah dicukur rapi. Boggi menyeringai.
“ Wah perhatian juga nih abang dokter ganteng sama aku,, “ Sahut Boggi. Igo merengut mendengar olokan Boggi. Julie Jablay sudah tidak ada cerita lagi, tapi predikat ‘ abang dokter ganteng ‘ atau ‘ abang dokter sayang ‘ menjadi icon Igo di Rumah Sakit ini.
“ Iya Go, kemarin gua ketiban sial harus lompat dari lantai dua, padahal loe tahu sendiri gua takut gelap,, nah daripada sial lagi yang potong rambut dan jambang,, “ Kata Boggi dengan senyum.
“ Gile... loe kayak tokoh film action aja Gi, ngapain lompat dari lantai dua ?? Maling radio ?? “ Boggi merengut, pura-pura sebal, lalu menceritakan pengalaman serunya terkunci di perpustakaan. Igo terkaget-kaget mendengarnya.
“ Waktu gua jaga UGD kemarin ?? Aduh Gi........ kenapa tidak panggil gua ?? terus siapa yang bantu loe ?? “,,, Tanya Igo panik. Boggi terkekeh.
“ Tenang abang dokter ganteng,, kemarin gua mau panggil loe, tapi sayangnya UGD ke perpus kejauhan, bisa putus pita suara ku nanti. Untung ada keluarga pasien bantuin aku turun,,, “ Terang Boggi tanpa menceritakan lebih detail siapa keluarga pasien itu.
“ syukurlah loe selamat Gi, kalau tidak, nanti gua bisa pusing tujuh keliling. Tidak ada nanti yang bantuin gua bikin laporan pasien.....” Gumam Igo penuh syukur sambil menadahkan kedua tangannya ke atas, seperti berdoa. Boggi menimpuk kepala Igi dengan buku dan berjalan meninggalkannya.
“ Dasar egois, bersyukur untuk kepentingan sendiri,, “ gerutu Boggi. Igo terkekeh dan mengikutinya dibelakang.
“ Gi mau kemana ?? loe turu jaga kan siang ini ?? temani aku jaga bayanganlah... “ Pinta Igo,,,,,,,,,,, “ Malas banget gua nie jaga bayangan sendiri, paling nanti diminta gua ke hemodialisa atau jaga ICU sama senior,, “ lanjut Igo berkata.
Dengan senyum manis Boggi menolak permintaannya dengan alasan mau mengerjakan tugas di perpustakaan. Igo memperingatkan sebelum berpisah.
“ Jangan terkunci lagi loe Gi,,” Boggi hanya menjulurkan lidahnya,,”
Pukul sebelas Yoga datang. Hari ini Yoga memakai kemeja kotak-kotak, celena warna khaki, tas ransel dan sepatu vantofel. Rambutnya belah tengah disisir rapi. Yoga menghampiri meja Boggi. Boggi cepat-cepat menunduk.
“ siang dok,,” sapa Yoga, duduk didepan Boggi. Boggi pura-pura kaget dan mengangkat kepalanya dari buku yang baru dibacanya. Padahal sudah dari tadi Yoga mengamati, sejak Yoga masuk perpustakaan.
“ Eh,, Mas Yoga. Siang,, “ Boggi tersenyum, berharap denyut nadinya segera menjadi normal kembali. Mereka sama-sama terdiam.
“ Ah iya,, fotokopian artikel,, “ Ujar Yoga dan mengeluarkan sebendel kertas dari tasnya dan menyerahkan pada Boggi. Boggi membuka-bukanya, senyumannya mengembang.
“ Sebelum saya baca artikel tentang PMTCT pertama dulu dari Mas Yoga, saya tidak ngira kalau ODHA wanita bisa melahirkan anak dengan HIV negatif,, “ Kata Boggi.
“ Itulah kemajuan ilmu pengetahuan Dok,, “ sahut Yoga.
“ Iya penemuan ARV dan perkembangannya sekarang benar-benar luar biasa ya. ODHA bisa hidup normal asal mau konsumsi teratur,,” Boggi memandang Yoga,,,, “ Sayang ya, saya baru tahu sekarang. Kalau dari dulu kan saya bisa berbuat lebih baik untuk para ODHA yang saya tangani,, “ ucap Boggi penuh sesal.
“ Tidak ada yang terlambat Do. Kalau dokter berminat, ayo kita belajar sama-sama. Banyak juga ODHA yang belum tertangani, dan siapa tahu besok mereka jadi pasien dokter...” Kata Yoga,, Boggi mengangguk setuju.
“ Terimakasih Mas,, “ Ujar Boggi,,,, “ Oh iya dari kemarin aku mau bertanya tentang efek samping Zidovudine...”
Mereka terlibat diskusi yang seru. Boggi menanyakan hal-hal yang belum diketahuinya tentang ARV, atau harm reduction, atau PMTCT atau VCT (Voluntary Consulting and Testing), tentang semua hal berkaitan dengan HIV/AIDS. Yoga menjelaskan dengan sabar, sesekali Yoga tidak menjawab, membiarkan Boggi mencari jawabannya sendiri.
Pertemuan mereka semakin sering. Jika Boggi jaga UGD malam, Yoga sering datang dengan alasan mengantar teman ODHA-nya yang berobat atau sekedar menyerahkan jurnal terbaru. Boggi pun sekarang tidak lagi memakai sarung tangan dan masker ketika memeriksa teman ODHA Yoga. Kadang Yoga menggodanya dengan menyorongkan sarung tangan ketika Boggi hendak mengukur tekanan darah teman ODHA-nya, Boggi merengut pura-pura marah.
Lain waktu, ketika Boggi luang dan sedang membaca di perpsutakaan, Yoga menganggunya dengan menirukan suara Pak Mardi.
“ Dok perpusnya sudah mau tutup. Ayo pulang, nanti saya kunci lho,, “ Boggi terkejut, dan ketika mengetahui bahwa itu Yoga, Boggi akan menimpuknya habis-habisan dengan kertas.
Pada suatu ketika mereka berdua berdiskusi tentang HIV/AIDS dikalangan gay.
“ Saluran anal juga tidak akan menjadi basah walaupun ada antisipasi akan digunakan dalam hubungan seks. Selain itu lapisan yang membentuk dinding nya tidak terlalu tebal. Mengadakan hubungan anal tanpa menggunakan pelumas bukanlah ide yang baik. Paling tidak hubungan demikian akan menyakitkan. Namun lebih penting lagi dari segi HIV, saluran anal yang demikian kering akan sangat memungkinkan tergores atau lecet ketika digunakan. Dan bila salah satu dari pasangan ini sudah tertular, ia akan lebih mudah menularkan virus ini,, “ Ujar Yoga menjelaskan.
“ Apakah ini terjadi dalam dunia gay saja ?? “ Boggi mengatakan dengan resah.
“ Jangan beranggapan bahwa hal seperti ini hanya ada di seputar dunia kaum gay Dok. Sebuah penelitian penting tentang pasangann heteroseksual mendapatkan bahwa para wanita yang melaporkan melakukan seks anal lima kali lebih mungkin tertulari HIV dari pasangannya yang sudah tertular daripada wanita yang hanya menikmati hubungan seks dengan cara konvensional, yaitu melalui vagina mereka,,” Lanjut Yoga menjelaskan.
“ Apakah mas juga berpikir bahwa HIV/AIDS yang diderita kaum Gay sebagai suatu pertanda pembalasan Tuhan atas perbuatan sodomi ?? “ Tanya Boggi dengan wajah memelas.
“ HIV pastilah bukan pembalasan Tuhan bagi seks anal tanpa pelindung yang dilakukan dengan banyak orang. Itu merupakan akibat dari seks anal tanpa pelindung yang dilakukan banyak orang, seperti halnya Kanker Paru-paru yang merupakan akibat dari banyak mengkonsumsi merokok, dan Obesitas yang merupakan akibat dari banyak mengkonsumsi makanan cepat saji, meminum soda dan juga karena lebih suka mengendarai kendaraan untuk melintasi jarak beberapa puluh meter saja ketimbang jalan kaki,, “ Yoga menjelaskan dengan senyuman........... dan kemudian Yoga menjelaskan,,,,,,, “...Jika kita berhubungan seks dengan cara yang tidak sesuai dengan rancangan seksual tubuh manusia, kita akan meningkatkan kemungkinan terjadinya sobekan kecil dan lecet yang akan memberi jalan bagi virus untuk berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Jika kita sering bergonta-ganti peran antara penerima dalam seks anal yang memungkinkan kita menjadi tertular, dan sebagai pemberi yang memungkinkan kita menularkan, kita pasti akan mempercepat laju penularan HIV,,, “ Lanjut Yoga.
Mereka berdua pun akhirnya terdiam.
“ Mas,, kalau saya bilang saya gay,, apakah mas masih akan tetap menjadi teman saya ?? “ tanya Boggi.
Yoga hanya tersenyum mendengarnya,,
“ Aku HIV positif dan aku gay ,, apakah Dokter masih mau berbicara dengan ku ?? Yoga dengan tersenyum berkata jujur kepada Boggi. Boggi kaget, dan berusaha mencerna dengan baik kata-kata Yoga.
“ Mas Gay ?? “ Tanya Boggi heran,, Yoga hanya tersenyum dan mengangguk,, “ saya tidak mungkin menjauhi mas, karena saya juga sama kaya mas Yoga,, saya seorang gay,, “
Sejak peristiwa pengakuan itu mereka semakin dekat, namun sebatas itu. Yoga membatasi diri setiap mengingat cerita bahwa Boggi sudah memiliki seorang calon pasangan hidup dan kilauan di jari manis kiri Boggi. Yoga merasa, Boggi pun menjaga jarak dengan memanggilnya ‘ mas ‘ dan ‘ ber-saya-saya ‘ setiap berbicara denganya. Memang usia Yoga lima tahun diatas Boggi, tapi saling memanggil nama bagi Yoga terdengar lebih akrab. Namun begitu Yoga memaklumi sikap Boggi itu, dan Yoga juga membuat batas dengan memanggilnya “ dok “. Lebih aman untuk semuanya. Yang penting, misinya untuk membuka pikiran tentang sikap anti diskriminasi Boggi sudah terlaksana. Memang itu motivasinya mendekati Boggi.
Sejauh ini, bagi Boggi pertemuan dan diskusi dengan Yoga akhir-akhir ini semakin memantapkan ketertarikandan minatnya untuk mengambil bidang penyakit dalam, lalu konsen di HIV/AIDS. Jujur, menurutnya Yoga adalah sosok yang menginspirasi dan membuat Boggi kagum. Sosok ODHA yang bangkit dari keterpurukannya dan sekarang bersemangat membagikan talentanya. Meskipun sampai sekarang, Boggi belum berani menanyakan apa penyebab tertularnya. Hubungan mereka belum sedekat itu, dan akankah menjadi lebih dekat lagi ??
Only heavan knows,, batin Boggi.
Semakin hari, Boggi semakin merasakan kenyamanan berkomunikasi dengan Yoga. Yoga adalah teman diskusi yang pintar dan berwawasan. Kali ini tentang AIDS, kali lain mereka membicarakan tentang drugs dan narkotika, kali lain lagi mereka membahas kehamilan, menstruasi, dan persalinan, Boggi heran, dari mana Yoga tahu. Padahal Yoga adalah sarjana ekonomi, sama seperti Rivi.
“ Dari angin dan udara, bukan dari manusia,,” Jawab Yoga waktu Boggi menanyakan dengan heran, darimana Yoga tahu tentang banyak hal.
“ Nggak kreatif,,, “ cibir Boggi. Memang internet menyediakan banyak pengetahuan, tapi bagi Boggi orang yang mau mencari pengetahuan itu yang hebat. Dan Yoga hebat.
Sore itu Boggi sedang duduk di ruang TV sambil asyik membaca artikel yang baru saja di dowload-nya dari internet. Sekarang Yoga tidak mau lagi memberinya jurnal. Yoga menyuruh Boggi mencarinya sendiri, lalu mereka akan berdiskusi. Bunda duduk disampingnya.
“ Nang,, “ Ibu memanggil, Boggi mengangkat wajahnya.
“ Bagaimana kabar persiapan mu ke Belanda ?? sebulan ini kamu, Rivi dan Mamanya Rivi jarang menghubungi Bunda. Tinggal tiga bulan lagi lho... “ Bunda nampak khawatir.
Boggi jadi tersadar. Sekarang sudah bulan enam. Bulan September sebentar lagi. Boggi terdiam, menatap TV yang tidak menyala. Perdebatan dengan Rivi tentang peminatan profesi dokternya belum menemukan titik terang. Rivi dan Mama masih bersikeras meminta Boggi meninggalkan keinginannya menjadi dokter penyakit dalam, mematikan niatnya untuk mengurusi pasien HIV/AIDS, dan memaksanya mengambil spesialis kulit dan kelamin. Sementara itu, semakin hari niatnya semakin mantap. Karena masalah ini, beberapa minggu ini mereka tidak menyinggung tentang persiapan ke Belanda.
“ Bun,,, “ kata Boggi akhirnya.... “ Boggi ingin cerita jujur tentang masalah yang sedang Boggi dan Rivi hadapi..”
Bunda menangkap keseriusan dalam suara Boggi, lalu mengajak Boggi menceritakan di depan Bapak juga. Bertiga, mereka berbicara di ruang TV.
“ Pak,, Bun,, antara Boggi, Rivi dan Mama saat ini belum ada kesepakatan tentang apa nantinya profesi peminatan Boggi setelah kami menikah. Mama dan Rivi menginginkan Boggi jadi ahli kulit dan kecantikan, sedangkan Boggi.......” Boggi menceritakan ketidaksepahaman mereka, pertimbangan mereka, dan alasan ketertarikannya mendalami ilmu penyakit dalam.
“ Bagi Boggi, masalah penentuan masa depan itu di tangan Boggi sendiri, karena Boggi ingin bertanggung jawab terhadap apa yang telah Boggi putuskan. Selama satu tahun ini, Boggi mencari apa yang sebenarnya Boggi minati dan sekarang Boggi sudah menemukannya. Boggi bersyukur akhirnya Boggi tahu apa yang Boggi inginkan, sayangnya minat Boggi itu tidak sesuai dengan kemauan mereka,,,Ini bukan sekedar undangan atau pencantuman gelar yang bisa dikompromikan atau Boggi mau mengalah Pak, Bun. Ini mencakup masa depan, sama halnya ketika Boggi jujur sama ibu tentang Boggi yang gay. Sampai mati Boggi yang akan menjalankannya, jadi Boggi tidak mau ada penyesalan karena tidak melakukan apa yang sebenarnya ingin Boggi tekuni,,,”
Bapak dan Bunda menyimak tiap kata yang keluar dari anak bungsunya ini, mengangguk-angguk mengerti. Boggi memandang Bapak Bundanya dengan cemas, berharap mereka mengerti kegalauan yang sedang Boggi rasakan.
“ Nak,,,” Ujar Bapak dengan suaranya yang dalam...........” Bapak dan Bundamu ini pendidik tiga puluh tahun lebih. Kami tahu, mahasiswa mana yang benar-benar tertarik mengikuti mata kuliah, mana yang ikut-ikutan, mana yang terpaksa. Selain nanti tampak dari nilai akhir semesternya, mata mereka menyampaikanitu sampai ke depan kelas dan karena anak-anak yang sangat niat itulah kami bersemangat,,, Keberhasilan dan kesuksesan itu memang ditentukan dari kepandaian dan ketekunan. Tapi lebih dari itu, dari sini,, Nak,,,,,” Bapak menunjuk dadanya.
“........kalau kamu mengerjakan suatu hal dengan sepenuh hati dan cintamu, hasilnya pasti luar biasa. Dan sebaliknya, kalau kamu mau mengerjakan dengan terpaksa hasilnya akan sangat tidak maksimal,, “ Bapak tersenyum dengan bijak. Boggi menatap Bapak, dan meresapi kata-katanya.
“ Nang,, pada akhirnya orang hidup ini mencari kebahagian. Kebahagian itu bukan materi, tapi hal yang tidak kasat mata. Orang mungkin tidak bisa lihat, tapi kamu yang merasakan. Dan itu namanya kepuasan batin. Jadi menurut Bapak dan Bunda, bertahanlah pada minatmu, dan bicarakan ini pada Rivi dan Mama Rivi untuk mencari kata sepakat,,, “ Bunda menambahkan.
Boggi berkaca-kaca memandang wajah orang yang telah membesarkan dan sangat dikasihinya.
“ Bapak,,,, Bunda kalau nanti kami akhirnya tidak sepakat, bagaimana ?? “ Tanya Boggi serak menahan tangisnya. Bunda merengkuh Boggi dalam dekapannya.
“ menyatukan orang untuk hidup bersama itu adalah kompromi Nang. Penyatuaan kepala dua orang itu tidak semudah yang dibayangkan. Di sana harus ada kerendahan hati, cinta kasih dan saling pengertian. Itulah yang nanti membuahkan suatu kompromi. Kalau diawal sebelum menyatu saja kalian tidak bisa kompromi, apakah kamu berharap di hari-hari selanjutnya kompromi itu akan terbangun secara otomatis ?? “ Bunda memberikan wawasan, Boggi terisak di dada Bunda.
“ Tapi Boggi mencintai Rivi Bun,,,,,, empat tahun bersama Rivi, Boggi sudah belajar menyesuaikan diri dengan Rivi dan keluarganya. Rivi orang baik Bun....” Boggi berbicara, Bunda menghela nafas panjang, Bapak menggenggam tangan Boggi lembut.
“ Nak, cinta itu hanya satu bibit tanaman. Dan yang membuatnya besar atau tetap bonsai atau mati adalah pupuk yang ditaburkan di sekelilingnya. Pupuk itu adalah komunikasi, keterbukaan, Memaafkan, pengertian,,,,” Bapak berhenti sejenak,,,,,,,,,,, “ Sekarang kamu bilang kamu cinta Rivi, tapi dengan tidak adanya pengertian di sekitar tumbuhan cintamu, apa kamu bisa tetap mempertahankan cintamu itu ?? “
Boggi semakin terisak. Bapak benar. Memang beberapa minggu ini, sejak komunikasi mereka memburuk dan mereka tidak kunjung mendapatkan titik temu dari perdebatan mereka, perasaan Boggi mulai menepisnya. Ternyata cinta itu bukan sesuatu yang tumbuh dari langit. Cinta itu perasaan dan akal sehat yang menyatu.
“ Kalau,, kalau... kami tidak sepakat lalu akhirnya tidak jadi menikah di Belanda,, “ Boggi terisak............” Gimana Bun ?? “ Boggi terisak panjang sesenggukan.
Bunda terdiam, Bapak terdiam, saling berpandangan. Bapak mengelus-elus kumis dan jenggotnya yang mulai memutih. Bunda berkaca-kaca dan mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mengusir air matanya. Sebenarnya calon pendamping Boggi adalah calon yang ideal. Berpendidikan, keluarga baik-baik, dan ekonomi mantap. Bapak dan Bunda tidak khawatir putranya akan berkekurangan secara materi jika bersamanya. Tapi masalah yang dihadapi putranya sekarang lebih dari itu. Dan Bapak, Bunda tahu, sebanyak apapun uang yang nanti bisa diberikan Rivi, tidak dapat memuaskan Boggi secara batiniah. Bunda mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya. Kemungkinan perhelatan ini batal memang menyedihkannya sebagai orang tua yang sudah mempersiapkan gawe ini. Tapi dibanding masa depan putranya, Bunda rela menahan rasa sedih maupun rasa malu karena acaranya tidak jadi.
“ Nak, walaupun pernikahan kamu itu berbeda dari yang lain,, Bapak hanya bisa mengatakan bahwa pernikahan itu hanyalah gerbangnya. Hidup baru yang sesungguhnya utu adalah hari-hari setelahnya. Daripada ada rasa sesal di hari-hari itu, Bapak dan Bunda tidak memaksakan kamu menikah, jika tidak membahagiakanmu,, “ Ujar Bapak akhirnya.
“ Lalu,, lalu semua persiapan yang sudah dilakukan ini bagaimana nasibnya ?? “ Tangis Boggi.
“ Nang,, itu hanya pernak – pernik. Jangan khawatir masalah itu. Toh belum terlanjur kok, semua masih bisa dibatalkan,, “ Hibur Bunda. Tangis Boggi semakin keras. Bunda menepuk-nepuk punggungnya lembut, untuk meredakan tangisnya.
Boggi merasa bersyukur, Bunda dan Bapak adalah orangtua yang bijak. Mereka memberi pandangan terbaik untuk hidupnya, tidak diberatkan oleh pertimbangan materi, rasa malu, dan sebagainya. Padahal Boggi tahu pembatalan ini tidak sesimpel yang dibayangkannya. Keluarga Boggi harus datang ke Rumah Rivi secara resmi. Kadang Boggi berpikir, biar saja dirinya yang tersiksa daripada membuat malu dan menambah pikiran Bunda dan Bapak. Tapi luar biasa, Bunda dan Bapak malah memberinya pandangan untuk memikirkan kembali pernikahan mereka. Boggi menarik nafas, melegakan isakannya.
“ Nang, mumpung masih ada waktu tiga bulan, pikirkan masak-masak keputusanmu. Sekali kamu melangkahkan kakimu melewati gerbang nikah itu, sulit untuk berbalik,,, “ Saran Bunda sambil mencium kening Boggi.
Ya, hidup kita bukanlah VCD player yang bisa di-rewind atau forward. Di hidup kita hanya ada tombol play dan stop. Bisak Boggi dalam hati. Boggi mengangkat kepalanya dari bahu Bunda, tersenyum bahagia memandang Bapak dan Bunda. Kelegaan terpancar dari wajahnya, juga di wajah Bapak dan Bunda.
Hari ini Boggi berniat menuntaskan masalah karirnya dengan Rivi secara serius. Pembicarannya dengan Bapak dan Bunda kemarin memantapkan niatnya untuk mengkaji kembali hubungannya secara menyeluruh.
“ Belum ada kata terlanjur, semua masih bisa diperbaiki,,” gumam Boggi. Jika Rivi bisa berkompromi dengan win-win solution , Boggi mau meneruskan langkah mereka. Jika tidak.... Boggi menggelengkan kepalanya. Kemungkinan terburuk, rencana pernikahan di belanda mereka mungkin batal.
Presentasi kasus pagi sudah selesai. Konsentrasi Boggi agak terpecah memikirkan pertemuannya nanti dengan Rivi. Penjelasan Dhio tentang penanganan perdarahan pasca persalinan hanya menempel separuh di kepalanya. Untunglah Dhio mengambil bahan dari buku sinopsis Obstetri miliknya, jadi Boggi bisa mengulang sendiri di rumah.
“ Gi,, makasih bukunya, ni gue balikin,, “ Ujar Dhio menyerahkan buku sinopsis yang dipinjamnya. Boggi mengangguk dan tersenyum. Sekarang Boggi tidak memandang Dhio secara skeptis lagi sejak Boggi banyak bercakap-cakap dengan Yoga tentang orang-orang high risk dan kehidupan malam. Dhio membalas senyuman Boggi dan hendak berbalik. Sayangnya, kakinya terantuk kaki Igo yang terjulur di sebelah Boggi. Dhio agak limbung dan berpegangan pada kursi kosong di sebelah Boggi, membuat tas Boggi jatuh dan beberapa isinya terserak.
“ Gile Igo, disekolahin donk kakinya,,” gerutu Dhio dan mengembalikan tas Boggi yang berantakan. Igo terkekeh.
“ Sori Bang Dhio... padahal kakinya undah dokter juga lho,,”
“ Sudah gak papa Mas,,” cegah Boggi, ikut memberesi tasnya. Dhio memasukkan beberapa buku dan Dhio melihat contoh undangan pernikahan Boggi. Boggi membawanya untuk dikembalikan ke Mama.
“ Wah loe mau merit Gi,, sama yang orang yang sering loe ceritain ke gua itu ya ?? “,, Tanya Dhio antusias. Boggi tersenyum kikuk. Mau mengiyakan, tapi sekarang situasinya mengambang. Untuk amannya, Boggi mengangkat alisnya, terserah Mas Dhio mengartikan sebagai apa.
“ Gua liat ya, “ Kata Dhio dan membuka halaman sampulnya.
“ Gila,,beruntung ya,, hubungan loe,, sampai bisa berjuang akhirnya nikah,, iri gua jadinya,,” Kata Dhio dan membuka halaman sampulnya.
“ Gile, luxurious banget,, Boleh juga selera loe,,” Dhio menelusuri bahan sutra China yang melapisi sampul hardcovernya. Boggi memandangnya tanpa komentar. Dhio memang sudah tahu lama, bahwa Boggi adalah seorang gay dan memiliki pasangan, namun hingga hari ini Dhio belum tahu siapa pasangan gay Boggi. Boggi juga tahu bahwa Dhio adalah gay, yang suka dengan kehidupan malam.
“ Waw, loe ganteng banget, foto dimana nih ?? “ Tanya Dhio bersemangat,, untungnya diruangan ini hanya tersisa Igo, Dhio dan Boggi.
“ Di studio ko Mas. Males juga outing, nanti malah banyak yang menatap sinis,, hehehehe,,” Jawab Boggi. Dhio mengamati foto fullcolour mereka.
“ Ohh....... ini ya orangnya yang selama ini loe ceritain ......” sejurus kemudian Dhio membeku.
Pria ini....sepertinya Dhio kenal. Wajahnya bukan wajah pasaran, bukan sekedar tampan yang membosankan. Wajah pria ini khas aristokrat, dengan tulang hidung dan pipi yang bagus. Dhio ingat, Pria ini pernah one night stand dengan dirinya. Salah satu pria tertampan yang pernah one night stand dengannya. Tepatnya, hampir.
****************************************************************************************************************
‘- Flash Back –‘
Dhio melihat cincin yang melingkari jari manis tangan kiri pria yang sekarang sedang menciumi dadanya dengan penuh gairah.
“ Loe udah merit ya ?? “ tanyanya lagi. Pikirannya sudah mulai kembali normal. Dhio tidak mau berurusan dengan pria-pria bercincin. Kenikmatan sesaat yang nantinya bisa berbuntut panjang. Dhio pernah punya pengalaman tidak enak dengan pria bercincin. Waktu di Medan dulu, Dhio pernah satu kali one night stand setelah mereka bertemu di kafe dan paginya sang istri menggerebak kamar hotel mereka dengan membawa satpam. Itulah yang membuat Dhio hijrah untuk ke pulau Jawa.
Pria itu tidak menggrubis keberatan Dhio dan tersu melumatnya. Dhio terpaksa melepaskan diri, lalu memperbaiki bajunya yang mulai berantakan, pria itu nampak kebingungan.
“ What’s wrong ?? “ tanya pria itu frustasi. Dhio angkat bahu.
“ Gua nggak mau mainsama suami orang,, “ Jawab Dhio, bersiap pergi dan menahannya.
“ gua gay, gak punya istri, ini Cuma cincin tunangan gua sama bf gua,, “ Pria itu menjelaskan.
“ Sama aja gua nggak mau ngerusak rumah tangga ataupun bakal rumah tangga orang, mau itu rumah tangga loe sama cewe atau cowo,, “ Kata Dhio dengan dingin lalu keluar kamar. Meninggalkan Rivi yang berdiri terpaku dengan baju berantakan.
****************************************************************************************************************
‘ kembali ke cerita ‘
Dhio menggelengkan kapalanya. Pria itu adalah pasangan dan tunangannya Boggi.
Untung waktu itu langsung gua tinggal pulang, batin Dhio. Kalau gua lakuin juga, rasa bersalah gua nggak akan ilang tujuh turunan,,
“ Emm... kenapa Mas ?? “ Tanya Boggi yang keheranan melihat pandangan Dhio yang terpaku pada fotonya. Mungkin di situ Rivi sangat tampan ? Fuh... hal yang sudah biasa dialami pria gay lain ketika melihat foto Rivi.
Dhio tergagap......
“ Nggak... em... jadi ini ya Gi yang udah empat tahun jadi bf loe ?? “ tanya Dhio mengalihkan perhatian.
“ Iya mas,, “ Jawab Boggi sambil tersenyum. Dhio terpaku memandang Boggi. Temannya ini memang Gay, tapi Boggi adalah gay yang alim, anak baik-baik. Sedangkan Pria ini, Dhio membaca namanya : Rivi, adalah cowok malam yang suka dugem, Dhio sangat hafal gelagatnya. Dan setelah kejadian itu, beberapa kali Dhio melihatnya ditempat dugem bersama laki – laki lain. Dhio juga sangat ingat, sebelum mereka sepakat one night stand, Rivi ditelepon seseorang. Boggi kah itu ?? Tahukah Boggi kelakuan calon pendamping hidupnya ?? Dhio terdiam sejenak.
“ Oh,, oke,, “ Kata Dhio, lalu mengembalikan contoh undangan itu. Boggi menerimanya dengan senyum manis.
Di poliklinik umum, Dhio tercenung. Beberapa kali tadi dirinya tidak konsen menangani pasien. Kejadian tadi masih terbayang di pikirannya. Boggi dan tunangannya. Boggi yang polos, dan Dhio hampir yakin kalau Boggi tidak mengetahui sepak terjang tunangannya itu dibalik punggungnya. Kalau sudah seeprti ini, apakah Dhio bisa membiarkannya ??
Ah, ini bukan urusannya. Boggi mau nikah dengan pria dugem itu kek, atau dengan pria manapun, bukan jadi urusannya. Dhio tidak dekat dengan Boggi, Gua bukan saudara Boggi, Gua juga bukan siapa –siapa Boggi. Tapi,,,, kalau nantinya setelah menikah mereka berantakan karena kebohongan itu dan suatu saat jika Dhio bertemu dengan Boggi dengan kondisi seorang pendamping hidup yang tidak bahagia karena pasangan gaynya tukang selingkuh, rasa bersalah itu pasti muncul. Dhio tahu tapi tidak memberi peringatan sejak semula.
Dhio memejamkan matanya, frustasi. Dasar Taurean (orang yang berzodiak Taurus), suka berimajinasi, suka ikut campur urusan orang dan mudah merasa bersalah. Dengan geram Dhio mengangkat telepon di meja dokternya, mengikuti dorongan hatinya.
“ Halo UGD,, bisa bicara dengan Dokter Boggi ?? “ ,,,,,,,,,,,,
Dhio mengetuk pintu ruang jaga dokter UGD ringan. Boggi yang sedang berbaring sambil membaca jurnal hasil browsing bangun.
“ Dah senggang Gi ?? “ Tanya Dhio basa-basi.
“ Udah mas, tadi pagi agak crowded, tapi sekarang sudah tenang. Gantian Julian yang jaga dibawah,, “ sahut Boggi. Dhio duduk ditepi tempat tidur, disebelah Boggi.
“ Apa yang mau diomongin Mas ?? “ tanya Boggi.
Tadi waktu Boggi jaga UGD, Dhio meneleponnya dari poli, mengajak ketemu setelah selesai piket. Ada hal yang mau dibicarakan. Mungkin mau minta tolong terjemahkan jurnal, pikir Boggi. Tapi melihat sikap tegang Dhio siang ini, perkiraannya sepertinya meleset. Dhio meremas-remas tisu di tangannya.
“ Gua bingung mau mulai dari mana Gi,, “ kata Dhio, lalu tertawa kecil.
“ Begini, Gi,,,” Dhio menarik nafas panjang. Boggi menunggu ucapan Dhio. Hatinya berdebar-debar, entah mengapa.
“ Loe tau kan gua gay labil, gua suka ke tempat dugem, clubbing,,,” ucap Dhio. Boggi mengangguk, belum dapat menebak arah pembicaraan mereka.
“..... di sana, gua sering ke sama cowok, kita dancing bareng,,, “ Boggi mengangguk lagi. Dhio menggigit bibirnya,,, “... setelah itu, kadang gua one night stand,,,” Boggi terperanjat. Oh waw !! ternyata teman sejawatnya seorang freesex-er. Tapi karena sudah belajar dari Igo, Yoga dan Dokter Shani untuk tidak menghakimi orang-orang semacam Dhio, Boggi kembali memasang wajah biasa. Boggi tersenyum pengertian.
Aduh gua terusin gak ya, batin Dhio. Jangan-jangan kalau Boggi tahu ini merusak rencana mereka...
“ Iya tersu gimana Mas ?? “ tanya Boggi.
Apa mungkin Mas Dhio mau bilang kalau dirinya HIV positif ?? pikir Boggi dalam hati.. Hmm kalau ternyata iya, aku harus mengarahkannya untuk konsultasi ke dokter Shani.
“ Terus Gi,, ehm,,, pada suatu malam,,,” Dhio meremas-remas tisunya lagi.... “ Gua ketemu sama bf yang jadi tunangan loe di tempat clubbing....” Boggi terkesiap. Rivi ke tempat clubbing ??
“ Terus dia ngajak gua dancing. Setelah itu....” Dhio menggigit bibirnya.
Boggi sudah paham arah pembicaran mereka. Mereka one night stand. Boggi kehilangan kata-kata. Menatap Dhio tidak percaya, wajahnya pias, seperti mendapat kejutan listrik seribu volt. Dhio cepat-cepat meneruskan.
“ Gua tidak sampai anal Gi,, waktu itu gua liat cincin di tangannya, dan gua langsung ninggalin dia di kamar hotel. Cuma itu,,,” Dhio menelan ludah..... “ Gua tadi melihat foto kalian di undangan, gua jadi ingat cowok yang malam itu ngajak gua...” Dhio mengangkat bahu.......”... Gua pikir loe tidak tahu kalau bf loe cowok clubbing, secara loe anak baik-baik... benar kan tebakan gua ?? kalau loe gak tahu ?? “.. Tanya Dhio pelan, memandang Boggi yang memucat. Boggi mengangguk.
“ Sori,, sori banget Gi,,gua sebenarnya tidak bermaksud ikut campur urusan loe. Tapi kalau dengan ketidaktahuan loe, terus kalian benar-benar menikah di Belanda, terus nanti loe kenapa – kenapa setelah bersamanya, gua bisa nyesel tujuh turunan...” Dhio menggigit bibirnya.
melihat
Sekarang gua juga sudah menyesal melihat tampang syok loe yang kayak orang anemia berat gitu,, batin Dhio nelangsa. Dasar Taurean...runtuk Dhio dalam hati.
Boggi mematung. Boggi tidak menyangka, berita yang akan dibawa oleh Dhio adalah Rivi. Tentang Rivi yang sering clubbing dan one night... Boggi menutup matanya. Boggi tidak berani membayangkan apa yang terjadi, dan selama ini Boggi dengan naif menganggapnya cowok baik-baik. Seharusnya Boggi curiga, mereka dulu pertama kali bertemu di halaman tempat clubbing bersama teman-teman cowoknya, dan Rivi saat itu sudah familiar dengan orang-orang disitu. Lalu seringnya Rivi mengatakan tidak bisa menjemputnya setelah jaga malam karena mengantuk. Dan dengan semua uang yang Rivi punya, Rivi bisa melakukan apa saja. Boggi menutup mukanya. Naif sekali Boggi. Boggi memandang Rivi sebagai sosok yang Boggi harapkan, cowok baik-baik, tidak pernah keluar malam, tidak merokok, sopan pada orang tua,,,, sampai Boggi mengabaikan pertanda-pertanda yang ada di sekelilingnya tentang Rivi. Dan sekarang, Dhio pun pertanda, untuk membuka siapa sebenarnya Rivi, calon pendamping hidupnya. Boggi tertawa kering. Perasaannya sekarang campur baur, marah, kesal, kaget,........ tapi sangat lega. Dhio memandangnya bingung.
“ Gi,, sori kalau loe jadi marah....” Boggi menggeleng cepat.
“ Tidak Mas, saya tidak marah, kalaupun saya marah, saya bukan marah sama Mas Dhio. Saya marah sama diriku sendiri yang naif dan bodoh,,, “ Boggi tersenyum,,,,, “ Tapi aku jadi lega Mas,, makasih banget Mas Dhio,,,” ... Dhio mengerutkan keningnya.
Jadi Boggi tidak marah sama gua ?? Apakah gua sudah melakukan sesuatu yang baik ?? syukurlah gua taurean, batin Dhio ikut lega.
“ Mas, aku sekarang yang gantian mau minta tolong,, “ Pinta Boggi.
Suasana temaram menyambut mereka. Taburan lampu warna – warni menyorot, ditingkahi kumpulan asap rokok. Dentuman musik host memekakkan telinga. Sesaat Boggi tergoda untuk menutup telinganya., tapi kelakuannya pasti terlihat ganjil. Karena itu Boggi menahan keinginannya dan mencerna dunia baru yang ada didepannya. Orang-orang berdesakan, sebagian meliuk-liukan tubuhnya, sebagian duduk didepan bar, sebagian berdiri sambil tertawa-tawa. Dhio menggamit tangan Boggi, menjaga supaya Boggi tidak tersesat di kerumunan orang. Mereka menuju bar.
“ Hai Kelvin, mineral water dua ya,, ?? “ bartender langganan Dhio tersenyum manis dan mengambilkan pesanannya.
“ Besok presentasi kasus lagi ya, makannya gak berani yang lebih hot ?? “ Goda Kelvin. Dhio hanya tersenyum tipis.
“ Oh iya, kenalin ini teman gua,, “ Dhio menunjuk Boggi. Boggi tersenyum, menyambut uluran tangan Kelvin.
Gile temennya pak dokter boleh juga. Dokter juga kayaknya, tampang anak rumahan. Batin Kelvin. Sembunyi-sembunyi Kelvin mengamati Boggi. Ganteng. Pasti baru pertama kali masuk tempat clubbing.
“ Kelvin, boss sudah datang ?? “ tanya Dhio.
“ Boss Rivi ?? “ Kelvin balik bertanya. Dhio melirik wajah Boggi yang nampak membantu.
Ternyata Rivi memang sering ke sini sampai bartender pun hafal, bisk Boggi dalam hati.
“ Iya,, “ Jawab Dhio. Kelvin menunjuk dengan dagunya.
“ Tuh lagi turun sama Indra, artis baru itu,, Jatah boss malam ini...” Kelvin tertawa penuh arti. Ingin rasanya Dhio menonjok mulut bocor bartender satu ini. Lagi-lagi Dhio melirik Boggi. Wajahnya tetap membatu, mengikutu arah dagu Kelvin.
Seorang pria membelakanginya, meliuk-liuk mengikuti musik host dengan seorang pria yang menawan dan berisi, persis seperti model. Sesekali mereka berpelukan dan saling meraba. Perut Boggi mules, ingin rasanya Boggi bangun dari mimpi buruk ini. Dari belakang pun Boggi tahu kalau pria itu Rivi. Malam ini Rivi memakai kemeja putih dan celana kain hitam. Tampak santai.
“ Boggi, are you okay ?? “ tanya Dhio cemas. Dalam keremangan pun Dhio melihat piasnya wajah Boggi. Boggi mengangguk. Matanya tetap terpaku pada sepasang manusia yang sudah nampak mulai bergairah itu.
“ Ayo kita lakukan,,” kata Boggi. Dhio mengangguk, meminum air mineralnya sebentar. Mereka mendekati Rivi dan Indra. Dhio mulai beraksi, Dhio meliuk-liukkan tubuhnya mendekati mereka, lalu mengambil tempat di tengah – tengah, memisahkan Rivi dengan Indra. Dhio melingkarkan tangan di leher Rivi.
“ Hai,,, ganteng,,, remember me ?? “ tanya Dhio. Malam ini Dhio memakai baju sama seperti yang dipakainya malam itu, sesuai permintaan dan skenario Boggi.
“ Heh,, loe jangan rebut pasangan gua ya !! Main serobot aja,,, “ seri Indra jengkel. Keasyikannya terinterupsi. Memang banyak Pria gay bahkan yang straight yang berminat jadi pasangan Rivi, dan malam ini giliran Indra. Tapi Dhio, cowok sialan ini mengambil tempatnya, Dhio tidak menggrubis, Dhio meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama Rivi.
“ Cowok berbaju merah !! Gimana gua bisa lupa ?? loe bikin gua penasaran,,, “ ,, sambut Rivi hangat. Boggi yang berada beberapa langkah dari punggung Rivi meremas tangannya, menahan air matanya.
Indra merapat.
“ Dasar Cowok gatel, cari donk pasangan lain !! kayak nggak ada cowok lain aja, dasar anjrit !! “ seru Indra. Dhio melirik Indra malas.
“ Malam ini dia ya yang dapat jatah....” Tanya Dhio pada Rivi sambil mengedipkan matanya. Rivi memegang pantat Dhio.
“ Kalau loe mau, kita bisa main bertiga,,” sahut Rivi. Indra sudah mencak-mencak di belakang Dhio. Main bertiga bukan keinginannya setelah sekian lama Indra menantikan giliran bersama Rivi.
“ Bertiga ?? kurang seru. Kalau berempat gimana ?? Gue punya teman yang pengen juga main sama loe..” Bisik Dhio menggoda. Rivi mengangkat alisnya. Berempat ?? Rivi belum pernah. Sepertinya seru. Rivi tertawa berat.
“ Hmmm,, boleh juga. Mana teman loe ?? “ Dhio tertawa kecil. Lalu menunjuk dengan dagunya.
“ Tuh dibelakang loe,,,” Dhio melepaskan tangannya dari leher Rivi. Rivi berbalik untuk melihat cowok ketiganya malam ini. Lalu membeku.
“ Boggi,,” bisiknya tak percaya.
Boggi berlari ke parkiran, Rivi menyusul di belakangnya. Matanya basah dengan air mata kemarahan dan kecewa pada dirinya sendiri.
Rivi membohonginya selama enam tahun !!
“ Boggi, Gi,, jelek,, dengar penjelasanku dulu,, “ pinta Rivi dibelakangnya. Boggi berhenti, Boggi tidak terisak-isak. Dirinya hanya mematung dengan air mata yang mengalir deras dari matanya. Sesekali Boggi menarik nafas panjang.
“ Bagiku,,, semuanya sudah jelas Riv,,, sangat jelas,,, “ Kata Boggi berusaha tidak bergetar.
Rivi mengacak rambutnya frustasi.
“ Ini karena aku stress, kamu sulit sekali diajak kompromi,, “ seru Rivi. Jadi sekarang Rivi menyalahkannya. Boggi tertawa,
“ Oke jadi ini salahku,, “ Ujar Boggi dingin. Rivi tergagap.
“ Bukan jelek,, maksudku,,” Rivi kehilangan kata-kata. Pikirannya masih kacau. Kenapa Boggi bisa sampai sini ?? kenapa cowok baju merah itu kenal Boggi ?? Rivi meninju tangannya gemas.
Boggi menghela nafas panjang, air mata sudah mulai surut. Boggi masih membelakangi Rivi.
“ Dari dulu seharusnya aku bisa menebak. Kamu terlalu sempurna dan sopan, tidak pernah minta lebih dari kissing. Harusnya sebagai dokter aku curiga ke mana kamu menyalurkan keinginan mu itu. Seharusnya aku juga sadar bahwa selama ini aku hanya status bagi mu. Iya kan ?? Kamu tidak pernah benar-benar mencintaiku. Kamu membentukku sesuai bayangan ideal mu kan ?? “ Boggi membalik, menghadap Rivi.
“ Tapi aku juga sama Riv. Aku membayangkan dan mengharapkanmu seperti keinginanku, tanpa pernah benar-benar mencoba mengenalmu lebih dalam. Selama ini kita hanya memandang lewat kaca cermin, memantulkan bayangan yang kita ingin lihat,,” Rivi mematung di tempatnya berdiri, dua langkah dari Boggi berdiri. Rivi ingin mendekati Boggi tapi kakinya terpaku di tanah. Rivi takut.
“ Aku salut saat kamu selalu menemaniku saat aku berjuang mengugkapkan jati diriku kepada keluargaku,tapi setelah itu aku baru sadar hari ini itu semua hanya sebuah omong kosong,,” Lanjut Boggi.
Boggi tersenyum memandang Rivi. Pria yang selama ini dicintainya, yang dianggapnya sempurna sebagai pasangan hidup yang dibayangkannya akan menjadi pendamping hidup hingga ajal menjemput.
“ Sebenarnya malam ini aku pingin membicarakan tentang kompromi karir kita. Tapi sepertinya sudah tidak perlu lagi,,’ Ujar Boggi, perlahan melepas cincinnya, lalu mendekati Rivi.
“ Enam tahun lalu di tempat clubbing di semarang kita ketemu dan aku jatuh cinta padamu. Dan sekarang, aku ingin menyudahi perasaanku,,” Boggi mengambil tangan Rivi dan meletakkan cincin pertunangan di tangannya. Rivi hanya mematung memandangnya, Boggi menghembuskan nafas panjang.
“ Bye, Riv,, urusan pembatalan pernikahan kita akan segera diurus keluargaku,, Dan Jangan terlalu sibuk mencari kesempurnaan, Jika kesederhanaan mampu membuatmu bahagia.“ Ujar Boggi, tersenyum dan meninggalkan Rivi yang masih mematung sambil memandangi benda di telapak tangannya.
Disaat Boggi membalikkan badannya, Rivi menarik Boggi dan memeluknya.
“ Maafin aku,, aku,, aku tahu aku salah,,, tapi tolong jangan tinggalkan aku,, “ Rivi berkata dengan tangis.
Dengan perlahan Boggi melepaskan pelukan Rivi,,
“ Riv,, diluar sana masih banyak pria yang mau dengan dirimu,, aku hanya berpesan berhentilah bermain – main dengan seks bebas,, Pada saatnya nanti kamu akan paham: bahwa kebahagiaan tidak selalu karena uang dan uang tidak selalu bisa membeli kebahagiaan “
Boggi masuk mobil Dhio sambil terisak-isak. Boggi berhasil menahan air matanya di depan Rivi untuk ending yang elegan dan membanggakannya. Bogi tidak mau tampak histeris dan Dirinya berhasil meninggalkan Rivi dengan dagu terangkat. Tapi sekarang air matanya tumpah. Bagaimanapun juga, Enam tahun dan segala persiapan ke Belanda menyisakan kenangan.
Dhio membiarkan Boggi menangis dan menungguinya tanpa kata sampai tangis Boggi mereda. Dalam hati Dhio yakin, Boggi akan menemukan pria yang lebih hebat dari Rivi.
Bapak dan Bunda sudah mengurus pembatalan pernikahan mereka di Belanda. Boggi menyembunyikan perihal kelakuan Rivi dan membiarkan Bapak dan Bunda berpikir bahwa batalnya pernikahan sejenis mereka adalah karena kompromi karir yang tidak tercapai. Mama dan papa Rivi juga tidak banyak komentar. Boggi mulai membereskan barang-barang memorinya dengan Rivi. Foto, surat, hadiah-hadiah, semua baju, sepatu, parfum, semua yang Rivi pernah berikan sudah dimasukkannya ke dalam kardus. Boggi memandangi kamar, tanpa barang-barang Rivi, kamar terasa longgar dan lemarinya juga kehilangan isinya. Boggi mengangkat baju-baju lamanya dan menatanya kembali di lemari.
lanjut
Hari – hari tanpa Rivi berlalu, kadang masih terlintas kenangan saat Boggi lewat tempat-tempat yang sering mereka kunjungi dulu. Rasa kehilangan itu tetap ada, tetapi Boggi bertekad tidak akan menangis lagi. Untunglah Yoga dan diskusi mereka mengalihkan semua perhatian. Pertemuan mereka mulai teratur, seminggu dua kali, Yoga pasti datang mengunjungi Boggi. Sebenarnya bukan sekedar mengunjungi Boggi, karena kadang Yoga menunggui temannya yang dirawat, Yoga berdiskusi dengan Dokter Shani, atau saat Yoga cek laboratorium dan mengambil jatah ARV bulanannya. Tapi Yoga selalu menyempatkan untuk singgah di poliklinik saat Boggi piket, UGD atau perpustakaan. Dan selalu saja ada hal baru yang mereka bahas.
Kadang, saat Yoga harus keluar kota karena memberi seminar atau audiensi dengan rekan aktivisnya yang lain dan tidak muncul di rumah sakit, Boggi mulai mencari-cari sosoknya, seperti siang ini. Boggi tahu, Yoga pergi ke Bandung seminggu untuk seminar. Sebelum pergi Yoga sudah pamit pada Boggi. Hari ini tepat seminggu sejak Yoga mengantarkan temannya untuk kontrol cek laboratorium dan mereka mengobrol sebentar di lorong.
“ Kalau sudah di Jakarta, harusnya hari ini Yoga ada diskusi rutin dengan Dokter Shani,,” Gumam Boggi, dan Boggi sengaja lewat parkiran mobil untuk mencari mobilnya saat rehat siang jaga UGD-nya. Yoga selalu parkir di sebelah gedung operasi sentral. Tapi Boggi terpaksa menelan kekecewaannya, mobil Yoga tidak ada di sana. Boggi berjalan kembali ke UGD.
“ Kenapa aku merasa kehilangan begini ya ?? “ bisik Boggi gelisah sambil menyusuri lorong. Cepat-cepat Boggi merasionalisasi rasa kehilangannya. Itu pasti karena Boggi jadi tidak punya teman diskusi dan tidak ada tempat bertanya.
“ Hai Gi,, jaga apa ?? “ sapa Dokter Shani, mereka berpapasan di lorong. Boggi terkejut, lamunannya buyar.
“ Eh,, Mbak Shani,,, Jaga UGD pagi,,’ Jawabnya.
“ Sudah makan siang ?? “ Boggi menggeleng
“ Yuk, makan bareng, Aku juga belum nih,,” Ajak Dokter Shani.
Cafetaria ramai. Perawat, penunggu pasien, mahasiswa magang, semua mengisi perutnya. Perawat dan Dokter Jaga memang mendapat jatah makan makan siang. Tapi kadang mereka lebih memilih makan di kafetaria. Selain pilihannya lebih banyak, Juga sekalian refreshing dari kesibukan sebentar. Boggi mengambil nampan dan mengisinya dengan nasi, ayam goreng, dan sayur bayam. Disampingnya, dokter Shani mengambil soto ayam untuk makan siangnya. Mereka membayar makanannya dan mencari kursi kosong. Untung ada dua kursi di dekat jendela. Mereka duduk di situ.
“ Gimana pasien-pasien mu ?? “ tanya Dokter Shani.
“ Baik Mbak,,” sahut Boggi sambil menuangkan sayur bayam dan mangkuk kecilnya,, “ Oh iya, pasien A1 yang positif kemarin itu, mas Fredi, regimen ARV-nya apa saja ya Mbak ??” Dokter Shani mengingat-ingat.
“ Fredi ya gi ?? Kalau tidak salah baru sebulan on ARV,, iya ?? “
“ Dua bulan Mbak,,” Ralat Boggi. Dokter Shani tersenyum.
“ Oh dia,,Efavirenz, Zidovudine sama Lamivudine. Kenapa memang ?? “ Dokter Shani balik bertanya. Boggi berpikir sebentar.
“ Pantesan,, Dia bilang sering insomnia, kadang nightmare juga,,”
“ Iya efek samping Efavirenz. Nanti kalau dia kontrol ambil obat bulanan aku resepkan obat penenang dosis rendah,,” Ujar Dokter Shani, menyendok soto.
“ Waktu mulai terapi CD4 nya masih sekitar tigaratus ya mbak, asimptomatik (Tak bergejala) juga kan ?? “ Tanya Boggi lahi. Dokter Shani mengangguk.
“ Iya Gi,, memang batas kita mulai terapi ARV itu CD4 count-nya 250 sel permilimeter. Tapi kalau pasien itu kepatuhannya tinggi, motivasi dia bagus, Tidak masalah juga mau mulai terapi CD4 nya masih bagus , apalagi dia stadium 3 atau 4,, “ terang Dokter Shani.
“ Yoga itu misalnya,,” Kata Dokter Shani. Dada Boggi berdebar mendengar nama Yoga disebut,,, “ .. Yoga dulu mulai terapi CD4nya masih 350, viral-loadnya tinggi juga, tapi infeksi dan malaria. But,, Yoga bukan highly motivated person, pendidikannya bagus, kepatuhannya tinggi... Jadi oke aja kita mulai lebih awal...”
“ Dan kepatuhan ODHA minum obat itu dipengaruhi banyak hal Lho Gi,, Selain motivasi pribadinya. Kemudahan dosis dan hubungan personel dengan dokternya juga penting Edukasi terus menerus, dorongan supaya tetap minum ARV teratur, itu selalu harus diberikan pada pasien ODHA. Kepatuhan itu penting, soalnya sekali mereka putus obat, nanti ada kekebalan virus pada ARV, dan kita terpaksa pusing cari regimen yang sensitif lagi. Mirip terapi Tuberkulosis lah,,” Kata Dokter Shani. Boggi manggut-manggut.
Oh,,, pantesan pasien-pasien ODHA itu sangat akrab dengan dokter Shani, seperti dengan kakaknya sendiri.. Batin Boggi.
Dokter Shani sengaja membuat hubungan dokter pasien itu enak supaya mereka tidak sungkan bertanya, mengadu, atau curhat sehubungan dengan pengobatannya. Boggi memandang seniornya kagum. Great doctor.
“ Ngomong – ngomong tentang Yoga, Gi.. “ Boggi hampir tersedak es tehnya. Untung reflek menelannya bagus sehingga cairan teh itu tidak masuk ke saluran nafasnya.
“... Bagaimana menurut mu Gi ?? “,, Tanya dokter Shani jail. Boggi mengelap bibirnya, mengulur waktu untuk menjawab, sambil mencerna pertanyaan Dokter Shani. Apa maksudnya ??
“ Bagaimana apa Mbak ?? “Boggi balik bertanya. Dokter Shani tersenyum lebar.
“ Aku salut sama Yoga, dia bisa merubah mu seperti ini. Aku masih ingat dulu, kamu males sekali kan ngerjain pasien positif ?? “,, Boggi tersipu. Ternyata seniornya tahu.
“ Sekarang kamu sangat tertarik dan banyak belajar tentang HIV/AIDS. Aku senang, ada juniorku yang mau mendalami ini. Ehmmm... oiya, jadinya gimana keputusanmu tentang minatmu ?? “ Dokter Shani mengalihkan pembicarannya sendiri. Boggi menghembuskan nafas lega. Bingung Boggi, bila ditanya masalah Yoga.
Bagi Boggi, Yoga adalah sosok yang menganggumkan dan menginspirasi dirinya . Yoga yang memperkenalakan dunia HIV/AIDS ini, sekaligus menjadi tutor pribadinya. Padahal Yoga sendiri ODHA. Kadang Boggi berpikir, ketika Dirinya mempelajari HIV/AIDS, dirinya sedang mempelajari Yoga, apa efek samping ARV yang diminum, dan mencocokkan dengan literatur dan apa yang dialami Yoga, mereka akan mendiskusikannya. Yoga sangat terbuka, dia rela keadaannya dijadikan media pembelajaran Boggi. Itu yang membuat kekaguman Boggi semakin bertambah, dan minatnya semakin besar terjun di bidang ini.
“ Hmmm,, aku sudah memutuskan mbak. Aku mau ambil spesialisasi penyakit dalam dan nanti konsen dibidang ini, seperti Mbak Shani,,” Jawab Boggi dengan mantap. Dokter Shani memandang Boggi berbinar. Dijakarta sendiri Dokter yang mau menjadi seperti Dokter Shani dapat dihitung dengan jari tangan. Di Rumah sakit pemerintah hanya memiliki satu dokter di Bidang HIV/AIDS kecuali di Rumah Sakit Pusat Nasional RSCM yang memiliki 3 Dokter.
“ Aku senang mendengarnya Gi, !! “ Dokter Shani menepuk-nepuk tangan Boggi dengan bersemangat. Boggi tersenyum lebar, senang rasanya mendapat dorongan dari seniornya.
“ Hmm,, kalau gitu, gimana kalau kamu mulai ikut bantuin aku ngurusin ODHA dan sekalian bantuin LSM kami ?? “ Ajak Dokter Shani.
Kami ?? Maksudnya,, batin Boggi.
“ Iya tempat aku dan Yoga memperjuangakan antistigma dan diskriminasi untuk para ODHA. Menurut kami, kalau orang itu tahunya setengah-setengah, stigma dan diskriminasi itu tetap ada dimana-mana. Karena itu, sekarang program kami menyebarluaskan pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS lewat penyuluhan, selebaran, juga film. Mau bantuin ?? Jadi penyuluh atau narasumber. Kadang aku dan Yoga kewalahan,, “ Ujar Dokter Shani.
Boggi menatadebaran hatinya. Bekerja dengan Yoga ?? Bisa mengenal Yoga secara lebih jauh lewat kesehariannya ??,, Ups salah. Seharusnya itu bukan jadi pikirannya sekarang, seniornya sedang menawarinya untuk mengembangkan ketertarikannya dan ini adalah jalan yang pas.
Boggi mengangguk senang. Dokter Shani semakin bersemangat.
“ Oke mulai sekarang kamu ikut diskusi rutin kami setiap rabu ya !! Di ruanganku sekitar jam satu siang,, ‘ Boggi mengiyakan. Rasa senang menyusupi hatinya.
Ada alasan lain untuk ketemu Yoga, batin Boggi senang dan segera ditepisnya. Salh Gi,,, kamu itu senang karena mau memperdalam minatmu dan berusaha berbuat sesuatu yang baik untuk orang lain. Dan bukan karena ketemu Yoga..........
Presentasi pagi ini hampir dimulai, bangku sudah mulai terisi tinggal satu dua orang dokter yang belum datang.
“ Heh,,, pagi-pagi ngelamun. Dipatok Ayam nanti,,” goda Dhio sambil duduk di samping Boggi. Pagi ini dokter jaga yang akan mempresentasikan kasus jaga UGD-nya semalam adalah Dokter Igo. Boggi tersenyum lebar.
“ Perasaan bukan gitu de, kalau bangun siang rezeki yang dipatok ayam,,” ralat Boggi. Dhio hanya nyengir.
Semenjak kejadian Clubbing dua bulan lalu, mereka menjadi akrab. Sering pergi bareng atau belajar bareng. Igo jadi kesenangan, dikelilingu dua dokter yang rupawan. Dhio juga sekarang sudah mengurangi frekuensinya ke tempat clubbing dan memilih utuk bermain ke rumah Dhio atau Igo.
“ Jurnal apaan Gi ?? sering amat loe baca jurnal. Kayak kurang sibuk aja,,’ komentar Dhio melihat tumpukan jurnal di pangkuan Boggi.
“ Jurnal HIV, aku baru demen banget baca tentang ini sih Mas,,” sahut Boggi. Dhio manggut-manggut, membaca sekilas ABCDE’s HIV/AIDS di sampul buku Boggi.
“ untung gua kemana-mana bawa kondom,, lumayan amanlah,, “ Celetuk Dhio. Boggi terkikik geli mendengar ucapan polos Dhio.
“ Sampai kapan sih mas,mau jadi petualang cinta ?? “ tanya Boggi waktu mereka makan siang. Mereka mendapat jadwal jaga piket UGD bersama pagi ini.
“ sampe.... sampe gua nemu cowok yang pas di hati gua,,” Jawab Dhio.
“ Terus kalau one night stand ?? itu juga usaha cari cowok yang pas di hati ya ?? bukannya cowok yang pas di.........” Boggi menunjuk ke bawah, Dhio tertawa lebar, Bisa aja Boggi.
“ Hmm,,,, kalau itu gua akui karena gua iseng aja Gi. Sebenarnya gua gak maniak-maniak amat kok. Nahan pun sebenarnya bisa. Tapi kalau ada penyalurannya, kenapa nggak ?? “ Ujar Dhio sambil nyengir. Boggi tersedak. Dengan khawatir Dhio menepuk-nepuk punggung Boggi.
“...Nggak lagi deh Gi,,,,” kata Dhio sambil meredakan sedakan Boggi.
“ .. Nggak sering-sering...” Tambahnya Jahil. Batuk Boggi semakin menjadi.
Pukul dua setelah jaga UGD, Boggi naik ke ruangan dokter Shani di lantai dua gedung rawat inap. Hari ini untuk pertama kalinya Boggi diskusi bersama dokter seniornya dan Yoga. Boggi menggosok-gosok telapak tangannya yang tiba-tiba sedingin es. Ugh....... kenapa tadi dia pakai kemeja biru, rasanya tidak pas.
“ Haloooowwwwwwwwwwwwww.... what’s wrong with me ?? “ gumam Boggi putus asa. Ini pasti karena mau ketemu Yoga. Sudah seminggu lebih mereka tidak ketemu, sejak Yoga pergi ke Bandung. Boggi tersenyum kecil. Walupun siang ini Boggi panik, Boggi ingin tahu kabarnya.
“ Oke,,, i.m ready,,” Ujar Boggi memantapkan diri dan menaikki tangga. Tapi sudut hatinya bertanya, ready for what, Gi ??
Boggi sampai di depan muka pintu dokter Shani, mengetuknya riangan dan membuka pintu. Jantungnya hampir copot melihat sosok Yoga yang sedang duduk santai di sofa.
Yoga mengangkat wajahnya dari jurnal yang baru dibacanya, menangkap sosok Boggi di pintu. Debar-debar senang memenuhi rongga dadanya. Sudah seminggu lebih Yoga tidak melihat sosok Boggi, walau setiap malam bayangan senyum Boggi sering muncul di mimpinya.
“ halo Dok,,, masuk,,,” sapa Yoga. Boggi nampak ragu sejenak lalau masuk dan menutup pintu.
“ Mmm,, Mbak Shani kemana Mas ?? “ tanya Boggi, duduk di sofa dihadapan Yoga.
Sial,,,sial jadi grogi gini sih,, rutuk Boggi pada diri sendiri.
“ Keluar sebentar tadi ada konsulan pasien bangsalnya,,’ Jwab Yoga tersenyum. Mereka terdiam. Boggi mengambil buku di tasnya sebagai pengalih perhatian dan pura-pura serius membaca. Padahal dari balik bukunya, Boggi curi-curi memandangi Yoga. Sosoknya masih sama seperti terakhir bertemu, tapi wajahnya lebih tirus. Hari ini Yoga memakai kaos polo dan celana jeans. Bagaimana kabarnya Mas Yoga seminggu ini ya ??
Yoga menunduk memandang jurnalnya, tapi dikepalanya hanya terisi sosok yang sekarang sedang membaca buku didepannya. Tanpa diduga, ada denting bel di kepalanya dan hatinya menghangat melihat senyum Boggi. Hari ini Boggi tampak tampan dengan kemeja biru dan celana bahan, tapi apapun yang dipakai selalu membuatnya menarik, terutama karena dokter Boggi smart, dan Yoga menyukai laki-laki smart dan mau belajar. Apa kabarnya Boggi seminggu ini ??
“ Emm,,, Mas...”
“ Dok...”
Mereka angkat berbicara bersamaan, lalu tersipu.
“ mas Yoga duluan,,” Yoga tersenyum kecil.
“ Apa kabarnya seminggu ini Dok ?? “ Tanya Yoga. Boggi tersenyum.
“ Baik...” dan agak kehilangan,,, tambahnya dalam hati Boggi. Kehilangan teman diskusi maksudnya.... ralat sendiri.
“ Mas,,, Yoga gimana kabarnya ?? Hmmm... kurusan ya ?? “ Kata Boggi. Yoga menyentuh pipinya, memang agak cekung.
“ Baik,,, Iya ya ?? tidak kerasa aku. Mungkin karena makannya kurang teratur kali,, “ Aku Yoga. Boggi mengerutkan alisnya.
“ Harusnya sudah tau rentan, makannya yang benar dong Mas,,” Ujar Boggi galak, Yoga nyengir lebar.
“ Di rumah gak ada yang masakin Dok,, harus carib sendiri. Pak Dokter mau masakin ?? “ Tantang Yoga, Boggi tersenyum.
“ Kasihan,,, terus makannya gimana ?? “
“ Ya belilah,, warung banyak,,” jawab Yoga. Lalu Yoga memberanikan diri bertanya.
“ Jadi... mau masakin ?? “ Yoga mengulang pertanyaannya. Boggi terpaku sejenak.
“ Mmmm tunggu saya belajar masak dulu ya,, “ Jawab Boggi malu. Yoga tertawa geli. Pak Dokter tidak bisa masak rupanya.
“ Sori, lama....” Dokter Shani masuk ruangan. Boggi dan Yoga menoleh...... “ Yuk kita mulai diskusinya. Ini untuk sosialisasi ke Akademi Keperawatan dan Kebidanan minggu depan,,,”
Mereka membicarakan tentang agenda penyuluhan beberapa minggu ini. Dan kali ini, Boggi sudah termasuk di dalamnya. Awalnya Boggi masih ragu, apakah pengetahuannya sudah cukup untuk menjadi pembicara atau masihkah harus di-brief lagi, namun Dokter Shani dan Yoga menyemangatinya.
“ Kamu sudah banyak belajar Gi, pasti bisa,,” ujar Dokter Shani.
“ Iya Dok,, toh audiens-nya awam kok,,” Tambah Yoga menyemangati.
“ Hmmm,,, iya sih. Tapi aku kan baru mulai belajar beberapa bulan ini,, “ sahut Boggi ragu. Dokter Shani memandang Boggi, lalu mulai bertanya.
“ Apa itu HIV Gi ?? “ Boggi menjawab.
“ Bedanya dengan AIDS ?? “ Boggi menjawab.
“ Patofisiologi (Perjalanan penyakit) HIV/AIDS ?? “ Boggi menjawab
“ Gejala ?? Stadium ?? “ Boggi menjawab.
“ Penularan ?? Pencegahan ?? “ Boggi menjawab.
“ Pencegahan dan pasca pajanan ?? Boggi menjawab
“ Pencegahan penularan dari Ibu ke anak ?? “ Boggi menjawab
“ Proses diagnosis ?? VCT ?? Pemeriksaan Lab ?? “ Boggi menjawab
“ Pengobatan ARV ?? Kapan mulai ?? syaratnya ?? “ Boggi menjawab
“ Infeksi oportunistik ?? Pencegahannya ?? “ Boggi menjawab
Dokter Shani menoleh puas ke arah Yoga.
“ Lulus Tes,,,” Ujar Dokter Shani dan Yoga bersamaan.
Selesai diskusi Dokter Shani masih ada rapat dengan Prof Dahlan dan Prof Budi untuk penanganan pasien gagal ginjal. Karena itu Boggi dan Yoga pamit pulang duluan. Mereka berjalan beriringanke tempat parkir.
“ Rumah Pak Dokter di mana ?? “ Tanya Yoga, setelah tiga bulan, Yoga baru berani menanyakannya.
“ Di dekat Pasar Minggu, depan Badan Litbang Kementerian Pertanian,,” Jawab Boggi.
Saat itulah Yoga melihat tidak ada cincin lagi di jari manisnya. Dada Yoga berdebar senang. Eit....tapi tunggu dulu, siapa tahu cincin itu sedang diperbaiki, atau dibersihkan, atau Boggi lupa memakainya, batin Yoga. Tapi rasa penasaran memenuhi kepalanya.
“ cincinnya...” ujar Yoga tak sadar, lalu mengumpat dalam hati saking
Kagetnya... Bukan urusanmu Ga,,
Spontan Boggi memandang jari manisnya, bekas cincin tunangan Rivi.
“ Mmm,,,cerita lama,,,” Jawab Boggi singkat. Yoga mengangguk-angguk paham, dan memutuskan tidak akan tanya lebih dari itu untuk hari ini.
Mereka berjalan dalam diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing sampai mobil.
“ Oke,,, aku tunggu rantangannya Pak Dokter,,” Ujar Yoga, Boggi tertawa lebar.
“ hahahaha,, aku tidak bisa masak,, doakan saja lulus kursus masak,,” Sahut Boggi, lalu Boggi terdiam sejenak seperti teringat sesuatu.....” Mmmmmm,,, Mas panggil aja aku Boggi,,” sambil tersenyum.
Yoga masuk kantornya dengan senyum lebar. Sudah lama sekali hatinya tidak seringan ini. Pertemuannya dengan Boggi dan happy ending untuk hari ini.
“ Gila, sepuluh senti,,” celetuk Tina, sekretaris kantor memandang wajah cerianya.
“ Apanya ?? “ tanya Yoga bloon. Tina memegang penggaris di muka Yoga.
“ Lebar senyumanmu, Ga, menang lotre ?? “ Goda Tina. Yoga hanya tertawa, tidak mengrubis. Lotre tidak semenyenangkan ini.
Yoga menjatuhkan diri di kursinya, dan menghidupkan komputer untuk mengerjakan proposal kampanye bulan depan.
Setelah komputer siap, yang terpampang di layar adalah wajah Boggi. Yoga tersenyum sendiri, Boggi sudah tidak memakai cincin. Boggi sudah ‘ber-aku-aku’ . Dan Boggi akan menjadi rekan kerjanya. Semangat Yoga timbul lagi, ditepuknya pipinya untuk mengembalikan kesadarannya, lalu mulai mengetik.
Asap hitam membumbungdari penggorengan. Dengan panik Boggi mematikan kompor dan memandang putus asa pada ayam yang sekarang bentuknya serupa arang. Maksudnya, Boggi mau membuat ayam krispi seperti buatan Bunda biasanya, tapi hasilnya malah batu bara. Dari ruang TV, Bunda mencium bau gosong dari dapur. Tergopoh-gopoh Bunda bangkit dari duduknya dan menuju ke dapur. Di sana dilihatnya Boggi berkacak pinggang sambil memandangi ayam gosong di penggorengan.
“ Walah,, Nang,, Kamu to,, Bunda kira apa yang kobong,,” Ujar Bunda dari pintu dapur, Bunda mendekatinya.
“ Masak apa toh nang ?? Kluwak ?? “ Goda Bunda, Boggi cemberut.
“ maunya ayam goreng krispi kayak yang biasa Bunda bikin, ayo Boggi diajarin donk Bun,, Masa Mas Ryan aja yang diajarin masak dari dulu,, Boggi walaupun cowok pengen bisa masak kaya Mas Ryan,,” Pinta Boggi. Bunda memandang takjub Putra ragilnya.
“ Wah sudah mau belajar masak,, ?? “ tanya Bunda senang. Dari empat anaknya,, hanya Mas Ryan lah yang paling hebat masak, sementara kakak perempuan Boggi, Gladiol sama dengan dirinya paling anti masuk ke dapur. Boggi mengangguk malu-malu. Dengan bersemangat Bunda mengajarinya membuat ayam krispi, lalu hari berikutnya sop jagung, opor ayam dan masakan-masakan lain yang membuat Boggi rajin menghampiri dapur Bunda.
maksih mentions nya mas,
jgn kapok trs mentions aku ya mas
Pengalaman Boggi yang pertama sebagai pembicara di Akademi Keperawatan dan Kebidanan menambah kepercayaan dirinya. Boggi merasakan kepuasan melihat siswa-siswa yang awalnya mereka tidak paham, menjadi paham. Boggi semakin bersemangat membatu sosialisasi pengetahuan HIV/AIDS.
“ Minum Gi,,” Ujar Yoga sambil menyerahkan segelas air mineral dan duduk disampingnya. Mereka baru saja selesai mengisi sosialisasi untuk anak SMU, kali ketiga Boggi menjadi pembicara. Hari ini Dokter Shani berhalangan, jadi hanya Boggi dan Yoga yang mengisi.
“ Makasih, Mas,,,” sahut Boggi, meminum air mineral. Memang haus sekali setelah satu jam berbicara.
“ kamu interaktif banget Gi, bagus. Informasi jadi gampang dicerna mereka,,” Puji Yoga, Boggi tersenyum.
“ Aku belajar dari cara Mas Yoga kok. Semangat dan Hidup,,” Ujar Boggi.
Cara Yoga membawakan bahan HIV/AIDS memang menginspirasi Boggi, begitu hidup, bersemangat dan kocak. Setiap mengikuti presentasi Yoga, Boggi semakin paham tentang HIV/AIDS dan selalu ada hal baru yang Boggi pelajari. Entah cara Yoga menegur peserta yang mengantuk, caranya menjawab pertanyaan yang memojokkan ODHA, caranya menerangkan patofosiologi HIV dengan bahasa awam, caranya membangkitkan minat audiens untuk mengerti HIV/AIDS, dan banyak lagi.
Yoga tertawa kecil mendengar jawaban Boggi, Yoga semakin bersemangat karena ada Boggi yang menemaninya setiap presentasi.
“ Emm,, kamu gak capek Gi ?? Jaga UGD, Piket, Poli, Bangsal, dan masih ikut sosialisasi gini ?? “ Tanya Yoga, mengeluarkan rokoknya, tapi segera dimasukkanya lagi melihat lirikan galak Boggi. Boggi seorang antitembakau juga.
“ Nggak, buat refreshing kok, kadang jenuh juga liat rumah sakit terus,, ‘ canda Boggi,,,, “ Kadang sekali-sekali pingin liburan kemana gitu.....tapi paling Cuma punya waktu hari minggu,,”
“ hari Minggu juga lumayan, daripada nggak ada libur sama sekali. Suka piknik ke pantai atau ke gunung ?? “ Tanya Yoga. Boggi berpikir sebentar, menggigit-gigit pipetnya.
“ Gunung, lebih adem,,” JawabBoggi sambil nyengir. Yoga menatap sepatunya.
Sampai sekarang mereka belum pernah pergi berdua kecuali urusan tugas. Yoga melirik Boggi yang sedang termenung menatap gelasnya. Semakin hari, perasaannya pada Boggi semakin tumbuh. Awalnya Yoga hanya sekedar ingin membawa wawasan Boggi sebagai Dokter. Lalu semakin lama, Yoga semakin tertarik pada kepribadiannya. Boggi seorang yang mau belajar, tidak putus asa kalau dikritik, baik, ramah, dan ketertarikan mereka dalam hal-hal lain pun mirip. Mereka sama-sama suka membaca dan mendengarkan jazz. Untuk terakhir itu, mereka tidak sengaja mengetahuinya waktu Yoga melihat koleksi CD di mobil Boggi.
Dan satu hal yang bisa diterangkan Yoga. Setiap melihat Boggi, Yoga merasa menemukan tempat untuk pulang.
“ Mmm,,,, aku juga sudah lama tidak piknik ke mana gitu,,” Ujar Yoga. Boggi menoleh, mata mereka berpandangan.
“ Piknik ke gunung yuk “.. Ajak Yoga sambil nyengir.
Semoga Boggi mau,,, Yoga memandang Boggi sambil harap-harap cemas.
Boggi menimbang-nimbang sebentar, membuka agenda dan melihat jadwal jaganya. Boggi mengangkat wajahnya.
“ Boleh, hari Minggu ini aku turun jaga,,” Jawab Boggi sambil tersenyum.
Hari minggu pagi-pagi Boggi sudah bangun dan menuju ke dapur. Dengan tangkas Boggi yang dibantu Bunda membuat beberapa macam masakan, ayam krispi, orak-arik sayur dan telur, perkedel daging. Tidak ada lagi ayam krispi gosong. Setelah mandi Boggi membolak – balik pakaian yang akan dipakai, Ia memilih menggunakan kaos berkerah dengan celana jeans.
Yoha bangun pagi-pagi, mencuci mobilnya. Saat sedang asyik menggosok pintu, Jacki, teman sebelah kamar Yoga, keluar kamar dan sambil menguap.
“ Rajin amat, bukannya sebulan sekali mobilnya baru kamu cuci,,” Kometarnya di antara nguapnya. Yoga melirik sahabatnya sekilas.
“ Ini sudah tepat sebulan,,” Jawab Yoga asal. Jacki duduk di bangku teras.
“ Mau kondangan ke mana ?? “ tanya Jacki lagi.
“ ke Hongkong,,” jawab Yoga seenaknya. Jacki mengucek-ngucek matanya.
“ Sama siapa ?? “ Kejar Jacki. Yoga mendengus sebal.
“ Christian Sugiono,,,” Jawab Yoga Ngawur. Jacki mencibir.
“ paling sama Dokter Boggi,,” tebak Jacki. Yoga menoleh cepat. Jacki terkekeh.
“ Benarkan tebakanku,, ngapain juga beberapa bulan ini kamu rajin banget ke Rumah Sakit. Bukannya dulu hospital phobia ?? Malah sekarang naksirnya Dokter,,” ejek Jacki. Dengan gemas Yoga mengarahkan selang ke arah Jacki, bermaksud mencuci mulut ember sahabatnya itu.
“ Haep,, Haep,, ampun Ga,, Ampun Yoga,,..”
Jam ditangan Boggi tepat menunjukkan pukul delapan pagi ketika sedan hitam berhenti di depan rumahnya. Bergegas Boggi menyambar tas tangan dan rantangnya.
“ Sudah mau pergi Gi “ Tanya Bapak dari balik koran di kursi ruang tamu ketika Boggi lewat didepannya. Langkah Boggi terhenti.
“ I....Iya pak,,” Jawab Boggi gugup. Jantungnya berdebar-debar. Alasan pertama, karena ini acara pertamanya pergi berdua dengan Yoga di luar tugas. Alasan kedua, karena Yoga menjemputnya di rumah, yang berarti Yoga akan bertemu Bapak Bundanya.
“ Jangan lupa kenalkan Bapak sama teman kamu ya,,,” ujar Bapak berwibawa dari balik koran.
“ I,,, Iya pasti,,” jawab Boggi dan segera berlalu untuk keluar.
Sepeninggalan Boggi, Bapak menurunkan korannya dan ternyata senyuman lebar tersunggingdi bibirnya. Dalam hati, Bapak lega karena anak lanang ragilnya sudah ceria dan bersemangat lagi. Awalnya Bapak sempat khawatir kalau pembatalan pernikahan akan membuat Boggi sedih berkepanjangan. Untunglah Boggi tidak sedih lama-lama dan mulai hidup lagi. Bapak juga sering melihat Boggi dengan tekun membaca buku atau jurnal kedokteran tentang HIV/AIDS, Rupanya Putranya ini serius menekuni minatnya. Bapak bersyukur bahwa pembatalan pernikahan di Belanda dengan Rivi membuat putranya tidak kebingungan lagi menentukan pilihan minat profesinya.
“ Pagi Boggi,,” Sapa Yoga di teras. Boggi tersenyum.
“ Pagi Mas,,,” mereka terdiam. Sama-sama kikuk.
Aduh,, aku berdebar-debar, keluh Boggi menunduk menatap kakinya.
“ Ehm,, Bapak Ibu ?? “ Tanya Yoga. Boggi mengangkat wajahnya cepat.
“ Oh,, Iya,,, yo aku kenalkan,,,’ Ajak Boggi.
Yoga menata debaran hatinya. Pertemuan pertama dengan Bapak dan Ibu Boggi. Semoga aku tidak berbuat sesuatu yang salah. Yoga berdeham lalu mengikuti masuk Boggi.
Boggi masuk dengan temannya. Bapak segera mengangkat korannya, pura-pura membaca. Padahal dari tadi Bapak mengamati dari ruang tamu dan tersenyum-senyum sendiri melihat putranya malu-malu. Sejaka peristiwa Boggi mengakui dirinya gay, hingga sekarang Bapak dan Ibu memang mendukungnya, kedua orang tuanya tidak ingin melihat anak ragilnya sedih dan menderita. Namun Bapak dan Ibu selalu berpesan agar Boggi menjadi Gay yang baik, tidak neko-neko.
Kayak anak SMA aja,, batin Bapak Boggi. Padahal tiga tahun lagi sudah tiga puluh tahun.
“ Bapak, kenalkan teman Boggi,,” ujar Boggi perlahan. Bapak menurunkan korannya, membetulkan kacamatanya.
Hmmm, ini ya temannya Boggi. Penampilannya rapi, sopan juga nampaknya,, ujar Bapak dalam hati.
Yoga mengulurkan tangannya, disambut Bapak.
“ Yoga pak,,” Ujarnya sambil tersenyum.
Bapak yang tegas dan berwibawa, tampak dari kumis dan jambangnya, batin Yoga. Sepertinya masih keturunan keraton, karena Yoga melihat foto bapak dalam busana kebesaran jawa di dinding ruang tamu.
“ Yoga ini yang mengenalkan Boggi tentang pengetahuan HIV/AIDS pak,,” terang Boggi. Bapak mengamati Yoga, manggut-manggut, dan Bapak memutuskan untuk menyukai pria di depannya, senyum Bapak terkembang.
“ Terimakasih ya,, sudah membantu anak saya menemukan minatnya,,” Kata Bapak dalam senyuman. Lalu memanggil Bunda untuk berkenalan dengan Yoga.
Boggi menutup pintu mobil Yoga dan melambaikan tangan pada bapak dan bundayang melepas kepergian mereka dari teras. Yoga mengangguk kepala hormat.
Setelah kelur di jalan raya, Boggi menghembuskan nafas panjang lega, bersamaan dengan Yoga. Mereka berpandangan dan tertawa terbahak-bahak.
“ Aduh aku grogi tadi waktu mengenalkan Mas ke Bapak dan Bunda,,” Akui Boggi.
“ Sama,,”,,, sahut Yoga,,,” Apalagi waktu aku lihat foto Bapak pakai pakaian jawa dan bawa tombak di ruang tamu tadi,,” Boggi terkikik.
“ Sudah sarapan ?? “ tanya Yoga. Perutnya lapar. Setelah mencuci mobil tadi Yoga tidak sempat mencari makan pagi. Boggi tersenyum lebar dan mengangkat rantangnya.
“ Ini hasil aku masak sama Bunda, tapi aku Cuma menemani Bunda masak saja,,” Boggi berbicara lalu tersenyum.
“ Jadi yang masak kamu apa Bunda ?? “ Tanya Yoga.
“ Aku lah,, tapi Bunda juga,,hehehe,,” kata Boggi.
“ Kalau masakan Bundanya Pak Dokter pasti higienis,, “ goda Yoga. Boggi merengut.
“ Selain higienis,, masakan Aku dan Bunda enak juga ko mas,,” Protes Boggi. Yoga tertawa.
“ Percaya,,, percaya,, lah wong ini masakan Bunda,, pasti enak,”
“ Huh,, itu masakan aku dan Bunda mas,,” Protes Boggi.
“ hehehehehe,, iya,, iya,, masakan kamu dan Bunda,,”
Sepanjang perjalanan mereka ngobrol dan tertawa-tawa. Boggi juga membongkar koleksi CD musik Yoga di dashboard-nya.
“ Norah Jones!!Bubble!! “,, seru Boggi senang, lalu memasang di cd player.
Lone star,,where are you, out Tonight...........
Boggi ikut bernyanyi. Suaranya enak didengar. Yoga melirik Boggi yang asyik menyanyi dan tersenyum simpul.
Saya jatuh cinta dengan Boggi,, Aku Yoga dalam hati.
Hutan pinus di kaki Gunung Gede Pangrango siang itu menghampar hijau, bertingkat-tingkat. Untung langit cerah tapi juga tidak terlalu panas. Yoga memarkir mobilnya di bayangan pohon lalu mereka keluar. Boggi membuka bekalnya setelah mereka duduk di hamparan kain. Yoga memandang makanan buatan Boggi dan Bunda dengan berselera.
“ Aku habiskan ya,,” Kata Yoga, Boggi nyengir lebar.
Setelah selesai makan, mereka memutuskan untuk berjalan menuruni lembah pinus, menuju sungai dengan aliran jernih dan berkilau di sana. Kerciknya sudah terdengar dari atas.
“ Sebenarnya ada hal yang dari dulu Pingin kutanyakan,,” Ujar Boggi di sela langkah mereka di jalan setapak hutan pinus. Yoga melambatkan langkahnya.
“ Tanya saja,, “ Ujar Yoga. Boggi terdiam sebentar.
“ Mas Yoga tertular HIV dari mana ?? “ tanya Boggi pelan, lalu memandang wajah Yoga. Boggi takut menyinggungnya. Untunglah wajah Yoga biasa-biasa saja.
“ Dari jarum suntik,,” Jawab Yoga.. “ Aku dulu pecandu,,” Boggi mengangguk paham. Yoga meneruskan ceritanya.
“ Jacki itu sahabatku dari SMA, temanku berbagi jarum juga. Tiga tahun yang lalu ketika aku tahu HIV Positif, Jacki langsung ketakutan dan melarikan diri ke kampung. Baru tahun ini Jacki mau tes HIV dan hasilnya positif juga,,” terang Yoga.
Mereka jalan terus menyusuri setapak pinus, sesekali Yoga menolong Boggi melompati batu.
“ Trus,, kapan Mas tahu kalau mas itu Gay ?? “ Boggi kembali bertanya, namun kali ini Yoga menanngapinya dengan senyuman.
“ Sejak aku kenal kamu Pak Dokter,,,hehehehhe” Yoga tertawa,, Boggi melotot,, “ Sejak aku SMP Gi,, aku menyadari diri ku Gay sejak duduk di SMP,,saat aku kuliah aku memiliki BF,, namun dia memutuskan aku saat tahu aku pengguna Narkoba Suntik, sejak saat itu aku tidak pernah merasakan cinta,,” Boggi memandang iba ke Yoga.
“ Waktu dulu Mas Yoga tahu HIV positif, perasaan Mas Gimana ?? “ Tanya Boggi pelan-pelan. Yoga membalikkan badan, menatap Boggi.
“ Ceritanya panjang. Kita cari tempat duduk aja ya,,” Ajak Yoga, bagi mengangguk.
Batu besar di tepi sungai itu dinaungi bayangan pohon. Mereka duduk disana.
“ Sejak SMP aku sudah nakal,,” Yoga memulai ceritanya... Boggi menyimak dengan serius sambil mengigit batang rumput gunung.
“ Aku mulai dari rokok, lalu mulai ke ganja,,” Yoga tersenyum kecil.....” SMA aku mulai kenal shabu, kemudian heroin,,” Boggi mengangguk paham. Heroin atau putaw biasa dipakai dengan menyuntikkanke pembuluh darah. Pastilah ini sumber tertularnya Yoga.
“ Mmm,, keluarga mas Yoga tahu ?? “ tanya Boggi. Yoga terdiam, lalu mencabut rumput gunung, hendak digigitnya juga. Boggi langsung merebutnya.
“ Mas itu imunocompromises (pertahanan tubuh terganggu) nanti kalau mas diare gimana ?? “,, Ujar Boggi galak. Yoga tertawa kecil. Waduh. Ada polisi disini.
“ Keluargaku akhirnya tahu. Mereka awalnya ngamuk, karena tidak menyangka aku drug user. Mmm,,, keluargaku keluarga baik-baik, Bpak dan Ibuku disiplin dan perhatian ke anak-anaknya, aku dan keempat kakakku. Karena mereka merasa tidak ada yang salah dengan pola asuh mereka jadi penyebab mereka ngamuk,,” Ujar Yoga dengan pandangan menerawang. Boggi memandangi Yoga.
“ Nah alasan Mas Yoga pakai itu apa ?? Bukan karena broken home kan ?? “
Yoga tertawa kecil, menoleh memandang Boggi.
“ Itu namanya akibat pergaulan bebas..” Jawab Yoga,,,” Aku bergaul dengan teman-teman yang salah. Mereka ngajak aku make,,” Yoga menghembuskan nafas panjang , reflek Yoga meraba sakunya, mencari rokok. Tapi tangannya ditahan oleh Boggi yang memandanginya galak dan sesaat kemudian pandangannya melembut.
“ Jangan sakiti badan mu lebih jauh lagi,,” Ujar Boggi perlahan. Yoga tersenyum kecil dan tersadar tangannya berada dalam genggaman Boggi. Yoga balas menggenggam tangan Boggi. Sesaat mereka terdiam dengan tangan bergenggaman.
Tuhan ini seperti di dalam mimpiku waktu itu. Cuma bedanya sekarang Boggi tidak pakai sarung tangan latexnya.
Rasanya waktu seperti berhenti. Kicau burung, desau angin gunung, dingin yang merambati tulang seakan jauh di belakang mereka.
“ Tiga tahun lalu, waktu aku tahu HIV positif aku mau bunuh diri,,” Ujar Yoga pelan-pelan. Boggi semakin erat mengenggam tangan Yoga, seakan memberi penguatan.
“ Sebelum tes aku memang sudah konseling. Tapi begitu tahu tanda plus di kertas hasil pemeriksaan, duniaku gelap,, “ Yoga membayangkan keadaannya tiga tahun lalu. Yoga duduk di depan konselornya dan memandang nanar kertas hasil tesnya. Ucapan konselornya untuk tabah dan tetap semangat hanya bagaikan dengung lebah di sekitarnya.
“ Tiga hari aku tidak makan, tidak nyalain lampu, tidak keluar kamar. Aku mencari cara untuk bunuh diri. Aku ambil pisau cukur untuk memotong nadi tanganku, tapi aku takut darah. Aku mau gantung diri di kamarku, tapi tidak ada kayu untuk gantungan tali. Aku mau minum obat pembasmi serangga dan nyamuk. Tapi aku sudah mual duluan nyium baunya, lalu aku memutuskan akan melompat dari kereta,,” Cerita Yoga, Boggi menggigit bibirnya, membayangkan kegalauan Yoga saat itu.
“...Aku sudah naik ke atap kereta barang dari stasiun Senen, rencananya di sekitar daerah persawahan di karawang aku mau terjun,,” Yoga menghela nafas..... “ Diatas atap kereta itulah Tuhan menyapa. Ketika aku duduk diterpa angin , aku merasakan bahwa aku sebenarnya beruntung. Berapa banyak orang yang tahu batas usianya di dunia ?? Mereka yang tidak tahu, sama seperti aku dulu, menghancurkan badannya buat kesenangan duniawi. Mabuk, drugs, sex,... sekarang aku dikirim Tuhan surat kontrak usiaku....” Ujar Yoga.
“ Jangan bilang gitu,,” Potong Boggi. Yoga menatapnya lalu tersenyum.
“ Tapi, itu benar kan Gi ?? Paling tidak, aku sudah tahu sewaktu – waktu aku bisa mati karena pertahanan tubuhku yang semakin menurun. Saat itu aku punya pilihan, bertobat dan membuat diriku berarti buat sebanyak mungkin orang sebelum aku meninggalkan dunia sesuai surat kontrakku, atau berhenti di sini dan lompat,,” Kata Yoga.,,,,, “ lalu aku turun di Stasiun Cikampek dan pulang naik kereta ekonomi,,’ Yoga tertawa kecil.
Setelah itu aku mencari literatur tentang HIV, bagaimana caranya bertahan supaya tidak jatuh ke stadium AIDS, bagaimana caranya hidup bersahabat dengan HIV, Lalu aku memutuskan untuk memulai terapi ARV. Saat itulah aku ketemu Mbak Shani. Dia konsultan kesehatan dan teman curhatku. Setelah konsumsi ARV, aku semakin bersemangat untuk membuat hidupku berguna, menulis, presentasi,,,,Setiap butir ARV yang kuminum kubayangkan menambah umurku sehari,,, “ Yoga tersenyum.
“ Dan kecanduannya...” Boggi menggantung kalimatnya. Boggi mau tanya apa Yoga sudah sembuh dari drugs addict nya,, tapi tidak tahu istilah yang tepat. Seingat Boggi dalam mata kuliah psikiatri dulu, seorang pecandu tidak mungkin sembuh.
“ Clean maksudmu ?? “ Ah iya,, Clean maksud Boggi. Bersih, tidak konsumsi heroin. Boggi mengangguk.
“ Proses lepas daru Drugs juga bukan hal yang mudah juga. Aku jatuh bangun di tahun pertama. Teman-temanku masih sering menghubungi, kadang-kadang gratisan di depan mata juga bikin tidak tahan,,, ‘ Yoga menatap tangannya.....” Akhirnya aku memutuskan pindah ke Jakarta untuk bisa clean total, karena barang-barang dikamarku, setiap tikungan dekat rumah, sudut-sudut di Surabaya yang dulu pernah kupakai untuk konsumsi drugs adalah trigger (pemicu) buat aku,,, “ Yoga menoleh memandang Boggi.
“ Dua tahun ini aku clean,,” Yoga tersenyum, begitu juga Boggi,,, ‘,,,, dan semoga untuk berpuluh tahun mendatang,,”
Boggi termenung meresapi cerita Yoga. Hidup yang penuh warna, penuh liku, dan Yoga berhasil menjalaninya. Dengan segala pergulatan batin yang akhirnya bisa dimenangkannya, dan dengan segala yang telah berhasil dilakukannya sampai sekarang, Yoga orang yang luar biasa. Tanpa sadar air mata membasahi pipi Boggi.
“ Boggi kamu kenapa ?? “ Tanya Yoga Khawatir melihat butir-butir air mata Boggi yang semakin deras. Boggi tersenyum kecil dalam deraian air matanya, menggeleng.
“ Kamu luar biasa Mas,,” Kata Boggi pendek, menatap Boggi lembut dan mengusap air matanya.
“ Boleh aku memelukmu ?? Aku merasa sepertinya kau kelelahan,,” Ujar Boggi.
Yoga tercekat. Boggi mengerti perasaannya. Selama ini kadang Yoga merasa kelelahan menjalani hari-harinya, kebosanan mengkonsumsi ARV yang kadang timbul karena setiap hari harus diminumnya tanpa henti, efek sampingnya yang membuatnya mengalami mimpi buruk dan muntah berat, perjuangannya clean dari drugs, pandangan orang tentang statusnya, dan ke kawatiran tentang sisa usianya yang terkadang muncul saat bioritmenya turun... Yoga menyibukkan diri dengan menulis dan menjadi pembicara di mana-mana, seolah dikepalanya ada jam pasir yang selalu mengucur. Yoga takut kalau waktunya habis sebelum Yoga melakukan hal yang berguna sebanyak mungkin. Karena itu Yoga bekerja seperti kesetanan.
Dan Boggi benar, kadang Yoga kelelahan.
Boggi merentangkan tangan dan Yoga menyambutnya. Boggi memeluknya dengan lembut.
“ Kenapa kamu bisa tahu apa yang kurasakan ?? “ bisik Yoga dipelukkan Boggi.
“ kamu pelari yang luar biasa, tapi ada kalanya kamu perlu istirahat,,’ Ujar Boggi.
Yoga menangis tanpa suara di pelukkan Boggi. Tangis yang selama tiga tahun ditahannya.
Boggi termenung menatap lonceng angin yang dipasang di atas jedela kamarnya. Angin sepoi-sepoi datang dan dentingnya terdengar samar-samar. Yoga mengantarnya pulang dua jam lalu, setelah mereka menghabiskan hampir sepuluh jam bersama.
Boggi menghela nafas panjang, meresapi rasa hangat yang menjalari hatinya. Hari ini Boggi mengenal Yoga lebih dalam. Yoga mau membagikan masa lalu dan berbagi beban. Dan perasaan Boggi terbawa di dalamnya. Boggi bisa merasakan pahit, getir, debar, galau, semangat, dan perjuangan Yoga. Jika Yoga berlari selama ini, apakah dia berlari sendiri ?? Lelahkan dia ?? atau dia membutuhkan teman berlari ??
Aku mau jadi teman berlarinya, Ujar Boggi dalam hati. Atau tempatnya melepas lelah setelah sekian lama berlari.
Karena hari ini aku sadar,, “ I do love him,,”.
Hari minggu ini membuka hari-hari kebersamaan mereka selanjutnya. Boggi sering membawakan makanan rumah buatan Bunda untuk Yoga. Yoga sering datang ke rumah Boggi untuk diskusi dan menyerahkan jurnal atau literatur terbaru, atau kadang hanya sekedar mengobrol dengan Bapak dan Bunda. Boggi sering menemani Yoga chek up dan menjadi pengawas minum obat ARV yang galak buat Yoga. Yoga sering menemani Boggi mencari buku, atau antar jemput saat Boggi jaga malam UGD. Hingga pada suatu hari Yoga mengaku kalau dirinya jatuh cinta dengan Boggi dengan Mbak Shani, Mbak Shanu nangis, namun bukan karena menangis sedih, namun bahagia sebab dari awalnya Mbak Shani sudah mengetahui bahwa Yoga adalah seorang gay. Hubungan Boggi dan Yoga bukan lagi sebatas tugas.
Perasaan Boggi semakin berkembang, semakin mengenal Yoga, semakin dalam Boggi mencintainya. Yoga adalah pribadi unik sekaligus membuatnya nyaman. Bersama Yoga, Boggi bisa menjadi dirinya sendiri apa adanya, mengembangkan semua impiannya dan membicarakan semua ketakutan dan kekhawatirannya tanpa khawatir dianggap aneh atau cengeng.
Perasaan Yoga pada Boggi semakin besar. Boggi adalah seseorang yang dinanti-nantikannya selama ini. Ketika Boggi memeluknya, rasanya Yoga bisa menyandarkan semua beban dan letihnya . Bagi Yoga, Boggi itu lengkap. Dan impiannya yang dulu pernah terkubur, Hidup bersama dan berkeluarga dengan seorang pria yang dicintainya mulai terbangun lagi.
@Ricky89
@lian25
@shuda2001
@dhanirizky
@Zhar12
@jokerz
@megane
@Kim leonard
@adinu
Maaf belum komen satu-satu,, hehehehe,, selamat membaca ya
sama...aq cengeng jg...hehee... part yg ni sgguh mngharukan..