It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@rendifebrian
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
Maaf baru update setelah senin yang lalu baru buka boyz forum,, ini lanjutannya,, maaf kalau agak kurang enak dibaca yang ini,, solanya nulisnya sembari lagi kerja persiapan riset total diet study,, hehehehehe,, selamat menikmatai kawan-kawan,, oh iya lupa selamat hari kanker dunia 4 februari lalu,,
Kanker memang bukan penyakit biasa, karena kanker lebih banyak memberikan karunia ketimbang derita. Kanker adalah teman baik senyuman dan rasa optimis, dan Kanker terlahir serta di titipkan kepada pribadi yang kuat dan tangguh serta memiliki masa depan yang cerah,,
sekali lagi selamat membaca
Rivi masuk keruangannya dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Lega karena akhirnya rapat tentang kegiatan setahun proyek berjalan lancar. Untunglah ada Dirga yang bersedia ketempatan untuk acara barbekyu. Hm,, ini berarti sudah setahun Rivi meninggalkan Bukittinggi. Entah kenapa, kali ini ia tidak terlalu merindukan Bukittinggi ataupun kampung halamannya Jakarta. Instingnya berkata, setahun yang telah berlalu terasa menyenangkan dan setahun ke depan pasti akan lebih istimewa.
Rivi duduk dikursinya dan mulai menumpukan konsentrasi lagi. Dilihatnya ada sebuah e-mail yang baru masuk. Dari Dhio.
********************************************************
My Dear Rivi,
Kamu baik-baik saja?? Lama tidak menerima e-mailmu. Bagaimana proyekmu??
Hampir setahun berlalu. Tanpa kamu disisiku untuk ke sekian kalinya.
Aku kangen, Pulanglah ke rumah.
Dengan seluruh cintaku.
Dhio
********************************************************
Rivi tersenyum tipis . Kehangatan dan keharuan muncul bersamaan dihatinya. Tangannya segera mengetik balasan e-mail tersebut.
********************************************************
Dear Dhio,
Aneh, aku tidak merindukan Bukittinggi ataupun Jakarta. Tapi aku merindukanmu. Percayalah, aku akan pulang. Tidak kemana-mana. Aku hanya akan pulang ke sebuah tempat yang kusebut rumah.
-Rivi-
********************************************************
Rivi menekan tombol “ send “.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dirga mendorong pintu pantry. Di dalamnya sudah ada Gulid, Luna dan Dini yang mulai kepayahan bergerak dengan perutnya yang semakin besar.
“ Nah itu Dirga, ayo rapatnya kita mulai saja!! “ ujar Gulid.
Dirga mengernyitkan kening. “ Rapat ko di pantry?? “
“ Ini kan rapat santai..” Luna mengedipkan mata. Yang lain tertawa,, “ Nah, selain barbekyu, kita buat acara apa lagi?? “ tanya Luna.
“ Lebih seru kalau ada permainan!! “
“ Kayaknya aku punya beberapa ide untuk permainan. Nanti kumatangkan konsepnya. Sekaligus di puncak acara, kita akan mengadakan evaluasi,,” ujar Gulid.
“ Terus, menu makanannya gimana nih?? “ tanya Dirga
“ Kayaknya sehari sebelum acara kita perlu belanja bahan mentah. Apa aja yang mau dibeli ya?? “
“ Yang standar sajalah. Ayam, ikan, cumi dan daging,,”
“ Nanti aku bantuin masak dirumahmu,,” tawar Dini, ragu-ragu. Matanya menatap Dirga dengan pandangan bertanya. Dirga mengerti arti pandangan Dini. Buru-buru ia mengangguk.
“ Kita semua akan membantu di rumah Dirga!! “ putus Gulid.
“ Kue-kue mau beli atau buat sendiri?? “
“ Hmm, aku mau bawa cake,,”
“ Aku bisa buat risoles. Tapi aku buat dirumahmu saja ya?? “ pinta Dini.
“ Oke, kekurangannya kita beli saja ya,,”
Luna sibuk mencatat hasil rapat siang itu. Gulid menatap perut Dini yang semakin membuncit.
“ Din, kamu kontrol ke dokter mana?? “ tanya Gulid.
Dini menggeleng.
“ Semua dokter yang kutemui menolak setelah tahu aku HIV positif,,” ujar Dini kaku.
“ Astaga. Jadi bagaimana kamu akan melahirkan nanti?? Kamu tidak berniat memakai bidan kan?? “ pekik Gulid semakin kaget.
Muka Dini semakin keruh. ‘ Aku harus bagaimana lagi?? Hampir semua dokter sudah kudatangi, tapi nggak ada yang bersedia,,”
Gulid melirik Dirga. Tapi yang dilirik malah pura-pura nggak tahu.
“ Jadi kamu juga tidak mengkonsumsi ARV?? “ tanya Gulid lagi.
Dini menggeleng.
“ Kamu nekat Din!! “ keluh Gulid. Kemudian keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu. “ Seingatku, ada program PMTCT hampir disetiap kota. Seharusnya Ibu Lita memasukkan mu ke program itu. Biasanya ada dokter yang bertugas menangani Ibu hamil dengan HIV positif yang akan melahirkan,,” Ujar Gulid sambil menatap Dini. Yang ditatap hanya melongos, tak berani membalas.
“ Bu Lita tidak tahu tentang kehamilanku. Mungkin sekarang sudah ada yang memberitahunya. Entahlah,,”
Dirga dan Gulid berpandangan.
“ Jadi kamu merahasiakan kehamilanmu dari beliau?? “
Dini menatap Dirga kesal. “ Maumu apa sih, Ga?? Apa aku harus mempublikasikan kehamilanku yang di luar nikah ini?? “ sentaknya kesal. Dirga terdiam.
“ Tapi kalau begini caranya, tidak adil buat anakmu. Kamu egois, Dini!! “ kecam Gulid.
Dini hanya diam.
Luna mengacungkan kertas catatannya. “ Sudah selesai di catat. Nanti akan kuketik, dan kalian akan kuberi masing-masing satu kopi, supaya tahu tugas dan tanggung jawab masing-masing!! “
Semua mengangguk patuh. Luna bangkit dari kursi.
“ Rapat dibubarkan ya. Nanti si bos mencari-cariku,,”
Yang lain tertawa melihat gaya Luna saat menceritakan Rivi.
“ Eh, di pesta barbekyu nanti boleh bawa pasangan kan Ga?? “ tanya Luna di Pintu. Dirga tertawa.
“ Lun, kayanya diruangan ini Cuma kamu yang punya pasangan. Jadi toleransi dong!! “ tukas Gulid galak.
Luna terdiam dan buru-buru keluar dari pantry.
Dirga dan Dini tertawa geli. Susah payah Dini bangkit dari kursinya dan tertatih tatih keluar dari pantry. Gulid memandangi dari belakang dengan prihatin.
“ Bagaimana nanti nasib anaknya kalau Dini nekat melahirkan pakai bidan?? “ cetus Gulid. Dirga hanya menggeleng. Gulid menoleh ke arah temannya. “ Ga, Papamu dokter kebidanan kan?? “
Bibir Dirga bergerak sedikit sebagai jawaban. Gulid mengerti keengganan temannya, tapi ia terus mendesak.
“ Kenapa Dini tidak disuruh konsultasi ke Papa mu saja ya?? “ pancing Gullid.
Dirga mengangkat bahu. “ Nggak tahu!! “
“ Ga?? “ Gulid mencekal tangan Dirga. Dirga melemparkan pandangan dengan jengah.
“ Aku benar-benar nggak ngerti, Bang. Aku nggak pernah mencampuri urusan pasien Papa,,’
Kilah Dirga.
Gulid menghela napas,, ‘ Ya sudah, itu pilahanmu,,’ sahut Gulid akhirnya.
Dirga berbalik menatap Gulid dengan pandangan memohon,, “ please Abang jangan desak aku........”
Gulid tersenyum,,” Aku tidak meminta apa-apa darimu. Jangan berkata seperti itu. Aku hanya berpikir, kamu sudah memiliki pemahaman yang lebih baik sekarang. Pasti Papamu juga bukan orang yang berpandangan picik. Jika kita memiliki kemampuan untuk menolong sesama, kenapa tidak dilakukan?? “ ujar Gulid dengan kelembutan yang membuat Dirga semakin serbasalah.
Lama Dirga terdiam, hingga akhirnya Gulid menepuk pipi Dirga sambil tertawa.
“ Sudahlah. Tak usah dipikirkan kata-kataku tadi,,”
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Tapi mana bisa Dirga melupakan percakapannya dengan Gulid di pantry begitu saja?? Sepanjang malam kata-kata Gulid terus mengetuk hati nuraninya. Mempertanyakan rasa kemanusiannya. Membuat pikirannya tidak tenang. Sebaik apa pun pemahaman Dirga sekarang mengenai cara penuiaran HIV/AIDS, tetap ia tidak mau mempertaruhkan satu-satunya orang yang dimilikinya di dunia ini. Papa adalah pelindungnya, penjaganya. Satu-satunya harta yang dimilikinya setelah Mama meninggal. Lelaki itu bertahan untuk tidak menikah lagi dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk membesarkan Dirga seorang diri. Papa yang setia menjaga Dirga setiap putra tunggalnya itu sakit, sabar mendengarkan semua ceritanya bahkan cerita terkonyol sekalipun. Saat Dirga beranjak dewasa, Papa menempatkan diri sebagai teman diskusi dan selalu mengajaknya berargumen untuk membentuk pikiran Dirga lebih kritis dan idealis. Dalam semua peristiwa kehidupan yang dilalui Dirga, selalu ada Papa.
Sekarang bagaimana mungkin Dirga rela meminta Papa menangani pasien HIV?? Meskipun ada standar pencegahan universal, tetap saja tindakan operasi terhadap ODHA adalah salah satu bentuk tindakan beresiko tinggi. Bisa saja ada luka di kulit Papa, dan Papa tidak tahu lukanya itu terkena darah ODHA. Atau sarung tangan karet yang dikenakan Papa ternyata bocor. Dirga tak mau Papa terinfeksi HIV dari pasiennya. Dirga tak mau Papa menjadi sakit dan tergantung pada obat sepanjang hidup. Papa lelaki yang aktif. Masih selalu menyempatkan diri berolahraga di sela-sela jadwal praktik yang padat. Masih sering mengajak Dirga traveling atau sekedar jalan kaki pagi bersama. Papa tidak akan sanggup hidup bergantung dari obat-obatan. Kalau itu sampai terjadi, pasti Papa akan sangat terpukul. Dirga tidak melihat hal itu terjadi pada Papa. Dirga tidak mau kehilangan Papa.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dr Poernomo melipat koran yang sedang dibacanya ketika melihat Dirga keluar dari kamar. Ia menepuk-nepuk tempat disebelahnya dan mengajak Dirga duduk.
“ Sudah lama kita nggak ngobrol, bagaimana perkembangan proyek kerjaan kamu nak?? “ tanyanya sambil mengecilkan volume televisi.
Dirga menjatuhkan badannya di sofa, tepat di samping Papanya. “ Sudah hampir setahun Pah. Tahun depan proyek ini selesai,,”
“ Kira-kita target kalian bisa tercapai tidak?? Apa sih target utama setelah dua tahun nanti?? “
“ Yah, diharapkan sih semua orang memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai isu HIV/AIDS sehingga tidak ada lagi stigma dan diskriminasi,,” cetus Dirga. Lidahnya serasa tersangkut di tenggorokan ketika mendengar kata-katanya sendiri tadi. Bukankah itu yang sedang dilakukannya kini, mendiskriminasikan Dini??
Dr. Poernomo manggut-manggut.
“ Hmm,, sebenarnya target tersebut terlalu ambisius dan juga susah mengukurnya,,” gumam lelaki itu.
“ Maksud Papa?? “
“ Membuat data mengenai presentase orang yang telah mendapatkan informasi itu mudah. Tapi bagaimana kalian akan mengukur presentase orang yang tidak akan memberikan stigma atau perlakuan diskriminasi terhadap ODHA?? Soalnya itu berkaitan erat dengan perilaku dan cara pandang orang. Bagaimana mau mengukurnya?? “
“ Hm,,, dengan melihat kasus-kasus diskriminasi yang muncul ke permukaan?? “ tebak Dirga.
Dr. Poernomo tertawa. Tangannya terulur ke kepala Dirga dan mengacak-acak rambut putranya.
“ Itu kalau kasusnya muncul di permukaan. Justru diskriminasi sering dilakukan oleh orang-orang di sekeliling ODHA tersebut, oleh keluarga dan lingkungan yang seharusnya memberikan perlindungan,,”
Dirga mengangguk. Kepalanya disandarkan ke dada Papanya.
“ Pa, seandainya ada ODHA yang mau melahirkan, Papa bersedia membantu?? “ tanya Dirga.
Dr Poernomo melirik putranya mendengar pertanyaan itu. “ Kenapa nggak?? Bukankah spesialisasi Papa dokter kandungan?? “ tanyanya geli.
Dirga tersenyum masam. “ Tapi kalau pasiennya ODHA?? “ Desak Dirga lagi.
“ Memangnya ada apa dengan ODHA?? Bukankah kamu sendiri bekerja dengan mereka?? “
“ Bekerja bersama dan mengoperasi adalah dua hal yang berbeda, Pa. Risiko tertular lebih besar kan saat mengoperasi,,”
Dr Poernomo manggut-manggut mendengar argumen putranya. Tangannya memeluk bahu Dirga penuh sayang.
“ Jangan memakai kaca pembesar saat menilai masalah ini. Semua kegiatan memiliki risikonya sendiri. Bahkan kaki saja bisa berisiko ketabrak pengemudi yang ugul-ugalan. Kita kan orang beragama. Ikhlas dan serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa sebelum melakukan sesuatu,,”
“ Tapi, Pa?? “ protes Dirga.
“ Tidak ada sesuatu yang kekal Dirga. Semua akan mati. Hanya cara dan penyebabnya saja yang berbeda,,”
Dirga terdiam, tidak bisa membantah lagi.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Mendekati evaluasi setahun, semua orang mulai sibuk menyiapkan diri. Bukan hanya menyiapkan acara barbekyu, tapi menyiapkan evaluasi kerja individu dan evaluasi proyek. Rivi dengan gamblang sudah menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi yang memiliki performa kerja buruk selama setahun pertama. Hal itu semakin membuat setiap orang senewen karena tidak satu pun yang ingin didepak dari Asian Care Center. Demikian juga Dirga dan Gulid. Semua modul yang masih belum selesai segera dikebut. Seminar dan pelatihan semakin sering untuk mengejar target tahun pertama. Intensitas kerja yang mendadak meningkat ini membuat semua orang di Asian Care Center mudah naik darah dan cepat marah.
Dirga merapikan berkas-berkas yang berserakan di meja. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam dan ia masih di kantor. Dasar Rivi sialan, gerutunya sebal. Gulid sudah pulang sejak tadi karena obatnya ketinggalan di tempat kos. Setelah memasukkan ponsel ke tas, Dirga segera melangkah keluar ruangan. Sebelah tangannya terangkat untuk mematikan sakelar lampu dinding.
Kantor sudah sepi, semua karyawan sudah pulang, kecuali Dirga. Terkadang Dirga masih terkaget-kaget sendiri, satu hal yang ia tahu pasti, dirinya bukanlah jenis orang yang gila kerja. Pulang kantor di atas jam enam adalah pekerjaan orang gila. Tapi semenjak di Asian Care Center ini, kebiasaannya berubah drastis. Jangankan jam enam, terkadang jam delapan malam ia masih memelototi layar laptop di kantor. Sudah seharusnya ia meminta kenaikkan gaji saat evaluasi nanti. Setidaknya sebagai kompensasi waktunya yang terpakai lebih dari empat puluh jam seminggu yang jelas-jelas menyalahi peraturan ketenagakerjaan. Dirga sibuk mencatat hal itu di kepalanya supaya tidak lupa.
Dirga terlalu sibuk tak memperhatikan suasana lapangan parkir yang semakin sepi. Saat ia merogoh tasnya untuk mencari kunci mobil, baru disadarinya sebuah kijang krista masih terparkir disitu. Rivi belum pulang?? Pikirnya heran. Ah, biar saja. Sudah sewajarnya si bos bekerja lebih lama dibanding bawahannya. Bergegas Dirga masuk mobil dan menghidupkan mesin. Ketika mobil mulai melaju beberapa meter, tak sengaja Dirga melirik ke kaca spion. Saat itu matanya mendadak terbelalak kaget. Dari pintu gedung, Rivi keluar dengan seorang laki-laki yang sangat ganteng, sebelah tangan Rivi merangkul bahu laki-laki itu. Mereka mengobrol dengan mesra. Dirga terbelalak, tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Dengan kesal ditekannya gas dan dipacunya mobil menjauhi lapangan parkir. Rivi brengsek!! Maki Dirga dengan mata berair.
“ Izinkan aku memeluk dan mencumbu dirimu, Cinta,,,, Mungkin kau kan tahu diriku lebih baik darinya..................”
Ah, shut up!! Dirga menekan tombol “ stop “ dan lantunan merdu Rio Febrian spontan berhenti.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Gulid sudah nyaris tertidur ketika pintu kosnya digedor paksa dari luar. Dengan menahan kantuk ia bangkit dari tempat tidurnya. Kantuknya mendadak hilang saat melihat Dirga berdiri dengan pipi basah oleh air mata.
“ Kenapa Ga?? “ tanya Gulid heran.
Dirga segera menghambur ke pelukan Gulid. Tangisnya semakin menjadi,, “ Bang, pacar Rivi datang ke sini!! “
Kening Gulid berkerut tak mengerti,, “ Iya, aku tau kamu datang. Tapi aku nggak tau kalau kamu dan Rivi sudah pacaran,,” ujarnya geli.
“ Bukan aku. Maksudku pacar Rivi datang ke Merauke!! “
“ Siapa?? “ tanya Gulid heran.
Dirga mengangkat bahu. “ Mana kutahu?? Aku tidak bicara dengannya!! “
“ Lantas dari mana kamu tahu?? “ Gulid semakin tak mengerti.
“ Aku melihat mereka di lapangan parkir!! “
“ Kamu melihat mereka tapi tidak menegur?? “
“ Kenapa harus negur?? “
“ Lho perlu dong. Kalau mau merebut Rivi, kamu harus memulai terbuka dengan laki-laki itu. Lagi pula selama ini Rivi sebenarnya sudah mulai tertarik padamu,,”
Mata Dirga menyipit mendengarnya,, “ Abang menyuruhku berantem dengan laki-laki itu untuk memperebutkan Rivi?? “
“ Bukan. Tapi sebaliknya, kamu harus memaksa Rivi berpikir dan memilih kamu atau lelaki itu,,’ koreksi Gulid. Usul Gulid hampir masuk akal. Hampir karena ada bagian yang sepertinya terlupa.
“ Kalau ternyata Rivi memilih lelaki itu?? “ tanyanya Dirga.
“ Yah setidaknya kamu sudah mendapatkan kepastian kan?? “ Gulid menyengir, sedetik kemudian ia mengaduh karena cibiran pedas Dirga.
“ Abang!! Jahat!! Aku pulang aja!! “ gerutu Dirga sambil membalikkan badan, bersiap-siap mau pergi.
Gulid terkekeh dibelakangnya. “ Dirga, tunggu sampai aku melihat cara Rivi memandang lelaki itu. Baru aku bisa tahu siapa yang akan dipilihnya,,” Janji Gulid.
Dirga seketika menoleh,, “ Janji?? “
Gulid mengangguk pasti.
“ Tapi.................. Abang kan bukan paranormal?? Bagaimana kalau ternyata tebakanmu salah?? “ Dirga kembali pesimis.
Dirga mengentakkan kakinya kesal. Gulid selalu saja bercanda.
“ Ya sudah. Aku pulang saja!! “
“ Hati-hati ya!! “ pesan Gulid sebelum menutup pintu untuk melanjutkan tidurnya yang terganggu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sudah berulang kali Dirga membalikkan tubuh, tapi matanya tak juga terpejam. Padahal seharian ini ia sudah bekerja terlalu keras. Seharusnya tubuhnya lelah dan ingin istirahat. Tapi pikiran Dirga seakan tak mau berhenti bekerja. Di matanya sudah terbayang senyum Rivi yang cerah dan mata tajam Rivi yang menatap hangat lelaki disampingnya. Lelaki itupun tersenyum manis ke arah Rivi. Kelihatan sekali mereka berdua sangat akrab. Kalau tak bisa dibilang mesra, siapa sih laki-laki itu?? batin Dirga bertanya. Kenapa tiba-tiba dia datang?? Karena rindu?? Kan proyek Asian Care Center masih setahun lagi?? Atau.......................... dia akan menetap di Merauke hingga proyek ini berakhir??
Astaga!! Berarti Rivi tak akan bisa lagi pergi makan malam bersamanya dan Gulid. Atau Rivi malah akan mengajak lelaki itu pergi bersama mereka?? Awas aja kalau Rivi berani berbuat seperti itu.
Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di kepala Gulid. Sebuah jawaban atas kemunculan laki-laki itu yang tiba-tiba. Apa Rivi sengaja menyuruh laki-laki itu datang untuk hadir di acara barbekyu?? Aduh!! Berarti laki-laki itu akan muncul dirumahku!! Panik Dirga. Spontan ia menuruti saran Gulid untuk mengadakan barbekyu dirumahnya. Lebih baik diadakan di hotel saja. Akan ada sejuta alasan supaya Dirga tidak usah hadir disana. Tapi ini?? Jelas-jelas barbekyu diadakan dirumah Dirga. Mana bisa ia menghilang tiba-tiba?? Dirga mengerutkan kening karena kesal. Rivi benar-benar menyebalkan. Awas kalau dia berani membawa laki-laki itu kerumahku!! Ancamnya.
Gulid menyambut dengan sebuah senyuman ketika pintu ruangan konsultan terbuka dan Dirga masuk dengan bibir cemberut.
“ Selamat pagi!! Kok manyun?? “
Dirga tak menjawab. Diletakkannya tas ke atas meja dengan gerakan kasar. Kemudian ia mengeluarkan laptop dari tasnya dan menekan tombol “ power “ dengan keras. Kaki kanan Dirga menarik kursi ke arahnya lalu membanting tubuhnya hingga mengeluarkan suara keras.
Gulid memerhatikan gerak-gerik temannya dengan geli. Ia tahu Dirga pasti masih cemburu terhadap sosok laki-laki misterius Rivi. Tapi Gulid memilih diam dulu dan menunggu reaksi Dirga. Ia memilih tenggelam dalam pekerjaannya. Banyak modul pelatihan yang harus diselesaikannya. Apalagi Gulid tidak bisa memaksakan diri bekerja lama seperti Dirga. Jam kerja yang panjang, kurang istirhat, dan stres bisa dipastikan akan membuat stamina Gulid menurun, dan itu yang tidak diinginkan oleh Gulid.
Lama waktu berlalu. Tidak ada suara terdengar. Hingga tiba-tiba terdengar pintu dibuka dan Luna menyembulkan kepalanya. Gulid segera menoleh.
“ Aih,,, aih,, dipanggil dari tadi nggak ada yang menyahut. Kalian dipanggil si bos tuh. Kayanya dia lagi bete. Marah-marah sejak tadi pagi,,”
Gulid melihat ke arah Dirga. Dirga hanya cemberut. Beriringan mereka keluar ruangan menuju ruangan Rivi.
Rivi sedang memelototi layar laptop saat Gulid dan Dirga muncul. Wajahnya terlihat gusar. Ketika Gulid dan Dirga masuk, Rivi mengangkat kepalanya dan memberi isyarat mereka untuk duduk. Perlahan-lahan Dirga dan Gulid duduk sambil berpandangan, mencoba menebak alasan Rivi memanggil mereka. Rivi menyodorkan setumpuk kertas yang berisi angka-angka, sekali lirik saja. Gulid dan Dirga langsung bisa menebak alasan kegusaran Rivi.
“ Baru setahun proyek ini berjalan, kita sudah membelanjakan uang yang terlalu banyak. Sementara pencapaian target masih belum jelas. Kalau begini cara kerja kita, donor tidak akan percaya lagi!! “
Gulid dan Dirga terdiam dengan kepala tertunduk.
“ Bagaimana perkembangan pembuatan modul?? Masih banyak yang belum selesai kan?? “
Dirga dan Gulid mengangguk.
“ Aku mau semua modul itu diselesaikan dalam waktu seminggu ini. Dan harus yang final. Aku tidak mau menerima modul yang masih mentah atau yang harus direvisi lagi,,” tandas Rivi.
Gulid mengangguk. Dirga mengernyitkan keningnya.
“ Kalau memang begitu, kita tunda saja acara barbekyunya,,” usul Dirga.
“ Kenapa?? “ Rivi heran. Gulid menoleh ke arah Dirga, tak mengerti maksud temannya.
“ Karena tidak mungkin dalam masa seminggu ini kami harus menyiapkan modul dan mengurus acara barbekyu,,”
“ Apa maksudmu?? Itu hanya acara barbekyu!! “ suara Rivi mulai meninggi.
Gulid memandang Dirga khawatir. Tapi kepala Dirga malah terangkat tegak menantang Rivi.
“ Untukmu, itu hanya acara barbekyu. Tapi buat kami, itu sebuah kerja. Karena kami harus menyiapkan menu, acara, dan mengurus hal lainnya. Jadi lebih baik ditunda saja,,” putus Dirga.
Rivi mengatupkan mulut, menahan kesabaran yang sudah menipis. Gulid duduk dikursinya dengan tubuh kaku.
“ Dirga, kalau kamu keberatan acara tersebut dibuat dirumahmu, katakan saja. Tapi aku tidak akan menundannya. Setelah evaluasi kerja yang pasti sangat menegangkan buat semua orang dikantor ini, kita semua butuh penyegaran. Itu gunanya acara barbekyu,,”
Dirga mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“ Ada pertanyaan lain?? Kalau tidak ada, aku tunggu hasil kerja kalian seminggu lagi. Dan. Oh ya, katakan pada Luna mengenai keberatanmu. Luna akan mencari tempat lain untuk acara tersebut!! “ putus Rivi, tak ingin dibantah.
Dengan muka cemberut, Dirga melangkah keluar ruangan diikuti Gulid yang masih terbengong-bengong dengan tingkah temannya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
********************************************************
Dear Rivi,
Ternyata sangat mudah menemukan koneksi internet di kota ini, kota yang tidak seburuk kubayangkan. Jam berapa kamu pulang?? Oh ya, bagaimana mataharimu saat ini??
Love
Dhio
********************************************************
Rivi tersenyum kecil membaca e-mail tersebut. Sesaat kegusarannya akibat tingkah Dirga memudar. Diputuskannya untuk membalas e-mail tersebut.
********************************************************
Dear Dhio,
Selama ada langit biru yang cerah dan matahari yang bersinar hangat, sebuah kota akan menjadi menyenangkan.
Tapi aku mulai letih. Terkadang aku ingin menyerah saja, karena walaupun kadang hangat, sinar matahari terik bisa membunuhmu.
Jemput aku seperti biasa.
-Rivi-
********************************************************
Setelah e-mail terkirim, Rivi memutar kursinya ke arah jendela. Pemandangan Merauke adalah satu hal yang baru baginya. Melihatnya melalui ruangan kantor menjadi kegiatan yang menyenangkan. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Ingin ditumpahkan tapi entah pada siapa. Dhio ?? Rivi menggeleng. Dhio sudah terlalu lama menjadi pegangan hidupnya. Setidaknya sejak beberapa tahun terakhir. Sebenarnya Rivi tidak ingin membebani Dhio lagi. Dirga ?? Rivi tersenyum tipis. Pria itu memang menarik. Tapi rasanya sudah saatnya Rivi menghapus semua keinginan itu. Tidak mungkin lagi ia memiliki rencana dan impian tinggi. Saat ini Rivi memiliki keterbatasan. Batasan yang mungkin hanya akan dimengerti oleh Dhio.
Sebuah e-mail balasan dari Dhio masuk ke inbox. Rivi memutar kursinya lagi menghadap laptop.
********************************************************
My Dearest Rivi,
Sinar matahari tidak akan pernah bisa membunuhmu. Paling hanya akan membuat kulitmu semakin hitam dan berkeringat. Lihatlah, seburuk apa keadaan tersebut?? Setidaknya bandingkan dengan kehidupan tanpa sinar matahari. Tanpanya, kamu mati.
Oh, Rivi, aku sangat mencintaimu. Bertahanlah. Cinta akan membuatmu semakin tegar. Karena itu menyerahlah pada cinta!!
Aku akan menjemputmu.
Dhio
********************************************************
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Seorang laki-laki bertubuh tegap dan memiliki wajah yang tampan masuk ke kantor . Dirga dan Gulid baru saja keluar dari pantry dan melihat tamu yang baru saja pertama kali muncul itu. Setidaknya buat Gulid, karena Dirga langsung melorot dan mencengkeram lengan Gulid.
“ Apaan sih?? Sakit, tau!! Protes Gulid.
“ Ssst, itu pasangannya Rivi!! “ bisik Dirga dengan hati sakit.
Gulid terbelalak. Dipandangnya Dirga tak percaya, kemudian dilihatnya lagi laki-laki yang baru datang tadi. Berulang kali.
“ Ck,,,,ck,,,ck,,, Gila, cakep banget Ga!! “ Gulid berdecak kagum.
Dirga cemberut. “ Kok Abang malah muji dia sih?? “
“ Lho, aku kan hanya mencoba bersikap obyektif,,” senyum Gulid.
Dirga semakin cemberut. “ Ya sudah, Abang berteman saja dengannya,,” tukas Dirga sambil melangkah kembali ke ruangannya. Gulid mengikuti dari belakang sambil tertawa geli.
Melewati jalan Luna, Gulid menjulurkan kepalanya dari atas partisi. “ Ssssttttttttttt tadi itu siapa Lun?? “ Gulid mengedikkan kepalanya ke ruangan Rivi.
“ Oh, katanya namanya Dhio,,” jawab Luna.
Gulid manggut-manggut. Dari sudut matanya ia bisa merasakan kehadiran Dirga di ambang pintu ruangan mereka, mencoba mendengarkan pembicarannya dengan Luna. Gulid tersenyum dalam hati.
“ Kayaknya bos kita gak suka perumpuan dah,,” ucap Luna.
“ Memang kenapa Lun?? “
“ Habisnya si bos mesra banget, terus Dhio itu dokter yang orangnya lembut. Cara bicaranya halus dan sopan gitu,,pasti itu pacarnya bos,,”
Setelah melemparkan senyum Luna, Gulid segera berbalik menuju ruangannya. Dirga sudah duduk di balik mejanya.
“ Tuh kan, Luna aja bilang begitu. Pasti laki-laki itu tunangannya!! “ seru Dirga begitu melihat Gulid di ambang pintu.
Gulid tak menjawab. Dirga semakin kesal.
“ Pantesan aja dia milih laki-laki itu. Ganteng, lembut, sopan, dokter lagi. Iya kan?? “
Gulid hanya mengangkat bahu.
“ Semua memuji laki-laki itu. Mana mungkin Rivi naksir aku?? “ keluh Dirga.
Gulid memandang temannya dengan sinar mata aneh,, “ Ga jangan begitu. Kenapa sih kamu jadi menyalahkan dirimu sendiri hanya karena Rivi memilih laki-laki lain?? “
“ Karena laki-laki lain itu lebih ganteng dan lebih segalanya dibanding aku!! “
“ Kalau memang dia memilih laki-laki lain lantas kenapa?? Bukan berarti tidak ada laki-laki lain kan?? Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri dong!! “
“ Tapi kalau aku lebih ganteng dan lebih segala-segalanya dibanding dia, pasti Rivi akan memilihku!! “ Dirga berkeras. Hatinya benar-benar sakit. Baru sekali ini ia merasakan perasaan aneh ini, ternyata sudah harus mengalami kekecewaan.
Gulid mendekati Dirga dan duduk di pinggir meja temannya.
“ Ga, kalau memang kamu sedang ingin menyalahkan dirimu sendiri, ayo kutemani. Kupikir aku memiliki lebih banyak alasan untuk menyalahkan diriku sendiri,,” Gulid memejamkan mata seketika sambil menghitung dengan jari-jarinya, sebelum melanjutkan kalimatnya,, “ Let’s see, kenapa dulu aku harus jatuh cinta pada Nuris?? Kenapa hidup bersama dengannya?? Kenapa tidak menuruti kedua orangtua ku?? Masih banyak lagi ‘kenapa’ yang kutanyakan pada diriku. Tapi apa untungnya?? Tidak akan mengubah kenyataan yang ada, kan?? “ ujar Gulid.
“ Tapi setidaknya Abang mendapatkan cinta Nuris,,” sanggah Dirga.
“ Iya, cinta Nuris. Tapi aku kehilangan cinta orangtua dan seluruh keluargaku...” senyum Gulid terlihat getir.
Dirga terdiam,,” Tapi aku terlanjur jatuh cinta pada Rivi,,” ujar Dirga setengah termangu.
Gulid tersenyum mengerti,, “ Kalau begitu, ya kamu nikmati saja, tanpa rasa sakit dan kecewa, cinta jadi hambar rasanya,,”
“ Sadomasokisme?? “ cibir Dirga. Tak urung ia tersenyum juga.
Gulid tertawa. “ Mungkin, tapi aku senang kamu tertawa. Kamu sahabat terbaikku Ga. Jika kamu masih punya alasan untuk tersenyum, meskipun hanya satu, maka jangan pernah menangis,,” senyum Gulid terasa hangat dan damai.
Rasa haru seketika menyelinap di hati Dirga. Digenggamnya tangan Gulid erat,, “ Terimakasih bang. Kamu juga sahabat terbaikku,,”
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Gulid mematikan laptop. Untuk kesekian kalinya ia harus pulang larut lagi. Untunglah dalam seminggu ini ia berhasil menyelesaikan semua modul seperti yang diminta Rivi. Dasar bos tidak bertanggung jawab. Menyuruh stafnya kerja gila-gilaan, sementara dia sendiri sibuk pacaran!! Gerutu Dirga. Tangannya meraih tas dan melangkah ke luar ruangan. Kantor sudah sepi. Tak sengaja mata Dirga melirik ruangan Rivi. Ternyata lampunya masih menyala. Lho, tumben dia masih di kantor selarut ini?? Atau, jangan-jangan lelaki itu menggunakan ruangannya untuk pacaran??
Pikiran buruk mulai muncul di kepala Dirga. Sesaat ia tergoda untuk membuka pintu ruangan Rivi dan memergoki apa yang sedang dilakukan lelaki itu di dalam sana. Tapi pikiran waras Dirga segera melarangnya. Rasa malu Rivi karena dipergoki tidak sebanding dengan surat pemecatan yang pasti akan segera diterima Dirga. Sesakit apapun hati Dirga, ia masih ingin bekerja di Asian care Center.
Akhirnya Dirga bergegas menuju tangga, namu disaat ia akan turun sebuah tangan menyolek punggung Dirga. Dirga berbalik dan alis terangkat heran, apalagi saat liat Rivi dengan senyuman menawannya berdiri dihadapan Dirga.
‘ Hai Dirga,,” sapa Rivi. Dirga tersenyum sambil mengangguk. Sejenak jantungnya seperti berhenti berdetak, menunggu sosok satu lagi yang akan menyusul Rivi. Tapi dilihatnya lelaki itu menuju parkiran, dimana lelaki yang bersama Rivi?? Pikirnya heran.
“ Ga,,,” panggil Rivi.
“ Ya,,’ sahut Dirga sambil memandang ujung sepatunya. Duh, kenapa tadi pagi aku lupa menyemir sepatu?? Rutuknya.
“ Makasih, karena bersedia meminjamkan rumahmu untuk tempat barbekyu kita,,” ujar Rivi hangat.
Dirga mengangguk tak kentara. Keheningan kembali mengisi di antara mereka. Rivi sesekali melirik ke arah Dirga.
“ Ga,,” panggilnya lagi.
“ Ya,,” sahut Dirga lirih nyaris berbisik.
“ Apakah kamu keberatan menemaniku makan malam sekarang?? “ tanya Rivi.
Jantung Dirga serasa berhenti mendengar kalimat Rivi kali ini. Sekarang?? Berarti tanpa Gulid. Berarti hanya Rivi dan dirinya, berdua. Pipi Dirga seketika merona. Malu-malu, ia mengangguk.
“ Thanks, Ga, Oh ya, bolehkan aku meminta satu hal?? “ tanya Rivi lagi.
Dirga kembali mengangguk. Jantungnya semakin berdebar.
“ Tolong berhentilah menunduk. Aku lebih suka memandang wajahmu ketimbang kepalamu,,”
Seketika semburat hangat menjalari pipi Dirga. Tak henti-henti ia merutuki dirinya yang salah tingkah. Berhentilah bertingkah memalukkan!! Maki hatinya berulang kali. Sedikit demi sedikit dagu Dirga mulai terangkat. Rivi tersenyum senang.
Diparkiran hanya ada mobil Dirga yang terpakir, Dirga menoleh ke arah Rivi dengan pandangan bertanya.
“ Kamu tidak keberatan pergi bersamaku kan?? Mobilmu di tinggal di sini saja. Aku akan mengantarmu pulang,,” ujar Rivi mengerti.
Rivi akan mengatarnya pulang!! Hmm,, seperti kencan beneran!! Pikir Dirga. Baru saja Dirga menganggukkan kepala, terdengar deruman mobil dari jauh dengan sinar lampu mobil yang terang. Tak berapa lama kijang krista milik Asian care Center berhenti di depan mereka. Dirga melihat kebelakang kemudi sopir kantor mengangguk sopan ke arahnya. Dirga balas mengangguk. Oke, berarti ini kencan dengan chaperone sopir kantor, pikirnya.
“ Ayo, Ga!! “ ujarRivi sambil membuka pintu depan dan pintu belakang.
Lho kenapa Rivi duduk di depan dan aku di belakang?? Pikir Dirga, mulai cemberut.
Saat Dirga mendekat, sebuah suara terdengar dari bagian belakang.
“ Halo!! “
Kaki Dirga mendadak beku mendengar suara beraksen itu. Tak ingin percaya, ia berusaha menajamkan penglihtannya. Di kursi belakang duduk si laki-laki yang sedang tersenyum ke arahnya. Kenapa dia ada disini!!
Rivi menangkap keganjilan yang terjadi.
“ Oh iya, Dirga, kenalkan ini Dhio,,” ujar Rivi.
Dhio tersenyum cerah,, “ Halo Dirga,, senang berkenalan dengan kamu,,”
“ Halo,,salam kenal. Dirga,,” dengan berat hati Dirga menyambut uluran tangan Dhio.
“ Nah, sudah kenalan?? Oke, sekarang kita pergi makan,,” ujar Rivi.
Kening Dirga berkerut. Bearti acara makan malam ini bersama Dhio juga?? Mendadak perut Dirga mulas.
“ Kayaknya lain kali aja deh, Riv. Aku sudah terlalu capek,,” Dirga memberi alasan.
Muka Rivi berubah kecewa.
“ Benarkah?? Padahal Dhio ingin sekali mencicipi makanan yang paling enak di Merauke. Sayangnya aku tidak tahu tempatnya,,” keluh Rivi.
Kalimat Rivi terdengar bagai hantaman tinju paling keras di muka Dirga. Mukanya yang merona malu sejak dari tangga kantor tadi sudah berubah menjadi merah padam menahan amarah.
Dengan muka dingin, Dirga menggeleng dan melangkah menjauhi kijang tersebut.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Rivi brengsek!! Rivi sialan!! Jadi lelaki itu hanya memanfaatkan aku untuk menunjukkan restoran paling enak di Merauke ini. Memangnya aku siapa?? Pemandu wisata?? Rivi benar-benar menjengkelkan!! Kenapa sih dia sekejam itu?? Tak henti-hentinya Dirga mengutuki lelaki itu.
Hati Dirga benar-benar panas jadinya. Rasa amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Seumur hidupnya, baru sekali ini ia menyukai seseorang dan itu Rivi. Mereka yang sejak SMA mendekati Dirga tidak ada yang mmapu menandingi Rivi. Mandiri, cerdas, menarik, dan penuh rasa percaya diri. Seseorang yang dapat dibanggakan saat berhadapan dengan Papanya.
Sejak dulu Dirga memang selalu kritis menilai setiap pria yang ingin mendekatinya. Ia tidak ingin berkencan dengan laki-laki yang tidak sebanding dengan Papanya, dokter kebidanan terkenal yang menarik, humoris, cerdas dan selalu menjunjung tinggi idealisme dan integritas. Seseorang lelaki ideal di mata Dirga.
Rivi hampir mendekati kriteria sosok ideal tersebut. Dan Dirga mulai jatuh hati pada lelaki itu. Apalagi fakta bahwa Rivi sering meliriknya di setiap kesempatan membuat angan Dirga semakin melambung. Rasanya ia tidak ingin mencari lagi. Pencariannya sudah berhenti pada Rivi.
Tapi kenapa justru sekarang si Dhio itu muncul?? Di saat Dirga mulai jatuh cinta pada Rivi. Lantas apa yang harus dilakukannya kini?? Merelakan Rivi jatuh ke tangan Dhio?? Lantas mau dicari ke mana lagi lelaki seperti Rivi?? Dirga tidak rela lelaki itu jatuh ke tangan perempuan atau laki-laki lain. Rivi harus jadi miliknya. Tapi bagaimana caranya?? Pikir Dirga bingung.
“ Abang, bagaimana sih caramu dulu memikat Nuris?? “ bisik Dirga di sela-sela kegiatannya membantu Bi Isah di dapur.
Gulid tertawa kecil. Tangannya mengaduk adonan vla. Hari ini Gulid dan Dirga diberi kompensasi meninggalkan kantor untuk mempersiapkan acara barbekyu malam nanti. Luna dan Dini belum muncul.
“ kalo aku sih, hmmm..................... kayaknya Nuris yang lebih agresif deh,,” ujar Gulid sambil tersenyum kecil. Tarikan napas Dirga menjadi lesu mendengarnya. Gulid tertawa geli.. “ Menurutku, Rivi termasuk cowok agresif kok,,,”
“ Iya, agresif ke Dhio!! “ tukas Dirga sengit.
Gulid tertawa leber. “ Kamu ada-ada aja. Begini saja, kalau sikap agresif Rivi belum juga keluar, pancing saja!! “
“ pake apa?? Pukat harimau?? “ cibir Dirga.
“ Hush!! Nanti malam dia kan datang kemari. Biasanya kalau di luar kantor, Rivi jadi lebih terbuka dan lebih enak didekati. Nah saat seperti itu langsung saja diterkam,,” seru Gulid bersemangat sambil mengacung-acungkan spatula.
Gigi Dirga gemeretuk menahan gemas,,” Abang ini, gak pernah serius deh!! “
Gulid terkekeh.
“ Jadi aku harus bagaimana nih?? Masa membiarkan Rivi jatuh kepelukkan si Dhio itu?? “
“ Lho sudah dikasih saran jitu, kamu tak percaya!! “
Dirga merengut. “ Awas Abang!! Kudoakan jatuh cinta lagi, biar bisa merasakan yang kurasakan sekarang!! “ ancam Dirga.
Gulid tertawa kecil. Tapi kali ini terdengar sumbang di telingan Dirga.
“ Semoga saja waktuku masih cukup panjang untuk jatuh cinta lagi dan merasakan seperti yang kamu rasakan,,”
Dirga terdiam. Diliriknya raut muka Gulid yang terlihat tenang dan santai.
“ Waktumu masih sangat panjang. Abang. Lihat tuh, masih banyak orang lain sepertimu yang masih bisa hidup sepuluh hingga lima belas tahun, bahkan lebih. “
“ Iya, ya, dengan waktu selama iotu, aku tidak Cuma bisa jatuh cinta, tapi hidup bersama dengan seseorang dan membahagiakannya,,” Mata Gulid mengerling jenaka.
Dirga tertawa. Diambilnya sebutir bawang merah dan dilemparnya ke kepala Gulid. Meleset. Bawang tak berdosa itu malah tercebur ke larutan vla. Dirga dan Gulid berpandangan panik.
“ Waduh, angkat bang!! Cepat!! “ seru Dirga panik.
Gulid mengangkat bawang tersebut dengan spatula dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian diambilnya sedikit larutan vla tadi untuk dicicipi..
“ Gimana?? “ tanya Dirga khawatir.
Gulid mencicipi sedikit,,, “ Hmmm, hanya ada tambahan rasa bawang. Berarti berganti nama jadi puding busa vla
Cokelat rasa bawang!! “
Mereka berdua terkekeh geli.
makasih mas,, cerita mu belum aku baca mas,, hehehehe,,
1. Ada ketukar yg seharusnya percakapan Dirga malah ketulis Gulid.
2. Dirga tidak rela
lelaki itu jatuh ke tangan
''perempuan lain''.Apakah memang menggunakan Perempuan atau seharusnya mengunakan Laki-laki lain??
Maaf kalau saya salah koreksi.
Terima kasih jawaban atas pertanyaan saya tempo hari.
@rendesyah, kalo cape berhenti dulu, sampai part 11 jadi dobel.
@adinu - bukan sih mas,, pikirannya lagi kebelah-belah,, hehehehe,,
@OlliE - ya maaf kalau nanggung,, pasti saya tamatin ko cerita ini,,
sekarang pegambaran romantikanya lebih intensiv, pegambaran p'rasaan nya udah makin kental dan vivid... Salut ...
soal ceritaku xi santay man... Take your time
Dirga.. Dirga.. Kaya remaja je