It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@rendifebrian
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
Sebelumnya maaf belum sempat balas kometar satu-satu,, terimakasih selama ini dukunganya dan kritiknya,, makasih juga sudah mau membaca cerita ini,, ini lanjutanya,, maaf kalau banyak yang kurang ditulisan ini,,
Jam delapan malam, Rumah Dirga mulai dipenuhi anak-anak Asian Care Center. Luna bertugas di bagian dapur, dibantu Dini yang sesekali mengelus-elus perutnya. Usia kandungannya sekarang sudah sembilan bulan. Gulid bertugas menyambut tamu dan mengatur acara secara keseluruhan. Sedangkan Dirga mondar-mandir antara dapur dan ruang tamu. Sesekali ia memerhatikan Dini yang khawatir, tapi yang diperhatikan malah bergerak leluasa dengan percaya diri. Kekhawatiran itu disampaikan Dirga pada Gulid.
“ Wajarlah Ga. Namanya juga hamil sembilan bulan. Ya perutnya sebesar itu,,” ujar Gulid sambil menghitung orang yang sudah datang.
“ Hampir semua sudah muncul, tumben, acara begini semua datang tepat waktu,,” ujar Gulid.
Dirga tertawa. Ia ikut menghitung, matanya sibuk mencari-cari seseorang. “ Kok dia belum datang ya?? “ bisiknya kecewa.
Gulid menepuk lengan Dirga. “ Sabar. Jarak dari hotelnya ke sini kan lumayan jauh. Apalagi ini alam minggu,,”
“ Asal dia datang aja. Awas kalau nggak!! “
“ Eh, papamu mana?? Nggak praktik?? “ tanya Gulid.
“ Di ruang kerja. Kenapa?? “
“ Lho, dia kan mesti siap-siap nyambut calon mertua!! “ kekeh Gulid.
Dirga mencibir. Luna berjalan mendekati mereka.
“ Siapa yang akan bakar-bakaran nanti Ga?? “ tanyanya
“ Banyak ini teman-teman kantor kita, pasti mereka mau kau bakar-bakaran. Kita kan sudah capek nyiapan semuanya sejak pagi tadi,,”
Luna segera mendekati kerumunan teman-teman di Asian Care Center dan menyuruh mereka memulai membakar bahan makanan yang sudah disiapkan.
“ Luna bener-bener luwes dalam menyuruh orang kerja ya,,” bisik Gulid.
Dirga mengangguk geli. Sekarang para lelaki itu sudah diberi tugas oleh Luna. Ada yang membakar, ada yang mengipasi api, ada yang bertugas menjaga kebersihan. Tak satu pun yang bebas dari tugas.
“ Sssttt.........., tuh si bos datang!! “ bisik Dirga sambil menjawil lengan Dirga.
Dirga mengalihkan pandangan ke gerbang. Kijang Krista berhenti di depan rumah tepat di belakang mobil Dirga. Pintu belakang terbuka dan Rivi turun. Seketika Dirga mendelik melihat lelaki tampan ikut turun mengikuti Rivi. Tak sadar tangannya mencengkeram lengan Gulid.
“ Ngapain dia bawa lelaki itu kemari?? Nggak minta ijin pula!! “ gerutu Dirga.
“ Hei, dia ini bos kita. Untuk apa minta ijin?? “ balas Gulid.
“ Tapi ini kan rumahku!! “ Dirga tak mau kalah. Gulid geleng-geleng kepala.
Langkah Rivi dan Dhio semakin mendekati Gulid dan Dirga.
“ Bagaimana persiapan acaranya?? Semua lancar, kan?? “ sapa Rivi kepada mereka.
“ Lancar. Anak-anak sudah mulai bakar-bakar,,” sahut Gulid sambil menunjuk kerumunan orang yang sedang berdiri mengelilingi meja panggangan.
Rivi mengangguk. “ Kita mulai saja ya?? “ tanya Rivi meminta pendapat.
Gulid mengangguk,,” Iya, anak-anak juga sudah mulai lapar,,”
Rivi melangkah ke tengah teras diikuti Gulid dan Dhio. Dirga mengikuti mereka dari belakang sambil cemberut.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Acara yang disusun Gulid berjalan lancar. Apalagi setiap permainan yang dilontarkan selalu mengundang tawa. Semua orang ingin berpartisipasi dalam permainan itu. Dirga dan Luna sudah menyiapkan beberapa bingkisan kecil sebagai hadiah untuk setiap permainan. Rivi terlihat puas. Dhio pun kelihatan sangat menikmati acara itu. Sementara Dirga menjaga jarak dan tidak mau berdiri terlalu dekat dengan Rivi. Ia benar-benar tersinggung dengan tindakan lelaki itu yang membawa Dhio ke rumahnya.
Tiba-tiba Luna mendekati Dirga,, “ Ga, Dini kesakitan di belakang.............!! “
Dirga kaget. Bergegas diikutinya langkah Luna. Di pintu dapur, Dini berdiri setengah bersandar dengan dipegangi Bi Isah dan Fani. Tapi bukan itu yang membuat Dirga kaget. Di antara kedua kaki Dini mengalir air ketuban. Muka Dini terlihat pucat.
“ Astaga, Dini!! “ teriak Gulid yang sudah berdiri di belakang Dirga.
“ Kenapa bisa begini?? Ayo bawa Dini ke mobil saya!! Kita ke rumah sakit!! “ sebuah suara hangat terdengar dari atas kepala Dirga. Suara Rivi.
“ Ga, Papamu kan dokter. Pasti bisa menolong Dini,,” usul Gulid.
Papa?? Kening Dirga mengernyit ngeri mendengar usul itu. Spontan ia menggeleng.
“ Dirga, tolong dong. Ini masalah hidup dan mati. Dini bisa kenapa-kenapa kalau terlambat ditolong!! “ desak Gulid.
Muka Dirga mengeras. Tak ingin mengubah pendiriannya. Gulid terenyak melihat betapa keras kepalanya Dirga. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di belakang mereka. Beberapa orang mulai berkerumun di dekat dapur.
“ Kenapa semua diam?? Tolong angkat Dini, biar kita bawa ke rumah sakit!! “ teriak Rivi.
Tak ada satu pun yang bergerak menuruti Rivi. Lelaki itu mengertakkan giginya dengan geram.
“ Ada apa ini?? “ Sebuah suara yang sudah dihafal Dirga terdengar dari belakang. Dr. Poernomo mendesak maju. Semua orang serentak memberi jalan. Dr Poernomo berdiri di hadapan Dini dan memeriksa keadaan gadis itu sekilas. Kemudian ia menoleh ke arah Bi Isah dan Dirga.
“ Kenapa dibiarkan disini?? Tolong angkat ke mobil saya!! Fani siapkan tas saya dan taruh di mobil!! “ perintah Dr. Poernomo.
Dirga diam tak bergerak. Akhirnya Bi Isah dibantu Rivi dan Gulid, memapah Dini keluar dari dapur. Bi Isah membuka pintu belakang Dr. Poernomo dan menempatkan Dini di sana. Fani tergesa-gesa muncul dengan tas praktik hitam. Dirga memerhatikan semua itu dari jauh. Semua kemungkinan berputar di kepalanya. Ia kaget dengan semua yang terjadi. Pintu kamar terbuka dan Dr. Poernomo setengah tergesa keluar menuju mobilnya. Refleks Dirga berlari menyusul dan menyambar lengan Papanya.
“ Pa, jangan pergi!! Biar dokter lain saja!! “
Dr. Poernomo menatap heran pada putranya. “ Ada pasien yang urgent melahirkan di mobil Papa. Tugas Papa untuk menolong,,”sahut Dr, Poernomo tak sabar.
“ Tapi............Dini ODHA, Pa!! “ rengek Dirga.
“ Tak apa-apa. Papa harus peri Dirga!! “ Dr Poernomo mulai kehilangan kesabaran.
Air mata Dirga mulai jatuh ke pipi. Rasa takut kehilangan papanya membuatnya semakin hilang akal.
“ Papa, jangan pergi Pa!! “ jerit Dirga semakin frustasi.
Dr. Poernomo menarik napas. Dilepaskannya cengkeraman Dirga dengan paksa. Kemudian dengan kedua telapak tangan, Dr Poernomo meraup kedua sisi wajah putranya dan mencium dahinya lembut.
“ Ingat kata Papa dulu. Jangan melihat hal ini dengan kaca pembesar samapi kita melupakan hal yang paling penting : rasa kemanusian dan kewajiban menolong sesama. Semua akan baik-baik saja. Percayalah!! “
Setelah berkata begitu, Dr. Poernomo segera masuk ke mobil dan memacunya kencang. Kijang Krista mengikuti mobil itu dari belakang membawa serta Rivi, Gulid, Luna dan Dhio.
Dirga berlari ke kamar sembari membanting pintu, Tangisnya tumpah membasahi bantal. Kekesalannya betul-betul memuncak. Ini semua salah Dini. Kenapa sih air ketubannya harus pecah malam ini?? Kenapa tidak besok saja?? Atau kapan saja deh, asal bukan di rumahnya. Papa juga. Ngapain juga malam ini tidak praktik atau membantu operasi di rumah sakit ?? Kenapa harus di rumah dengan alasan ingin mendampingi acara putranya, jika sewaktu-waktu dibutuhkan?? Memangnya Dirga masih anak-anak yang perlu diawasi??
Dirga benar-benar sebal melihat semua ini. Juga sebal melihat Gulid, Rivi apalagi Dhio. Mereka semua seperti tidak mengerti perasaannya.
Dirga meremas bantal kuat-kuat. Menit demi menit berjalan lambat. Apa yang terjadi di rumah sakit saat ini?? Apa Papa sudah berada di ruang operasi?? Apakah operasinya sudah selesai?? Apakah Papa baik-baik saja?? Apa sarung tangan yang dikenakannya bisa melindungi Papa?? Apa tidak ada semburan darah Dini yang masuk ke pembuluh darah Papa?? Apa tangan Papa baik-baik saja dan tidak ada luka yang terbuka sebagai tempat masuknya virus HIV?? Ketakutan Dirga semakin menjadi.
Tuhan, lindungi Papa!!
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Pukul empat pagi, sebuah ketukan di pintu membangunkan Dirga. Refleks ia bangkit dari tempat tidur dan melirik jam. Ternyata ia jatuh tertidur setelah terlalu lelah menangis. Ketukan kembali terdengar di pintu. Tergesa Dirga berlari membukanya. Dr. Poernomo berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak lelah. Dirga segera menjatuhkan diri ke pelukan Papanya. Isak tangis kembali muncul. Dipeluknya lelaki setengah baya itu erat-erat. Tangan Dr Poernomo mengelus-ngelus rambut Dirga dengan sayang.
“ Papa nggak apa-apa kan?? “ tanya Dirga akhirnya.
Dr. Poernomo tersenyum. “ Papa baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya Papa membantu ODHA melahirkan, Nak. “
“ Aku nggak mau tau!! Pokoknya Papa jangan melakukan hal itu lagi,,” Dirga berkeras.
“ Jangan mulai bersikap egois lagi Dirga. Papa ini dokter spesialisasi kandungan. Kalau tidak bisa digunakan untuk membantu orang, apa gunanya?? “
“ Tapi jangan ODHA, Pa!! “
“ Papa tidak boleh memilih-milih pasien. ODHA atau tidak ada bedanya. Toh ada pencegahannya, kan?? Kamu juga tahu itu!! “
Dirga diam. Hatinya masih menolak kata-kata Papanya. Tapi ia tidak ingin membantah lelaki itu.
“ Lanjutkan tidurmu. Papa sengaja membangukanmu untuk memberitahu bahwa Papa sudah pulang. Dan Papa baik-baik saja,,”
Dr Poernomo mengecup kening putranya. Kemudian didorong tubh Dirga masuk ke kamar dan ditutupnya pintu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Setelah memarkir mobil, Dirga meraih tas plastik berisi buah-buahan segar. Ia keluar dan mengunci mobil, kemudian matanya sejenak menyapu sekeliling, mencari-cari. Setelah yakin, dilangkahkannya kakinya hati-hati. Untung ia cukup sering kemari untuk menjemput atau sekedar menemui Papanya, jadi hampir mengenali seluk-beluk bangunan ini. Seorang perawat lewat dan memberiakn senyuman. Dirga balas tersenyum. Kakinya menyusuri koridor sambil mencari-cari. Di depan sebuah pintu, Dirga berdiri. Tangannya mencengkeram plastik buah. Terngiang kembali ucapan Papanya tadi pagi, “ Jenguklah!! Dini temanmu, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi. “
Dirga mendesah. Sebelah tangannya membuka pintu kamar. Di dalam ruangan Dini masih terbaring lemah. Senyumannya langsung terkembang ketika melihat Dirga. Sebuah tangannya terangkat menyuruh Dirga mendekat. Sedikit canggung, Dirga membalas senyuman itu dan berjalan mendekati tempat tidur. Diletakkannya plastik buah tadi di atas meja kecil di samping tempat tidur. Kemudian Dirga menarik sebuah kursi dan duduk.
Dini menyentuh punggung tangan Dirga dengan gerakan lemah.
“ Aku ingin mengucapkan terima kasih sekaligus minta maaf Ga...” bisik Dini terbata-bata.
Dirga menggeleng sambil tersenyum. Sebelah tangannya yang bebas mengelus tangan Dini. “ Kamu tidak perlu minta maaf Din,,”
“ Justru aku harus minta maaf. Terlalu banyak alasan yang membuatku harus minta maaf. Aku mengerti keberatanmu ketika Papamu membawaku ke rumah sakit. Sejujurnya, aku tidak berharap ada dokter yang mau membantuku. Aku sudah pasrah. Tapi ternyata Papamu berkeras membantu proses persalinanku. Aku berutang nyawa pada beliau, Ga. Betapa beruntungnya dirimu memiliki Papa seperti itu,,” Dini tersenyum tulus dengan mata berkaca-kaca.
Dirga terdiam. Bermacam perasaan bergejolak di hatinya.
“ Papamu juga menempatkanku di ruangan ini. Entah berapa lama yang kubutuhkan untuk mampu membayar semua ini.............”
“ Ya!! “ sahut Dirga pendek.
Dini menatap wajah temannya lama,, “ Ga, jangan menganggapku sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sejujurnya, saat di dalam mobil menuju rumah sakit, aku sudah berulang kali memebritahu Papamu bahwa aku HIV positif, Siapa tahu beliau berubah pikiran. Bahkan andaikan Papamu menurunkan di tepi jalan saat itu juga, aku bisa mengerti Ga. Beliau justru berkeras menyuruhku rileks dan menyiapkan mental untuk operasi,,”
Benar-benar tipikal Papa, gumam Dirga dalam hati. Tanpa melihat ke sekeliling. Dirga tahu jenis ruangan yang ditempati Dini cukup spesial. Yah Papa selalu seperti itu, idealis dan baik hati.
“ Dirga?? Kamu masih marah?? “ Dini menepuk punggung tangan Dirga yang digenggamnya.
Dirga tersadar dari lamunan. Tatapannya beralih ke Dini lagi. Raut muka Dini yang masih letih dan pucat namun tetap tersenyum menimbulkan perasaan baru di hati Dirga. Senyuman Dini begitu damai dan bahagia. Seketika perasaan hangat menjalari hati Dirga ketika melihat senyuman itu. Dirga gantian mengenggam tangan Dini.
“ Aku senang karena semuanya sudah baik-baik saja. Papa sudah pulang ke rumah, kamu sudah melahirkan dan bayinya sehat. Oh ya, mau diberi nama apa?? “
Dinitersenyum bangga. “ Anakku lelaki. Aku ingin memberinya nama Rizki Zakaria Poernomo. Papamu tidak keberatan. Bagaimana denganmu?? “
Dirga tersenyum. “ Aku pun tidak keberatan “
Tiba-tiba, seperti tersadar sesuatu, Dirga melirik jam tangannya.
“ Oh ya, Gulid tidak kemari?? “
“ Iya, ya?? Aku juga belum melihat dia,,”
Dirga mengambil ponselnya dari tas dan menelepon Gulid. Lama ditunggungnya, tapi tak ada jawaban. Kening Dirga berkerut. Tak mungkin Gulid masih tidur jam segini. Atau memang ketiduran karena terlalu capek??
“ Kenapa?? Tidak diangkat?? Atau masih tidur?? “ tanya Dini.
Dirga mengangkat bahu. “ nanti aku mampir ke tempat kosnya saja “
“ Iya, mungkin anaik itu kecapekan. Titip salam ya!! “ ujar Dini.
Dirga mengangguk. Ia menepuk punggung tangan Dini dan berkata “ Cepat pulih ya!! “
Dini mengangguk haru.
“ Dirga..............” panggilnya.
“ Ya?? “
“ Terimakasih atas segalanya. Aku bersyukur mengenal kamu dan Papamu. Entah kapan bisa kubayar utang budi ini,,”
Dirga tersenyum,, “ Aku pun bersyukur bisa menjadi temanmu. Soal Papa,, hmmm,,, asal kamu dan anakmu sehat, pasti beliau sudah senang..”
Dini tersenyum lagi.
“ Aku pergi dulu ya, Din. Besok aku mampir lagi!! “
Dirga melambaikan tangan sekilas sebelum membuka pintu dan melangkah pergi. Segala keraguan dan ketakutan yang tak beralasan langsung sirna dari hatinya. Sekarang ia akan ke tempat kos Gulid.
Dirga melirik jam. Kalau Gulid memang ketiduran, berarti ia punya waktu sekitar setengah jam untuk membangunkan anak itu dengan paksa dan mendorongnya ke kamar mandi. Kemudian mereka pergi makan siang. Dirga tersenyum puas dengan rencana itu. Sekarang hari-harinya jauh lebih berwarna. Kehadiran Dirga salah satu penyebabnya. Sekarang Dirga memiliki teman untuk melakukan semua kegiatan. Teman diskusi sampai teman saling meledek.
Mobil Dirga menyusuri jalan menuju kos Gulid. Setelah mobil memasuki jalan kecil dan berhenti di depan tempat kos Gulid, Dirga keluar dari mobil. Digedornya pintu kamar Gulid sekuat tenaga. Kalau Gulid memang masih tidur, ketukan pelan tidak akan mampu membangunkannya. Dirga menunggu beberapa menit. Masih belum ada jawaban. Tak sabar digedornya lebih kuat lagi. Ke mana sih Abang?? Atau dia sudah keluar?? Tapi kemana Gulid keluyuran jam segini??
Beberapa menit berlalu. Masih belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Dirga kembali mengangkat tangan untuk menggendor lebih keras lagi. Tiba-tiba dari dalam kamar terdenra suara.
“ Siapa?? “
“ Buka, Bang!! Ini aku, Dirga!! “ teriak Dirga lega sekaligus kesal. Tangannya sudah sakit mengetuk pintu, Gulid ternyata masih enak-enakan tidur.
Terdengar langkah kaki sedikit diseret sebelum akhirnya pintu dibuka. Seraut wajah Gulid muncul. Dirga terperanjat kaget. Muka Gulid tidak seperti biasanya. Kuyu dan lemas.
“ Lho Abang kenapa?? “ tanya Dirga tak sabar. Ia membuka pintu lebar-lebar lalu menerobos masuk. Gulid berdiri berpegangan pintu. Tubuhnya lemas. tatapan matanya pun tidak bercahaya. Dirga bergegas memapah tubuh Gulid ke tempat tidur. ia jadi panik melihat keadaan Gulid yang payah. Perlahan-lahan Dirga membantu Gulid melangkah. Jarak dari pintu dan tempat tidur yang sangat dekat mendadak terasa jauh. Gulid pun kepayahan untuk melangkah, melihat Gulid kepayahan, Dirga menggendong Gulid hingga tempat tidurnya. Napas Gulid mulai ngos-ngosan. Dirga semakin dicekam ketakutan. Abang kamu kenapa?? Hati Dirga semakin cemas.
“ A..B..A..N..G!! “ jerit Dirga panik. Dirga berusaha membangunkan, tapi tidak ada respon. Mata Gulid tertutup rapat, Dirga menjerit histeris. Kepanikan dan ketakutan menguasai dirinya. Refleks tangan Dirga meraih ponsel dan menghubungi sebuah nomor.
“ Papa!! Tolong Aku!! “
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dr. Poernomo melihat berkeliling dan mendapati Dirga sedang duduk di kursi di depan taman. Kepala Dirga tertunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Dr. Poernomo menghela napas. Ia bisa merasakan bagaimana perasaan putranya saat ini. Baru sekali ini Dirga memiliki seorang teman dekat dan sekarang terancam harus kehilangan sahabatnya itu.
Dr. Poernomo mendekat dan mengambil tempat di samping Dirga. Perlahan tangannya meraih bahu Dirga dan mendekatkannya ke dada. Tanpa suara, Dirga meluapkan tangisnya di dada Papanya. Kejadian beruntun dalam 2 x 24 jam ini benar-benar menguras emosinya. Dirga tak sanggup lagi mengeluarkan air mata, yang ia butuhkan hanya perlindungan dalam pelukan Papanya.
Ikut merasakan kesedihan putranya, Dr. Poernomo memeluk putranya semakin erat. Melihat kondisi Gulid, Dr. Poernomo tidak bisa berharap banyak kecuali keajaiban. Tapi semangat dan nyali Gulid yang terlihat samar dari matanya pasti bisa membawa perubahan pada kesehatan fisiknya. Setidaknya untuk beberapa saat hingga Gulid itu keluar dari keadaan kritis. Saat ini jumlah seldarah putih atau CD4 Gulid menurun drastis. Mungkin faktor stres dan terlalu capek yang menjadi penyebabnya. Butuh waktu untuk meningkatkan kembali jumlah CD4-nya, semoga Gulid bisa bertahan.
“ Papa.......” panggil Dirga lirih.
“ ya..”
“ Apakah Abang bisa sembuh?? “
Dr. Poernomo diam sejenak. “ Kesembuhan hanya dari Yang Di Atas. Kita hanya bisa berusaha,,” sahut Dr. Poernomo hati-hati.
“ Berarti Abang akan meninggal?? “ tanya Dirga langsung.
Dr, Poernomo tersenyum,, “ Ga, kita pasti akan meninggal. Jangankan yang kena HIV, yang kena penyakit biasa saja pasti meninggal. Cara dan waktunya saja yang berbeda. Nah, kenapa tidak kita maksimalkan waktu kita yang tersisa ini?? “
Dirga hanya mengangguk. Dengan lesu direbahkannya kembali kepalanya di pelukannya Papanya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Empat hari kemudian................................
Gulid tersenyum melihat Dirga berdiri kaku di ambang pintu kamar rumah sakit.
“ Kamu berniat masuk dan ngobrol di dekatku atau mau berdiri di situ samapi kakimu kesemutan?? “
Dirga seketika cemberut mendengar ledekan Gulid. Kakinya melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur.
Gulid tersenyum. “ Aku kangen ngobrol denganmu,,” ujarnya dengan suara serak.
Dirga mengangguk. “ Aku juga kangen. Baru hari ini dokter membolehkanku masuk,,”
“ Apa kabarmu?? Apa kabar kantor kita?? “
“ Kapan Abang bisa keluar?? Kantor jadi sepi nggak ada Abang,,” ujar Dirga tak mengindahkan pertanyaan Gulid.
“ Kamu kira aku betah di sini?? Sudah lama aku nggak chatting nih,,” keluh Gulid.
Mau tak mau Dirga tertawa mendengarnya, Gulid selalu mampu membuatnya tertawa.
“ Eh, apa kabar Dini?? Aku nggak bisa menunggu operasi hingga selesai. Kepalaku sakit sekali Sabtu itu,,” Ujar Gulid tiba-tiba.
“ Minggu kemarin aku melihatnya. Anaknya laki-laki. Kemarin dia baru keluar dari rumah sakit,,”
Gulid memandang Dirga dengan senyuman lebar. “ Maaf kalau aku mendesakmu malam itu. Karena saat itu, setiap detik sangat berharga. Dan kamu kelihatannya keberatan kalau Papamu membantu Dini,,”
“ Aku memang keberatan,,” angguk Dirga jujur, “ Tapi untunglah Papa lebih keras kepala dibanding anaknya “, sahutnya sambil tersenyum malu.
Gulid tertawa. Tiba-tiba ia menjawil lengan Dirga sambil tersenyum misterius. “ Apa kabarnya Rivi?? “
Dirga mencibir. “ Tau ah!! Aku nggak peduli,,”
“ Masa sih gak peduli?? “ ledek Gulid. Sedetik kemudian ia mengaduh,, “ Aduh, Dirga!! Tega banget sih kamu mencubit orang sakit,,” gerutu Gulid.
“ Halah!! Ngakunya sih sakit. Tapi kalau ngeledek orang sanggup,,” cibir Dirga.
Gulid ngakak.,, “ Si Dhio masih di sini?? “
Dirga menggeleng, mukanya lesu.
Gulid menggenggam tangan temannya,, “ Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi aku melihat perbedaan saat Rivi memandang dirimu dan saat dia memandang Dhio...........” ujar Gulid.
“ Apanya yang beda?? “ tanya Dirga penasaran.
“ Itu tugasmu untuk mencari tahu. Yang pasti, menurutku Rivi memiliki perasaan khusus padamu,,”
Dirga mendengus.” Saat ini jelas banget dia memiliki perasaan khusus padaku, apalagi Abang tidak masuk kerja. Satu-satunya konsultan yang dimilikinya kan hanya aku?? “
“ Eh bekerja dikantor hingga larut malam bisa menjadi cara untuk mendekati dia lho,,!! “
“ Please deh Abang. Kayak nggak kenal Rivi aja,,” tukas Dirga kesal.
Gulid mengangkat bahu, menyerah. Dirga bangkit dan mengambil remote TV di atas meja.
“ Ga, si Dini tinggal dimana sekarang?? Apalagi kan sekarang ada bayi,,” cetus Gulid.
“ Hari Senin kemarin pacarnya tiba-tiba datang. Katanya dia menyesal memperlakukan Dini seperti itu dan ingin mengajaknya menikah serta mengurus anak mereka bersama,,” sahut Dirga dengan mata tertuju ke layar TV.
“ Syukurlah. Aku sempat khawatir. Betapa repotnya tinggal berdua dengan bayi sementara Dini masih harus bekerja untuk membiayai hidup mereka...”
Dirga mengangguk. Dimatikannya TV karena tidak ada acara yang menbarik.
“ Akhir-akhir ini aku jadi berpikir. Apa yang akan terjadi andai kamu tidak datang mencariku di hari Minggu itu?? “ lirih Gulid berkata dengan tatapan menerawang. Kemudian tatapannya beralih ke Dirga. “ Andai saai itu nyawaku dicabut dan aku tidak mengenalmu, berapa lama menurutmu sampai orang menemukan jasadku?? “
Dirga menggerakkan bibir. Tangannya sibuk menghitung,, “ paling cepat ya saat pemilik rumah mau menagih uang sewa Abang,,” sahut Dirga dengan wajah serius.
Gulid mendelik gemas,,, ‘ Oh ya, kamu ingat adikku Reza?? Dia sudah hamil!! “ seru Gulid gembira.
Dirga ikut tersenyum.
“ Ingin rasanya aku kembali ke Jakarta dan melihat Reza dengan perut gendutnya,,”
“ Abang mau pulang ke jakarta dalam waktu dekat ini??”
“ Aku nggak bermaksud pulang ke Jakarta sekarang. Nanti, kalau proyek ini selesai,, “
Dirga melirik jam,, “ Eh,,, Abang aku pulang dulu ya?? Besok aku kemari lagi,,” Dirga memeluk tubuh sahabatnya,, “ Istirahat Abang!! “
“ Yap,, makasih!! “
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Matahari sudah lama tenggelam, malam mulai merambat. Tapi lampu ruangan di salah satu lantai yang digunakan sebagai kantor Asian Care Center masih menyala. Rivi masih betah duduk menghadapi laptopnya.
********************************************************
Dear Dhio,
Sejak kapan kata “ menyerah “ ada di dalam kamusku?? Akhir-akhir ini aku semakin sering memikirkannya dan kata itu pun semakin sering muncul.
Andai aku bisa menghancurkan apa pun yang terdapat di antara kami. Entahlah, Dhio. Bahkan ketegaran karang pun suatu saat akan hancur juga.
-Rivi-
********************************************************
Rivi bersandar di kursinya. Akhir-akhir ini kepalanya dipenuhi banyak hal. Bukan hanya urusan kantor, tapi juga bayangan wajah laki-laki dengan pipi merona. Rivi menghela napas. Kenapa laki-laki itu harus muncul di saat sekarang, saat semuanya sudah terlambat?? Andai ada yang bisa dilakukannya untuk mengulang waktu dan menjalaninya dengan cara yang berbeda, sehingga jika tiba saatnya ia bertemu dengan laki-laki yang tepat, segala sesuatu akan lebih mudah. Bukan seperti sekarang, Rivi seperti berada di satu titik, di mana maju bukanlah langkah yang yang bijaksana sementara mundur belum pernah ada di dalam kamusnya. Belum. Atau mungkin sekarang harus mulai dipertimbangkannya?? Rivi menggeram keras. Saat ini ia benar-benar merasa tak berdaya.
Sebuah e-mail balasan tiba
********************************************************
My Dearest Rivi,
Bukankah pernah kukatakan dulu, “ Jangan pernah melawan cinta, Menyerahlah pada kata hatimu,,”
Jika sampai detik ini kamu masih tegar dan mampu bertahan, jangan nyoba-nyoba untuk menyerah.
Yeah, kamu benar. Karang boleh hancur, tapi tidak kamu. Takkan pernah!!!!!!!!!!!!!!!
Love
Dhio
********************************************************
Malam semakin larut. Rivi merapikan mejanya dan bersiap-siap pulang. Setelah memberaskan semuanya, lelaki itu bangkit dari kursi dan mematikan lampu. Keningnya berkerut ketika menyadari lampu ruang konsultan masih menyala. Biasanya Dirga selalu mematikan lampu, Diliriknya jam. Sudah hampir jam sepuluh. Tidak mungkin Dirga masih bertahan di kantor. Tapi demi memuaskan rasa penasaran, Rivi membuka pintu ruangan itu. hal yang pertama dilihatnya adalah sosok Dirga yang berkutat di antara buku-buku tebal.
“ Dirga, kamu belum pulang?? “ tanya Rivi heran.
Kepala Dirga terangkat. Wajahnya terlihat kaget melihat Rivi masih di kantor.
“ Sebentar lagi!! “
Rivi menggelengkan kepala,, “ No, no!! Kamu harus mematikan laptopmu sekarang. Setelah itu temani aku makan malam sebelum pulang ke rumah..”
“ Tapi........” Kening Dirga mengernyit protes.
Namun Rivi menggeleng tegas. “ Aku tidak mau dibantah. Aku juga tidak mau kamu sakit. Sekarang matikan laptopmu!! “
Setengah cemberut, Dirga menuruti perkataan lelaki itu. Pertama-tama dirapikannya semua buku yang tengah dibacanya. Kemudian dimatikannya laptop. Setelah meraih tas, Dirga berjalan keluar ruangan diikuti Rivi yang mematikan lampu dan menutup pintu ruangan.
Setelah sampai di bawah, Rivi membimbing Dirga menyeberang jalan menuju tempat makan langganan mereka. Setelah memesan dua porsi ikan Kakap bakar, mereka mengambil meja di depan.
“ Oh ya. Dhio tidak menjemputmu?? “ tanya Dirga tak acuh.
“ Dia sudah kembali ke Bukittinggi,,”
Dirga manggut-manggut.
“ Bagaimana keadaan Gulid?? “ giliran Rivi bertanya.
“ Gulid sudah keluar dari rumah sakit dua hari lalu. Papaku mengusulkan dia tinggal di rumahku sementara ini, sampai kondisi fisiknya benar-benar pulih,,”
“ Betul, jangan memaksakan diri masuk kerja,,” Oh iya, Papamu ternyata dokter ya, dan termasuk dokter yang baik,,” cetus Rivi.
Yeah, kalau kamu beruntung dokter itu bisa menjadi mertuamu. Timpal hati Dirga.
“ Mungkin satu, dua hari ini Gulid sudah masuk kerja. Dia juga nggak betah di rumah sendirian,,”
Rivi mengangguk setuju.
“ Kenapa Dhio tidak menetap disini?? Setidaknya sampai proyek ini selesai,,” tanya Dirga lagi, masih tidak puas.
“ Dhio kan juga bekerja, dan tidak bisa cuti terlalu lama,,”
“ Di bidang yang sama denganmu?? “
Rivi menggeleng,, “ Dhio seorang dokter, dr Dhio Pratama Putra, Sp.KJ,,”
“ Wow sudah ganteng dokter, spesialis kedokteran jiwa lagi,,,keren ya,,”
“ hehehehehehe,,, iya Dhio memang keren, dia juga seorang motivational speaker,,”
“motivational speaker?? Hmm.....”
“ Yeah sangat menyenangkan curhat dengannya, well, menurutku setiap manusia selalu memiliki masa kelam, termasuk aku. Dan memiliki Dhio adalah suatu anugerah untukku,,”
Dirga terdiam mendengarkan, tapi hatinya mulai terasa panas setiap kali Rivi mengucapkan nama lelaki lain dengan perasaan memiliki yang demikian besar.
“ Kenapa kamu tidak menikah saja dengannya?? “ Pertanyaan itu seperti terlontar begitu saja. Sedetik kemudian Dirga kaget sendiri. Spontan ia tertunduk sambil sibuk mengaduk minumannya.
“ Menikah?? “ senyum Rivi terkembang,,,” Memang aku terlihat sekali ya seperti gay,,,hehehehehe “ Rivi tertawa,,,,, “ Aku memang gay, dan aku sangat mendambakan pernikahan, tapi aku tak bisa,,” lanjut Rivi pelan.
“ Kenapa?? Kulihat kalian berdua saling mencintai,,” desak Dirga.
Rivi tertawa mendengar pertanyaan Dirga. “ memangnya kamu pernah jatuh cinta, Dirga?? “ gantian Rivi bertanya.
Dirga tergagap. Kepalanya spontan menggeleng beberapa kali dengan pipi memerah.
“ Tidak pernah?? Masa sih?? Well, kalau jatuh cinta kelak, pasti kamu akan merasakan suka-dukanya. Saat itu baru kamu tahu bahwa cinta sejati tidak cukup untuk membentuk komitmen selamanya,,”
Entah kenapa yang terbayang di kepala Dirga saat itu adalah kisaj cinta Gulid. Apakah restu orangtua yang menjadi penghambat hubungan Rivi dan Dhio??
Tiba-tiba Rivi menyentuh lengan Dirga, membuat lelaki itu tergagap kaget.
“ sudah hampir larut. Nanti kamu kemalaman samapi di rumah,,” serunya tiba-tiba.
Dirga hanya mengangguk. Kepalanya mendadak sibuk menenteramkan debaran jantung akibat sentuhan Rivi tadi.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
“ Apa kubilang?? Coba kalau kamu tidak pura-pura bekerja hingga larut, mana mungkin kalian bisa makan malam romantis gitu!! “ Gulid tertawa ngakak mendengar cerita Dirga. Ia sengaja menunggu Dirga pulang ke rumah, dan begitu sahabatnya sampai, Gulid sengaja menarik tangan Dirga ke kamar dan menagih cerita.
“ Tapi dia nggak tau kalau kamu sudah pulang jam lima dan sengaja kembali ke kantor jam delapan, kan?? Tanya Gulid lagi.
“ Kayaknya sih nggak,,” sahut Dirga lesu.
Kening Gulid berkerut,, “ Kok gak semangat sih?? Seharusnya kamu gembira dong, habis kencan berdua!! “
“ Kencan apaan?? Kan sudah kubilang, caranya bercerita tentang Dhio membuat kupingku sakit,,” dengUS Dirga.
“ Lupakan Dhio. Yang ada sekarang adalah kamu dan Rivi, oke?? “
Dirga mengangguk. Sebenarnya ia masih kecewa karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Tadinya ia berharap saat mereka keluar hanya berdua, Rivi akan menunjukkan sikap yang berbeda. Mungkin lebih agresif atau apalah untuk menunjukkan perasaannya terhadap Dirga. Dirga bukan Dhio.
Dirga bangkit dan masuk ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, ia keluar dengan memakai piama. Dimatikannya lampu dan berbaring disebalah Gulid.
“ Ga, aku akan masuk kerja besok,,” ujar Gulid.
“ Kenapa?? Sudah merasa sehata?? “ tanya Dirga heran.
“ Sudah, dan aku sudah bosan di rumahmu terus,,” keluh Gulid.
“ Tapi jaga kesehatan lho,,”
“ Iya,,iya. Malah Bi Isah selalu memaksaku menghabiskan semua makanan,,”
Dirga tertawa mendengar keluhan itu. Bi Isah memang selalu cerewat mengurus dirinya dan Papa, dan sekarang Gulid. Mungkin karena sudah lama bekerja di rumah Dr. Poernomo, Bi Isah sudah menganggapnya saudara.
“ Dirga, kamu sudah tidur ya?? “
Dirga tidak menjawab. Matanya sudah nyaris terkatup.
“ Mimpikan Rivi ya......................” bisik Gulid halus di telinganya. Sedetik kemudian sebuah cubitan panas mampir di pinggang Gulid.
“ Tidur deh ah, dan jangan meledek ku lagi Abang!! “
Kangen deh, oiya, bagaimana kabarmu?
Bagaimana kabar putrimu?
Sehatkaahh?