It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
msh smp? Tp keren bgt loh bsa bkin crita yg keren bgt
Iya kak, masih SMP. Ah kakak @agungrahmat berlebihan. 2 cerbungku aja masih gantung. Masih gak ada apa-apanya sama penulis lain yang ada disini.
Lake
Sekarang, aku tidak tau apa yang harus kulakukan. Maksudku, saat ini aku sedang diam di danau ini sendirian. Well, mungkin tidak terlalu buruk karena danau ini sangat memanjakan mata. Tapi, oh gosh! Gimana kalau tiba-tiba ada kunti di sampingku? Jujur saja, aku parno terhadap suatu hal yang berbau mistis atau astral. Mau pergi ke tempat Fajar, sangat tidak mungkin karena aku tau kedudukanku disini bukan siapa-siapanya dia. Bahkan, aku seperti binatang jalang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Eww!
Akhirnya aku pergi ke permukaan danau sambil memeluk tubuh. Dinginnya malam sepertinya tidak merobohkan pertahananku untuk tetap merendamkan kaki dan bermain air disana. Tanganku merayap mencari sebuah batu. Ketika sudah menggenggam beberapa, ku lemparkan batu itu sejauh mungkin. Terus kulempar... Sampai aku benar-benar merasakan tenang. Kini, yang menemaniku hanyalah angan-angan dan derak pohon. Mendesau dan sunyi. Tiba-tiba, angin berhembus dengan kencang. Membuat dedaunan disekitar danau terbang dan mengendap di air. Detik itu pun, ingatanku terbang menerobos waktu. Dengan tidak sopannya mengambil masa yang sudah kubuang jauh-jauh.
"Tau gak, aku itu sayang banget sama kamu." Aku tersenyum. Tetap menyandarkan kepalaku di dadanya. "Danau ini begitu tenang. Sekarang aku merasakan takut. Kadang kala, sesuatu yang tenang itu selalu menghanyutkan." Ada nada getir yang Angga lontarkan. Aku menatap dia lekat.
"Nikmatilah suasana ini, Ga. Kita tidak tau kapan kita berpisah. Aku hanya ingin waktu yang kita punya tak akan berakhir. Itu saja. Jadi, hentikan suatu kondisi melodramatis. Aku tidak suka," ujarku sambil bangkit dari sandarannya. Aku mengambil batu seraya melemparkan batu itu sejauh mungkin. Angga melakukan hal yang sama.
"Jar...," ucap Angga lirih. Aku menghentikan aktifitasku untuk melempar batu. "Ini saatnya untukku jujur. Kuharap kamu akan mengerti." Angga memegang tanganku erat. Sepertinya, akan ada hal buruk yang terjadi. "Aku anak tunggal... Ayah saya lagi sakit. Dia memintaku agar aku segera menikah. Itu permintaan ayah saya saat ini." Lihatkan? Hal buruk yang kurasakan ternyata sudah terjadi.
"Lalu?" ucapku dingin, tatapanku kosong, dan... semuanya kubuat sinis. Angga menunduk ketika melihat perubahanku.
"Please, Jar... Situasiku saat ini sangatlah sulit. Aku tidak mungkin selalu mengelabui orang tuaku. Lagian... aku ingin punya anak." Mataku semakin melebar. Membiarkan semua pancaran rasa sakit oleh apa yang telah dia katakan.
"Sudah selesai? Sekarang, kamu pergi! Tidak ada lagi urusan kan?" ucapku seraya bangkit dan merendamkan kaki di air danau. Angga memeluk bahuku erat. Dia berujar lirih dengan kata-kata tidak jelas. "SUDAH AKU BILANG! KAMU PERGI SEKARANG!" teriakku sambil menepis tangannya. Sekarang aku benar-benar emosi. Kata-kata cinta yang dulu dia lontarkan ternyata hanya omong doang. Meskipun aku sudah menyiapkan konsekuensi terhadap hubungan ini, tapi kenapa begitu sakit?
"Maaf...," ucapnya lirih. Ada nada parau dari ucapan Angga. Aku tau, sebenarnya aku sudah menangis sejak tadi. Ketika hati sudah tidak bisa mengungkapkan sebuah rasa sakit, maka air matalah yang berbicara.
Sekarang, kurasa hanya angin yang menemaniku. Rupanya dia sudah pergi. Meninggalkanku dalam keperihan. Dia selalu berjanji untuk selalu melindungiku. Menjaga dari segala ancaman, dan menghibur dari segala keterpukan. Jika dia tidak bisa menjalin hubungan seorang kekasih, seharusnya dia memintaku untuk menjadi sahabatnya. Karena itu yang aku inginkan. Tapi, apa yang dia lakukan? Pergi? Ya. Mengucapkan salam perpisahan? Ya. Memintaku untuk menjadi sahabatnya? TIDAK! Dari dulu, aku selalu menginginkan sebuah persahabatan. Mungkin karena situasi keluarga yang membuatku butuh seseorang untuk jadi sandaran atau teman curhat. Sejak SD atau SMP, aku tidak pernah menemukan sahabat yang pas. Mereka hanya membutuhkanku disaat butuh saja.
Hingga pada akhirnya, aku bertemu dengan Angga. Dia adalah orang pertama yang selalu menghiburku. Menjaga sudah pasti. Lalu diakhir SMA dia menyatakan cinta kepadaku. Saat itu aku bimbang. Meskipun aku juga cinta sama dia, tapi aku lebih mementingkan sahabat. Tak jarang dari mereka yang sudah pacaran, selalu berakhir dengan permusuhan. Tapi sialnya, ada pancaran yang tak bisa kuartikan dari bola matanya. Seperti harapan yang sangat besar. Dengan berat hati, aku mengangguk dan menerima cintanya. Apakah aku bahagia? Tentu. Hubungan pun terus berlanjut sampai aku kuliah di semester 5.
"ARGRGH!" teriakku sambil melempar batu. Suasana kota Lembang ternyata begitu sunyi. Sejak saat itu, Angga tidak pernah menemuiku lagi dengan alasan ingin melupakan semuanya. Terbebas dalam bayang masa lalu antara aku dan dia.
Ketika mataku melihat ke atas, dedaunan berjatuhan. Terbang diterpa angin dan mengambang air. Aku memeluk lutut. Berusaha menghalau rasa dingin di tubuh dan hatiku. "Kamu ngapain disini?" ingatan tentang masalaluku pun buyar. Kini ada Fajar disampingku. "Kamu menangis?" imbuhnya. Aku langsung mengelap dan berusaha bertindak sewajar mungkin.
"Aku menguap," sahutku sambil berdiri. Fajar melakukan hal yang sama dan menyuruhku untuk tidur.
"Aku tidak punya tempat tinggal. Maksudmu tidur itu dikursi taman ini?" ujarku sambil menunjuk kursi lebar berwarna coklat.
"Kamu pengawalku. Apapun yang terjadi, kamu harus ikut denganku." Aku menatap Fajar tidak percaya. Apakah maksud dia termasuk tidur? Belum sempat aku bertanya, Fajar sudah membawaku ke istana super megah miliknya. Kulihat di ujung kursi ada 2 orang berperawakan tegap dan elegan. Kuyakin mereka adalah kedua orang tua Fajar.
"Ummh, sory aku mau nanya. Apakah mereka orang tuamu?" bisikku.
"Ayah tidak. Tapi ibu iya. Sayang sekali ayah mempunyai gen yang berbeda. Grance dia adalah menjadi seorang pamvir." Aku manggut-manggut. "Ayo," ajak Fajar sambil berjalan ke orang tuanya. Aku menunduk sambil mengepal tanganku. Ketika sampai, Fajar menjelaskan siapa aku dan gen yang telah kumiliki. Dia juga menjelaskan kalau aku belum mempunyai grance apapun.
"Salam kenal tante, om," ucapku sambil membungkuk. Mereka berdua mengernyit tidak paham. "Maksudku tuan, dan nyonya," lanjutku cepat.
"Baiklah... berapa umurmu, nak?" tanyanya.
"23 tahun tuan."
"23? Kenapa kamu belum mempunyai grance? Harusnya, di umur 17 grance mu sudah muncul." Aku diam tidak menjawab pertanyaan dia. "Apakah kamu merasakan hal yang aneh ketika berhadapan dengan saya?" aku menggeleng cepat.
"Hanya gugup tuan."
"Dari mana asalmu?"
"Dari buku tuan. Saya berasal dari dimensi yang berbeda. Dari dunia saya, ada seorang pemuda yang meninggalkan buku yang aneh. Saya ambil buku itu lalu ketika jam 12 malam, buku itu mengeluarkan cahaya dan bunyi. Ketika saya membukannya, saya telah melihat para penjaga yang kemarin menangkap saya," jelasku. Kulihat Fajar, ayah dan ibunya mengembangkan senyum. Aku semakin tidak mengerti.
"Ada apa tuan?" tanyaku sedikit canggung. Mereka bertiga tidak menjawab. Hanya menyuruhku istirahat di kamar lantai atas.
***
Aku terbangun jam 4 subuh. Suasana pagi dalam kamar ini ternyata begitu dingin. Sialnya, kantuk telah menguap. Membuatku harus terjaga dalam sunyinya pagi. Tanpa sadar, hujan merabak dengan derasnya di luar sana. Bergemuruh dan bising. Sejujurnya, aku masih tidak percaya jika aku berada disini. Dunia dimana hanya ada di dalam imajinasiku. Tentang kekuatan, atau sekedar jaman raja yang selalu kubaca dipelajaran IPS.
Mengenai tujuanku saat ini, aku hanya berfikir tentang permusuhan dari ke 5 grance. Pasti semua itu ada penyebapnya. Jika memakai logika, peranku mungkin mempunyai peran yang penting dalam peperangan ini. Maksudku, aku mempunyai 4 gen. Otomatis, aku akan diperebutkan oleh ke 5 grance lainnya. Hanya saja, saat ini aku telah berada di grance kecepatan. Aku tau aku tidak mempunyai musuh. Bukan hal yang mustahil jika Fajar hanya memanfaatkanku untuk melawan musuhnya.
"Kamu bisa melukai, tapi lawanmu tidak." Suara gema telah memenuhi indra pendengaranku. Aku tau dia adalah Stein.
Well, jika aku bisa melukai, grance mana yang akan kudukung? Aku harus tau inti dari permusuhan ini. Takutnya, aku telah membela grance yang salah. Mungkin aku tau apa yang menjadi tujuanku sekarang. Karena dalam mencari apa penyebapnya, aku harus mempunyai kekuatan. Gen-ku harus kuasah hingga benar-benar membentuk sebuah grance. Maaf Fajar, mungkin aku membutuhkan bantuanmu. Sementara aku, tidak bisa membantumu.
***
Ini aneh! Atau lebih tepatnya, FOR GODS SAKE! Masa aku harus mengikuti kemana pun Fajar pergi? "Kamu adalah pengawalku, jadi turuti saja semua kemauanku!" ucapnya ketika aku menolak.
"Kamu gila! Aku masih belum mempunyai grance untuk melindungimu. Atas dasar apa kamu mengangkatku menjadi pengawalku?" ucapku ketika Fajar bersikukuh agar aku menjadi pengawalnya.
"Kamu nanti akan mendapatkan 4 grance! Itu cukup untuk melindungiku dari segala penyerangan!" bentaknya keras. Aku terdiam saat itu. Baik, dia adalah raja--maksudku calon raja--yang menyebalkan.
Dan terbukti pada saat ini. Mau makan pagi, aku harus berada disisi dia. Ketika dia latihan, bertemu seseorang, atau yang paling gila adalah ketika mandi, aku harus bersama dia! Meskipun tidak benar-benar mandi sih karena Fajar hanya merendamkan tubuhnya di kolam air panas. Untungnya, aku sedikit menyukai dia. Maksudku, siapa sih gay yang tidak tergiur oleh badan atletis dengan wajah tampan dan berwibawa? Raja pula. Aku yakin, tidak akan ada gay yang tahan untuk tidak MELIHAT badannya.
"Jar, udahan yuk. Aku udah pusing nih...," ucapku sambil menghampiri Fajar yang sedang memicingkan mata. Ini adalah kali kedua untukku merendamkan tubuh bersama Fajar di kolam air panas.
Sejujurnya, aku merasa bahagia bisa dekat dengan Fajar. Karena pada dasarnya, aku masih ingin menemukan sahabat. Hidup itu tak pernah lepas dari cinta dan sahabat, tapi jika memilih mana yang lebih utama, sudah jelas jawabannya adalah sahabat. Alasanku menolak ajakan Fajar untuk menjadi pengawalnya hanya semata-mata karena tidak mau jika nantinya aku jatuh cinta sama dia. Cinta itu datang karena terbiasa. Apalagi fisik Fajar mendukung. Bukan maksud fisik mantanku tidak tampan, tapi Fajar lain dari yang lain. Sifat tegas dan berbiwanya yang aku suka dari dia.
"Yasudah... Habis ini kita berjelajah ke hutan. Entah kenapa, malam ini saya ingin makan daging rusa," ucapnya menjawab ajakanku tadi. Aku sedikit kaget ketika Fajar berucap ingin memakan daging rusa. Ya Tuhan... Bukan maksud aku tidak suka ya, tapi...
"Katanya kamu sudah pusing?"
"I-iya... Yasudah, aku ganti baju dulu." Fajar mengangguk sambil tersenyum. Ketika selesai, Fajar mengajakku ke lapangan besar. Penuh dengan padang rumput dan hijau. Di padang rumput yang kulihat banyak sekali kuda yang besar. Terlihat gagah dan damai.
Fajar ber-suit dengan keras. Dari kejauhan aku melihat kuda putih berlari ke arah kami. Mataku berbinar. Sungguh, ini adalah pemandangan yang paling indah dari sekian banyak pemandangan mengenai hewan. Kuda itu terlihat berlari tanpa beban. Ekornya mengampul ke atas dan ke bawah. Sejak saat ini pun, aku telah jatuh cinta kepada kuda itu. Maksudku, jatuh cinta ingin memiliki sebagai sahabat hewanku.
"Ini kudamu?" tanyaku ketika Fajar menaiki kuda putih yang tadi ia panggil.
"Iya. Sebenarnya, aku punya banyak. Tapi, ini adalah kuda kesayanganku. Ayo naik," jelasnya sambil mengambil tali untuk mengendalikan. Dengan sungkan aku berjalan, berusaha naik dan ternyata berhasil. Hatiku berdetak dua kali lipat ketika kuda ini perlahan berjalan dengan langsam.
"Hutannya dimana?" Fajar menunjuk ke arah utara. Sepertinya ada dibalik lapangan luas ini.
"YA HA!" hampir saja aku terjungkal ke belakang. Fajar membawa kuda ini dengan cepat. Sontak aku langsung memeluk pinggangnya dan meresapi aroba tubuh yang khas. Celanaku telah menyempit.
"Lapangan ini namanya The Rince," katanya. Aku berdeham pelan.
"Apakah tidak bahaya kita keluar dari wilayah?" tanyaku ketika laju kuda mulai melambat.
"Hutan ini masih wilayah kerajaanku. Letaknya ada ditengah. Jadi, tidak mungkin ada orang masuk kesini. Karena kalau pun ada, berarti ada penyerangan dari salah satu grance."
Kuda ini berjalan ke hutan dengan luwes. Dari sekian banyak pohon trembesi yang kulihat, ada 1 pohon yang menjadi perhatianku. Pohon itu melambai seperti mengajakku bicara. Tanpa sengaja, pandanganku melihat benda hitam seperti jam. Dan ternyata benar. Itu jam ku yang biasanya selalu kupakai. "Fajar stop!" ucapku kemudian. Kuda ini sontan berhenti. "Ini adalah tempat pertama yang aku datangi. Sebelum ditangkap oleh penjaga tentunya."
"Baik, lalu apa itu yang ada di tanganmu?" Fajar meneliti jam yang saat ini sedang kupegang.
"Ini adalah jam tangan..."
"Jam tangan?" sahut Fajar cepat. Apakah dia tidak tau apa itu jam tangan? Karena dari nadanya sih, sepertinya Fajar terkejut. "Buat apa jam tangan itu? Kami tidak pernah menggunakan benda itu. Kamu juga seharusnya tidak menggunakan benda menjijikan itu. Karena harusnya bukan waktu yang mengendalikanmu, tapi kamu yang harus mengendalikan waktu," dalih Fajar, membuatku--jujur saja--sedikit mengganggu pendengaran. Meskipun kata-kata dia itu benar adanya.
"Terserah!" balasku ketus. Kunaik kuda putih ini dengan perasaan jengkel.
"Tapi, kalau kamu yang pake terlihat keren kok." Entah itu hanya hiburan, atau karena Fajar melihat gelagat kesal yang kutunjukan. Tapi yang jelas, bibirku telah melengkungkan senyum. Bahagia karena Fajar adalah pria yang perhatian. Setidaknya itu yang kurasakan. Arrgh! Sadar Pajar! Jangan bertindak terlalu jauh.
Akhirnya, sampai juga di rumah kayu berwarna coklat tua. Bawah sudutnya disangga oleh kayu kotak kecil. Seperti kursi, namun di tengahnya ada sebuah kotak besar. Tingginya sekitart 2 meter. "Bentar aku ngambil dulu busurnya," ujarnya sambil masuk ke dalam. Lalu kembali dengan 2 busur dan puluhan panah di punggungnya.
"Ayo..." Fajar menarik tanganku.
"Tunggu! Kudamu gimana?"
"Simpan disini aja. Ayo, takutnya keburu sore." Akhirnya aku mengangguk dan mengambil busur yang ia sodorkan dengan ragu. Fajar berjalan sesuai jalan yang sudah dibentuk. Ketika jalan setapak ini sudah habis, sejauh mata memandang ternyata adalah padang rumput. Banyak rerumputan ilalang.
"Kamu lihat?" Fajar menunjuk kumpulan rusa yang sedang makan. "Kita panah yang besar saja. Tapi, kamu harus hati-hati. Karena disini banyak singa yang berkeliaran."
"Whats!" ucapku kaget. "Aku takut, Fajar!" teriakku sambil berjalan mundur.
"Kenapa harus takut? Ada aku disisimu." Aku menatap Fajar tidak percaya. Lagi-lagi, perasaan tenang itu muncul kembali. Tidak! Aku tidak boleh menyukai dia!
"Kalau gitu, kenapa kamu menggunakan panah dalam pemburuan ini? Jika kamu mempunyai kecepatan dan kekuatan, pasti akan dengan mudah kamu merobohkan rusa atau singa itu."
"Hahaha!" Fajar tertawa dengan keras. Ku injak kakinya sekeras mungkin, meskipun aku tau dia tidak akan merasakan sakit.
"Kalau gitu caranya, tidak ada rasa kepuasan yang kita terima. Jika dalam permainan, kamu menggunakan kecurangan. Pasti kamu tidak akan merasa puas. Sekarang... coba kamu panah rusa itu." Fajar menunjuk 1 rusa yang sedang berjalan menjauh dari kumpulannya.
"Baiklah..."
Kumasukan panah yang kuambil dari punggung Fajar ke lubang busur ini. Kutarik nafas sejenak sekedar untuk menghilangkan rasa gugup. Ketika yakin sudah tenang, kutarik panah yang kupegang dengan kencang. Hingga panah itu meluncur ke... WHATS!? Hanya meluncur sekitar 5 meter. Melihat semua hal itu, Fajar tertawa dengan keras.
Sekali lagi aku menghampiri Fajar dan menginjak kakinya sekuat mungkin. Sudah kuduga. Fajar tidak akan merasakan sakit. "Ok aku minta maaf. Panahmu tidak akan meluncur dengan jauh. Karena pegangan dan posisi tubuhmu salah. Sini aku tunjukan." Fajar berjalan ke belakangku lalu mendekapku erat. "Tangan ini pengang yang ini," ujar Fajar. Sekarang tubuhku gemetar. Kurasakan ada darah naik ke kepalaku.
"Tetap rileks okay?" hembusan nafasnya sangat terasa di tengkukku. Ya Tuhan! Benarkan aku tidak jatuh cinta kepada orang ini?
Ups, bersambung ke chapter Lake (a)
sory kalau ada typo. Aku nulisnya di HP. Jadi belum sempat ku edit. Hehe
Dilanjutkan kok. Hhe
Kita lihat saja nanti. Apakah Fajar bisa mengendalikan? Haha
Lake (a)
Syurr!
Panah melesat dengan cepat ketika Fajar membantuku untuk membidik dan mengajarkan cara memegang panah. Rasa senang pun membuncah seketika. Aku berteriak kegirangan dan sontan memeluk Fajar. "Aku berhasil! Panah itu meluncur dengan cepat!" ucapku sambil menunjuk panah yang tertancap di pohon. Well, memang tidak mengenai Rusa gemuk berbulu coklat itu, tapi... you know gimana senangnya aku?
"Kamu memang hebat. Cuman, tenanglah. Rasakan angin, panah, busur, atau segalanya yang menyangkut semua indramu." Aku tersenyum tipis.
"Bisa kamu bidik rusa itu tepat sasaran?" tantangku sambil menyeringai. Dia mengangguk cepat, lalu dengan sekali tarikan, panah itu meluncur. Sukses membuat rusa itu roboh.
"Racun yang dimiliki panah ini sangat berbahaya. Jadi, rusa itu tidak akan merasakan sakit yang berkepanjangan...," ucapnya sambil menghampiri rusa yang sudah terkapar. Aku berdeham langsam. Berusaha menepis segala khayalan jika aku menjadi rusa itu. Merasakan hidup di alam bebas, namun penuh dengan ancaman.
"Apakah dagingnya akan aman jika kita makan?" tanyaku kemudian. Fajar mengangguk sambil memotong beberapa. Jika kalian merasa ngeri, tentu saja. Karena setelah kepergian kami, para singa bermunculan dan langsung memakan daging itu dengan lahap.
Ketika kembali ke kerajaan, petang berubah menjadi malam. Aktifitas malam selalu ramai dan bising. Tidak aneh memang. Karena pada dasarnya, hal ini selalu dilakukan seraca rutin. Malam mau siang sama saja.
Kedatangan Fajar ke kerajaan adalah untuk memantau semua grance laki-laki yang sedang latihan. Sangat banyak dan terlihat kuat. Ada yang sedang membentuk sebuah pertahanan, penyerangan, atau strategi. Seperti dalam permainan game. Namun, sekarang aku masuk ke dalam permainan itu.
"Aku sudah lapar. Sebaiknya, kita bakar daging yang tadi kita buru," ucap Fajar ketika keluar dari kumpulan orang yang menyusun strategi. Kabarnya, Fajar telah mengirim mata-mata ke grance pamvir. Tapi, orang suruhan Fajar malah menjadi pamvir. Argh! Apalagi kata Fajar sekitar 1 bulan lagi akan diadakan sebuah peperangan yang ke 29. Itu berarti, ke 5 grance sudah berperang sebanyak 28 kali.
"Berapa korban jiwa dalam peperangan yang terjadi sebelumnya?" saat ini aku dan Fajar sedang berada di danau belakang istana. Membakar daging dengan menggunakan arang.
"Grance kami hampir kalah... karena mereka menyerang secara tiba-tiba. Tidak ada perundingan atau sekedar mencari tempat yang untuk berperang. Untungnya, di kerajaan ini terdapat ruang bawah tanah yang sangat besar. Kuat untuk menampung raja dan para pelindung yang penting." Fajar membalikan dagingnya dengan pelan. Aku juga melakukan hal yang sama. "Tapi sekarang, ke 5 grance menginginkan peperangan secara bersama-sama. Untuk membuktikan siapa yang paling kuat," imbuhnya dengan rahang bergetar. Aku sangat tidak mengerti dengan permusuhan ke 5 grance. Tapi, itu akan kucari nanti. Yang harus kupikirkan adalah, bagaimana caranya memunculkan grance ku. Jika memang benar-benar ada tentunya.
"Jar... Hmm, gimana caranya agar aku bisa memunculkan grance ku?" Fajar berhenti melakukan aktifitasnya dan menatapku. "Gimana awal kamu mendapatkan grance mu?" tanyaku lagi.
"Aku... hmm, apakah kamu ingin tau gen di kerajaan ini apa?" tanyanya. Aku menangguk seraya mengatur nafas.
"Gen kami adalah rasa sakit dari keadilan. Dulu, aku adalah orang yang selalu ditindas. Itu didikan ibuku yang dengan gampangnya membuangku. Mungkin karena beliau ingin aku mempunyai gen yang sama. Dan ternyata berhasil. Aku selalu benci terhadap seseorang yang sok berkuasa. Selalu menindas rakyat keci atau kurang mampu. Dalam hidup, tidak ada keadilan... Tidak pernah. Lalu sejak umurku 16, ada insiden yang membuat emosiku benar-benar meluap. Aku melihat dengan kepalaku sendiri temanku dibunuh hanya karena dia mencuri roti karena lapar. Kekuatanku pun muncul dengan sendirinya. Kubunuh orang yang membunuh temanku meskipun dia sama 1 gen denganku," jelas Fajar. Aku paham sekarang. Itu berarti, aku mempunyai gen yang sama kayak Fajar. Keadilan tidak berpihak kepadaku dan ibuku. Aku selalu marah kepada diriku sendiri karena tidak bisa melindungi ibu dari siksaan ayah. Apalagi soal keadial kaum gay yang selalu ditindas oleh straight.
"Jika begitu, bantu aku untuk memunculkan kekuatanku," kataku lirih. Darahku naik seketika.
"Maaf... tapi hanya kamu yang bisa memunculkannya. Mulai sekarang, kubebaskan kamu untuk berjelajah di Negeri ini. Aku ingin kamu berusaha sendiri. Tapi ingat, berhati-hatilah. Meskipun kami 1 gen, tapi kejahatan selalu ada." Kamu memang Bijak Fajar. Calon raja dan pemimpin yang baik. Mungkin, aku harus menyetujui tawaran ini. Karana aku takut... aku takut jatuh lebih dalam masuk ke hatinya.
***
Setelah acara makan daging rusa yang telah aku dan Fajar bakar, aku harus berpisah dengan dia. Jujur saja aku sangat sedih sekali. Meskipun setiap saat aku bisa bertemu dengan dia, tetap saja aku merasa sedih. Fajar adalah sosok pengganti Angga bagiku. Karena pada dasarnya, siapapun akan kujadikan sahabat jika aku merasa nyaman dengan dia. Walaupun dulu--di dunia nyataku--aku selalu tertutup, tapi biarlah disini aku menjadi yang lain. Menjadi aku yang berbeda dan sekuat mungkin mencoba menerima orang disisiku. Karena aku sudah nyaman dengan sikap penyendiriku. Maka dari itu, aku akan berusaha.
Ketika keluar dari istana, aku berjalan sambil bersiul. Baju pemberian Fajar tak aku kenakan. Alhasil, baju yang lama aku pakai kembali karena aku lebih nyaman menggunakan pakaianku. Ketika kakiku sudah merasakan sakit, aku masuk ke salah satu bar minuman. Dari gambarnya sih seperti minuman hangat. Dan ternyata memang benar. Mungkin, jika ditempatku namanya sekoteng, tapi kalau disini adalah Damachi. Bahan yang dipakai kebanyakan roti dan kacang.
"Damachi-nya 1!" pesanku kepada pelayan. Hanya perlu beberapa detik aku menunggu.
Jika ditelaah, ini memang seperti sekokeng. Cuman, wangi dan rasanya tidak terlalu dominan. Well, ku anggap saja ini sekoteng. Hingga tak terasa minuman ini habis. Oh iya, mungkin kalian bertanya kenapa aku bilang ini minuman? Jawabannya simpel sih. Damachi ini menggunakan gelas yang besar dan cara memakannya bukan pakai sendok, melainkan diminum.
Ketika aku mau membayar minumanku, pandanganku tertuju pada pemuda jangkung berbadan kurus tidak terawat. Dia dengan lincahnya berbaung di kerumunan dance. Musik yang menggema seakan membuat dia begitu lepas untuk menari. Tapi, perhatianku bukan kepada tariannya. Melainkan kepada tangan lincahnya yang merayap mengambil uang saku ke saku yang lain.
Pemuda itu memandang setiap penjuru. Mungkin sekedar memastikan apakah ada yang liat perbuatan dia. Segera aku bayar minumanku dan ikut menari bersama pemuda jangkung itu. Ketika kami saling berhadapan, mataku menatapnya sambil tersenyum sinis. Selanjutnya aku mendekatkan mulutku ke telinganya. "A-aku tau per-perbuatanmu," ucapku gagap. Sumpah! Tenggorokanku langsung tercekat ketika membaui aroma tubuhnya. Khas pria dewasa tanpa menggunakan parfum. Membuat celanaku menyempit seketika.
Dia melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan barusan. Sekuat mungkin aku menahan nafas. Ini aneh... Jika berhadapan dengan dia, sepertinya aku tidak bisa menahan nafsu. Padahal, jika dilihat dari fisik dia tidak terlalu menarik. Rambutnya kusut, bulu jambang tidak terurus, dan lihat bajunya. Oh no! Lusuh banget! Namun sialnya, aku tidak bisa mengontrol emosi. Aromanya begitu khas. "Jika kamu membocorkannya, aku yakin ini adalah waktu terakhirmu." Aku tertawa dengan keras mendengar hal itu. Tanpa sadar, aku memegang dia dan mengajak dia untuk menari bersamaku.
Jika saja ini bukan tempat umum, mungkin aku sudah memakan orang ini bulat-bulat. Meskipun aku tidak yakin. Tapi, kenapa aromanya sangat kental sekali? Aku tidak seperti ini ketika berhadapan dengan Fajar. Padahal, Fajar jauh lebih ganteng 10 kali lipat dari pria ini. Arrgh! Aku tidak kuat! "Kenapa aku harus takut? Aku mempunyai 4 grance. Dengan mudah aku bisa membunuhmu," ucapku menjawab pertanyaan dia yang tadi. Seketika wajahnya memucat. Well, mungkin dia merasakan granceku. Meskipun dalam hati aku tertawa. Karena sejatinya, aku belum mempunyai grance. Tapi gen... "But... wait! Bawa aku ke danau dekat dengan taman kota. Maka, aku tidak akan membeberkan perbuatanmu dan... tentunya tidak akan menyakitimu." Dia mengangguk lalu mengajakku keluar.
"Kenapa kamu tidak membawaku dengan kekuatanmu?" tanyaku sambil menggenggam tangan dia. Pria ini jelas berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku namun aku tahan.
"Harusnya kamu tau, peraturan dalam negeri ini tak boleh memakai grance kecuali di tempat latihan." Aku bergeming. Kenapa Fajar boleh ya? Hmm, mungkin karena dia calon raja.
Setelah sampai di taman, di menyilangkan tangannya di dada. "Sekarang, kamu mau apa," tanyanya to the point.
"Siapa namamu." Tak henti-hentinya aku tersenyum ketika melihat dia.
"Bima...," balasnya santai. Well, nama yang bagus.
"Sekarang kamu kesini." Kulihat Bima berjalan dengan sungkan. Ketika Bima sudah ada di dekatku, aku langsung mendorong dia ke kursi dan mencium bibirnya dengan beringas. Aku tidak peduli dengan sikap dia yang terus meronta. Yang jelas, nafsuku sudah memuncak. Bima seperti narkoba bagiku. Sangat kuat daya tariknya.
"Apa yang kamu lakukan!" teriaknya. Aku menatap dia tajam. Well, sebenarnya aku mempunyai tatapan tajam menusuk. Mungkin itu penyebap semua orang menjauhiku. Tatapan ini kudapat ketika aku masih SD. Dan terbukti, Bima bungkam ketika kutatap.
"Buka mulutmu!" bentakku. Bima semakin menciut.
Ketika Bima membuka mulutnya, langsung ku santap bibirnya dan memasukan lidahku ke dalam. Tanganku mulai merayap ke senjata dan dadanya. Aku semakin tidak terkendali. Aroba tubuhnya sangat memabukanku!
Tanpa henti aku menjilat lidah Bima. Aku... ARGH! Rasanya nikmat sekali. Manis dan beda. Ketika aku sudah puas, yang menjadi tujuanku adalah dada dan perutnya. Namun, ketika aku ingin membuka celana Bima, sepertinya aku melihat Fajar di belakang pohon trembesi. Dia seperti terluka. Lalu ketika aku mengetipkan mata, aku tidak melihat lagi Fajar. Ada rasa bersalah seketika. Kenapa aku seperti hewan?
Tanpa diduga, aku telah menangis. Perbuatanku tadi mengingatkanku kepada si brengsek. Aku kalah oleh nafsu. Ya Tuhan... maafkan aku...
"Kamu kenapa?" tanya Bima sambil memakai bajunya. Aku tidak menjawab dan terus menangis. Tak lupa pandanganku tertuju pada danau. Tak berani menatap wajah Bima.
"Tatap wajahku..." Bima memegang pipiku dan mengarahkannya ke wajah Bima. Tangisku semakin menjadi. Bahkan, disaat seperti ini nafsu sedang mempermainkanku. Kenapa? Kenapa aroma tubuh Bima selalu membuat birahiku naik? "Bukankah ini yang kamu inginkan?" Bima melumat bibirku. Kali ini, kami melakukannya tanpa paksaan. Yap! Aku tidak bisa menolak ciuman dia. Nafsuku terlalu besar. Kuharap, sekarang aku bisa melihat Fajar agar aku bisa mengendalikan nafsu gilaku ini. Tapi tetap saja... pandanganku hanya melihat danau. Sekarang, danau telah melihat perbuatanku dengan Bima. Memuaskan nafsuku yang sudah tak tertahan. Nafsu... telah memanjakanku!
Ups... bersambung ke chapter horse
Oh iya, aku MINTA MAAF SEKALI karena telah mengundang kalian dalam ceritaku yang tidak layak untuk dibaca. Setelah ini, aku tidak akan nge-mention kalian lagi kok. Kecuali, jika ada yang berkomentar. Kalau kalian gak mau di mention, jangan komen aja ya. Hehe, sekali lagi... MAAF, HAMPURA, SORRY...
@sandy @tamagokill
@rajatega
@Anju_V
@egosantoso
@rivengold
@ian_sunan @agungrahmat
@WYATB
@prasetiowibawa
@andrekho01
@leehan_kim
@gabriel_valiant @biag_dhegel
@dota
@esadewantara88
@nabhan
@ularuskasurius
@putradelta @danze
@rey_drew9090
@pria_apa_adanya
@aa_akew
@brody5
@surya_90 @Bi_ngung
@masdabudd
@arjuna150586
@el_crush
@arieat
@kisut @cansetya_s
@sky_borriello
@kikyo
@erika_fujo
@imperfect angel @mr_Kim
@Inlove
@shinshin
@4ndh0
@iansunda
@DavidLiu @adhi48
@yubdi
@Pleiades
@bowraiin
@richardlee
@LambatAdam @cute cowo @AjiSeta
@Ozy_Permana
@sasadara
@joenior68
@bintang96
@SeveRiandRa @sasukechan
@arizalmshd
@yuzz
@uzrex07
@amira_fujoshi
@therangers @xanxan
@bi_men
@claudy
@adinu
@jerukbali
@alfa_centaury @agungrahmat
@dewadewa
@antis
@andre_patiatama
@patric
@tjokro @yoshizawa
@aii
@curiousreader
@idendoank
@indra_hunk
@syeoull @MikeAurellio
@JunJun
@brendy
@gerdit
@agung_dlover
@rahmathansemtop @xyaaxyxy
@yangmerindu
@idans_true
@aelfie
@mustaja84465148
@ryuzhaki @fahrezy North @dhimas _anggarra @anggoro007
@Putra_17
@farizpratama7
@zarfan
@matrix_boy
@rizky
@inlove itu cerita lama. idenya udah gak ada. itu mengapa, jika update cerita itu pasti lama. Mungkin, setelah cerita ini akan aku lanjutkan.
Gak papa kak @masdabudd memang cerita ini gak bagus kok. Hehe )
thanks mention nya @Sefares
thanks mentionnya abg @Sefares