It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
______________________
Hari ini, hari sabtu. Well, sebagai jomblo seumur hidup, hari ini sih gak ada special-specialnya bagi ku. Waktu ku habiskan hampir seharian di kamar. Rumah ku pun sepi. Ibu lembur di kantor. Diah pergi sama teman-temannya. Hanya ada Shelly dan aku di rumah. Kucing ku ini memang pemalas. Seharian bisa tidur saja di sofa ruang tamu. Hampir tak pernah dia berkeliaran di siang hari. Ku lihat dia sedang menjilat-jilati bulu hitamnya yang panjang. Aku menuju dapur, mencari apa pun yang bisa aku makan. Ku buku kulkas dengan ekspektasi tinggi akan apa yang ada di dalamnya. Begitu ku buka, cuma ada sayuran mentah, sisa sambal kemarin, dan berbagai macam hal lain yang agak gak nyambung kalau aku makan. Mungkin Ibu terlalu sibuk akhir-akhir ini, jadi tidak sempat belanja mingguan. Tak apa lah, masih ada mie instan di kabinet.
Selagi aku memasak mie, tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dari taman belakang. Ku tengok sedikit, sepi-sepi saja. Aku melanjutkan masakan ku, lalu bunyi gaduh itu malah makin terdengar di telinga ku. Ku matikan kompor. Ku buka pintu belakang menuju taman belakang rumah. Ku lihat pintu gudang sedikit terbuka. “Ah, sial!”, kata ku dalam hati. Aku paling menghindari gudang yang berada di pojok belakang taman belakang rumah ku. Aku mempunyai trauma selagi aku kecil. Sepupu ku pernah mengunci ku dari luar selagi aku di dalam gudang. Cukup lama aku terkunci saat itu. Mungkin sekitar 3 jam.
Begitu aku berjalan mendekati gudang, suara gaduh itu tiba-tiba hilang. Ku beranikan diri membuka pintu gudang. Oke, aku memang penakut. Padahal ini masih sore. Tapi langit sore ini sangat gelap. Suara gemuruh pun beberapa kali terdengar. Ku nyalakan lampu gudang agar aku bisa melihat apa yang menjadi sumber kegaduhan tadi. Sudah lama sekali aku tidak masuk ruangan ini. Sampai hampir lupa dengan semua isi yang ada di sini. Ada satu barang yang sangat mencolok perhatianku. Lukisan portrait kakek buyutku yang selalu aku takuti sedari kecil. Waktu Kakek-Nenek ku masih hidup, lukisan ini tergantung di ruang tamu. Terkadang selagi malam, aku bisa melihat mata di lukisan itu seolah mengamatiku. Tapi aku sudah besar sekarang, aku harus lebih logis lagi dalam berpikir. Pokoknya aku gak boleh takut lagi.
Dan tiba-tiba suara gaduh itu muncul lagi. Beberapa kardus di gudang bergerak-gerak. Bulu kuduk ku merinding. Ku kumpulkan nyali ku untuk menyingkap kardus-kardus itu. Lalu kulihat Shelly sedang kesakitan. Seperti tersedak sesuatu.
“Shel, kamu kenapa?”, aku panik melihat Shelly merejang-rejang.
Aku bawa dia ke taman belakang, ke tempat yang lebih terang. Shelly kelojotan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa mengusap-usap bagian tengkuknya.
“Oke, mungkin aku harus bawa Shelly ke dokter”, kata ku dalam hati.
Aku berlari mengambil kunci motor dan pet cargo untuk membawa Shelly. Belum sempat aku memasukkan Shelly ke dalam pet cargo, tiba-tiba dia memuntahkan isi perutnya. Kulihat benda berkilau di antara lendir muntahan Shelly. Ternyata dia tersedak sebuah cincin silver yang setelah aku amati lebih lanjut terbuat dari emas putih. Aku terheran bagaimana bisa Shelly memakan cincin ini. Ditambah, terakhir aku melihat Shelly sebelum ini, dia sedang bermalas-malasan di sofa tapi kenapa tiba-tiba dia bisa di gudang? Dan yang lebih membuat ku bertanya-tanya kenapa bisa ada cincin ini ada di gudang?
“Rrrrr...Rrrrr…”, terasa getaran hp ku dari kantong celana ku. Ku lihat nama Ari di layar.
“Halo. Ga, lo lagi dimana?”, tanya Ari di telepon.
“Rumah, Ri. Ada apa?”
“Gue bentar lagi sampe rumah lo nih. Keluar yuk. Bete banget gue di rumah. Nyokap juga ribet nanti malem mau terbang ke Malaysia”
“Hmmm… Boleh. Lagian juga di rumah lagi gak ada orang. Yaudah gue siap-siap dulu sekarang.”
“Okeh, nanti gue tunggu depan ya, sayang…”
“Iya, Peyang. Nanti lo tunggu teras aja kalo gue masih mandi.”
Ku lihat Shelly sudah berperilaku normal like nothing wrong happen with her before. “Syukurlah”, ku menghela nafas. Tapi aku bingung, mesti diapakan cincin ini. Tidak mungkin juga aku buang. Sudah lah, aku bersihkan dan taruh saja di kamar. Takut Shelly bakal makan cincin ini lagi.
Tidak lama Ari pun datang selagi aku selesai mamakai baju. Aku sudah biasa jalan sama Ari malam minggu begini. Karena kalau bukan dia yang ajak aku jalan, ya paling Puri dan Vera. Itu pun mereka sudah sibuk dengan pacar masing-masing sekarang.
“Ri, nanti disana sekalian ke petshop yah. Mau beli obat buat Shelly.” kata ku sambil menggembok pagar rumah.
“Kenapa si Shelly, Ga?” tanya Ari.
“Gak apa apa. Tadi cuma tersedak aja. Mau beli obat pencernaan aja. Takut kenapa-napa.”
Ari langsung menancap gas mobilnya menuju mal di bilangan bundaran hotel Indonesia. Sepanjang perjalanan aku teringat lukisan kakek buyut ku. “Ah, sial. Sudah hampir aku lupakan bertahun-tahun, jadi teringat lagi gara-gara kejadian di gudang tadi”, ucap ku dalam hati.
Sampai lah kami di tempat tujuan. Kami langsung menuju petshop yang berada di lower ground mall tersebut.
“Ga, lo langsung aja ke sana. Gue ke toilet bentar. Kebelet daritadi di jalan.” Ari langsung terbirit-birit menuju toilet.
Sesampainya di petshop, aku segera mencari obat untuk Shelly. Agak sedikit mahal semua barang di sini. Mungkin karena harga sewa disini memang relatif mahal. Tapi untuk kucing kesayangan, aku tak perlu ragu.
“Semuanya 180 ribu, kak. Mau bayar cash atau kartu?”, tanya Mbak Kasir.
“Pakai cash aja, Mbak” aku merogoh kantong belakang celana jeans ku dan aku pun tersadar, dompet ku tidak ada! Waduh! Mana di sini susah sinyal untuk telepon si Ari yang masih di toilet. Mau aku susul, aku tapi malu. Nanti disangka aku kabur dan tidak jadi beli.
Lalu, pangeran penyelamat datang, “Pakai kartu ini aja, Mbak.” suara yang sangat aku kenal terdengar.
“Loh?! Erik?! Kok bisa tiba-tiba kamu di sini?” aku salah tingkah.
“Si Ari emang gak bilang kalo gue bakal ke sini juga? Dia tadi minta temenin cari makan”
“Hmmm… Gak sama sekali. Terus kok bisa tau gue di sini?”
“Iya tadi begitu sampe sini, gue telepon Ari, terus dia bilang langsung temuin lo aja lagi di petshop sini”
“Ohh… Gitu. Terus mana si Ari? Lama bener dia di toilet. Berojol?”
“Sialan lu! Emang gue ibu-ibu bunting!” Ari menggeplak kepalaku dari belakang.
“Ehmf, panjang umur nih anak. Kasian, Ri, anak orang lo tinggal sendirian gak bawa dompet pula”
“Sorry lama. Tadi gue balik dulu ke mobil. Rokok gue ketinggalan. Terus ternyata dompet si Peyang juga ketinggalan.”
“Ah! Alhamdulillah! Gue kirain dompet gue jatoh dimana tau” kata ku lega. “Nih, Rik. Gantiin uang yang lo pake tadi”
“Ga usah, Ga. Lo simpen aja. Itung-itung gue nyumbang rasa sayang gue ke kucing lo.”
“Seriusan? Hehe, makasih ya, Rik”, baik sekali Erik. Tapi andai yang dia sumbang itu rasa kasih sayang dia kepada ku.
“Erik aja yang diterimakasihin, nih? Gue kagak, kan udah ambilin dompet lo”
“Iya, Peyang… Gue juga makasih banget buat lo ya. Semoga lo diterima di sisi-Nya…” canda ku.
“Whaaaaat?! Cooooyyyyy… Amit-amit sihhhh.”
“Hahaha…Udah sih kalian. Lapar nih gue. Langsung ke Sushi Tei aja yuk. Tadi gue udah reserve.” kata Erik sambil mengelus-elus perutnya yang rata.
Sesampainya di Sushi Tei, kita duduk di meja yang menempel dengan Sushi Bar. Conveyor belt berjalan mengelilingi meja-meja sekitarnya. Aneka macam sushi terlihat berbaris rapi di atasnya. Kami pun makan dengan lahap. Tidak terasa sudah menumpuk tinggi piring warna-warni. Sepertinya kita sangat kelaparan. Aku sampai tidak bisa mengancingkan kancing celana ku. Rasa begah ku sedikit hilang begitu melihat senyum Erik yang puas karena kenyang. Kemudian dering ringtone handphone Eric terdengar.
"Halo? Yang, knp? Aduh suara kamu putus-putus." kata Erik menjawab telepon. "Yaudah, bentar, aku keluar cari sinyal. Disini agak susah." sambung Erik.
Aku langsung terpikir kata 'Yang'. Pasti pacarnya yang telepon. Jangan-jangan dia mau ketemu pacarnya. Ah, sial, aku masih belum siap untuk itu.
"Ga? Halo???", Ari melambai-lambaikan tangannya tepat di depan muka ku.
Kok muka lu kayak orang lagi mikir ujian matematika? Ruwet banget keliatannya."
"Oh, hah? Knp? Sorry, Ri. Lagi kepikiran Shelly dirumah." kata ku bohong.
"Bener nih cuma Shelly yang dipikirin? Bukan yang lain?"
"Gak kok. Lo masih mau makan dessert?"
"Gak deh, Ga. Nanti aja, lagi pengen es krim di bawah. Pas mau pulang aja tapi. Mending minta bill aja kali ya", kata Ari sambil memanggil pelayan.
"Lho, si Erik kan belum balik lagi kesini."
"Yaudah, gapapa. Ini gue kok yang teraktir. Hehe"
"Waaaahh… Makasih ya, Peyang."
"Iya sama-sama, Yang…"
Bahkan sampai Ari selesai membayar tagihan, Erik belum kembali lagi. Mungkin telepon yang dia terima tadi cukup penting. Kami pun berputar mencari Erik yang susah dihubungi.
"Ri, lo pernah ketemu ceweknya Erik belum sih?" tanya ku penasaran.
"Hmmm… Dia sih pernah cerita ke gue pas baru-baru jadian. Itu juga karena ketauan gue liat dia whatsappan. Tapi sejauh ini sih gue belom pernah ketemu pacarnya."
"Oohh.. Gitu."
"Kenapa, Ga? Kok tiba-tiba lo nanya tentang itu?"
"Gak apa-apa. Cuma penasaran aja. Pasti cantik yah, ceweknya."
"Setau gue sih si Erik gak terlalu mentingin fisik kalo soal cewek. Tapi dari yang gue denger sih, pacarnya dia model. Soalnya dia ketemu pas casting."
"Hmmm…" reaksi ku datar. Benar saja dugaan ku. Pacarnya bukan tandingan ku. Aku memang tidak apa-apanya.
"Eh, itu si Erik… ERIK!" panggil Ari yang melihat Erik dari kejauhan.
"Sorry, Ga, Ri. Tadi ada urgent call. Oh ya, tadi bill gue jadi berapa semuanya?" kata Erik. Ku perhatikan handphonenya tercetak daun telinga pertanda dia lama menelepon.
"Gak usah, Ri. Tadi dibayarin sama Bos Ari. Hehehe." kata ku.
"Siapa bilang gratis? Pokoknya tunggu nanti gue tagih suatu saat. Hahaha."
"Dih, apa deh lo, Ri? Gak ikhlas nih?" jawab ku ketus.
"Hehehe, ikhlas kok, Peyang… Jangan sensitif gitu ah. Cukup leher lo aja yang sensitif. Hehehe"
"Udah sih kalian… Berantem melulu. Eh, Ri, btw thanks yah. Next time gue yang traktir deh." kata Erik.
"Traktir gue tiket Maroon 5 bulan Oktober nanti yah?" kata Ari.
"Embah mu!!! Gue aja tadi makan paling cuma 200 ribu." balas Erik.
"Tau nih, Ari. Gak tahu diri emang dia, Rik", timpal ku. "Eh, btw lagi ada film yang bagus gak sih? Udah lama nih gak nonton."
"Kayaknya ada film horror baru gitu deh, Ga. Katanya sih bagus. Nonton itu aja, yuk!", kata Ari.
"Ogah ogah ogah! Gak mau ah gue nonton film horror. Kalo thriller masih gapapa deh. Tapi kalo horror, gue nyerah" tolak aku.
"Ah, Angga mah dari dulu gak berubah. Kecut kalo soal setan." Ari mulai menyebalkan.
"Jangan sok berani lu, Ri. Lo juga kalo lagi di loker sendirian, minta temenin gw." kata Erik.
"Kan kalo di loker, gue bukan takut setan. Tapi takut ada yang perkosa gue pas lagi mandi."
"Cih, emang demennya lu kalo di perkosa." kata ku kesal.
"Tuh kan, udah berantem lagi. Lama-lama gue kawinin kalian berdua" canda Erik. "Gak serem-serem amat kok, Ga kata temen gue yang udah nonton. Ya paling ngagetin aja sih. Tapi ceritanya bagus."
Duh, kalau Erik sudah bilang gitu sih, aku mana bisa nolak. Walaupun, aku sedikit berat hati mengiyakan.
"Iya iya, tapi gue gak mau kalo kedapetan nonton di depan."
"Yaudah yuk, kita langsung ke bisokop aja. Malam minggu. Pasti rame." ajak Erik.
"Eh kalian aja dulu ya ke sana. Nanti gue nyusul. Om sama tante gue kebetulan lagi ada di sini. Mereka mau kasih titipan buat nyokap gue" bilang Ari.
"Oh yaudah, gue sama Angga beliin tiket lo aja dulu ya."
"Sip! Thanks, Rik. Gue ke bawah dulu ya!"
Lalu Ari berlari kecil menuju eskalator bawah. Dasar anak ini. Sukanya ngilang melulu. Gak di sekolah, gak di sini. Tapi tidak apa-apa lah, jadi punya kesempatan berdua sama Erik walaupun cuma sebentar.
Bioskop terlihat ramai. Dari yang ingin nonton sama keluarga, teman, pasangan dan tidak sedikit juga terlihat pasangan sesama jenis terlihat bersama. Hampir semua laki-laki ini melirik si Erik. Mata mereka seakan menelanjangi Erik. Mereka pun memandang sinis ke arah ku. Mungkin mereka berpikir, kenapa bisa orang yang culun kayak aku ini bisa jalan sama orang setampan Erik.
"Mbak, tiketnya 3, ya." Erik melihat layar yang menunjukkan jam tayang film. "Yang jam 9 aja’ Mbak. Eh, Ga, duduknya di row A aja gapapa ya?"
"Iya, Rik. Gapapa. Yang penting gak duduk di barisan depan", lalu handphone ku bergetar. Ada panggilan masuk dari Ari. "Ya, Ri. Lo dimana?"
"Gaaaa… Sorry ya, gue kayaknya gabisa ikutan nonton", kata Ari di telepon.
"Hahhhh??? Ah, lo tuh ya!"
"Sorry banget, Ga. Ternyata titipan dari om dan tante gue ini harus dikasihin nyokap segera. Soalnya flight nyokap gue malam ini"
“Lah, terus ini tiket yang udah di beli gimana?”
“Iya tenang aja. Gue ganti kok. Sorrrrryyyy banget. Bilangin juga ya ke Erik. Happy watching”, kata Ari dan langsung menutup teleponnya.
“Kenapa, Ga?”, tanya Erik.
“Si Ari, Rik. Tiba-tiba dia pulang aja gitu.”
“Yaudah gapapa. Kan masih ada gue. Belom pernah kan kita jalan berdua?” kata Erik dengan senyuman.
“He eh… Iya, Rik. Makasih ya” jawab ku salah tingkah.
Sebenernya sudah lama aku memimpikan saat ini. Saat berdua dengan Erik. Jalan, nonton, kayak orang pacaran. Terima kasih, Tuhan. Tidak lama pengumuman teater dibuka terdengar. Kami pun langsung masuk ke studio. Wah, lumayan sepi untuk malam minggu. Di barisan kami duduk aja, cuma ada 6 orang. itu pun terpisah-pisah duduknya.
“Dingin ya. Sial, gue lupa bawa jaket lagi.” keluh ku.
“Iya, mungkin karena sepi kali, Ga. Jadi AC nya makin dingin. Nih, pake jaket gue aja. Kasian, lo udah kurus gitu. Hehe”
“Eh, Gapapa, Rik? Makasih ya”, kata erik sambil melepaskan jaketnya.
Ya ampun, Erik baik sekali. Padahal dia pakai atasan tanpa lengan. Ingin sekali aku pegang bicep nya yang besar ini. Tangannya terlihat kokoh dan berurat walaupun terlihat gelap di dalam studio. Aduh bisa gak konsentrasi nonton nih kalo begini.
Film pun mulai dengan opening yang cukup menyeramkan. Aku menutupi muka ku dengan jaket Erik yang ku pakai. Tercium wangi khas Erik di jaket ini. Aku jadi seakan memeluk dia.
“Oh jadi jaket gue ternyata buat nutupin kalo ada adegan serem, ya?”, bisik Erik di telinga ku.
“Hehehe kan multifungsi, Rik” aduh, Erik. Jangan berbisik di telinga ku dong. Bisa-bisa aku horny di tengah menonton.
Perasaan ku menjadi campur aduk. Antara takut dan salah tingkah menahan nafsu ku. Sial, penis ku mulai ereksi. Gimana kalau Erik lihat, bisa berabe. Akhirnya aku tutup dengan jaket Erik. Tiba-tiba adegan menyeramkan terjadi dan aku sontak memeluk lengan Erik dan menyembunyikan wajah ku di balik badan nya.
“Hahaha… Jaket gue udah gak mempan ya, nutupin rasa takut lo?”
“Rik, sorry. Gue takut banget” tidak aku lepas pegangan ku. Untungnya Erik hanya tersenyum, gak keberatan sama sekali aku merangkul lengannya yang besar dan berurat ini.
Terkadang aku pura-pura ketakutan hanya untuk bisa menyembunyikan kepalaku di belakang badannya. Aroma tubuh Erik sangat enak. Hidung ku sampai ku dekatkan dengan belakang ketiaknya yang berbulu cukup lebat. Ini benar-benar seperti mimpi. Yang pasti, penis ku sudah berontak sekali di dalam celana ku. Tapi biarlah, toh sudah kututupi dengan jaket Erik.
Setelah kurang lebih 2 jam, lampu bioskop menyala, pertanda film telah selesai.
“Yuk, Ga, keluar. Gue udah kebelet kencing nih. Nahanin daritadi” kata Erik.
“Yaudah lo duluan aja. Nanti ketemu di depan toilet.” kata ku. Padahal aku sengaja biar Erik jalan dulu karena penis ku masih tegang dan akan terlihat jelas kalau aku berdiri.
Setelah penis ku agak tenang, aku keluar studio untuk ketemu Erik di depan toilet.
“Nih, Rik. Jaket lo. Makasih ya. Kalo gak ada jaket lo ini, mungkin gue bisa mati kedinginan dan ketakutan”
“Iya, Ga. Sama-sama. Yaudah, sekarang lo mau langsung pulang?”
“Iya, Rik. Adek gue pasti sendirian dirumah. Nyokap lembur sampe pagi kayaknya.”
“Lo tadi kesini sama Ari kan? Yaudah gue anterin pulang ya sekalian.”
“Makasih banyak ya, Erik.”
Kami pun langsung menuju parkiran yang berada di basement. Sepanjang perjalanan pulang, kami terlihat sedikit awkward. Tidak tahu apa yang mau dibicarakan. Uncomfortable silence.
Tidak terasa, kami sudah sampai di depan rumah ku.
“Erik, sekali lagi makasih ya. Udah traktir nonton, dipinjemin jaket dan dianterin pulang juga”
“Sama-sama, Ga. Ya lain kali gak usah sungkan lah. Kayak baru kenal kemarin aja” jawab Erik dengan senyuman dahsyatnya itu. “Yaudah, gue jalan ya.”
“Iya, Rik. Hati-hati di jalan ya…”
Ku lihat mobil Erik semakin jauh dan menghilang di belokan. Ah senangnya hari ini tidak bisa aku ungkapkan dengan satu kata pun. Walau pun aku tau, dia sudah jadi milik orang lain.
Rumah ku masih terlihat kosong. Aku cek kamar Ibu, kosong. Kamar Diah, ternyata dia sudah tidur. Shelly masih asik dengan makanannya. Aku tunggu besok aja lah untuk kasih obat ini ke dia. Tiba-tiba aku teringat cincin yang aku temukan sore tadi. Ku lihat cincin itu masih tergeletak di meja belajar ku. Kuperhatikan lagi cincin itu dengan seksama, ada tulisan Aksara Kawi di permukaan dalam cincin itu. Aku tidak bisa membacanya karena memang aku tidak mengerti.
Aku coba memakai cincin itu di jari manis kiri ku. Terasa besar dan longgar. Lalu aku mencoba memakai di jari tengah kiri ku. Dan tiba-tiba, perut ku merasa mual! Mata ku berkunang-kunang hingga tak bisa melihat. Aku ingin berteriak pun tak bisa karena suara ku tak keluar. Muntah lah semua isi perut ku saking tak bisa aku menahan rasa mual ini. Ya Tuhan, apa yang terjadi?! Ada yang aneh aku rasa kan dengan tubuh ku. Pada akhirnya aku jatuh tak sadar kan diri.
__________________________________
@Agova makasih. salam kenal juga ^^
cincin misterius...
oiya, username nya salah tuh (˘˛˘")
jangan lupa mensen, dgn username yg bener lol
Matahari pagi mengintip melalui tirai jendela kamarku. Suara ayam jago sudah berkokok menandakan hari minggu telah dimulai.
Dengan susah payah aku bangun dari lantai kamar. Kepalaku masih terasa sangat berat. Walau pun semua rasa aneh yang ku alami semalam sudah tidak kurasakan lagi.
Kamarku sudah berbau tidak sedap akibat muntahanku semalam. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Ku lihat tangan ku, kuangkat hingga sejajar dengan kepala. Ada yang aneh dengan tanganku. Seperti bukan tanganku saja. Berurat, berbulu dan terlihat kekar. Mataku langsung tertuju dengan cincin yang masih tersemat di jari tengah kiriku. Kuberanikan diriku berjalan menuju cermin yang berada di pojok kamarku. Penglihatanku masih kabur karena aku belum memakai kacamata. Lalu suara ketukan pintu dibarengi dengan bunyi gagang pintu yang dibuka.
Kaget, kulepas langsung cincin itu dan kusembunyikan di kantong celanaku.
"Bang, Shelly dikamar bang Angga, gak?" tanya Diah. “Dari pagi tadi gak keliatan batang hidungnya.”
“Gak ada disini, Yah. Abang baru aja bangun. Udah cari di halaman belakang?” jawabku.
“Udah tadi. Baru aku liat sekilas sih. Yaudah aku coba cari lagi.” kata Diah. Kemudian dia mengernyitkan dahinya. “Bang, you look like a mess. Abang abis ngapain sih? Mabuk-mabukan yaaaa…? Aku bilangin Ibu lho. Hehehe.”
“Hus! Ngawur aja kalo ngomong. Abang kecapekan.” kilahku sambil menggerakkan kakiku menutupi muntahan dengan baju kotor. “Yaudah bentar lagi Abang mandi, kita cari Shelly bareng.”
Sebenarnya apa yang terjadi padaku semalam? Ada yang aneh aku rasakan dari tubuhku begitu aku memakai cincin itu. Badanku terasa bergetar, panas dan bisa kurasakan ada yang berubah. Terutama begitu kulihat tanganku pagi ini. Sudah lah, masih untung aku tidak mati.
Baru saja aku mau nyalakan shower di kamar mandi, Diah teriak dari halaman belakang. “Bang, Shelly udah ketemu nih. Dia tadi baru keluar dari gudang.”
“Oh yaudah, untung lah. Diah, tolong dong kamu kasih obat buat Shelly. Abang taro di deket kandang dia.” sahut ku dari kamar mandi. Aku langsung bertanya-tanya lagi. “Kenapa akhir-akhir ini Shelly sering main ke gudang? Padahal dari dulu dia paling tidak suka ke halaman belakang.” tanyaku dalam hati. Yasudah lah, mungkin emang dia udah berani main ke belakang.
Kulihat penisku masih tegang. Efek morning wood dan nafsu yang tertahan semalam sepertinya. Well, you know exactly what i’m gonna do next. Langsung kuraih sabun cair di bawah shower. Kuratakan di tanganku, dan mulai dengan gentle menggenggam penisku. Aku bayangkan sosok Erik dengan situasi semalam di bioskop. Aku teringat akan aroma tubuhnya, lebat bulu ketiaknya dan betapa kekar tangannya. Ya, hanya itu yang bisa aku bayangkan saat ini. Karena bagian tubuh lainnya masih menjadi misteri bagiku. Ku percepat kecepatan mengocokku, terus dan terus hingga keluar lah pejuhku. Cukup banyak. Maklum sudah hampir seminggu gak onani.
Begitu selesai mandi, aku langsung masuk kamar dan merapikan kamarku yang sudah seperti kapal pecah. Bisa gawat kalo Ibu ngeliat kamarku seperti ini. Saat aku merapikan baju yang kupakai semalam, cincin itu jatuh dari kantong celana. Aku menjadi agak takut dengan cincin ini. Kubuka laci meja belajarku dan kutaruh cincin itu diantara buku-buku komik koleksi ku.
Aku mengecek handphoneku, ada dua miscall masing-masing dari Ari dan Vera. Ah masih kesal aku dengan Ari soal semalam, tapi kalo dipikir-pikir sih, ada untungnya juga. Aku jadi bisa berduaan sama Erik. Kubuka whatsapp dari Vera.
“Ga, kata Ari lo semalem nonton berdua sama Erik?” 06.34 am.
“Cieeeee…” 06.34 am.
Aku balas chat Vera.
“Sialan tuh emang si Ari, main ninggalin gue sama Erik gitu aja.” 08.54 am.
“Tapi menang banyak sih gue semalem pas nonton sama Erik. Hahahahaha.” 08.54 am.
“Gue ceritain nanti pas ketemu di sekolah.” 08.55 am.
Kemudian Ibu memanggilku, “Angga, sarapan dulu. Nanti lontong sayurnya keburu dingin.”
“Iya, Bu. Angga bentar lagi keluar.”
Begitu keluar kamar kulihat Ibu lagi mengiris buah mangga muda kesukaan aku dan Diah.
“Asik nih, Bu, mangga mudaaaa… Nyam! Mau dibuat apa, Bu?”
“Ibu mau buat sambel mangga. Tuh Ibu lagi goreng bebeknya. Hari ini kamu gak keluar kan?”
“Aahhh… Pasti enak. Hmmm... Nggak ada rencana mau keluar sih, Bu, hari ini.” jawabku. Lalu tiba-tiba aku kepikiran tentang kejadian kemarin sore di gudang. “Bu, lukisan kakek buyut ternyata masih disimpen di sini ya? Aku kira jadi dikirim ke keluarga nenek di Jogja.”
Mendadak Ibu berhenti mengiris mangga. Mata ibu langsung menatap kosong ke depan. Lalu berkata, “Angga, Ibu minta kamu dan Diah jangan main deket gudang! Ibu kan udah bilang dari kamu kecil untuk jauh-jauh dari gudang!” suara Ibu dengan nada tinggi.
“Tapi, Bu, kemarin si Shelly yang…”, belum sempat aku menyelesaikan kalimat ku, Ibu berdiri dan menaruh irisan mangga di meja dan bilang…
“Gak pake tapi-tapi! Pokoknya denger apa kata ibu.” kulihat Ibu mencari sesuatu dari laci-laci kabinet dapur. Akhirnya dia menemukan gembok yang dicarinya. Dia langsung berjalan menuju halaman belakang. Kuikuti dia dari belakang. Ternyata dia pergi untuk menggembok pintu gudang.
Diah yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang, terlihat heran melihat tingkah Ibu. “Bang, ada apa? Tadi kayaknya Diah denger Ibu marah-marah sama Abang di dapur.” tanya DIah.
“Gak apa-apa yah. Cuma kata Ibu, kita jangan main ke Gudang.”
Ibu berjalan menuju aku dan Diah dan berkata, “Jangan main ke gudang!” dan kemudian Ibu masuk ke dapur.
Aku memandang Diah dengan wajah heran, begitu pula dengan Diah.
“Angga, Diah, ayo masuk. Kita sarapan.” sahut Ibu dari dalam.
“Iya, Bu.” jawab kami serempak.
Kami pun masuk dan duduk di meja makan. Kulihat Ibu sudah terlihat tenang. Memotongi lontong untuk Diah dan aku. “Angga, kurang gak, lontongnya? Mau Ibu tambah?” jawab Ibu dengan senyuman.
“Udah cukup, kok, Bu. Nanti kalo kurang, gampang aku bisa sendiri.” jawab ku.
Selesai sarapan, aku pergi ke kamar. Kurebahkan diriku ke kasur. Kemudian aku berpikir. Sebetulnya tidak pernah aku melihat Ibu marah-marah seperti tadi kepadaku dan Diah. Jangankan marah, ngomong pakai nada tinggi saja sangat jarang sekali. Bisa kuhitung dengan kedua tanganku. Ibu tersulut saat aku bicara soal lukisan kakek buyut. Ah sudah lah, lupakan aja. Mendingan aku nikmatin my lazy sunday ini dengan internetan dan main game. Seperti biasanya.
Tidak ada yang menarik sepertinya di facebook dan twitter. Isinya hanya poto-poto temanku dengan acara yang mereka alamin semalam, status-status galau dan spam online shop dengan menawarkan harga handphone yang gak masuk akal. Lalu aku teringat aku punya account manjam. Sepertinya sudah lumayan lama gak dibuka. Aku coba mengecek situs itu. Hmmphh… hanya 2 pesan masuk. Itu pun yang kirim faceless profile. Sepi dan tidak ada yang menarik sama sekali. Sama nasibnya dengan aplikasi Grindr di handphone ku. Setiap ku buka, tak pernah ada pesan yang masuk. Sekalinya ada, itu pun aku yang chat duluan. Sebenarnya pengen sih bikin fake profile supaya menarik perhatian cowok lain. Tapi buat apa kalau ujung-ujungnya gak bakal ketemu juga. Mana ada orang mau ketemu cowok yang beda dari poto profilenya. Well just like someone said ‘Men don’t fuck your good personality’ is actually true.
Sudah lah, mending aku streaming film aja. Kutelusuri situs streaming film online, sepertinya juga tidak ada yang menarik. Lagian kenapa daritadi internet aku agak lambat? Padahal jam-jam segini kencang. Makin malas aku untuk internetan.
Oh iya, aku masih ada komik yang belum selesai aku baca. Aku buka laci meja belajarku. Begitu aku mengambil komik itu, aku melihat cincin aneh yang memang aku simpan diantara tumpukan komik-komik. Aku masih agak takut hanya untuk memegangnya. Tapi entah kenapa tetap saja aku ambil cincin itu dari laci. Aku masih penasaran apa benar yang terjadi semalam itu, semua gara-gara cincin ini. Oke, aku memberanikan diri untuk memakainya sekali lagi, hanya untuk memastikan.
Kupakai kembali cincin itu di jari tengah kiriku. Perasaan yang aneh itu muncul lagi. Tapi tidak separah semalam. Aku tidak merasakan mual, hanya terasa panas dari dalam tubuhku dan terasa aliran darahku mengalir kencang. Aku merasakan celana dan bajuku menyempit. Aku merasa sesak. Langsung kubuka baju dan celanaku. Ya ampun, aku merasa aneh dengan badanku sendiri. Aku berjalan sempoyongan menuju cermin. Dan aku benar-benar tidak percaya apa yang aku lihat di cermin…
Kakiku yang seperti batang lidi, membesar, kokoh dan berotot. Perutku menjadi kencang dan memiliki eight-packs yang terlihat seperti batang coklat. Pundakku menjadi lebar. Bahuku menggunung. Dadaku mencuat dan membusung. Otot bicep dan tricep di lenganku pun ikut membesar dan berurat. Dan yang paling mengejutkan adalah, wajahku pun terlihat berbeda. Rahang menjadi terlihat kokoh, bibir merah merekah, hidung mancung, dan alisku menebal. Terlihat sangat tampan. Aku seperti berubah menjadi orang lain!
Sudah hampir setengah jam aku berdiri di depan cermin, karena aku masih tidak percaya apa yang aku lihat dan aku raba. This body even better from what i dream for so long. Dan wajahku, wajahku terlihat sangat maskulin dan tampan. Mungkin wajahku saat ini bisa diibaratkan seperti model Marlon Teixeira, versi asia. Bisa dibilang aku malah hampir jatuh cinta dengan badanku sendiri. Oh Tuhan, apakah ini mukzizat?
Tapi tunggu dulu. Bagaimana kalau Ibu dan Diah melihatku seperti ini? Bisa-bisa mereka histeris ketakutan ada orang asing masuk kamar Angga. Aku mencoba untuk melepaskan cincin ini dan zap! Badanku berubah lagi menjadi normal. Menjadi tubuh Angga yang cungkring dan pucat. Lalu aku coba memakai dan melepaskan lagi cincin ini berkali-kali. Efek yang aku rasakan pun tidak separah waktu aku memakai cincin ini pertama kali.
“Oh jadi selama aku memakai cincin ini, badanku berubah.” kataku dalam hati. Berarti aku bisa memakainya kapan saja. Berarti ini artinya aku bisa memanfaatkan tubuh ini untuk menggaet cowok-cowok. Aku harus membuat identitas lain.
Oke, aku mulai dengan memilih nama, ku berfikir nama apa yang bagus untuk badan ini ya. Hmmm… Hendra? Muka ini terlihat terlalu belasteran untuk nama khas indonesia. Vincent? Terlalu perlente. David? Ya, David sepertinya cocok. Langsung kuraih handphoneku dari kasur. Aku memfoto diriku sebagai David. Selfie, bodyshot, teasing pose dan semacamnya. Aku sangat excited sekali dengan tubuh baruku ini.
Kemudian aku membuat profile Grindr baru. Aku upload poto badanku, dari pinggang sampai dagu. Memperlihatkan tubuh adonisku ini. Lalu kunamai profile ini, Big D. Aku pun membuat profile instagram agar lebih meyakinkan dan juga karena aku sangat ingin berteman dengan pria-pria seksi dari negara lain seperti thailand, singapore, philippine dan lainnya. Aku tahu, media instagram sangat mudah sekali untuk memperlihatkan betapa sempurnanya badanku ini kepada orang-orang.
Baru saja lewat setengah jam, sudah ada 13 pesan masuk di Grindrku. Dari yang sekedar ‘say hi’ sampai to the point mengajak aku ML. Tapi dari semua pesan yang masuk, sejauh ini masih belum ada yang menarik perhatianku. Aku lihat profile terdekat, sepertinya tidak ada yang oke. Lalu aku tertuju oleh satu profile dengan username ‘R2D2’. Diprofile itu terpampang seorang yang sedang menunjukkan punggungnya yang berotot dan bertato naga cukup besar. Langsung saja aku sapa dia.
“Hello there.”
Kemudian dia menjawab, “Hello too. Dmn?”
“Di bukit duri. Km?”
“Di tebet. Lumayan deket. Lagi cari apa?”
Tanpa pikir panjang aku langsung balas, “Fun. U?”
“Anything. If u want fun, sure. Why not.”
“Ada facepic?” pintaku.
Tidak lama dia pun mengirim poto wajahnya, “Here. Urs?”
Wajahnya cukup manis dengan rambut botak tumbuh. Serta kumis dan jenggot yang tumbuh pendek. Dadanya bidang dan sedikit berbulu. Entah kenapa aku sangat turn-on kalau melihat cowok dengan dada bagus. Lalu langsung aku kirim poto wajahku.
“Ok thanks, here’s mine.” kataku.
“Whoaahhh… you look so effing cute!”
“Hahaha makasih. Kamu juga.”
“Mau ketemu kapan?” ajak dia.
“Hmmm… Besok aja gimana? Di Dunkin Donut Lapros.” usul ku. Aku masih agak canggung kalau harus bertemu ke tempat yang lebih sepi.
“Oke sip. Jam brp? Kalau jam 4 aja gimana?”
“Boleh. Nomor km?”
“08xxxxxxxxxx. Km?”
“Nanti aku whatsapp dan telepon aja ya.”
“Ok ok. See you!”
Aku masih tidak percaya segampang itu membuat janji sama orang asing dr Grindr. Nama saja aku sampai lupa tanya. Padahal dulu boro-boro ketemu, ada yang bales chat aja udah sukur. Sebenernya sih bisa aja aku ketemu ‘R2D2’ sore ini, tapi sebagai David yang besar ini, baju Angga tidak akan ada yang muat. Sepertinya aku harus belanja baju baru besok sepulang sekolah, sebelum bertemu dengan ‘R2D2’
Suara ketukan pintu terdengar, ”Angga, bantuin Ibu siapin makan siang.” Suara Ibu menarikku kembali ke kenyataan kalau aku masih memiliki tanggung jawabku sebagai Angga.
Aku lepas cincin ini, menjadi Angga kembali dan bergegas membantu Ibu dan Diah menyiapkan makan siang.
____________________________