It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
_______________________
“Gaaaa… Bangun! Udah jam berapa ini? Kamu gak sekolah?” suara ibu ku dari dapur, berteriak membangunkan aku yang memang susah bangun tidur.
“...errr… Iya, Bu. Ini juga udah setengah bangun” jawabku sembari mengumpulkan nyawa. Aku lihat jam dindingku menunjukkan pukul 5.30 pagi.
“Duh, Ibu masih kepagian juga kali. Sekolah kan masuk jam 7. Lagian sekolah cuma sekelemparan batu juga.” jawabku dengan suara serak karena masih ngantuk berat.
“Heh, Bang! Kan Abang mau anter aku sekolah dulu. Pokoknya aku gamau kalo sampe telat di hari pertama aku masuk SMP.” kata Diah, Adikku yang baru masuk SMP hari ini.
“Iyaaaa...Okeehhh… Bang Angga mandi dulu.” jawabku sambil jalan menuju kamar mandi.
Okay let me introduce myself, nama ku Angga Hutomo. Umur 18 tahun, duduk di kelas 3 SMA. Tinggi 181, berat 60. Well, physically, i am not a good looking boy in a bunch. Aku sering diledek karena kacamata ku yang tebal seperti pantat botol, kulitku yang putih pucat, proporsi badanku yang sangat kurus dan kelewat tinggi. Pokoknya kalau di-list, kekurangan ku pasti lebih banyak. Tapi untuk urusan akademis dan lainnya, yah bisa dibilang aku diatas standard. Masuk sekolah negeri terdepan dibilangan Bukit Duri dengan modal beasiswa.
“Bang, nanti pulang jemput aku nggak? Kalu nggak, jadi aku langsung pulang aja.” tanya Adikku sambil turun dari motor ku.
“Abang nanti pulang agak sore. Nanti mau ke gramedia dulu. Mau beli kamus Oxford yang kamu hilangin tempo hari.” jawabku agak ketus.
“Hihi, maaf yak… Kan itu si Alvin juga yang hilangin. Bukan aku.” jawab adikku sambil meledek.
Diah adalah adik ku satu-satunya. Memang kita tidak sebapak. Ibuku bercerai dengan Ayahku selagi aku masih TK. Aku pun lupa bagaimana mereka bisa bercerai. Setahu aku Ibu sudah tak tahan lagi dengan perilaku Ayah yang gemar berjudi. Lalu beberapa tahun kemudian, bertemulah Ibu dengan Ayah tiriku dan tidak lama mereka pun menikah. Menghasilkan Diah, Adikku yang sangat aku sayang. Namun, malang tak dapat dihindari, Ayah Tiriku meninggal selagi Adikku masih balita karena penyakit kanker yang sudah diidapnya bertahun-tahun. Dengan keluarga kecil ku, aku tak kan bisa menyia-nyiakan waktu untuk membahagiakan mereka.
“Trreeetttt...treeetttt…trettttt…” Bunyi bel sekolah ku berbunyi 3 kali menandakan kalau murid-murid untuk berkumpul dan berbaris rapi dilapangan untuk upacara bendera sekaligus penerimaan siswa baru. Aku pun langsung membenarkan pakaianku dan menaruh tas di kantin karena sudah tidak sempat lagi untuk menaruhnya di kelas. Aku berlari menuju lapangan sembari memakai dasi dikerah seragamku.
“Ga, sini woy. Mau kemana lu?” teriak suara cowok dikerumunan murid-murid yang sedang sibuk berbaris.
“Eh, Ri. Aduh, ampir aja gw kelewatan. Loh, Kelas kita disini emang? Ini bukannya kelas anak IPS?” kataku heran melihat teman-teman ku dari kelas IPS.
“Yailah, gapapa juga kali. Baru masuk hari pertama juga. Guru-guru juga pada gak engeh yang mana anak IPS, yang mana anak IPA sekarang. Daripada lu nanti kebingungan cari barisan kelas tapi upacara udah dimulai, ya kan?” jawab Ari dengan suara setengah berbisik.
Ari sudah menjadi sahabatku semenjak satu kelas di kelas 2 IPA. Walaupun dia sangat bandel, tapi dia sangat jago di bidang olahraga apa pun. Nilai akademisnya pun selalu bagus. Aku pun selalu heran bagaimana cara dia belajar. Secara fisik, wajah Ari sangat khas karena dia campuran Ambon dan Arab. Mungkin hanya dia satu-satunya orang Ambon berkulit putih yang aku kenal. Badannya pun sangat atletis karena gemar sekali berolahraga.
“...Udah sih, disini aja dulu. Udah mulai itu pembukaannya.” suara yang sangat aku kenal terdengar tepat di belakang aku berbaris. Suara Erik, my ultimate crush sedari aku masuk sekolah ini. Aku selalu takjub dengan badannya yang tinggi, putih dan menawan. Maklum, dia memang salah satu model yang cukup terkenal di Jakarta, mungkin di Indonesia juga. Tidak sedikit perempuan yang selalu tersipu malu dan terkadang kecentilan kalau mengobrol dengan Erik karena wajahnya yang modelesque itu.
“Rik, cepet pake topi. Itu Bu Lizbeth dibelakang lu, udah deket. Dijewer mati rasa lu!” Bisik Ari kepada Erik. Mereka cukup akrab karena satu tim basket di sekolah kami. Mereka pun punya julukan Dynamite Duo, karena apabila mereka sudah bertanding, tim lawan pasti akan kelawahan dibuatnya. Maka dari itu, tim basket sekolah kami cukup terkenal karena selalu meraih juara nasional 2 tahun terakhir ini.
“Iya iya, lagian tumben banget jam 7 kurang sepuluh udah bel.” keluh Erik sambil membenarkan topi dikepalanya. Kemudian, dia menangkap mata ku yang daritadi memperhatikan dia terus. Maklum sudah hampir sebulan tidak ketemu. “Eh, Ga. Kerah lu kelipet tuh. Makanya pake dasi jangan sambil lari-larian.” tangan Erik langsung didaratkan di kerah belakang seragam ku. Sontak aku langsung menapis tangannya. Bukan karena aku gak mau, tapi area leher ku sangat sangat sensitif kalau ada orang lain yang menyentuh. Akan sangat malu kalau mereka lihat reaksi ku kalau itu terjadi.
“..Eh~ hehe makasih, Rik. Gw bisa benerin sendiri kok.” jawabku sedikit malu-malu.
“Hahaha, maklum Rik. Si Angga kan lehernya udah kayak pal-kon. Gabisa disentuh dikit, nanti dia bisa gelinjang. Hahaha.” timpal Ari dengan suara ketawanya yang khas. Tidak lama, Bu Lizbeth, guru fisika yang terkenal sangat killer di sekolah ku menghampiri Ari.
“Bisa diam gak kamu?!” bentak Bu Lizbeth sambil menjewer kuping Ari sampai terpelintir.
“Duh..duh...duh… Iya Bu. Maap, Bu. Maaaaap.” rintih Ari kesakitan. Bu Lizbeth pun pergi mengawasi murid lain.
Ku berbisik, “Sukurin lu! Biar tau rasa!” sambil menahan tawa aku pun melirik Erik yang tertawa kecil dengan senyumannya yang sangat manis.
______________________
^^
______________________
Hari pertama ku di kelas 3 sudah kulewati dengan cukup lancar. Walaupun kejadian di upacara tadi pagi membuatku kepikiran. Enak saja leher ku disamakan dengan pal-kon oleh Ari. Tapi kalau difikir-fikir, memang aku gak akan bisa membayangkan reaksiku kalau sampai Erik menyentuh leherku. Orang biasa aja bisa bikin bulu ku bergidik kalau ada yang menaruh tangan di leherku, apalagi kalau yang menyentuh itu si Erik, my ultimate crush, bisa seperti cacing kepanasan mungkin.
“Bang ada kiriman tuh. Aku taro di deket kandang Shelly ya.” sahut Adik ku dari kamar sebelah.
“Oke oke.” jawab ku sambil berjalan menuju kandang Shelly, kucing persia kesayangan keluarga ku yang sudah berumur 1 tahun. Akhir-akhir ini aku lagi gemar belanja online. Karena dengan mudahnya mencari apa saja di internet sekarang ini. Hanya tinggal klik, kontak, deal dan kirim.
“Belanja mulu ya. Mending uangnya kamu tabung Ga, buat kamu kuliah nanti.” sahut Ibu dari dapur.
“Loh, Ibu udah pulang kerja? Tumben sore.” sedikit kaget melihat Ibu ku yang biasanya selalu pulang malam.
“Iya kerjaan Ibu sudah selesai dari siang. Jadi ya Ibu pulang aja.” jawab ibu sambil menyeduh teh manis untuk ku. “Nih, kamu minum dulu. Kasian anak Ibu seharian panas-panasan upacara.” sambung Ibu sambil menaruh nampan di meja makan.
“Ah, Ibu. Bang Angga doang yang dibuatin teh. Akunya enggak.” timpal Diah.
“Loh, kamu kan gak suka teh, Yah.” jawab Ibu. Tidak lama Ibu mengeluarkan segelas jus mangga dari kulkas. “Nih, buat anak Ibu yang ambekkan tapi paling cantik sekelurahan.” sambung Ibu sembari mengusap rambut Diah yang panjang dan lurus.
Diah secara fisik sangat anggun. Kulit sawo matang, diturunkan dari Ayah Tiriku. Rambut lurus panjang dan tebal seperti Ibu. Badannya pun termasuk tinggi, 172, untuk ukuran anak yang baru masuk SMP. Tapi cuma kelakuannya saja yang agak menyebalkan.
“Bang, tadi aku sms Abang. Baca gak? Aku kan nitip majalah.” kata Adik ku.
“Iyaaa… tuh di rak buku ruang tengah.” jawab ku sambil membuka paket yang baru saja aku terima.
“Aaakkkk…!!! Aduh ini orang bapak ibunya makan apa sih sampe punya anak ganteng begini.” teriak Adik ku sambil memeluk majalah yang baru dibukanya.
“Dih, kenapa sih dia, Bu? Udah kayak orang kesetanan aja.” kata ku dengan ekspresi heran.
“Gak tau juga tuh Adik mu. Dari kemarin di kamar aja internetan sambil teriak sama temen-temennya di kamar. Kayaknya lagi nge-fans sama orang.” jawab Ibu sambil membenahkan meja makan. “Maklum lah, Ga. Cewek kalo lagi puber ya gitu.” sambung Ibu ku.
“Kenapa sih lu? Udah kayak kemasukan Bethseba aja.” tanya ku penasaran.
“Ini loh, Bang. Kemarin pas aku lagi di Kokas ada fashion show gitu. Aku kepingin banget kan ya jadi model, ya aku tonton aja tuh fashion show. Terus ngeliat ada model satu, cakeeeeeepnya gak ketulungan.” jawab Adik ku antusias. “Terus gak lama, aku googling aja. Kebetulan tahu nama agensinya, eh ketemu.” sambung Diah.
“Gila ya, anak sekarang jiwa detektifnya ada banget. Awas aja malah jadi stalker.” kata ku sambil menggelengkan kepala.
“Hahahahaha. Kebanyakan baca detektif Conan kali ya, Bang.” kata Diah sumringah.
“Terus dia ada di majalah itu? Mana coba Abang liat.” penasaran juga sih aku seberapa gantengnya itu model.
“Ini lho, Bang. Namanya Samuel Philly. Belasteran gitu. Cakep yah, Bang.” kata Diah sambil membuka halaman dimana model yang diidamkan itu dimuat.
“Ah, model muka bule gitu mah udah biasa kali, Dek. Nothing special.” jawabku ketus.
“Iiiiih… ngiri ya Abang pengen masuk majalah kayak begini. Hehehe. Hayooo ngaku...” Diah meledek.
“Ogah, shallow banget kalo cuma pengen masuk majalah. Kalo masuk majalah karena prestasi mah baru bisa bangga.” jawabku jengkel.
“Ini kan juga prestasi. Prestasi karena punya muka cakep dan badan bagus. Hehehe.” bela Adikku. Lalu dibukalah halaman demi halaman majalah itu di depanku. “Eh ini cakep juga yah, tapi agak korea-koreaan gitu ah. Bukan selera.” sambung DIah.
“Hahahaha kamu mah sebul. Selera bule yang eksotis-eksotis gitu.” kataku tertawa sambil menengok majalah yang dibaca Diah. Dan seketika aku agak kaget melihat wajah yang terpampang di halaman itu. Erik Tan. Ya, Erik my ultimate crush was featured di majalah itu di artikel ‘Boy says’. Di artikel itu beberapa cowok ditanya pendapatnya perihal masalah hubungan cinta antar remaja. Aku tidak sempat membaca opini yang dijawab oleh Erik dimajalah. Aku terpaku membaca profil Erik yang tertulis di halaman itu. Mulai dari tanggal lahir, sekolah, hobby, sampai, yang membuat aku terdiam... status. Disitu tertulis status Erik sudah Taken. Kalau boleh jujur, aku cukup sedih. Walaupun aku tidak punya hak untuk cemburu atau sedih.
“Bang…?” Adik ku bertanya dengan muka heran. “Kok diem, tiba-tiba? Knp, Bang?” sambung Diah sambil merebut majalah dari tanganku. “Eh ini satu sekolah sama Bang Angga. Abang kenal?” tanya DIah.
“Eh, hah, kenapa?” aku tidak konsen mendengar pertanyaan Diah.
“Ini yang namanya Erik, satu sekolah sama Bang Angga. Kali aja Abang kenal. Kalo kenal, kenalin ke aku dooooooong. hehehe.” jawab Diah kecentilan.
“Huh, dasar kecil-kecil udah gatel. Udah sana mandi. Udah bau kecut juga.” jawabku mengalihkan topik.
“Iiihhh… Abang nyebelin.” kata Diah sambil masuk kamar dan membanting pintu.
Aku pun masuk kamar dan menjatuhkan badanku ke kasur. Mataku memandang langit-langit kamar. Pikiran ku menerawang jauh memikirkan orang beruntung yang bisa menjadi pacar Erik. Kataku dalam hati, “Orang itu pasti cantik dan baik sekali, bisa sampai memacari Erik yang sejauh aku kenal, tidak pernah terlihat dia mendekati seorang perempuan sekali pun. Memang banyak sih yang mengejar-ngejar dia. Hufff… Bisa bad mood deh kalau aku pikirin terus-terusan. Karena percuma pikirin seseorang yang unreachable seperti Erik.”
“Angga… Diah… Ayo bantu Ibu siapin makan malam.” suara Ibu membuyarkan kebengonganku.
_____________________
Kalo perlu kripik yg mmbngun, panggil aja @totalfreak sama @rendifebryan
lanjuuuuuttt ヽ(^。^)ノ
_____________________
Jakarta akhir-akhir ini sering sekali hujan. Terkadang apabila turun hujan pagi hari, membuatku semakin lengket dengan tempat tidur. Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidur ku untuk siap-siap pergi ke sekolah. Dinginnya air membuat rasa kantuk ku buyar. Segar memang.
“Angga… Ibu jalan sekarang ya. Hujan. Takut macet dan bakal bejubel di bis. Kamu mending gak usah naik motor. Naik angkot aja, pakai payung.” sahut Ibu dengan suara terburu-buru.
“Iya… Bu, Diah sudah jalan apa belum?” teriak ku dari kamar mandi.
“Sudah dari jam 6 tadi. Dia piket hari ini soalnya.” suara Ibu makin menjauh.
“Oh ya sudah, Ibu hati-hati di jalan ya.” teriak ku lagi. “Bu..?” Ibu sudah pergi saat aku keluar kamar mandi. Ku lihat pisang goreng dan teh hangat sudah tersaji di meja makan. Ibu memang selalu perhatian walau dia sedang dikejar waktu.
Begitu rapi. Berjalan lah aku ke jalan besar untuk menunggu angkot. Beberapa angkot selalu penuh penumpang sehingga aku tidak bisa masuk. Sudah hampir 20 menit aku menunggu angkot yang cukup kosong tak kunjung lewat. Lalu kuputuskan untuk berjalan saja menuju sekolah. Paling hanya 10 menit. Lalu aku berjalan melewati jalan kecil.
Ku perhatikan jalanan yang mulai tergenang air. Pepohonan pun merunduk terkena siraman hujan. Dibawah payung aku berjalan dan masih kepikiran tentang Erik. Tentang statusnya. “Ah, Angga, sudah lupakan saja. He’s really out of you’re league.” aku berkata dalam hati.
Aku berlari kecil agar tidak telat masuk. Tidak jauh dari sekolah, aku melihat Erik turun dari mobil SUV hitam. Kemudian dia memasukkan kepalanya sedikit ke jendela. Ya, seperti akan mencium seseorang yang berada di dalam mobil. Tapi setahu aku, mobil orang tuanya bukan itu. Dan kenapa dia turun tidak tepat di depan sekolah? Sudah lah, aku tak mau berpikir lebih jauh.
Ku lihat dia berlari menuju gerbang sekolah, yang ternyata memang bel masuk sudah bunyi sedari tadi. “Oh shit, aku telat lagi.”
Untung sepertinya masih berpihak pada ku. Kelas pertama belum dimulai begitu aku berlari menuju kelas.
“Ga, hari ini gosipnya bakal ada tes kemampuan Kimia. Mati deh gue, gak ada persiapan apa-apa.” kata Vera panik di depan ku.
“Ah, Ver. Lo kayak gak tau Pak Imron aja. Kan tahun lalu juga begitu. Ya paling yang diuji cuma tentang pelajaran kelas 1 dan 2.” si Puri tiba-tiba datang ke mejaku.
“Iya sih, tapi tetep aja. Aku kira cuma waktu itu aja. Gak bakal ada lagi di kelas 3 ini.” kata Vera dengan wajah cemberut.
“Yaudah, kan masih jam pelajaran terakhir juga. Masih bisa lah belajar dan inget sedikit-sedikit tentang materi kelas 1 dan 2. Nanti istirahat kita ke perpustakaan aja.” jawab ku.
Vera, Puri dan aku sudah menjadi sahabat dari SD. Kita satu sekolah semenjak itu dan beberapa kali sekelas. Vera memiliki perawakan rambut ikal, baby face dan hmmm… memiliki ‘aset’ yang digemari cowok-cowok di sekolah ku. Sedangkan Puri memiliki tubuh tinggi, wajah oriental dan pipi chubbynya yang tidak berubah sejak dia kecil. Mereka berdua lah orang yang hanya mengetahui jati diri ku sebenarnya. Aku came out dengan mereka semenjak kita duduk di bangku SMP. Sangat emosional memang saat itu. Aku sampai menangis karena sudah tidak bisa lagi berbohong pada mereka tentang diri ku. Tetapi berkat itu lah, persahabatan kita menjadi erat dan saling care satu sama lain. Ya bisa dibilang, they’re my fag hags.
Bel istirahat pertama berbunyi. Kulihat Puri dan Vera kompak berjalan menuju mejaku.
“Ga, yuk ke perpus sekarang.” ajak Puri kepada ku.
“Loh, gak mau makan dulu? Kalian gak laper? Nanti kurang tenaga lho ngerjain soal dari Pak Imron.” jawab ku sambil memasukkan buku ke tas ku.
“Makan mah nanti aja di istirahat kedua. Minggu ini kan banyak murid yang bakal pinjam buku di perpus. Pasti bakalan rame banget.” kata Vera dengan gaya cueknya. “Eh Ga, si Ari mana? Kok dari pagi gak keliatan tuh anak?” sambung Vera.
“Tau tuh, Ver. Gue whatsapp, sms juga gak dibales. Entahlah apa yang ada di pikiran tuh anak. Susah banget diatur.” Jawab ku.
Tidak lama kemudian kita pun keluar kelas, berjalan menuju perpustakaan. Hujan masih rintik turun membasahi pepohonan di taman sekolah. Lalu aku merasa ada tangan yang menyentuh belakang leher ku. Badan ku langsung bergidik dan bulu ku merinding semua. Aku langsung menoleh ke belakang.
“Ari!!! Anjrit lo ah!! Udah berjuta kali gue bilang. GUE GAK SUKA LEHER GW DISENTUH!” kata ku geram.
“Hahahaha… Abisan lucu, Ga. Kulit lo jadi kayak ayam abis dikulitin.” kata Ari sambil tertawa.
“Sialan lo, Ri. Untung aja gue gak refleks nonjok lo.” omel ku kepada Ari. “Eh kunyuk, kenapa lu baru keliatan? Gue kira lu bolos lagi hari ini.” sambung aku.
“Hahaha… Nih tonjok aja kalo mau.” jawab Ari sambil menempelkan jari telunjuk di pipinya. “Jadi, tadi gue telat. Terus loncat pager belakang sekolah. Ampir aja tadi ketauan Si Babeh (satpam sekolah).”
“Elo tuh ya, Ri, kapan sih lu tobatnya? Heran gue.” kata Vera.
“Iya tuh. Padahal ya, Ver. Gue sempet naksir lho sama dia pas kelas 1.” timpal Puri.
“Hah? Seriusan lo, Pur? Lo naksir sama gw dulu? Hahaha. Terus masih, gak? Sampe sekarang? Hehehe.” kata Ari dengan mupeng.
“Nay Nay Nay! Not in your wildest dream deh yaaaa…. Gue kan udah punya pujaan hati. Erik Alvian Tan.” kata Puri dengan suara centilnya.
“Hadehhh... Dia lagi, dia lagi. Kenapa sih cewek-cewek di sekolah ini pada gak bisa lihat kharisma gue yang memancar terang benderang ini?”, kata Ari.
“Iya kharisma lo tuh terlalu silau, Ri. Jadi orang-orang mana bisa liat. Hahahaha”, suara Vera menggema di koridor.
“Lo pada mau kemana sih emang? Gak ke kantin?” kata Ari.
“Nggak, Ri. Nanti kan ada tes kemampuan Kimia. Jadi kita mau ke perpus”, kata ku.
“Hayyyahhh… Makin apes nih hari gue. Why God, Why???” kata Ari sambil menjambak-jambak rambutnya.
“Udeh jangan kebanyakan cing-cong. Ikut kita sini.” ajak Vera.
Sesampainya di perpustakaan, benar saja prediksi Vera. Perpustakaan terlihat sangat penuh. Semua murid sibuk mencari buku yang akan dipinjam. Tidak sedikit juga murid 3 IPA yang memang belajar dan mempersiapkan materi untuk tes kemampuan Kimia hari ini.
“Kan, rame banget. Ari sih, segala ganggu kita jalan ke sini” kata Puri kesal.
“Lah, kok jadi salah gueee??!!” kata Ari heran.
“Udah-udah, mending cari bukunya aja. Terus kita belajar di kelas. Biar nggak ribet. Gue sama Ari cari buku kelas 1. Puri sama Vera cari buku kelas 2. Biar hemat waktu.” usul aku.
“Yaudah, gue mencar kesana ya, Ga, sama Puri” kata Vera sambil berjalan menuju rak buku-buku pelajaran kelas 1.
“Oke… Gue sama Ari juga ke sa…” belum selesai aku ngomong, si Ari sudah menghilang di kerumunan antrian murid yang ingin meminjam buku. “Dasar, kunyuk. Udah kayak jin aja cepet banget ilang.” kata ku dalam hati.
Ku telusuri rak buku demi rak buku. Aku jadi sedikit bingung karena peletakan buku-buku yang berbeda dari tahun ajaran lalu. Mungkin mereka merubah susunan karena banyak buku baru yang masuk. Aku sibuk mencari label tulisan ‘Chemistry’ di antara barisan rak buku yang hampir terlihat sama. Dan tiba-tiba…
Bruk! Aku menyenggol Erik sampai terjatuh. Ku lihat buku-buku yang dibawa Erik berserakan di lantai. Hanya sempat aku melihat 1 buku tentang penyakit yang sisa judulnya tak terbaca karena tertumpuk oleh buku yang lain. Erik dengan panik mengambil buku-buku tersebut.
“Aduh, Rik. Sorry gw gak liat. Mata gue sibuk liat label di rak buku”, dengan cemas aku langsung membantu Erik mengambil buku-bukunya.
“Eh, gak apa-apa kok, Ga. Udah gue bisa sendiri kok. Thanks”, jawab Erik sambil merebut buku-buku dia yang aku pegang. “Gue duluan ya, Ga” kata dia terburu-buru meninggalkan aku yang masih berlutut di lantai. Ku lihat Erik langsung memasuki antrian murid yang akan meminjam buku.
“Woy, Ga. Ngapain lo melantai disitu? Udah ketemu blom bukunya? Ini gue baru ketemu contoh soal-soal” tiba-tiba Ari muncul.
“Iya ini baru ketemu. Ribet deh susunan rak yang baru. Bingung gw awalnya. Sampe tadi gw sempet nabrak Erik sampe jatuh”
“Erik? Mana dia sekarang?” tanya Ari.
“Udah keluar kayaknya. Kayak orang buru-buru tadi.” jawab ku. “Kenapa emang, Ri?”
“Hmmm… nothing, Ga. Udah yuk kita ke depan. 15 menit lagi masuk” jawab Ari.
Kami pun bergegas menuju kelas untuk belajar persiapan tes kemampuan Kimia.
_______________________
makasih yah ^^