It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kukira aku sudah lepas, bebas, dan tidak lagi terikat akan bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. Aku benar-benar salah. Seminggu setelah pulang dari Jogja, keadaanku bukannya makin baik nyatanya makin buruk. Mengurung diri di kamar dan merenung yang kupikir dapat membuat hatiku lebih baik, malah menjadi bumerang karena aku merasa begitu tertekan. Oleh apa?
Semalam aku bermimpi, bukan mimpi buruk menurutku, karena aku memimpikan Kelvin. Kami berdua sedang ada di pantai di Sentosa memandangi laut yang merupakan selat Singapura. Entah bagaimana mulanya kami bisa berada disana, tapi tiba-tiba saja keadaannya mirip seperti saat di pantai Indrayanti.
“Kenapa awak melarikan diri, Bel?” tanya Kelvin.
Tiba-tiba dia menatapku dengan sorot mata tajam. Pertanyaannya barusan terus terdengar berulang kali padahal Kelvin tidak membuka mulutnya.
“Aku tidak melarikan diri,” sanggahku, tapi Kelvin terus menatapku dan suara-suara itu malah terdengar semakin keras hingga terasa memekakkan telinga. “No, I don’t!!” pekikku pada Kelvin. Percuma, tidak ada yang berubah kecuali suara-suara itu jadi terdengar mengerikan. Aku menutup telingaku tapi suara-suara itu seperti dapat menembus tanganku yang melesak langsung ke gendang telinga. Aku bahkan sampai menutup mataku.
Tiba-tiba suara-suara itu berhenti. Aku melepas tanganku dari telinga dan perlahan kubuka mataku. “Kenapa kamu lari dari aku, Bel?” tanya Rakha yang mendadak ada di hadapanku dengan suaranya yang dalam. Setelah itu aku langsung tersentak bangun. Aku memandang langit-langit kamar sambil mencoba mengatur nafasku.
Kuraih ponselku dan menghidupkan layarnya. Tidak ada notifikasi. Sepi.
Setelah berpisah di Jogja dengan Rakha, kami belum berhubungan sama sekali. Bahkan aku belum memberitahunya kalau aku sudah mengajukan diri untuk pindah kuliah. Aku pun masih pikir-pikir untuk mengabarinya atau tidak. Aku hanya takut menjadi ragu atas keputusanku bila aku mengatakannya pada Rakha. Dia selalu punya alasan untuk apa pun.
Perkuliahan di kampus baru akan dimulai awal bulan depan membuatku punya waktu liburan yang cukup lama sebelum kembali belajar. Dan ini malah terdengar mengerikan. Jika pada liburan sebelumnya aku tersiksa karena kerinduan yang tidak tersampaikan pada Rakha, sekarang aku malah galau karena rasa sakit yang tidak kunjung pudar.
“Kamu kenapa, Bel? Mata kamu merah gitu, semalam begadang?” tanya papa saat sarapan pagi bersama.
“Iya, Pa,” jawabku berbohong sambil nyengir pada papa, sementara mama hanya geleng-geleng menatapku. Sebenarnya aku tidak bisa tidur. Aku berkali-kali mencoba menutup mata tapi tidak bisa untuk benar-benar tertidur.
“Kalau kamu sedang ada masalah, kamu bisa cerita sama mama, Bel,” ujar mama penuh perhatian. Sejak aku menyerahkan formulir pindah kuliah waktu itu, mama terlihat lebih peduli kepadaku. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja menganggap formulir itu sebagai nota perdamaian antara aku dan mama sehingga kekangan kepadaku bisa berkurang.
“Ibel gak pa-pa kok, Ma,” jawabku berdusta. Aku tidak ingin membahas ini dengan mama. Bisa-bisa aku masuk zona hukuman lagi bila mama tahu aku sempat berpacaran dengan seorang cowok. Dan aku juga tidak mau mama tahu kalau kemarin aku tidak ke Kuala Lumpur, karena nanti Rifka akan ikut kena getahnya kalau mama tahu.
Beberapa hari ini aku menghabiskan waktu hanya dengan bermain game atau sekedar bernyanyi diiringi dengan gitar kesayanganku. Tapi aku tidak lagi membayangkan ada Rakha di hadapanku. Awalnya sulit untuk menghilangkannya, tapi kini bayangannya semakin pudar. Lalu saat aku sudah bosan melakukan semuanya, tiba-tiba saja perasaan galau kembali menyerangku dan aku berakhir meringkuk di kasur sambil memeluk gulingku.
Apa yang terjadi padaku? Aku sudah memilih untuk meninggalkan Rakha, seharusnya aku sudah lega bukan? Ah sepertinya ini bukan tentang Rakha, atau tentang kejadian yang belum kuceritakan kepadanya. Ini tentang aku yang sedang mencoba pura-pura tidak tahu ada tumpukan masalah di hatiku dan menganggap semuanya baik-baik saja. Mungkinkah? Masalah apa lagi?
Rakha belum menghubungiku, dan kuharap tidak akan menghubungiku, itu bagus. Kelvin, sudah tidak kutunggu lagi teleponnya, aku harusnya lebih baik. Tapi nyatanya tidak. Apa ini? Rasa kesepian kah?
“Bel!” panggil Rifka, entah untuk yang ke berapa kalinya.
“Eh, apa?”
“Ngelamun mulu sih lu,” Rifka bersungut, aku membalasnya dengan cengiran paling bodoh yang kupunya. “Mikirin apa sih?”
“Hah?”
“Tuh kan. Capek deh gue. Berasa jalan ama batu gue,” gerutunya kesal.
“Lah kita kan lagi mau makan, kenapa ngomong mau jalan lagi?” tanyaku bingung.
Rifka menepuk jidatnya sendiri seperti yang sering kulakukan. Kami berdua sedang ada di salah satu restoran di Grand Indonesia untuk menghabiskan waktu sebelum jadwal film dimulai. Rifka yang mengajakku kesini, dan tidak bisa kutolak karena tiba-tiba dia ada di ruang tamu rumahku dan dengan entengnya berkata, “Yuk. Berangkat sekarang,” tanpa ada pemberitahuan apa-apa padaku. Cewek ajaib.
“Nyawa lu udah kumpul belum sih?” tanyanya.
“Hehe,” aku hanya garuk-garuk kepala.
“Bel, lu kalau ada masalah, bisa cerita sama gue. Sejak balik dari Jogja kayaknya lu berubah deh, jadi lebih pemurung,” ujar Rifka dengan penuh kepedulian.
“Masa sih?” tanyaku tidak percaya.
“Keliatan jelas, Bel. Lu itu gak jago buat pura-pura bahagia, gak bakat jadi aktor,” katanya sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
“Yah kecewa, padahal wajah gue udah mirip Ben Affleck gini kan,” kataku becanda.
“Ban apek elu mah,” ledek Rifka lalu tertawa seperti biasa. “Cerita dong, Bel. Apa yang terjadi di Jogja yang bikin lu berubah hah?” Rifka menatapku dengan tatapan menyelidik.
“Gue gak yakin bisa cerita ini sama lu,” kataku lugu.
“Daripada lu pendem sendiri. Lagipula hati gue masih lega kok Bel buat nampung semua cerita lu, hehe,” gurau Rifka, aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang seperti biasa, menganggap semuanya menyenangkan seperti tanpa beban.
“Gue putus dari Rakha,” kataku memulai cerita yang bisa kucurahkan pada Rifka.
“Yes, gue punya kesempatan dong?” kata Rifka sambil tertawa, tapi begitu melihat wajahku yang tidak bereaksi atas candaannya, dia langsung diam. “Sorry,” tuturnya.
Sembari menunggu pesanan kami tiba, akhirnya kuceritakan semuanya pada Rifka apa yang terjadi. Tentang cowok Rakha di Bandung, tentang Kelvin yang sebelumnya dia tidak tahu sama sekali, dan tentang permainan yang melibatkan dua cowok yang sempat mengisi hatiku itu.
“Jadi pas mau nyomblangin lu ke gue, nyokap lu udah tahu kalau lu gay?” tanya Rifka tidak percaya.
“Ya bisa dibilang begitu. Makanya gue gak mau cerita tentang Kelvin ke lu karena hubungannya nanti kesana. Dan gue takut kalau lu tahu, nanti lu illfeel sama nyokap gue,” kataku beralasan.
“Gak bakal, Bel. Nyokap lu itu temen nyokap gue yang paling gaul, lu beruntung punya nyokap kayak beliau,” kata Rifka tanpa sungkan.
Aku terkekeh pelan. Ya, mungkin aku bisa dikatakan beruntung. Entahlah, aku tidak mau menjustifikasi mamaku sendiri. Rasanya seperti aku tidak punya kuasa untuk melakukan itu. Aku anaknya dan hal yang bisa kulakukan untuk menyenangkannya adalah melakukan apa yang diinginkan mama. Itu yang telah kujalani selama ini meskipun tidak seratus persen berjalan mulus.
“Ada fotonya Kelvin gak? Gue penasaran secakep apa dia yang sukses bikin lu galau gini, Bel,” tanya Rifka setengah meledek padaku.
“Gak ada. Selama di Singapura yang jadi objek foto gue doang. Dia kan orang sana, buat apa foto-foto juga,” balasku.
“Yah, padahal gue penasaran banget lho, Bel,” ujar Rifka kecewa.
“Jangan deh mendingan. Nanti lu kesel lagi,” lirihku dengan tatapan jahil pada Rifka.
“Lah? Kesel kenapa?”
“Kesel karena gue berhasil menggebet cowok yang lebih cakep dari yang bisa lu gebet, Rif,” kataku dan tawaku meledak seketika. Rifka juga ikut tertawa oleh candaanku barusan.
“Sialan lu!” cibirnya. “Eh tapi ada yang masih gue bingung nih,” katanya kemudian.
“Apa?”
“Kalau si Kelvin ini niatnya mau bantuin Rakha, kenapa dia ngasih tahu rahasia Rakha ke lu ya? Rahasia kalau pacarnya Rakha yang di Bandung itu cowok juga,” tuturnya.
Aku menatap Rifka lekat-lekat seolah aku bisa menemukan jawabannya disana. Ya, aku juga mendadak bingung karena hal itu tidak pernah terlintas dalam benakku. Selama ini pikiranku hanya berputar-putar pada koalisi antara Rakha dan Kelvin dan kenyataan bahwa Rakha punya cowok di Bandung. Pikiranku seperti sudah penuh pada dua bayangan-bayangan menyedihkan dari masa lalu yang membuatku tertahan pada titik yang sama selama beberapa hari ini.
“Menurut lu?” aku menyerah karena tidak bisa menemukan jawaban yang tepat.
“Menurut gue, Kelvin beneran suka sama lu, Bel. Apalagi dia sampe nyium lu kan?”
“Ya, dan bikin gue ketahuan sama nyokap kalau gue gay,” selorohku begitu saja.
“Dia pasti gak ada maksud untuk itu, Bel. Gue yakin itu kebetulan aja, dan kebetulan juga lu lagi apes. Gue pikir Kelvin ini emang beneran sayang sama lu, Bel,” kata Rifka mengulang pemikirkannya.
“Kalau dia beneran sayang sama gue, kenapa dia gak nelpon-nelpon gue sampe detik ini?” aku bertanya balik padanya.
Rifka memutar matanya mencoba memikirkan kemungkinan apa yang terjadi pada Kelvin. Hening beberapa saat karena aku menantikan Rifka bisa memberikan jawabannya. “Gak tahu deh. Beberapa pikiran yang terlintas di benak gue tentang hal-hal yang buruk, jadi mendingan gak perlu gue omongin deh,” ujarnya kemudian.
Aku tidak kecewa karena dia tidak memberikan jawabannya. “Oh iya, gue pindah ke kampus lu, mulai semester depan,” kataku menginformasikan saat aku ingat Rifka belum kuberitahu.
“Hah? Serius?” tanya Rifka memastikan. “Kenapa?”
“Ya pindah aja, cari suasana baru,” kataku beralasan.
“Lu pindah karena Rakha?”
“Hah? Maksudnya?” aku bertanya balik.
“Ya, yang kepikiran sama gue sih lu pindah karena gak mau ketemu sama Rakha lagi. Apa bener?” tanya Rifka menatapku seperti detektif cinta.
“Hmm, mungkin,” lirihku. “Anggep aja salah satu cara gue buat move on dari dia,” imbuhku.
“Itu bukan move on, tapi melarikan diri,” tuduh Rifka begitu saja.
“Kok melarikan diri?” aku menatapnya bingung, separuh hatiku tidak terima dibilang seperti itu oleh Rifka, tapi sebagian lagi penasaran atas maksud dari ucapannya barusan.
“Bel, dunia ini gak seluas yang lu kira. Lu pikir kalau setiap lu ada masalah yang terlintas di benak lu cuma pergi dan mencari suasana baru, itu bakal menyelesaikan masalah? Gak, Bel. Itu cuma kayak naro masalah lu di gudang,” ujar Rifka tapi aku masih belum mengerti maksud dan tujuan dia bicara begitu kepadaku.
“Gue udah gak ada masalah sama Rakha,” kataku membela diri.
“Terus kenapa lu harus pindah kampus dan menghilang dari dia?”
“Karena keadaan gue sama dia gak akan sama lagi setelah semua yang terjadi,” balasku cepat.
“Itu artinya kalian berdua masih bermasalah,” tukas Rifka. Aku hanya diam dan berpikir. “Ayolah, Bel. Masa iya kejadian beberapa minggu ini membuat lu memilih melupakan dia dan kenangan-kenangan yang udah kalian bikin berdua selama bertahun-tahun.”
“Gue gak bisa, Rif. Kalau gue ngeliat dia, yang kebayang sama gue pasti tentang Kelvin dan cowoknya di Bandung itu. Ujung-ujungnya malah bikin gue galau lagi,” ujarku pasrah.
“Jadi lu lebih milih menghilang?” tanya Rifka. Aku hanya mengangkat kedua belah bahuku karena kau sendiri tidak yakin dengan hal itu. “Jadi apa bedanya lu dengan Kelvin?”
Dor! Aku tersentak dengan pertanyaan Rifka barusan. Terlintas pikiran apa mungkin alasan Kelvin menghilang dari hidupku karena dia juga lari. Lari dari kenyataan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Lari dari kenyataan bahwa dia menikungku dari Rakha. Lari dari kenyataan bahwa hubungan kami tidak bisa diperjuangkan meskipun belum dicoba.
Kalau itu semua benar, itu artinya Rakha juga merasa kehilanganku saat ini. Tapi kenapa dia tidak menghubungiku sejak kami berpisah. Jleb. Aku juga belum menghubungi Kelvin sejak kami berpisah. Aku memang tidak tahu nomornya, tapi aku juga tidak mencoba mencari tahu. Aku hanya diam, menunggu dia menghubungiku dan menyalahkannya karena tidak menghubungiku. Aku merasa bersalah telah menilai Kelvin dengan cara yang egois.
Pesanan kami tiba. Aku permisi sebentar pada Rifka dan berjalan keluar restoran. Kukeluarkan ponselku dan langsung menelpon orang yang kutuju. Rakha. Jika aku tidak ingin diperlakukan seperti yang dilakukan Kelvin padaku, aku tidak boleh memperlakukan orang seperti itu. Ini seperti sudah jadi hukum alam.
“Halo,” sapa Rakha dari seberang sana. Suaranya masih menggetarkan hatiku, tapi kutahan untuk tidak terpesona karena aku tidak ingin kembali menaruh harapan padanya. Kami sudah benar-benar berakhir sebagai pasangan kekasih, tapi setidaknya mungkin kami bisa mencoba meneruskan hubungan pertemanan kami yang sebelumnya menyenangkan.
“Halo, Kha,” sapaku balik. “Apa kabar?”
“Baik, Bel. Lu sendiri apa kabar?” tanya Rakha. Kata ganti orang kedua yang digunakannya untuk memanggilku terdengar sedikit aneh sekarang, tapi memang begitu harusnya. Ini awal bagi kami untuk tetap menjalin hubungan sebagai sahabat.
“Baik, Kha. Thanks udah mau angkat telepon gue,” kataku.
“Gak ada alasan buat gue gak angkat telepon dari lu, Bel,” singkapnya. Aku tersenyum mendengarnya, seolah itu jawaban terbaik yang ingin kudengar.
“Kita masih bisa berteman kan, Kha?”
“Emang siapa yang mau jadi musuh?” tanya Rakha balik.
“Hehe gak ada. Cuma mungkin hubungan pertemanan kita bakal berbeda dari sebelumnya, apalagi gue bakal pindah kampus,” kataku sambil menginformasikan berita yang seharusnya Rakha tahu sejak awal.
“Lu pindah? Kemana?” tanya Rakha, terdengar lebih ke penasaran daripada kecewa. Aku senang dia begitu.
“Tarumanegara.”
“Bagus deh, jadi lu gak perlu pake supir lagi. Iya kan?” Rakha terkekeh pelan. Seperti dia sudah merelakan aku pindah dari kampus yang lama karena dita tidak mempertanyakan alasanku untuk pindah.
“Iya. Makasih ya, Kha,” tuturku.
“Terima kasih juga, Bel. Karena lu udah ngebuka mata gue, sekarang hubungan gue sama dia udah jauh lebih baik,” ujarnya, membicarakan cowoknya itu.
“Yang bener?” aku bersemangat mendengarnya.
“Iya. Dari lu gue sadar, gue gak seharusnya mencari pelarian atau apa lah, melainkan gue lebih baik memperbaiki apa yang rusak. Bukan meninggalkannya dalam keadaan terbengkalai,” katanya terdengar penuh kebahagiaan.
“Gue tersanjung lho dengernya,” kataku sambil tertawa kecil.
“Hati-hati jatuh, Bel.”
“Itu tersandung dodol,” ledekku dan terdengar tawa Rakha di ujung telepon, aku juga tertawa. Rasanya seperti sudah kembali ke masa lalu saat kami sangat akrab berdua. Aku bahagia bisa begini.
“Mungkin kapan-kapan kita bisa nonton atau makan berdua, Bel. Sebagai sahabat,” tawar Rakha.
“Ya mungkin. Sebagai sahabat,” lirihku mengulang ucapan Rakha. “Udah dulu ya, Kha. Bye.”
“Jehh masih kebiasaan pake bye-bye nih ye,” sindir Rakha sambil tertawa jahil.
“Biarin Rakha pake kho,” aku menyindirnya balik.
“Bel!” desisnya tidak suka. Masih saja dia tidak suka bila kupanggil begitu. Aku hanya tertawa. “Yaudah deh. Tutup telponnya, Bel!” katanya. Aku nurut dan langsung menutup teleponku.
Dengan penuh senyuman aku masuk ke dalam restoran. Terlihat semua pesananku dengan Rifka sudah terhidang di meja, bahkan Rifka sudah mulai makan.
Aku duduk di kursiku dan bersiap untuk menyantap makananku.
“Nelpon siapa sih?” tanya Rifka menyelidik.
“Rakha.”
“Mau balikan?”
“Iya. Balikan sebagai temen,” kataku sambil tersenyum lega. Rifka tersenyum bangga melihatku seolah berkata, ‘gitu dong, Bel!’. Sebelum aku menyuap suapan pertamaku, aku berkata pada Rifka, “terima kasih ya, Rif.”
**
“Menurut gue, Kelvin beneran suka sama lu, Bel,” ucapakan Rifka tadi masih terngiang setelah kami pulang dari bioskop. Perasaanku memang sudah lebih lega karena sudah berbagi cerita dengan Rifka. Tapi kini pikiranku berputar pada ucapan Rifka yang mungkin saja benar. Apa aku sudah menutup pintu hati ini untuk Kelvin sehingga aku meragukan cintanya?
Sungguh aku ingin setidaknya satu kali lagi berbicara dengannya, mendiskusikan apa yang harus kami berdua tempuh, tidak gantung seperti ini yang membuatku bimbang. Aku sudah memilih untuk meninggalkan Rakha karena dia sudah punya cowok lain, tapi aku belum memilih akan kubawa kemana perasaanku pada Kelvin. Dia ada di hatiku tapi aku menutupinya seolah aku lupa.
“Kita hidup ni Bel, memang butuh orang lain, tapi bukan berarti kita ni harus bergantung pada orang-orang tu,” ucap Kelvin waktu itu, aku teringat kembali pada prinsip yang dia jalani untuk tidak ketergantungan pada orang lain. Apa mungkin dia membiarkanku pergi dan mencoba untuk hidup tanpa aku? Aku ingin melakukan hal yang sama tapi aku tidak bisa, aku tidak sekuat Kelvin. Aku memandang dunia dengan cara yang berbeda dan lebih melankolis daripada Kelvin.
Aku menyerah. Entah apa yang harus kulakukan. Aku ingin membuat pilihan tapi tidak tahu harus kuberitakan kemana pilihanku. Kalau hanya kusimpan di hati ini, rasanya setiap hari pilihanku bisa berubah. Aku tidak bisa konsisten bila tidak ada orang yang menyaksikan pernyataanku memilih sesuatu. Ah, mungkin ada cara lain.
Begitu sampai kamar, aku langsung duduk di meja belajar. Kuraih kertas dan pena yang ada dan langsung kutuliskan apa yang ingin kukatakan pada Kelvin. Seperti mengirim surat tapi aku tidak akan mengirimkannya, aku mungkin akan berpura-pura telah mengirimnya sehingga hatiku bisa lega.
Kelvin,
Apa kabar kamu disana?
Aku diam, bingung mau berkata apalagi. Kuremuk-remuk kertas itu dan membuangnya ke tong sampah. Kuambil kertas lainnya.
Kelvin,
Kenapa kamu gak nelpon aku sih? Apa nomor yang aku tulis salah? Vin....
Tidak. Aku tidak mau langsung menyudutkannya. Entah kenapa begitu sulit padahal aku hanya berpura-pura menulis surat. Kuremukkan kertas kedua dan nasibnya sama seperti kertas pertama. Kuraih kertas ketiga. Aku berpikir lama sebelum menuliskannya.
Kelvin,
Kamu ingat pernah cerita tentang prinsip kamu sama aku? Aku ingat Vin, dan aku ingin melakukan itu sekarang. Aku ingin tidak ketergantungan sama kamu tapi tidak bisa. Sejak kamu hilang, kamu tidak pernah luput dari pikiranku. Bahkan kamu sering hadir dalam mimpiku. Aku mau tanya, apa kamu juga begitu?
Aku lemah, Vin. Aku tidak sekuat kamu menjalani hidup ini. Aku terlalu cengeng dan menangisi semua yang bisa kutangisi. Tapi aku belajar untuk kuat, dan dari apa yang kamu berikan padaku itu aku mencoba untuk belajar. Belajar untuk lebih menghargai diri sendiri, belajar untuk menghadapi apa yang menghalangi daripada lari, belajar untuk tenang walau hati terguncang.
Coba kamu nilai usahaku kali ini. Pasti nilainya jelek, mungkin karena aku tidak konsisten dalam belajarnya. Atau mungkin karena gak ada kamu yang mendampingi aku untuk belajar hal-hal itu.
Vin, kamu kemana? Kamu punya nomor aku tapi kenapa gak pernah hubungi aku? Setiap detik rasanya seperti menunggu telepon dari kamu. Setiap ada telepon, selalu ada harapan telepon itu datang dari kamu. Tapi bukan, Vin. Bukan kamu. Kamu kemana?
Kamu yang bilang kalau kamu bisa melakukan lebih baik dari dia. Kamu tidak akan memberi ketidakpastian sama aku. Kamu bohong, Vin. Kamu sama saja seperti dia. Mungkin lebih buruk. Maaf aku menilai kamu begitu, tapi coba kamu rasakan apa yang kurasakan, mungkin kamu akan menghakimiku seperti itu juga.
Entahlah, Vin. Aku ingin pergi melupakan kamu. Melupakan kalau aku pernah ke Singapura ditemani kamu. Melupakan ciuman dan kata-kata sayang yang pernah kamu janjikan. Tapi aku tidak akan melupakan prinsip hidup yang kamu ajarkan ke aku, Vin. Karena itu salah satu cara untuk melupakan kamu.
Aku gak tahu kamu dimana sekarang. Aku gak tahu gimana keadaan kamu sekarang. Tapi aku harap, kamu bahagia dengan apa yang kamu pilih, karena sekarang aku memilih untuk melupakan kamu, Vin. Aku akan belajar, dan saat aku lulus kamu pasti bangga meskipun hasilnya adalah kamu lenyap dari hidupku.
Bye, Kelvin.
Kupandangi tulisan panjangku sejenak. Kubaca lagi berulang-ulang. Semuanya seperti sudah terangkum disana. Aku ingin pergi, tapi aku ingin pamit sebelum pergi. Anggap saja Kelvin menerima surat ini dariku dan dia tahu bahwa tidak sepantasnya dia mendekatiku lagi bila ada kesempatan. Rasanya seperti aku menutup pintu hatiku rapat-rapat pada cinta yang dijanjikannya.
Aku melipat kertas tadi dan menyelipkannya di salah satu buku yang ada. Biarlah tersimpan disana, entah sampai kapan. Kuanggap aku sudah mengeposkan surat itu ke Singapura. Bodoh memang, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak punya kontak apa-apa tentang Kelvin.
Ada. Rakha punya, tapi aku tidak ingin memintanya dari Rakha. Rasanya pasti seperti menyayatkan luka di hatinya. Aku tidak tega untuk melakukannya. Kepindahanku ke kampus baru rasanya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya sedih. Aku tidak sejahat itu.
Mulai kini, kujalani hari-hariku seperti biasa. Tidak ada cinta di hatiku dan aku belum siap untuk menerima cinta yang baru. Lebih baik sendiri. Ada Rifka yang dengan senang hati mau menemaniku dan menerima setiap ceritaku apa adanya. Aku sangat berterima kasih pada mama karena mempertemukanku dengannya. Dia berbeda dari cewek lainnya. Tapi tetap saja, aku tidak ada ketertarikan padanya.
Sejak mulai kuliah, aku dan Rifka selalu berangkat bersama karena memang rumah kami berdekatan. Kami bergantian pakai mobilku atau mobilnya. Dia menghargai posisiku, tidak selalu memaksaku untuk selalu menyetir setiap hari. Aku senang dengan hal itu.
Rasanya hidupku sudah normal sekarang. Aku bergabung dengan salah satu band di kampus karena Rifka memamerkan video ku sedang bermain gitar pada pemimpin band-nya, si vokalis. Rifka bukan tanpa alasan melakukannya. Dia suka pada vokalis band ini dan memintaku untuk menerima tawarannya. Dengan begitu, dia jadi punya alasan untuk datang ke latihan band dan melihat cowok idamannya.
“Awas lu Bel kalau lu sampai gebet dia,” ancam Rifka saat aku becanda tentang cowok itu.
“Ya kalau dia yang suka sama gue, gue bisa apa?” balasku sambil tersenyum jahil.
“Ahh Ibel!!” pekik Rifka kesal sambil memukul-mukul lenganku yang sedang memegang kemudi, untungnya sedang lampu merah.
Kedekatakanku dengan Rifka, bagi orang yang belum mengenal kami, pasti menganggap kami berpacaran. Tapi bagi yang sudah kenal, mereka tahu bahwa aku dan dia hanya sahabat saja. Bahkan ada yang mengatakan seperti abang-adik. Aku lebih suka dibilang begitu. Rasanya menyenangkan punya saudara, biarpun hanya pura-pura saja.
Hidupku sudah membaik sekarang. Hatiku yang berantakan sudah kembali kuatur perlahan-lahan menjadi rapi kembali. Pikiranku yang dulu begitu membingungkan sudah kumantapkan dengan pilihan yang kutempuh. Aku memilih sesuatu dan berusaha konsisten dengannya, serta tidak sekalipun berpikiran untuk menyesalinya.
Tapi aku kadang masih suka bermimpi tentang Kelvin. Aku memilih untuk menikmatinya saja daripada menganggapnya beban. Nyatanya aku senang bisa terbayang wajahnya lagi. Wajah oriental dengan sorot matanya yang tajam. Mungkin aku masih menyukainya, tapi aku tidak terlalu memikirkan hal itu sekarang. Aku mencoba untuk lebih mencintai diriku sendiri, baru orang lain. Bagaimana bisa kita buat orang cinta sama kita, sementara kita sendiri tidak mencintai diri sendiri bukan?
**
“Gue cabut duluan ya,” ujarku pada teman-temanku yang lain. Kami baru saja bermain futsal setelah ujian tengah semester usai. Seperti melampiaskan beban yang kami tanggung selama ujian dengan menendang bola ke gawang sekeras mungkin. Aku memang tidak terlalu jago, bahkan setiap aku menerima bola aku lebih sering mengopernya lagi daripada membawanya mendekati gawang lawan. Yang terpenting bukan menang atau kalah, tapi menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman.
Kali ini giliran Rifka yang bawa mobil, sehingga aku tidak takut terlalu capek untuk membawa mobil. Aku masuk ke mobil city car Rifka dan meletakkan tasku di kursi belakang.
“Lama banget sih,” gerutu Rifka.
“Yee elu yang kecepetan kali jemputnya,” kataku mengelak.
“Hehe, Doni ada keperluan mendadak, dipanggil dosen. Dia kan asdos tuh. Yaudah gue milih buat jemput lu aja deh,” katanya sambil nyengir kuda. Doni adalah vokalis band-ku, yang ditaksir oleh Rifka sejak awal. Dan kini mereka sudah resmi berpacaran.
“Ya lagi asdos dipacarin,” kataku meledek.
“Ah, Bel. Dia itu paket lengkap, Bel. Ganteng, pinter, suaranya bagus lagi,” puja puji Rifka tentang kekasihnya itu.
“Ya udah, kalau lu putus nanti gantian ya,” kataku sambil tersenyum jahil padanya. Rifka langsung melotot padaku dan aku hanya tertawa.
“Awas aja kalau lu coba-coba!” ancamnya lagi, dan aku hanya tertawa. Tentu dia tahu aku tidak bersungguh-sungguh.
Tidak lama aku sampai di rumah. Rifka memilih langsung pulang. Kadang memang dia mampir dulu untuk sekedar beristirahat atau mengobrol dengan mama. Yang pasti dia dan mama sangat akrab.
“Sore, Ma,” sapaku saat melihat mama duduk di ruang keluarga sedang menonton TV.
“Ibel, bisa kemari sebentar?” tanya mama membalas sapaanku.
Aku menatap mama bingung. “Ada apa?” tanyaku sambil menghampiri mama.
“Sini, duduk disini sebentar,” ujarnya. Aku menurut. Kuletakkan tasku di lantai dan aku duduk di sofa yang sama dengan mama. Mama menatapku lekat-lekat, tersirat ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Dan sepertinya ini tentangku.
“Kenapa, Ma?” tanyaku memecah keheningan antara kami berdua. “Apa tentang pesta ulang tahun Ibel akhir minggu ini?” tanyaku lagi. Aku akan berulang tahun yang kedua-puluh pada hari minggu nanti. Dan mama setuju untuk mengadakan pesta dimana aku akan mengundang teman-teman kampusku, dan juga beberapa teman di kampus lama. Rakha, Inu, dan yang lainnya.
Mama menggeleng. “Mama ... mama masih ibu kamu kan, Bel?” tanya mama dengan tatapan sedih. Aku mendadak bingung dengan perubahan ekspresi mama yang drastis. Matanya tiba-tiba jadi berkaca-kaca.
“Maksud mama apa?” aku bingung.
“Kalau mama masih ibu kamu, seharusnya kamu bisa cerita apa saja ke mama, Bel. Apa saja,” lirihnya sedih. Sungguh hatiku ikut bergetar melihat mama begini. Aku lupa kapan terakhir kali melihat mama menangis. Rasanya tidak pernah mama menangis di hadapanku.
“Tentu, Ma. Mama masih ibu, Ibel. Kenapa Mama berpikiran aneh begini?”
“Kamu seharusnya cerita sama mama, Bel,” isaknya. “Mama sudah tahu semuanya, tapi mama malu karena mama tahu dari orang lain tentang anak kesayangan mama. Mama malu karena kamu lebih memilih cerita ke orang lain daripada ke mama. Mama malu, Bel,” tuturnya. Air matanya mulai mengalir. Sungguh, aku masih belum mengerti kemana arah pembicaraan ini.
“Tahu tentang apa, Ma?”
“Rifka sudah cerita semuanya ke mama. Tentang perasaan kamu ke Kelvin, tentang mantan pacar kamu yang namanya Rakha, juga tentang betapa kamu menderita sementara mama malah terus mengekang kamu. Rifka sudah cerita tentang ini sejak lama, tapi mama baru bisa mengatakannya sekarang, karena mungkin sekarang saat yang tepat,” kata mama yang setiap katanya membuat hatiku trenyuh.
“Rifka cerita semuanya?” aku memastikan. Mama mengangguk.
“Mama senang Rifka cerita, dengan begitu mama jadi lebih mengenal anak mama,” katanya sambil menatapku yakin, seperti mengatakan bahwa aku tidak bisa menyalahkan Rifka karena sudah bercerita pada mama. “Bel, apa kamu senang dengan apa yang kamu jalani ini?”
Aku berpikir sebentar. Menatap mama dengan ragu karena aku sendiri tidak yakin dengan yang kurasakan saat ini. “Maksud mama, dengan menjadi gay?”
Mama mengangguk sambil mengulum bibirnya menahan tangis. Dia meraih tanganku dan memeganginya dengan lembut. “Apa kamu bahagia, Bel?” ulang mama.
Aku mengangguk pelan. Mama menatapku haru lalu langsung memelukku. Pelukan erat yang membuatku merasa begitu nyaman.
“Mama ingin kamu bahagia, Bel. Maafin mama atas apa yang telah mama lakukan selama ini. Kamu boleh melakukan apa saja, tapi please sayang, kamu bisa menceritakannya dulu ke mama. Mama ingin jadi orang yang paling tahu tentang kamu, Bel,” lirih mama dalam pelukanku.
“Iya, Ma. Ibel janji. Ibel janji, Ma,” bisikku pelan. Air mataku tanpa sadar juga jatuh ke pipiku. Beberapa saat kemudian mama melepaskan pelukanku.
Kemudian mama mengeluarkan secarik kertas. Aku tahu kertas apa itu, aku memandang mama bingung, mempertanyakan dari mana mama menemukan kertas itu.
“Apa yang kamu tulis disini membuat mama semakin sadar, Bel. Bahwa kamu benar-benar cinta sama dia,” katanya sambil menyerahkan kertas itu. Benar saja, kertas ini adalah suratku pada Kelvin yang tidak ada niatan untuk kukirimkan. Aku memandang mama lagi. “Kamu sebaiknya memberikan kertas ini langsung pada orangnya, Bel.”
Aku menggeleng cepat. “Gak, Ma. Ibel hampir melupakan Kelvin, dan itu pilihan yang Ibel tempuh. Ibel gak mau terbang ke Singapura untuk menemui dia lagi,” kataku menolak.
“Siapa bilang kamu harus ke Singapura. Dia sedang menunggu kamu disana,” kata mama sambil menunjuk tangga, maksudnya pasti kamarku di lantai atas. “Itu kenapa mama baru bisa bilang ke kamu sekarang, karena sekaranglah saat yang tepat itu, Bel.”
Aku memandang mama tidak percaya. Tidak mungkin hal ini terjadi. Mama hanya mengangguk untuk membuatku percaya, ditambah dengan senyumannya yang tulus menandakan bahwa dia tidak berbohong padaku.
“Dia menunggu kamu, Bel,” ujar mama.
Dengan cepat aku beranjak dari sofa tempatku duduk dan langsung berlari menuju kamarku. Hatiku berdebar dalam setiap anak tangga yang kunaiki. Benarkah dia ada disana? Di kamarku? Aku harus menyaksikannya sendiri agar aku percaya. Agar aku tahu ini nyata, bukan mimpi.
Dengan perlahan kubuka pintu kamarku. Kuliah seseorang berdiri di depan jendela menghadap keluar. Dia mengenakan celana jeans dan kemeja ungu tua. Kemeja itu. Kemeja kami berdua. Menyadari kehadiranku, dia memutar badannya perlahan.
Wajahnya masih sama, gaya rambutnya masih sama, tatapan matanya masih sama. Dia berdiri disana dan tersenyum padaku. Kelvin. Hatiku bergetar hebat begitu melihatnya. Apa yang kuusahakan selama ini untuk melupakannya seperti sia-sia begitu melihat sosoknya lagi. Getaran cintaku padanya seperti mencuat ke permukaan dan menari-nari di lubuk hatiku. Aku mencintainya, dan masih mencintainya sampai detik ini. Melihatnya adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupku.
“Hai, Bel,” sapanya sambil tersenyum. Kakiku terasa lemah seperti mau jatuh begitu mendengar suaranya. Aku begitu merindukan setiap detail yang dimilikinya. Aku sangat merindukannya. Dia berjalan mendekatiku sementara aku hanya memandangnya tanpa berkata-kata.
“Kemana aja sih??!” tanyaku dengan suara tinggi. Kelvin menghentikan langkahnya dan menatapku dengan tatapan bersalah. Senyumannya yang indah itu pudar begitu saja.
“Bel, kadang ada hal yang harus kita selesaikan dulu sebelum memulai untuk menyelesaikan masalah lainnya. Itu yang saya lakukan selama ni. Saya selesaikan kuliah saya dulu sehingga saya bisa cari kerja disini. Disini bersama awak, Bel,” katanya dengan lembut.
“Terus kenapa gak nelpon?!” tuduhku padanya.
“Saya tak sekuat yang awak pikir, Bel. Memikirkan awak pun buat saya sakit. Saya harus konsentrasi untuk lulus, Bel. Awak yang jadi alasan saya untuk lulus secepatnya. Saya rindu sama awak, Bel. Dan satu-satunya cara supaya saya bisa jumpa awak lagi, adalah saya lulus. Maafkan saya, Bel. Saya tak ada maksud buat awak sakit karena saya,” lirihnya pelan. Dia kembali melangkahkan kakinya mendekatiku yang masih berdiri di ambang pintu. Kucerna setiap kata yang diucapkan oleh Kelvin. Oh, aku sungguh merindukan cara bicaranya yang seperti itu.
Saat dia sudah berdiri tepat di hadapanku, dia meraih tanganku dan mengangkatnya perlahan. “Sekarang semua sudah saya lalui, Bel. Saya sudah disini. Saya akan kerja di kota ni sehingga kita tidak perlu berusaha menjalani hubungan jarak jauh,” katanya dengan penuh keyakinan.
“Kamu dengan Rakha?” tanyaku penuh keraguan.
Dia diam sebentar, menatapku dengan lembut dan tersenyum lagi. “Saya dah cerita semuanya tentang kita begitu dia bilang awak memilih pulang dari Jogja waktu tu. Awalnya dia marah kat saya, tapi sekarang hubungan kami sudah membaik. Tidak ada masalah lagi, dan saya meminta dia untuk tidak salahkan awak atas apa yang terjadi. Awak tu korban, kami berdua yang salah,” katanya menjelaskan.
Aku memandangnya haru. Senyumku hadir begitu mendengar kata-katanya yang begitu jujur.
“Biar ke depannya baik, mari kita mulai dari awal, Bel,” ujar Kelvin tiba-tiba. Aku memandangnya bingung. Dia melepaskan tanganku dan begitu saja menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Hai, saya Kelvin,” ujarnya.
Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya. Dia menggerak-gerakkan tangannya yang disodorkan seperti menunggu balasan.
“Kevin?” tanyaku.
“No! Kelvin. There is leeter L after E,” ulangnya sambil tersenyum karena tingkah kami berdua.
“Oh, alright. With C or K?” aku memandang Kelvin dengan senyuman jahil.
“With love,” balasnya dan langsung memelukk. “With love, Bel” bisiknya di telingaku dengan sangat lembut.
Aku memeluk Kelvin dengan erat. Ini yang harusnya aku lakukan dengannya sejak lama. Memeluknya sebagai tanda bahwa kami bisa menghadapi segalanya bersama, bukan melarikan diri seperti yang kulakukan. Hatiku berseru bahagia, rasanya berbunga-bunga dan indah tanpa batas.
“I love you, Vin,” lirihku pelan dan pelukan kami menjadi semakin erat. Pelukan yang akan menjadi awal dari apa yang akan kami berdua lalui. Pelukan yang akan jadi awal dari pelukan-pelukan lainnya saat kamu sedang senang atau pun sedih. Aku senang dia ada disini sekarang. Hidupku terasa lengkap karena semuanya sudah terjawab. Aku ingin dia, dan aku tidak ingin dia menghilang lagi.
I love you, Kelvin. Ulangku dalam hati dan kutanamkan dengan perlahan di relung hatiku. I love you.
The End.
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
@dafaZartin
@rizky_27
@boybrownis
@tialawliet
@priacupu
@Gabriel_Valiant
@foursquare
@animan
Thanks ya guys buat support-nya dan semuanya yang bikin gw semangat buat nulis cerita ini. Nanti bakal ada trivia beberapa hal yang terjadi sama gw selama bikin cerita ini. Tapi nanti ya, mau kuliah dulu sekarang. Hehe
Happy reading guys! #TeamIBEL
Akhirnya ibeeeeel ,,,
ikut bahagia buat kalian..
#Prokprokprok
selamat buat ibel
minta part kelvin ama ibel paska jadian dong..*ngarep*
so sweet endingnya,,, ngiri gw.. hihiii
thanks bwt TSnya @inutile , ditunggu cerita slanjutnya.......