It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pantai Indrayanti. Pantai yang baru dibuka beberapa tahun lalu dan lebih terkenal dengan nama yang diambil dari nama kafe di bibir pantai ini. Indrayanti. Dan disinilah aku sekarang memandangi hamparan pasir dan laut selatan yang tanpa batas sambil menghirup udara pantai yang semerbak. Aku selalu suka pada pantai.
Sudah sejam lebih aku dan Rakha berada di pantai ini. Setelah puas foto-foto di beberapa sudut pantai, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sebentar. Setelah ini rencananya kami akan menaiki bukit karang yang ada di ujung pantai. Bukit yang menjorok ke arah laut, mengingatkanku pada salah satu pulau karang di Tanah Lot, Bali. Pemandangan dari sana pasti spektakuler.
Rakha kembali dari toilet dan duduk di hadapanku dengan wajah kecewa. “Payah banget dah ini, masa gak ada yang jualan baterai sih?” gerutunya. Duh dari tadi masih aja nyari baterai buat kamera digitalnya, seolah tidak ada kata menyerah.
“Udah gak jaman kali kamera yang pakai baterai AA,” kataku setengah meledek. Dia menatapku sambil mencibir. BT. Tapi aku malah tertawa karena tingkahnya yang tampak seperti anak kecil itu.
“Baterai hape kamu masih banyak?” tanya dia.
Kulirik ponselku sebentar. Tinggal beberapa persen lagi karena dari tadi kami berfoto ria menggunakan ponsel ini. “Tinggal dikit,” jawabku seadanya.
Rakha menghela nafas panjang. “Ya sudah nanti di sana kita foto pakai hape ku aja ya. Gak apa-apa kan? Hasilnya mungkin gak sebagus hape kamu, Bel,” ujarnya.
“Woles aja,” balasku sambil tersenyum. Rakha membalas senyumanku. Entah kenapa masalah baterai ini seperti jadi masalah besar baginya, padahal bagiku biasa saja.
“Ya aku kan gak enak, kamu jarang-jarang ke Jogja tapi foto-fotonya nanti jelek-jelek,” tuturnya.
“Bukan fotonya yang penting, atau tujuan jalan-jalannya. Yang penting itu dengan siapa kita jalan-jalannya,” kataku sok bijak pada Rakha. Dia tersenyum lagi menampakkan lesung pipitnya yang primadona itu.
“Terima kasih, Bel,” ujarnya seraya menyentuh tanganku sebentar kemudian menariknya kembali karena kami tidak hanya berdua saja di kafe ini.
Begitu minuman dan sedikit cemilan yang kami pesan sudah habis, aku dan Rakha langsung menuju tujuan kami selanjutnya. Sudah hampir jam lima sore, matahari sudah tidak seterik saat kami baru tiba di pantai ini. Mungkin aku dan Rakha akan menghabiskan waktu sampai matahari tenggelam di bukit karang tersebut.
Setelah membayar untuk naik ke atas bukit, aku meniti tangga kayu dengan hati-hati. Ada beberapa wisatawan lain di belakang aku dan Rakha. Tidak terlalu ramai sih, mungkin karena hari ini bukan hari libur atau akhir pekan.
Akhirnya kami berdua tiba di bagian puncak bukit karang ini dengan sedikit bersusah payah. Di tepi yang dekat jurang ada pagar pembatas dari bambu dan ada tempat duduk panjang yang terbuat dari bambu juga. Aku berdiri di dekat pagar dan menghirup nafas panjang sambil memandang ke lautan lepas.
“Di seberang sana ada Australia, Bel,” tutur Rakha yang berdiri di sampingku. “Jadi kalau kamu mau ke Australia, nyebrang dari sini aja,” imbuhnya lalu tertawa terbahak-bahak.
“Yee ngaco. Keburu dimakan hiu sebelum sampai Australia mah,” cibirku.
“Mau foto gak?” tawar Rakha.
“Boleh,” kataku lalu aku memutar badan sementara Rakha mengambil posisi menjauhiku beberapa langkah. “Background-nya pantai aja, jangan laut. Gak ada apa-apa soalnya,” kataku.
“Udah ikutin aja potografernya,” cetus Rakha.
Aku menurut. Dia menggeser-geser posisi ponselnya yang akan mengambil gambarku. Entah berapa kali dia mengambil gambar karena Rakha tidak memberikan aba-aba sedikitpun. “Udah?”
“Udah selusin nih. Lumayan buat koleksi, hehe,” kataku sambil ketawa.
“Dih. Dihitungin kek gitu. Kirain belum,” gerutuku sambil berjalan mendekatinya untuk melihat hasil fotonya.
“Tapi bagusan begini, Bel. Ekspresi kamu natural, gak dibuat-buat,” ujar Rakha sambil menunjukkan hasil fotonya padaku. “Lebih cakep,” pujinya. Pipiku terasa hangat karena tersipu oleh pujian Rakha barusan.
“Bagus angle-nya. Mau gantian gak?” tanyaku.
“Boleh,” seru Rakha dengan cepat menyerahkan ponselnya kepadaku begitu saja. Duh, hampir jatuh! “Dihitungin ya, Bel,” pintanya.
“Gak janji,” balasku sambil tersenyum jahil.
Rakha sudah siap di posisi yang sama denganku tadi. Aku mulai mengarahkan kamera ke arahnya dan memposisikan pemandangan pantai sebagai latar belakang seproporsional mungkin. Sip. Sudah mantap. Rakha ada di posisi agak ke kanan dan hamparan pasir pantai Indrayanti ada di sebelah kiri. Wajah Rakha pun terlihat lumayan jelas meskipun posisi dia berdiri membelakangi matahari.
Ting nong!
Tiba-tiba muncul pop-up dari sebuah aplikasi chating Line di ponsel Rakha. Tentu harusnya aku membiarkannya. Karena, meskipun aku pacarnya Rakha, aku tetap menghargai privasi yang dimilikinya. Tapi aku tidak bisa melakukannya sekarang. Nama yang terpampang di layar membuat hatiku terasa ngilu seketika.
Kelvin_
Have a nice holiday, bro!
Kelvin? Apa mungkin ini Kelvin yang sama? Kulirik bagian foto orang tersebut. Ya, dia Kelvin yang sama. Siapa lagi orang di dunia ini yang bernama Kelvin? Satuan suhu tanpa derajat. Foto avatarnya pun sangat ku kenal. Tentu saja karena foto itu aku yang mengambilnya saat aku dan Kelvin berada di Skypark Marina Bay Sands, Singapura. Lalu kutekan tombol untuk menampilkan keseluruhan chat.
Aku penasaran, sungguh penasaran. Aku telah melanggar batas privasi yang dimiliki Rakha, tapi aku punya alasan yang kuat untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa hubungan Rakha dengan Kelvin.
“Yah bales dendam nih, gak dihitungin,” gerutu Rakha tapi aku tidak menghiraukannya. Aku terus membaca dengan cepat obrolan Rakha dengan Kelvin yang semuanya menggunakan bahasa inggris. “Bel?” panggil Rakha dengan nada khawatir. Aku tetap mendiamkannya.
Gerakan jariku yang dari tadi menyentuh layar untuk bergeser ke atas berhenti ketika aku membaca satu kalimat dari Kelvin. Dikirim pada tanggal 3 Januari, hari dimana aku pulang dari Singapura ke Jakarta dengan perasaan yang campur aduk karena mama baru saja mengetahui kalau anak satu-satunya ini tidak normal.
He’s definitely gay.
“Bel? Kamu kenapa?” tanya Rakha lagi.
Dia mulai melangkah untuk menghampiriku yang diam terpaku pada pesan yang dituliskan oleh Kelvin. Pikiranku berkelebatan membayangkan beberapa kemungkinan yang sedang terjadi. Terlalu banyak kemungkinan hingga aku pun merasa pening. Sesuatu seperti menusuk langsung ke dalam relung hatiku. Aku sesak.
“Siapa Kelvin?” tanyaku pelan, masih tertunduk menahan sakit di dalam dadaku.
“Hah?” Rakha menghentikan langkahnya.
“Siapa Kelvin, Kha?” ulangku, dengan berat kuangkat kepalaku untuk menatapnya. Dia memandangku dengan tatapan sepenuhnya bingung. Kulayangkan tanganku untuk menunjukkan layar chatnya dengan Kelvin. Kulihat Rakha menelan ludah dari jakunnya yang naik turun.
“Dia ... teman aku. Eh dia tinggal di Singapura lho. Harusnya aku ngasih tahu kamu sebelum kamu berangkat ke Singapur kemarin, siapa tahu kalian bisa ketemu,” katanya dengan terbata-bata. Terlihat dengan jelas ada kebohongan di matanya.
“Jangan bohong, Kha!” kataku marah. Kekesalanku terasa memuncak dalam sepersekian detik.
Rakha mendesah sebentar. Dia menatapku dengan perasaan bersalah. “Bel. Aku bisa jelasin...”
“Kalau gitu jelasin sekarang!” potongku.
Dia diam lagi, menatap mataku tanpa bersuara sedikitpun. Aku menantikan penjelasan darinya meskipun selama beberapa saat kami hanya saling bertatapan mata saja.
“Oke, aku ngaku,” ujarnya kemudian, kepalanya tertunduk. “Aku minta bantuan Kelvin untuk tahu siapa kamu sebenarnya. Untuk memastikan kalau kamu gay apa gak,” tuturnya sambil kembali medongakkan kepalanya. Dia menatapku semu.
Seperti yang kuduga. Rakha melakukan hal itu. Karena itu dia tidak mau menjawab pertanyaanku tentang darimana dia tahu kalau aku gay juga di hari kami resmi berpacaran. “Kenapa?” lirihku pelan. Hatiku pedih karena merasa telah dibohongi oleh yang yang kusayangi.
“Karena ada kesempatannya, Bel,” jawabnya. Aku menatap Rakha bingung, masih belum mengerti dengan kalimatnya barusan. “Saat kamu bilang kamu mau ke Singapura, di saat yang sama Kelvin bilang akan ada tamu dari Jakarta yang bakal menginap di rumahnya. Kupikir kalau ternyata memang orang yang dimaksud Kelvin adalah kamu, mungkin aku bisa minta bantuan padanya. Kamu pasti sudah tahu kan kalau dia gay juga? Dan orang tuanya udah tahu, jadi gak masalah kalau dia ketahuan gay sama kamu semisal kamu straight. Jadi aku minta bantuan sama dia untuk memastikan kamu gay atau bukan. Itu saja,” terangnya panjang lebar.
Itu saja? Jadi semua ini, apa yang terjadi di Singapura, lagu romantis yang dinyanyikan Kelvin, segala pelajaran yang diberikannya, bahkan ciuman mesranya itu hanya sebuah sandiwara untuk memastikan aku gay atau tidak? Hatiku semakin bergemuruh. Rakha tega! Kelvin apalagi!
“Kenapa kamu ngelakuin ini semua hah?” ada kemarahan dalam setiap kata yang kuucapkan. Aku sungguh-sungguh marah padanya, dan juga Kelvin karena telah mempermainkanku. Mempermainkan hatiku dengan semena-mena.
“Karena selama ini aku pikir kamu gay tapi aku gak yakin, Bel. Kamu gak peka dengan semua kode yang aku kasih ke kamu,” jawab Rakha.
“Kalau kamu pikir aku gay kenapa kamu cuma ngasih kode??!” teriakku. Aku benar-benar tidak peduli dengan dimana aku berdiri sekarang. Aku sedang marah, kesal, benci, semua rasa buruk yang bisa muncul di hatiku bercampur aduk sedemikian rupa membuat dadaku terasa berat dan ngilu.
Rakha tertunduk sebentar lalu menatapku lagi. Dia maju beberapa langkah mendekatiku lagi. Rakha mencoba meraih kedua tanganku tapi dengan cepat kutampik tangannya. “Bel,” lirihnya. Aku membuang muka. Melihat wajahnya hanya membuatku semakin marah padanya. “Bel, please. Lihat aku,” pintanya. Dengan terpaksa aku melihat wajah Rakha. “Aku tahu cara yang aku pakai untuk dapetin kamu ini salah. Tapi please, Bel. Maafin aku. Yang aku pengen sekarang kita tetap bersama, kita hadapin yang ada di depan kita bersama, jangan tersangkut pada kesalahan di masa lalu terus.”
“Kamu gak tahu apa yang aku rasain, Kha. Aku merasa seperti dipermainkan sama kamu,” kataku kesal.
“Bel, aku gak tahu apa yang bisa aku lakukan buat bikin kamu maafin kamu karena masalah ini. Tapi seenggaknya kamu memberi aku kesempatan, Bel. Kesempatan untuk buktiin bahwa aku serius sama kamu. Aku serius menjalani hubungan ini. Aku memang memulainya dengan cara yang salah, tapi aku gak ingin mengakhirinya dengan cara yang salah juga,” ujarnya.
Matanya menatapku tajam ketika mengatakan kalimat panjang barusan. Dia bersungguh-sungguh mengatakannya. Aku menatapnya dan merasa masuk dalam perasaan yang sedang ada di hati Rakha. Bukan hanya aku yang hatinya sedang berkecamuk sekarang. Rakha juga.
“Tapi aku gak mau memaksa kamu, Bel. Aku hanya ingin menjalani hubungan kita dengan kejujuran. Dan sekarang saatnya kita bisa memulainya,” ujarnya.
Aku tertegun. Terlintas pikiranku tentang hal yang mungkin Rakha tidak tahu. Tentang perasaanku pada Kelvin yang membuat Rakha tidak pantas mengatakan ‘itu saja’ tadi. Mungkin aku bisa mengatakannya sekarang. Toh Kelvin pun sudah hilang dari hidupku, tidak akan ada yang berubah selama aku dan Rakha bisa saling menerima satu sama lain.
Tiba-tiba aku teringat pada apa yang dikatakan Kelvin ketika kami berdua berada di Skypark. Ucapannya yang membuatku langsung ingin melarikan diri dan mendekap gulingku di kasur kamar hotel. “Yang di Bandung, apa dia seorang cowok?” tanyaku pelan.
Mata Rakha bergerak-gerak seperti tadi saat dia berkata bohong. Dia seperti sedang berpikir jawaban diplomatis yang bisa kuterima sehingga hubungan kami akan baik-baik saja. “Kata siapa?” tanyanya dengan nanda menantang.
“Jadi bener?” aku bertanya balik.
Rakha mendelik. “Siapa yang bilang, Bel?”
“Kamu bilang ingin mulai hubungan dengan kejujuran dari sekarang. Jadi sekarang aku ingin kamu jawab pertanyaanku, Kha,” kataku menyudutkan Rakha.
Rakha mendesah, gerakan tubuhnya gelisah. Sesuatu seperti tertahan di tenggorokannya. “Ya,” akhirnya dia menjawabnya, kepalanya kembali tertunduk seperti tadi. “Sekarang kamu harus jujur, dari mana kamu tahu hal itu?”
Hatiku kembali bergemuruh hebat. Aku memandang Rakha tidak percaya. Jadi bisa dibilang aku selingkuhannya? Kukira dia hanya jadi playboy pada setiap cewek saja, tapi kenyataannya sekarang sudah terungkap. Aku memandang Rakha dengan tatapan tidak suka.
“Bel?” dia menunggu jawabanku, jawaban yang sebenarnya.
“Orang yang sama dengan orang yang bilang ke kamu kalau aku gay,” kataku sambil menyerahkan ponsel Rakha ke dadanya. Begitu dia sudah memegangnya aku langsung membalikkan badan. Sama seperti di Skypark, aku ingin segera pergi. Tapi kalau sekarang, aku bisa pergi kemana?
“Bel, kamu mau kemana?” tanya Rakha.
“Pulang,” kataku sambil terus berjalan menjauhinya. Kutahan air mataku supaya tidak jatuh dan tidak dipandang aneh oleh orang yang ada di bukit karang ini juga. Ah peduli apa dengan mereka. Aku hanya ingin menjauh sekarang. Menjauh dari Rakha untuk menenangkan diri seorang diri.
“Bel, kamu harus dengerin aku dulu,” kata Rakha sambil menahan tanganku saat aku hendak menuruni tangga batu yang sedikit basah menuju tingkat yang lebih rendah.
“Aku ingin sendiri dulu sebentar, Kha. Lepasin!” kataku menolak. Kuputar lenganku untuk melepas genggaman tangan Rakha. Aku tidak menoleh sedikitpun padanya. Aku mulai menuruni salah satu anak tangga. Sial. Aku tergelincir karena sendalku selip dan jatuh terduduk pada dua anak tangga berikutnya.
“Bel!!” pekik Rakha dengan penuh kecemasan.
Kucoba untuk berdiri. Kutatap Rakha dengan senyuman yang dipaksakan, “aku gak apa-apa. Aku ingin sendirian dulu sebentar,” kataku kemudian kembali menuruni tangga menuju pantai.
Saat sudah sampai di pantai berpasir, aku berjalan menjauhi bukit karang tadi. Ada keinginan untuk menengok, sekedar mencari tahu dimana Rakha sekarang. Apa dia mengikutiku atau dia masih berada di atas sana.
Aku berhenti saat tiba di bagian pantai yang tidak terlalu ramai dan cukup jauh dari kerumunan orang. Aku langsung duduk di pasir menghadap ke laut. Kupandangi semilir gerakan ombak yang tidak ada habisnya dan hamparan laut biru dengan langit senja yang kemerahan. Aku larut dalam lamunanku, pikiran dan perasaan yang masih tidak bisa kupercaya telah terjadi.
Kucoba untuk menarik benang merahnya. Rakha minta bantuan Kelvin. Kelvin membantunya tapi malah membuatku jatuh hati padanya. Dan sekarang sudah terungkap kalau ternyata pacar Rakha yang di Bandung juga seorang cowok. Dia bohong padaku sejak awal kami memulai hubungan ini. Dan kebohongan seperti ini yang tidak bisa aku terima.
Kulihat matahari sore mulai merapat ke peraduannya. Ini sunset paling buruk yang pernah kulihat. Kubenamkan kepalaku di antara dua lututku yang kutekuk, dan aku mulai menangis.
**
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
@dafaZartin
@rizky_27
@boybrownis
@tialawliet
@priacupu
Happy galau guys.
udah hilang respect gue sm rakha.
Peluk ibel #hikhikhikz
malang bener nasipnya.
Jadi pengen tahu sudut pandang kevin.p bener dia gak terjebak perasaan saat m ibel.atau sekedar main2 j..
Penasaran m yang dibandung p ntar ibel juga kenal biar makin komplit ntar. #Heeeeeeee
tapi seru bang!!
Sabar ya bel.. #peluk
i know how u feel bel.. memang fakta sering membuat kecewa.. harapan kita ngga sejalan dengan apa yang ada..
semangat buat bang @inutile ye bikin lanjutannya hehe..
Oh ya, ada typo di part De Javu, yang dialog ini..
“Bukan sayang. Maksudnya bisa jadian kayak sekarang. Aku masih gak nyangka aja hal seperti ini bisa terjadi. Seperti mimpi, Bel,” kataku pelan, lalu tangan kanannya memegang tangan kiriku yang posisinya di tengah-tengah kami berdua. Dia membelai tanganku pelan.
Mungkin maksudnya itu si Rakha kali ya yang ngomong?? Okee.. Jangan lupa mention gue lagii..
“Bisa kita bicara sekarang, Bel?” tanya Rakha dengan nada bicara khawatir. Dia berdiri di sampingku yang masih duduk bertekuk lutut menghadap laut yang mulai menggelap.
Aku mengangguk, kemudian dia duduk di sampingku. Sebisa mungkin aku tidak menatapnya. Aku memandang lurus pada lautan yang kini tidak lagi biru dan hanya suara deburan ombak saja yang bisa kudengar. Hati ku terasa seperti lautan, gelap dan hanya berderu meneriakkan rasa sakit.
“Aku akan lakukan apa pun supaya kamu mau maafin aku atas semua yang aku lakukan ke kamu, Bel. Apa saja,” katanya pelan. “Termasuk ninggalin dia.”
Aku tidak bisa menahan diriku untuk memandang Rakha. Dia sama denganku, menatap kosong pada kegelapan di hadapan kami berdua. “Kenapa?”
“Karena aku sayang sama kamu, Bel. Sejak kita berdua resmi berpacaran, aku merasa hidupku udah sempurna. Gak ada lagi kebimbangan seperti saat kita belum jadian. Kamu membuat hidupku sempurna, Bel,” ujarnya. Dia menoleh dan menatapku dengan lembut. Tapi aku tidak bisa menatap wajah itu. Mata yang dari dulu kuidolakan itu, aku tidak sanggup menatapnya sekarang. Aku kembali membuang muka.
“Kamu sudah gak sayang sama dia?” aku mempertanyakan perasaannya dengan cowoknya yang di Bandung itu.
Rakha diam, tidak langsung menjawab. “Hubungan kami tidak terlalu baik beberapa bulan belakangan ini. Kurasa aku tidak bisa melanjutkan hubungan jarak jauh seperti ini. Karena itu aku merasa beruntung saat bisa memiliki kamu, Bel. Aku tidak perlu tertekan atas hubungan yang terpisah jauh. Aku bisa melihat kamu setiap hari, dan kamu yang membangkitkan semangatku setiap harinya, Bel.”
Aku mencoba menatap lagi. Menatapnya dengan tatapan antara benci dan sedih. “Jadi aku cuma pelarian kamu?” suaraku terdengar sedikit membentak.
“Gak, Bel. Bukan begitu. Aku sudah suka sama kamu sejak lama, sejak kamu pindah ke kosan-ku. Kamu bukan pelarian, Bel,” ujarnya. Tangannya bergerak untuk meraih tanganku, tapi lagi-lagi kutampik tangannya seperti saat di bukit tadi.
“Aku gak bisa, Kha. Aku gak mau jadi perusak hubungan orang. Kamu dan dia,” lirihku sedih.
“Bel, kamu bukan seperti itu. Hubungan aku sama dia memang sudah berantakan akhir-akhir ini,” elak Rakha. Aku diam dan dia mendesah kesal. “Oke. Aku akan telepon dia sekarang untuk bilang hubungan kami selesai, kalau itu bisa bikin kamu puas dan percaya kalau aku gak main-main,” katanya.
Dengan cepat Rakha mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Dia menekan-nekan tombol mencari nomor yang dituju, sementara aku hanya bisa menatapnya melakukan hal itu tanpa bereaksi sedikitpun. Hatiku meronta, pikiranku berseru. Ini salah! Aku tidak boleh membiarkan Rakha melakukannya. Aku tidak ingin hal ini akan menghantui pikiranku di tahun-tahun selanjutnya karena membuat hati seseorang sakit. Lebih baik aku yang sakit daripada orang lain. Nyatanya memang akulah yang masuk ke tengah-tengah hubungan mereka.
Ketika Rakha menekan tombol panggil, dengan cepat aku merampas ponselnya. Kutekan tombol untuk membatalkan panggilan. Rakha menatapku dengan sejuta pertanyaan. Kugenggam erat ponsel Rakha di tangan kananku.
“Aku gak mau kamu melakukan hal itu,” kataku tegas.
“Tapi aku harus ngebuktiin ke kamu kalau aku sungguh-sungguh, Bel,” ujar Rakha dengan tatapan memelas.
“Gak perlu,” kataku, sedikit senyuman mulai hadir di wajahnya, senyuman sesaat yang hilang saat aku mengatakan kalimat selanjutnya, “aku ingin hubungan kita yang berakhir.”
Rakha menatapku dengan penuh perasaan bersalah. Tatapannya getir. “Aku gak mau kita berakhir....”
“Kamu kenal dia lebih dulu daripada kenal sama aku. Kamu pacaran lebih dulu sama dia daripada sama aku. Dia lebih berhak untuk dapatkan kamu daripada aku, Kha. Aku bukan siapa-siapa yang tiba-tiba masuk ke dalam hidup kamu. Jadi aku ingin kita akhiri semua ini,” ujarku yang dalam setiap kata yang kuucapkan seperti ada silet yang sedang menyayat hatiku. Air mataku turun tanpa diminta.
“Gak, Bel. Aku mau kamu. Aku ingin kamu yang menemaniku hari ini, besok, dan seterusnya, Bel.”
“Gak bisa, Kha!” bentakku padanya. Hening.
“Bel, izinin aku buat milih kamu,” pintanya dengan suara yang sangat memohon.
Hatiku terasa semakin kelu karena ucapannya itu. Di salah satu relung hatiku yang paling dalam aku ingin mengabulkan permintaan Rakha barusan. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Ada yang akan tersakiti saat dia tahu alasan sebenarnya Rakha pergi darinya. Dan aku akan sangat merasa bersalah oleh hal itu.
Aku menggeleng pada Rakha. Dia menatapku sedih saat mendapati jawabanku yang menolaknya. “Please, Bel,” pintanya. Hatiku serasa tertusuk saat dia bilang begitu.
“Seandainya aku bisa menerima kamu, dan suatu hari kamu bertemu seseorang yang menurut kamu spesial, apa kamu akan mengatakan hal yang sama ke dia?” tanyaku pada Rakha. Pertanyaan yang tajam, membuatnya bisu seketika.
Rakha menghela nafasnya. “Kamu gak percaya sama aku?” tanya Rakha.
“Aku percaya kamu, Kha. Tapi aku juga percaya karma. Aku hanya gak ingin berada di posisi dia suatu hari ini,” terangku.
“Maafin aku, Bel. Aku merusak semuanya,” lirih Rakha pelan. Dia kembali menatap ke kegelapan lautan luas.
“Aku ingin pulang,” desisku padanya.
“Ya,” Rakha pasti kurang paham apa yang kumaksud.
“Maksudku, pulang. Ke Jakarta,” ulangku.
Rakha menatapku tidak percaya. “Apa gak bisa kita menghabiskan liburan ini berdua dulu sebelum berpisah, Bel?”
Aku menggeleng. “Aku hanya mau pulang sekarang, Kha. Pulang ke rumah.”
“Bel, please. Seenggaknya kamu bisa memberikan waktu kamu selama di Jogja ini buat aku. Aku janji setelah kita pulang ke Jakarta nanti, hubungan kita benar-benar berakhir. Aku gak akan menyinggung apa pun tentang apa yang kita lalui beberapa minggu ini antara kita,” ujarnya memohon.
“Aku gak bisa melakukannya, Kha. Semuanya bakal terlihat seperti kepalsuan di mataku kalau diteruskan. Aku ingin pulang!” tegasku padanya.
Beberapa detik Rakha menatapku seolah memintaku agar berubah pikiran. Tapi pikiranku sudah bulat. Aku ingin pulang sekarang. Kembali ke kamarku dan memikirkan ini seorang diri. Bagaimana dengan Rifka? Dia baru akan pulang akhir minggu ini. Ah aku bisa mengarang alasan untuk itu. Yang pasti, aku ingin pulang. Sangat ingin. Tidak ada yang bisa menahannya.
Rakha pun akhirnya menyerah. Dia melepasku untuk pulang sendiri ke Jakarta besok. Bukan naik kereta, aku memilih naik pesawat supaya aku lebih cepat sampai. Selama perjalanan pulang ke rumah abangnya Rakha, kami hanya saling membisu. Bahkan aku tidak sedikitpun menyentuhnya lagi. Aku lebih memilih berpegangan pada pegangan motor yang ada agak ke belakang. Keadaan begitu kontras dibandingkan saat kami pergi tadi.
Aku teringat aku belum mengatakan apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Kelvin pada Rakha. Menurutku hal itu sudah tidak penting lagi sekarang. Mungkin apa yang dilakukan Kelvin selama di Singapura hanya cara yang ditempuhnya untuk dapat menjawab pertanyaan Rakha. Aku menangis lagi selama di motor, sehingga beberapa kali aku harus membuka kaca helm untuk menyeka air mataku.
Besok paginya Rakha mengantarku ke bandara dan membantuku mencari tiket penerbangan tercepat ke Jakarta. Aku dapat penerbangan jam sepuluh pagi.
“Hati-hati di jalan ya, Bel,” ujar Rakha saat aku hendak masuk ke area check in. Dia tersenyum kecut menatapku. Perasaannya pasti sama denganku, berantakan. Tapi ini yang terbaik yang bisa kami berdua lakukan. Setidaknya kami bisa merapikan hati kami seorang diri daripada pura-pura tidak tahu bahwa hati kami sama-sama kacau oleh rahasia yang tersimpan dan telah meledak.
“Terima kasih atas semuanya, Kha. Maafin aku,” kataku lirih.
“Gak, Bel. Maafin aku,” ralat Rakha sambil tersenyum. Lalu dia memelukku dengan lembut. Pelukan perpisahan yang hangat seolah ini adalah pertemuan terakhir kami. “Aku selalu sayang sama kamu, Bel. Jangan lupakan itu,” bisiknya di telingaku.
Aku melepaskan pelukannya. Mencoba tersenyum pada Rakha untuk membuat perpisahan ini sedikit lebih baik meskipun nyatanya tidak. Aku tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya melambaikan tangan lalu masuk ke dalam area check in bandara.
Selama perjalanan sampai mendarat di Jakarta aku hanya melamun saja. Membayangkan Rakha dengan matanya yang indah, senyumannya yang manis, lesung pipit-nya yang juara. Hanya Rakha yang terbayang olehku. Tapi begitu aku teringat pada apa yang telah dilakukannya, mendadak hatiku kembali ngilu. Ada alasan kenapa aku memilih mengakhiri hubungan dengannya. Dan alasan itu yang harus terus kupegang supaya aku tidak menyesali jalan apa yang telah kupilih.
Entah apa aku bisa menjalaninya seperti dulu lagi. Rasanya lebih baik waktu kami belum berhubungan. Semua tentang Rakha terasa begitu menggairahkan dan membuat penasaran. Segala kode-kodenya terasa begitu menarik untuk dipertanyakan dan diimpi-impikan. Masa-masa itu sudah lewat dan mungkin tidak akan terulang lagi. Meskipun kami mencoba untuk bersikap wajar nantinya, aku tahu ada yang rasa berbeda yang akan mencuat ke permukaan.
Aku tiba di rumah dengan naik taksi dari bandara. Aku langsung menuju kamarku, tapi ada mama di ruang keluarga. Mama menyadari kehadirkanku dan menatapku dengan penuh tanya.
“Kok sudah pulang, Bel?” tanya mama bingung.
Entah apa yang harus kukatakan pada mama. Sempat terpikir olehku alasan bohong, tapi aku tidak sanggup mengatakannya ketika kulihat mama tampak begitu khawatir. Air mukanya menatapku cemas. Aku tidak tega untuk membohonginya. Anak macam apa aku ini?
Aku berjalan mendekati mama, lalu dengan perlahan kupeluk mamaku. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku memeluknya tapi pelukan kali ini terasa sangat menyejukkan. Air mataku turun perlahan begitu bayangan Rakha kembali muncul membuat pikiranku kalut.
“Maafin Ibel, Ma,” bisikku sambil terisak pada mama. “Maafin Ibel.”
Mama dengan lembut membelai-belai punggungku. Ini pelukan paling nyaman yang pernah kurasakan. “Iya sayang,” tutur mama lembut, mencoba menenangkanku.
Lalu aku melepaskan pelukanku pada mama, dan tanpa bersuara kuraih kembali koperku yang tadi kutinggalkan dan menuju ke kamar tanpa menatap mama sedikitpun. Kunaiki tangga menuju kamarku.
Aku langsung merebahkan diri di kasur saat tiba di kamar. Kupeluk gulingku dan mendekapnya dengan erat. Aku seperti kembali ke titik nol dimana aku hanya bisa menangisi hal yang telah terjadi. Aku membiarkan hatiku meronta dan melepaskan semua emosi yang tertahan. Kudekap gulingku dengan erat dan aku berhenti ketika melihat sesuatu di atas meja belajarku. Benda yang masih tetap ada disana dari sebelum aku berangkat ke Jogja.
Aku bangkit dan berjalan sedikit ke meja belajarku. Formulir untuk pindah kuliah yang diberikan mama waktu itu. Aku menatapnya beberapa saat mencoba membayangkan apa yang akan terjadi jika aku mengisinya. Aku akan ada di kampus baru dengan dosen dan teman-teman baru, juga lingkungan perkuliahan yang baru. Semuanya akan berbeda pastinya. Dan aku tidak akan bertemu dengan Rakha lagi.
Aku diam. Mungkin ini bisa jadi pelarianku. Ah, tidak. Bukan pelarian, tapi caraku untuk terus melanjutkan hidup tanpa tertahan oleh beban masa lalu yang tidak mudah di lupakan. Aku sadar betul hubunganku dengan Rakha nantinya di kampus tidak akan sama. Mungkin aku yang akan menghindar darinya dan membuat orang-orang akan bertanya-tanya. Apa yang terjadi sehingga membuat Rakha dan Ibel yang dari dulu terkenal dekat menjadi saling jauh-menjauhi? Dan aku tidak punya pertanyaan yang tepat untuk itu.
Dengan cepat aku duduk di kursi belajar dan meraih pulpen yang ada di tempatnya. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin menjalani hidup yang baru sekarang. Mencoba membuat kenangan pahit masa lalu terlupakan dengan awal-awal baru yang penuh kejutan.
Setelah selesai aku turun ke bawah, mama masih berada di tempatnya tadi. Kusodorkan formulir yang telah kuisi sepenuhnya. Mama menatapku heran, kubalas dengan senyuman, dan mama pun tersenyum padaku. Kurasa ini akan jadi awal yang baik. Aku bisa memulainya dari dasar sekarang. Aku merasa begitu lega ketika mama meraih formulirku. Rasanya seperti melepaskan semua beban yang sedang kutanggung sekarang.
**
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
@dafaZartin
@rizky_27
@boybrownis
@tialawliet
@priacupu
@Gabriel_Valiant
@foursquare
@animan