It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
thanks lg ku coba
Halo...
Maaf sudah sangat lama, sebenarnya mau post cerita ini pas udah end tp udah setahun belum end jg... ternyata menulis itu tidak gampang. ^:)^
Dengan tidak bermaksud apapun juga dengan segala keterbatasanku, aku menuliskan Bukan Sekedar Cinta 2 sebagai penghibur, jadi, semoga kalian menyukainya. Meski aku tau ini tidak cukup bagus... so, mohon bantuannya!!!
Salam Nara
_____________________________________________________________
Bukan Sekedar Cinta
Part I
Waktu boleh saja berlalu namun luka yang diakibatkan oleh patah hati tak akan hilang tertinggal bersama masa lalu. Dia akan terus mengikuti tanpa sang waktu tahu kapan persisnya luka itu akan sembuh, dan sekalipun ia sembuh tetaplah bekasnya tertinggal sebagai kenangan untuk menemani harimu...
Untuk mengingatkanmu….
Bahwa…..
Kau…..
Pernah terluka……
Kain lap itu bergerak memutar dengan perlahan pada permukaan piring melalui bimbingan tangan yang sebenarnya tidak fokus untuk melakukan pekerjaan itu karena, fokusnya berada ditempat lain bersama sebuah memori. Termenung, merupakan pekerjaan yang paling menyenangkan untuk dilakukan oleh orang yang sedang patah hati. Tak tau tempat, tak tau waktu, semua akan blank begitu saja dan sulit sekali
untuk mengembalikannya ke alam sadar.
Ini sudah masuk minggu ketiga Ian putus dengan Gugun, dan selama itu dia terus dibayangi kejadian yang menyakitkan tersebut. Perasaan kecewa menghantui, mengingatkannya tentang betapa bodoh dan lemahnya dia sehingga, usaha untuk mempertahankan hubungan cintanya saja dia gagal total. Sakit menyadari kalau dia telah kalah dari seorang selingkuhan.
Sigh!
Ian menghela nafas saat merasakan matanya kembali terasa panas. ‘Ayolah Ian hentikan tangisanmu! Gugun sudah bahagia bersama kekasihnya, kau hanya membuang-buang waktu.’ Berulang kali kalimat itu Ian ucapkan pada dirinya sendiri sebagai penguat sekaligus sebagai penyadar baginya akan kenyataan.
Seperti yang kebanyakan orang bilang, apa yang bisa diharapkan dari hubungan yang orang-orang seperti mereka ini jalani? Tetap akan ada akhir bahkan bagi cinta diantara dua orang yang telah come out sekali pun. Ketulusan adalah hal yang sulit ditemukan dalam hubungan macam ini, hampir semua orang mengakui itu. Dan Ian mempercayainya sekarang.
Sempat Ian memohon kepada Tuhan agar melenyapkan kedua orang yang telah menyakitinya tersebut. Bahkan saat malam terakhir bersama Gugun, didalam tangisya Ian berkali-kali meminta agar Tuhan segera mengambil kembali Gugun keesokan harinya supaya mereka tidak bisa bersama.
Picik?!
Seperti yang berlaku untuk harta dan kekuasaan, maka orang juga bisa berubah menjadi apa saja jika itu sudah berurusan dengan cinta. Meski tetap tak bisa dibenarkan namun hal itu wajar untuk dimiliki oleh seorang manusia yang senantiasa lupa.
Tepukan dibahu serta merta menyeret Ian kembali kealam sadar karena terkejut, sesuatu yang sulit untuk dia lakukan dengan usahanya sendiri.
“Kerja jangan bengong!”
Ian menoleh pada orang yang telah berjasa membawa kesadarannya kembali, dan sekarang orang itu sedang menarik kursi untuk duduk disebelahnya.
“Ngelamunin apa sih?” Tanya Bimo lagi.
“Nggak ada” Ian menjawab sekenanya. ‘Tolong jangan tanya lagi’ batinnya.
Bisa dia rasakan Bimo memperhatikannya dengan seksama dan itu membuat Ian tidak nyaman.
“Ya udah kalau nggak mau cerita” Kalimat itu membuat Ian lega.
“Ngapain kemari?” Tanya Ian sedikit heran karena, seharusnya dia didepankan membantu pelayan lainnya.
“Mau istirahat sebentar, gantiin aku ya! Biar ini aku yang kerjain” Kata Bimo nyengir seraya pura-pura malu saat mengambil kain lap dari tangan Ian tanpa permisi kemudian mulai mengelap piring.
Ian menarik nafas jengah dengan sikap Bimo yang terlalu sering cari enak. Orang satu itu memang sering kabur dari tugas membawa nampan pesanan kalau pengunjung lagi banyak. Tapi bagusnya dia tidak kabur total dari pekerjaan melainkan mencari pekerjaan lain yang lebih ringan sebagai pengalihan. Teman-teman sesama pelayan sebenarnya ingin protes tapi mengingat Bimo orang yang baik hati dan meski kebiasaan ini menyebalkan, akan tetapi dia juga sering mengulurkan tenaganya untuk membantu pekerjaan orang lain. Tak jarang Bimo pulang larut hanya untuk membantu pekerjaan sesama pelayan yang belum selesai.
Jadi, alasan itulah yang membuat mereka masih tetap diam dengan kebiasaan Bimo, walaupun sebenarnya itu cukup mengganggu.
Agak gontai Ian berjalan dikarenakan perutnya yang belum terisi sejak pagi tadi, padahal sekarang waktu menunjukkan hampir pukul dua siang. Selera makan Ian rusak seiring rusaknya hubungannya dengan Gugun. Dia sudah berusaha untuk makan seperti biasa karena bagaimanapun dia juga tidak mau berlarut dengan kekecewaan itu. Tapi tetap saja, dia selalu kesulitan untuk menelan setiap makanan yang masuk ke mulutnya dan pada akhirnya nasi yang hanya secuil itu pun akan tetap bersisa seperti tidak pernah tersentuh sama sekali.
Hari ini pun sama, Ian hanya minum saat makan siang dan melanjutkan kembali pekerjaannya. Entah kemana perginya rasa lapar itu dan anehnya Ian seakan tetap memiliki tenaga meskipun asupan nutrisinya tidak terpenuhi. Padahal pekerjaan sangat sibuk, dan Ian sadar betul dengan keadaannya tersebut sehingga dia sendiri sedikit khawatir apalagi ketika perlahan dia mulai merasakan pusing. Namun begitu, tetap tak sesuap nasipun masuk perutnya.
“Meja 14” Kata Toni
Ian menerima nampan tersebut lalu segera membawa kemeja yang dimaksud. Meja 14 merupakan salah satu meja eksklusif di restoran tersebut yang terletak disayap kanan bersebelahan dengan jendela kaca. Langkah Ian masih baik-baik saja diawal namun semakin mendekati meja rasa pusing yang dia rasakan kian menjadi. Sekuat mungkin Ian mencoba bertahan untuk menyelesaikan mengantar pesanan tersebut dan berniat istirahat setelahnya.
Seorang pria berpakaian rapi khas orang kantoran duduk dengan berkas-berkas ditangannya. Segera Ian menghampiri orang itu dan menyapa ala kadar. Tapi malang tak dapat ditolak, pandangan Ian seketika kabur, bukannya meletakkan pesanan ke atas meja tapi malah kepangkuan sipengunjung. Sempat Ian melihat orang itu terpekik kaget mendapati berkas-berkasnya tersiram minuman, dan sempat pula Ian mendengar makian sebelum semuanya menjadi gelap ketika kepalanya menyentuh lantai.
Ian sedikit terkejut saat membuka mata menemukan dirinya tidak berada dikamar yang biasa dia tempati. Ini bukan kamar Ian. Tentu saja, dia sudah tidak punya kamar yang biasanya dia tempati karena dia sudah pergi dari rumah itu. Sekarang dia menyewa kamar kecil disebuah kontrakan dengan sisa uang yang dia miliki. Sebenarnya bukan kamar, lebih tepatnya disebut gudang tak terpakai yang kemudian Ian minta untuk disewa. Entah merasa iba atau mencari keuntungan pak Agam nama pemilik kontrakan tersebut bersedia menyewakannya dengan harga yang sangat miring. Dan sudah semestinya begitu kan?!
Dan Ian yakin ini juga bukan kamar yang dia sewa, karena tempat itu begitu kecil, sempit juga sumpek.
Lantas, ini dimana?
Sejenak Ian mengedarkan pandangan menelusuri seluk beluk kamar tersebut untuk mencari tahu. Tirai berlapis putih dan coklat susu, televisi, meja dan kursi, sofa, AC, suasananya aneh. Dia benar-benar tidak punya gambaran dimana dia sekarang berada, hingga kemudian matanya menangkap keberadaan selang infus yang terpasang ditangan kanannya.
Rumah sakit!
Ini rumah sakit! Tapi tunggu, bagaimana dia bisa berada disana?
Ian mencoba mengingat hal terakhir yang terekam oleh memorinya sebelum dia tertidur dan bangun di tempat ini. Seingatnya dia sedang bekerja direstoran seperti biasa melakukan beberapa pekerjaan termasuk mengantar pesanan namun kemudian dia merasa sangaaat pusing dan... dia jatuh pingsan setelah menumpahkan minuman ke pakaian pengunjung.
Oh Tuhan! Dia menumpahkan minuman kebaju pelanggan lagi?
Kejadian yang baru saja Ian ingat membuat Ian tercengang, bagaimana tidak, baru saja dia diingatkan bahwa telah kembali melakukan kesalahan . Dan itu kesalahan yang sama seperti saat awal bekerja dulu. Dulu pak Rudi masih mau memaklumi karna waktu itu Ian masih baru, tapi sekarang?
Bagaimana ini? Apa pak Rudi akan marah? Apa beliau akan memecat Ian seperti yang pernah dia ancamkan dulu jika kesalahan itu terulang? Apalagi pengunjung itu duduk di meja eksklusif, pastilah dia orang penting. Oh ayolah, Ian bahkan baru dua bulan bekerja disana setelah dengan susah payah dia mencari pekerjaan lalu kemudiandia diterima disana. Tidak, Ian tidak mau dipecat secepat itu.
Dia sudah tidak punya tempat tinggal (layak), tabungannya hanya tinggal sedikit, dan sekarang dia terbaring dirumah sakit. Dengan apa dia membayar ini semua jika sampai dipecat? Dan juga, berapa lama dia bisa bertahan sebelum mendapat pekerjaan baru?
‘Ku mohon jangan biarkan ini terjadi padaku!’ batin Ian nelangsa.
Klek!
Saat Ian sibuk dengan kegundahan yang dia hadirkan sendiri seseorang yang tidak dikenal bertubuh tinggi masuk dan menatapnya dengan tatapan datar.
“Sudah sadar?” Tanya orang itu.
Dingin!
Dia berjalan mendekati Ian lalu berhenti disisi ranjang. Dia mendengus berat “Bagaimana keadaanmu sekarang?” Dia kembali bertanya.
Sangat jelas tak ada rasa semacam simpati dari pertanyaannya.
“Baik!” Ian berusaha terdengar ramah walaupun sebenarnya dia bingung. bingung tentang siapa orang itu dan mengapa dia bersikap demikian.
“Bagus” Katanya mengangkat alis dan berjalan menjauh.
“Merepotkan!”
Ian terkesiap!
Siapapun orang itu dia sengaja mengucapkan kata ‘merepotkan’ dengan suara keras supaya Ian mendengarnya sehingga Ian pun sadar bahwa dia telah merepotkan orang tersebut.
Meskipun merasa tidak nyaman dengan kata terakhir yang diucapkan pria ini, Ian tidak punya keberanian atau hak untuk tersinggung.
“Maaf!” Kata Ian cepat.
Pria itu menoleh sebentar menatap Ian dengan malas dan melanjutkan berjalan mendekati lemari disudut ruangan, membukanya, lalu mengeluarkan sebuah tas yang sepertinya adalah miliknya. Permintaan maaf Ian pun seperti tidak berarti apa-apa baginya.
‘Mungkinkah aku tidak mengucapkan dengan benar?’ Batin Ian bertanya-tanya.
“Saya minta maaf kalau ternyata sudah merepotkan anda!” Ulang Ian akhirnya.
“Simpan saja maafmu!” Ucapnya dengan nada yang sangat tidak enak didengar dan raut muka yang sangat tidak enak untuk dilihat. Entah mengapa dia begitu kesal mendengar permintaan maaf Ian. Dia lebih suka jika Ian diam saja saat ini.
Mendapat reaksi demikian Ian tersentak dan segera menunduk. “Maaf!” katanya lirih. Saat tersudut Ian justru semakin mengucapkan kata itu tanpa terkontrol.
Orang itu mendengus kasar. “Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Dan semuanya kacau berantakan!” katanya menusuk.
Ian menunduk semakin dalam, pria itu marah. ‘Terimakasih masalah karena setia mengikutiku’ kata Ian pada dirinya sendiri.
Tak lama Ian mendengar derap langkah berjalan kearah pintu selanjutnya suara pintu terbuka kemudian tertutup kembali. Ian menarik dan menghembuskan nafas lelah, lelah dengan apa yang dia alami akhir-akhir ini.
Ketika hanya kesunyian yang tersisa barulah Ian berani mengangkat wajahnya menatap pintu yang tertutup. Dia tidak tahu harus menggambarkan seperti apa perasaanya sekarang. Yang jelas, dia merasa seakan ada ribuan rayap sedang menggerogoti organ dalam tubuhnya saat ini.
Peristiwa malam itu kembali berputar. Didepan Gugun Ian bicara begitu tenang seakan semua baik-baik saja, tapi nyatanya tidak, bahkan sampai detik ini dia masih merasakan efeknya. Dan semua kian kacau, dia tahu tidak seharusnya berlarut dalam kesedihan jika tidak mau diikuti oleh masalah lain yang akan timbul nantinya. Contohnya sekarang. Jika saja dia bisa makan dengan baik dan tidak terlalu memikirkan masalah dengan Gugun, semua ini mungkin tidak akan terjadi. Dia tidak akan pingsan dan menumpahkan minuman pada pelanggan, dia juga tidak perlu berbaring disini dan satu lagi dia tidak perlu ketakutan memikirkan bagaimana kemungkinan reaksi pak Rudi nantinya.
Tapi, mau disesali bagaimanapun semua sudah terjadi dan satu yang perlu dia pikirkan sekarang adalah…
Bagaimana menyelesaikan masalah yang baru ini?
Kalau saja kamu masih bersamaku, aku bisa pastikan tangan kekarmu akan mengelus punggungku dan berkata “Kita akan cari jalan keluarnya bersama.”
Ian mengira kejadian beberapa waktu lalau adalah akhir dari hidup dan pekerjaannya, ternyata tidak. Pria dingin bernama Dewa itu baik. Walaupun tidak berarti baik saat berinteraksi langsung dengan Ian namun dia baik pada kasus lain. Kenapa begitu? Karena dia melunasi biaya rumah sakit dan tidak mempermasalahkan kesalahan Ian yang telah menumpahkan minuman padanya sehingga Ian pun selamat dari pemecatan.
Padahal karena kejadian itu Dewa kehilangan kerja sama dengan orang lain karena berkas-berkas tersebut basah.
Yang paling membuat tidak habis pikir adalah ternyata, dia orang yang sama dengan orang yang pernah Ian siram ketika awal bekerja dulu. Dan itu berarti Ian mengulangi kesalahan yang sama pada orang yang sama pula.
Sungguh mengagumkan, kesalahan yang sama pada orang yang sama. Dan hebatnya lagi tanpa konsekuensi sama sekali.( Hahaha… ups!)
Namun karena semua itu juga sekarang Ian berada disini, didepan kantor dewa, datang untuk kembali meminta maaf sekaligus berterimakasih. Dia tahu tempat kerja Dewa dari pak Rudi, beliau juga yang menyarankan agar Ian kesana karena beliau bilang Ian tidak akan bisa bekerja sebelum menemui langsung Dewa untuk minta maaf dan berterimakasih.
Ian harus menunggu lama untuk bertemu dengan Dewa yang ternyata adalah direktur utama di perusahaan tersebut. Tidak membuat janji menjadi resiko yang harus ditanggung untuk menunggu dalam bosan luar biasa. Akan lebih baik jika sekarang dia berada direstoran dengan nampan ditangan sambil berkeliling diantara meja-meja ketimbang duduk disini menunggu tanpa kepastian. Setidaknya begitulah yang ian pikirkan.
Ian melirik jam ditangan, dan kaget melihat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dan orang yang ingin dia temui belum menunjukkan dirinya di lobi. Dia sudah hampir menyerah saat akhirnya mendengar suara seorang wanita bicara.
“Pak orang yang ingin bertemu dengan anda masih menunggu”.
“Dimana?”
Sebentar saja setelah mendengar percakapan itu Ian segera melihat Dewa dan tatapan mereka bertemu. Tampilannya yang masih rapi pada jam 9 malam seperti ini tak mampu menutupi lelah yang dia rasa. Ian jadi tidak enak, dia lantas segera menghampiri Dewa.
“Mau apa?”
Masih saja dingin!
“Saya mau minta maaf atas kesalahan saya waktu itu dan juga berterima kasih pada anda karena sudah melunasi biaya rumah sakit. Saya benar-benar merasa tidak enak pada anda!”
Orang itu hanya memberikan tatapan bosannya sebelum kemudian dia berkata sambil berjalan pergi “Sepertinya aku sudah pernah bilang untuk menyimpan saja maafmu itu.”
“Tapi pak! Saya benar-benar tidak enak”
Seketika Dewa memutar badan menghadap Ian “Setelah menumpahkan minuman padaku dan menggagalkan kerjasamaku, berani sekali kau menampakkan wajahmu disini”
Raungnya berang. Kilatan marah memancar jelas dari matanya.
Ian tersentak mendengar ucapan Dewa.
“Kenapa diam?” Suara Dewa terdengar seperti ingin mencabik-cabik tubuh Ian. “Apa kau bisa membalikkan keadaan agar usahaku yang telah kau gagalkan menjadi berhasil? Jika tidak, lupakan saja! Karena aku tidak pernah berniat untuk memaafkanmu”
Dia berbalik melangkahkan kaki panjangnya menjauh tapi, lima langkah kemudian dia berhenti dan kembali memutar badannya menghadap Ian. “Dan soal biaya rumah sakit, kalau kau merasa tidak enak, kembalikan saja!” Begitu santai namun menusuk kalimat itu meluncur dari mulutnya. Dan Ian sadar itu bukanlah saran melainkan perintah.
Sebaiknya Ian melupakan soal ‘tanpa konsekuensi sama sekali’. Karena pada akhirnya dia pulang dengan sejumlah hutang dan bukan maaf seperti yang dia cari. Tanpa disuruh pun Ian sebenarnya juga berniat untuk membayar kembali pada Dewa biaya rumah sakit yang sudah dia keluarkan dengan cara menyicil.
“Apa ini?” Tanya Dewa tak sedikitpun tertarik menerima amplop coklat dari Ian.
“Uang ganti biaya rumah sakit, tapi saya tidak bisa melunasinya sekaligus. Jadi saya akan menyicil” Jawab Ian pelan dan ragu.
Sesuai permintaan atau lebih tepatnya perintah Dewa seminggu lebih dua hari yang lalu, Ian kembali kekantor Dewa begitu dia menerima gaji bulan ini. Setengah gajinya sudah masuk kedalam amplop coklat yang ada di tangan Dewa sekarang. Tidak banyak memang tapi seperti yang direncanakan sebelumnya, dia akan menyicil.
Dewa mengintip kedalam amplop tersebut. “Hanya segini?”
Tanyanya meremehkan dan sedetik kemudian melempar amplop itu keatas meja. “Bawa kembali!” Perintahnya dingin.
Ian mengerutkan kening, kesal tentunya. Dan meski sempat menduga bahwa kemungkinan ini yang akan dia terima sebagai sambutan namun tetap saja, menyakitkan jika benar-benar mendapat perlakukan seperti itu. Dia ingin protes atau setidaknya bertanya kenapa tapi, “Baik!” itulah jawaban yang keluar dari mulutnya.
Ian tidak habis pikir jika Dewa akan sepamrih itu, dia bahkan menolak uang tersebut dengan alasan terlalu sedikit. Tidakkah Dewa berpikir? Ian hanya seorang pelayan restoran dan sebatas itulah kemampuannya untuk menyicil. Dia tidak akan melakukan hal itu jika saja punya kemampuan untuk membayar lunas semuanya. Dan Dewa sendiri, bagaimana bisa dia menempatkan seseorang yang hanya dia kenal sebagai pelayan restoran pada kamar VIP di sebuah rumah sakit. Jika untuk menunjukkan rasa peduli, hanya dengan bersedia membawa Ian kerumah sakit saja sudah lebih dari cukup. Atau tidak perlu membawanya sama sekali, justru akan lebih baik.
Terkadang menjadi orang yang tidak mudah untuk mengutarakan rasa keberatan itu sangat menyebalkan rasanya. Sikap Ian saat ini membuatnya terlihat seperti peliharaan yang senantiasa patuh pada majikan tanpa peduli baik atau tidak perlakuan simajikan terhadapnya.
Sigh!
Tidak ada pilihan lain, sepertinya Ian memang harus menggunakan sisa tabungannya yang tidak seberapa untuk menambah jumlah uang ini agar bisa segera melunasi hutang tersebut.
Keesokan harinya Ian kembali ke kantor Dewa dengan membawa uang dalam jumlah pas karena dia berencana membayar lunas hutangnya hari itu juga. Dia memilih keputusan itu setelah berpikir cukup lama semalam. Dan hatinya berkata dia tidak ingin lebih lama lagi berurusan dengan Dewa karena itu, Ian terpaksa menguras habis tabungannya. Lagi pula, hutang memang sudah seharusnya segera dibayar jika mempunyai kemampuan untuk membayarnya. Dan Ian mampu meskipun dia akan jadi gelandangan setelahnya.
Masih seperti kemarin Dewa mengintip tak berminat ke dalam amplop lalu dengan kasar dia membuka laci sebelah kiri mejanya dan melempar amplop pemberian Ian.
“Akhirnya kau sadar untuk tidak cari enak” Dewa menatap langsung mata Ian dengan seringaian yang menyebalkan.
“Pergi!” Usir Dewa setelahnya.
Ian menarik nafas lega, tak masalah dengan perlakuan Dewa setidaknya dia menerima uang itu kali ini. Ian segera permisi sebelum membuat Dewa semakin muak dengan keberadaannya.
“Tunggu!”
Ian sudah memegang gagang pintu, namun mengurungkan untuk membuka dan menoleh pada Dewa.
“Kemari!” Panggil Dewa dengan gaya menyebalkan.
Dewa membuka kembali laci dimana dia menaruh uang tadi, mengambilnya dan dalam gerakan cepat melemparnya pada Ian. Reflek Ian pun sigap menangkap amplop itu. keningnya berkerut bingung.
‘Apalagi sekarang? Mungkinkah dia berubah pikiran? Tapi ini sudah semuanya’ Ian bertanya-tanya pada diri sendiri.
“Temui Marisa dan tanyakan padanya daftar belanjaan yang harus kau beli”
Ian semakin bingung. Dewa menatap tidak percaya. “Tidak mengerti, huh?”
Ian menggeleng.
“Pakai uang itu untuk belanja keperluanku. Daftarnya ada di Marisa, temui dia sekarang! Apa sekarang kau paham?” Tanyanya sengaja menekan penuh kata ‘paham’.
“Baik!” Jawab Ian pelan.
“Dan langsung bawa belanjaannya ke apartemenku”
“Ta-tapi saya tidak tau apartemen anda?”
“Tanya Marisa!” Suara Dewa mulai meninggi.
Ian mengangguk dan segera keluar menemui orang bernama Marisa.
Mungkin jika orang lain melihat, mereka akan berpendapat kalau Ian adalah orang yang patuh dan tidak suka cari masalah. Mereka hanya tidak tahu tentang betapa kesal dan dongkol Ian saat mendapat perlakuan seperti itu. Berhutang tidak bermakna menjadi budak kan?
ditambah lagi, siapa pula itu Marisa?
Setelah bertanya pada orang yang tidak sengaja dia temui Ian pun menemui sekertaris bernama Marisa dengan wajah masam. Tidak seperti sekertaris kebanyakan, Marisa malah memiliki ruang kerja yang agak jauh dari ruangan Dewa. Dan kalau diingat-ingat, Dewa memang memiliki ruangan terlalu jauh dan terpisah dari yang lain. Begitu keluar dari ruangannya hanya lorong yang bisa ditemui sebelum akhirnya sampai pada ruangan besar dimana para karyawan bekerja. Sepertinya Dewa bukan orang yang suka bersosialisasi.
“Maaf mbak, Pak Dewa menyuruh saya untuk belanja keperluannya. Dan kata beliau daftarnya ada pada mbak!”
Ian sebenarnya ingin memanggil 'Bu' tapi saat melihat wajah Marisa yang masih sangat muda yang keluar malah 'mbak'
Mendengar ucapan Ian, wanita cantik itu tak sedikitpun menutupi rasa herannya “Iya daftarnya ada pada saya tapi, kenapa anda yang membelinya?”
Ian tersenyum menggeleng, kontras dengan perasaannya saat ini. “Saya juga tidak tau mbak, tapi pak Dewa berpesan begitu. Saya sudah terima uangnya” Ian menunjukkan amplop ditangannya.
“Uang tunai? Tapi sepertinya orang yang biasa belanja keperluan pak Dewa belum pernah menerima uang tunai langsung dari pak Dewa!” Marisa masih mengernyit heran dan kali ini diikuti tatapan menyelidik.
Ian kembali tersenyum ramah melawan perasaannya yang kian gusar, ingin dia cepat pergi dari tempat itu.
“Sebenarnya ini uang bayar hutang saya pada pak Dewa, dan pak Dewa meminta saya untuk membelanjakan uang ini. Mbak bisa tanya langsung pak Dewa kalau memang ragu”
Marisa terus memperhatikan Ian namun tidak dengan tatapan menyelidik seperti tadi, dia lalu mengambil gagang telfon dan menekan beberapa digit angka. Sepertinya dia memang tidak yakin dengan Ian dan memilih bertanya langsung pada bosnya perihal masalah belanja itu. tak lama Marisa pun terlibat percakapan dengan seseorang yang dia pangggil pak. Sementara Ian, berkali-kali dia menarik nafas dalam untuk menenangkan diri.
“Baik pak, itu saja tambahannya?”
“……..”
“Baik!”
Marisa memutuskan sambungan telpon lalu dengan cekatan membuka laci sebelah kirinya mengambil selembar catatan lumayan panjang dari sana.
“Sebentar saya tuliskan dulu tambahan yang pak Dewa minta barusan!”
Ian mengangguk masih dengan senyuman di bibirnya. Jari lentik itu pun bergerak lincah menuliskan huruf demi huruf pada kertas yang sebenarnya sudah penuh.
“Maaf menunggu, Ini daftarnya. Dan maaf atas sikap saya tadi, saya hanya menjalankan tugas saya!”
Itu dia, Marisa hanya sedang melakukan tugasnya. Karena Dewa seperti itu bukan berarti orang disekitarnya juga demikian.
Sambil berjalan Ian memperhatikan daftar yang tidak sedikit itu, membacanya satu per satu, dan begitu matanya bertemu dengan tulisan tangan Marisa barulah Ian tahu kalau semua yang dituliskan Marisa itu harus dicari di pasar tradisional.
--
Sayur, buah, ikan segar, daging, snack, minuman kaleng dan saset serta berbagai bumbu juga keperluan dapur lainnya dan semua itu harus Ian cari di dua tempat berbeda.Ian seakan tidak percaya seorang Dewa benar-benar membutuhkan barang-barang itu.
Mengingat hari sudah agak sore Ian terlebih dahulu ke pasar tradisional, kemudian lanjut ke supermarket besar.
Ketimbang di supermarket Ian lebih banyak menghabiskan waktu dipasar tradisional karena daftar belanjaan yang memang lebih banyak tersedia disana. Selesai belanja disupermarket hari sudah gelap, dan masih ada yang belum terbeli, ikan segar. Bukannya Ian tidak membelinya langsung saat ke pasar tradisional tadi, hanya saja ikan yang dia cari tidak ada. Kebanyakan ikannya sudah tidak segar dan bukan jenis yang dia cari. Seorang penjual ikan menyarankan untuk datang langsung ke dermaga dimana biasa ikan diturunkan nelayan. Ian sudah kesana dan belum ada pelayan yang datang membawa ikan tersebut, kembali seseorang menyarankan agar menunggu atau kembali lagi nanti. Ian menuruti dengan langsung ke supermarket dan berniat kembali nanti. Namun sekarang, melihat jumlah belanjaan ditangannya Ian memutuskan untuk tidak mencari lagi ikan itu dan langsung ke apartemen Dewa. Dia sudah tidak peduli dengan reaksi Dewa, lagipula jari-jarinyanya sudah tidak muat jika sampai ada kantong plastik belanjaan lainnya.
Didepan pintu apartemen milik Dewa Ian mematung dengan tangan penuh sesak hasil berburu lebih dari tiga jam tadi. Agak ragu Ian mengetuk pintu didepannya. Tak ada suara balasan dari dalam.
‘Apa dia belum pulang?’ Batin Ian, lalu bagaimana belanjaan ini? Ian tidak mungkin membawa pulang barang sebanyak ini ke tempat tinggalnya, kamar kecil itu tidak akan mampu menampungnya. Terpaksa Ian menunggu kalau begitu.
Lelah akibat berbelanja, Ian pun berjongkok sambil menunggu didekat pintu apartemen Dewa, menyandarkan tubuh penatnya pada dinding untuk sedikit merilekskan otot-ototnya yang kaku. Jika saja ini dilakukan untuk orang yang dicintai, penat ini akan terasa lebih nikmat. Ian berani bertaruh untuk itu karena dia sudah pernah merasakannya. Saat melihat senyuman bahagia orang yang dia cintai, lelah itu akan menguap begitu saja bahkan, kerap kali Ian tak merasa lelah ataupun penat sebab semangat cintanya telah mengalahkan semua itu.
Seulas senyum terukir indah pada wajah pria yang tengah patah hati. Hanya dengan mengingat dia pernah melakukannya dia sudah merasa begitu senang karena setidaknya selama tiga tahun ada yang dia lakukan demi orang tercinta. Dan sekarang, ada rasa rindu melakukannya lagi, hanya untuk orang itu tentu saja, Gugun.
Pintu apartemen mendadak terbuka dan Dewa muncul disana dengan bathrobe.
“Bawa masuk dan langsung susun dikulkas!” Perintahnya menggunakan irama menindas.
Ian menjawab perintah Dewa melalui tatapan lelahnya. Dia perlahan bangkit dari berjongkok, sekujur tubuhnya jadi semakin kaku saja, mengikuti langkah Dewa yang membawanya ke dapur. Sampai disana Ian menurut saja untuk menyusun semua belanjaan meski sebenarnya dia melakukannya dengan setengah hati, namun begitu dia berusaha tetap rapi agar tidak disuruh mengulang pekerjaan itu. Sementara Ian sibuk dengan pekerjaan susun-menyusun, Dewa sepertinya terlihat sibuk membuat sesuatu untuk dirinya sendiri.
“Dari semua belanjaan, hanya ikan segar yang tidak berhasil saya beli” Lapor Ian takut-takut. Lebih baik memberitahu sendiri daripada Dewa sendiri yang menemukan ada kekurangan dari daftar belanjaannya.
“Hmmm!” Dewa menanggapinya sambil lalu.
Ian agak terpana karena tanggapan Dewa tidak seperti yang diperkirakan olehnya. Tadinya dia mengira laporannya akan disambut jawaban sinis atau semacamnya. Namun ternyata tidak, malah Dewa kelihatan santai saja dengan belanjaannya yang tidak lengkap itu.
Saat sedang sibuk berkutat dengan sesuatu yang ingin dimasaknya, tiba-tiba ponsel Dewa berdering. Dia pun pergi menerima panggilan tersebut dan sejurus kemudian dia terlibat percakapan penting. Tak lama Ian juga selesai dengan tugasnya dan ingin segera pamit. Namun entah mengapa dia justru berhenti saat melihat pekerjaan Dewa yang ditinggal begitu saja. Dan tanpa dia sadari, seperti terpanggil dia telah berada disana untuk mengambil alih pekerjaan tersebut.
Tak butuh waktu lama bagi Ian yang memang sudah terbiasa dengan memasak untuk menyajikan tiga menu sekaligus. Menu yang gampang tentunya, karna tak mungkin juga Ian memasak makanan berat plus ribet malam begini. Dan selama Ian memasak sampai semuanya selesai Dewa tak sekali pun datang ke dapur, sepertinya dia menerima telpon yang sangat penting.
Huffft!
Ian tersenyum melihat hasil kerjanya, sudah lama dia tidak melakukan ini, menyiapkan makan malam untuk orang lain. Ternyata dia masih menyukai melakukannya, yang tidak dia suka hanya orang yang akan menikmati makanan itu.
“Kau yang menyiapkan ini semua?” Tiba-tiba Dewa sudah berada dibelakang Ian.
“I-iya” Jawab Ian disertai anggukan. “Boleh saya pergi sekarang pak?” Tanya ian lagi nyaris tanpa jeda.
“Ya, pergilah!” Katanya santai sambil menarik kursi untuk duduk dan mulai menikmati makan malamnya.
Tidak ada terima kasih sama sekali meski sekedar basa-basi karena Ian telah membuatkannya makan malam, sama seperti tidak ada terima kasih untuk acara belanja hari ini yang sudah menguras energi serta waktu Ian. Tidak ada terimakasih untuk itu semua.
Dan bagi Ian itu bukan masalah, toh dia juga tidak mengharapkannya. Lagi pula Ian sedang merasa sedikit senang, senang yang menyesakkan. Apa yang Ian lakukan di dapur tadi telah membawa kembali memori tentang tentang orang itu.
‘Gun sedang apa kamu sekarang?’ Ian membuat monolog.
Sigh!
‘Apa kamu bahagia Gun?’ Ian menertawakan diri sendiri perihal monolog yang baru saja dia ciptakan. Tentu saja Gugun bahagia, dia sedang bersama orang yang dia cintai saat ini, jadi mana mungkin dia tidak bahagia. Ian tersenyum getir bersama helaan nafas kalah.
‘Paling tidak…. ada salah satu dari kita yang bahagia.’
Dan berbagai monolog lainnya mengiringi langkah Ian saat meninggalkan apartemen Dewa.
“Woi! Masih aja doyan ngelamun” Tegur Bimo. “Antar tuh pesanan, dan gak pake acara tumpah segala”
Walaupun sempat terkejut tapi Ian terkekeh mendengarnya. Dia tahu kalau Bimo cuma bercanda untuk menggodanya bukan untuk mengolo-olok.
“Kali ini tak akan!” Balas Ian percaya diri.
“Meja Berapa?”
“Empat Belas! Ingat jangan sampai tumpah lagi” Kata Bimo kembali memperingatkan Ian.
“Iya, tuan besar!” Ian menjawab sambil melenggang pergi.
Pantas saja Bimo berpesan seperti tadi karena, ternyata penghuni meja tersebut adalah seorang Dewa.
“Sepertinya akhir-akhir ini kau suka sekali menunjukkan wajahmu didepanku? Kau senang bisa menggangguku?”
Kalimat itu hampir membuat Ian kembali menumpahkan minuman saat sedang menata pesanan tersebut diatas meja.
Ian memasang wajah bingung.
“Ah… Atau kau ingin kembali menumpahkan minuman itu padaku?”
Ian menggeleng gugup “Saya tidak pernah bermaksud begitu
pak. Saya hanya bekerja lagi pula waktu itu…”
“Mengapa bukan orang lain saja yang mengantarnya? Ada banyak pelayan lain kan disini, kau sengaja mencari perhatianku?” Dewa memotong begitu saja kalimat Ian yang belum selesai dia ucapkan.
Ian membelalak kaget. Apa? Dia bilang apa? Ian mencari perhatian? Yang benar saja!
Secepatnya Ian menguasai diri dari kekagetan yang diefekkan oleh ucapan Dewa. “Maaf pak! Saya akan pastikan lain kali orang lain yang akan mengantar pesanan anda”
Ian lalu segera berbalik hendak pergi meninggalkan pria itu namun, langkah Ian malah terhenti karena Dewa menahan tangannya.
Lagi-lagi Ian dibuat kaget.
“Kenapa pergi, bukankah kau ingin menggangguku?”
“Maaf pak, tapi saya tidak bermak-”
“Duduk!”
Alis Ian bertaut heran, dan dia pun menggelengkan kepala kuat. “Saya harus bekerja” Tolaknya berusaha melepaskan tangan dari genggaman Dewa. Tetapi sial Dewa justru menguatkan genggamannya, kuat sekali. Tubuh ringkih Ian yang lebih kecil dan pendek darinya tak mampu berkutik.
Hanya butuh beberapa detik saja mereka sudah menjadi tontonan orang-orang disana.
“Pak tolong lepas! Orang-orang melihat”
Dewa tak mengindahkan permohonan Ian, dia bahkan mengabaikan sekeliling yang mulai berbisik menyaksikan kejadian dramatis ini dan hanya menatap tajam pada Ian.
Merasa penolakannya akan sia-sia Ian menuruti perintah Dewa untuk duduk sambil menahan malu karena diperhatikan banyak orang termasuk teman-temannya sesama pelayan.
“Ada apa ini?”
Tanya seseorang yang sangat Ian kenal, Pak Rudi. Bagus! Lengkaplah sudah.
Takut-takut Ian menoleh pada asal suara.
“Apa ada masalah Pak?” Tanya pak Rudi ramah sambil manatap Dewa dan Ian bergantian.
Barulah sang Dewa mengalihkan pandangannya yang sedari tadi hanya tertuju pada Ian beralih pada pak Rudi.
“Tidak ada, aku hanya minta dia menemaniku makan.” Kata
Dewa enteng.
Pak Rudi segera mengalihkan pandangannya pada Ian yang secepat mungkin menunduk.
“Boleh kan?” Tanya Dewa lagi.
Tidak ada jawaban dari pak Rudi untuk beberapa saat.
“Tapi… dia sedang bekerja dan lagi pula saya rasa tidak akan enak dengan pegawai lain” Jawab pak Rudi.
“Kalau begitu lain kali aku akan mengajak yang lain.”
Ian melongo mendengar jawaban yang meluncur dari bibir seseorang yang sepertinya memang merasa kalau dia adalah seorang Dewa. Bahkan pak Rudi sekalipun kehilangan kata-katanya.
“Terima kasih sudah bersikap bijak tapi ku kira aku mendapat hak khusus di restoranku sendiri, bukan begitu pak Rudi?”
Restoran sendiri?! Apa maksudnya? Mata Ian bergerak gusar mencari kebenaran pada pak Rudi.
“Baiklah, mohon panggil kami kalau anda membutuhkan sesuatu”
Dengan kalimat itu pak Rudi pamit meninggalkan Ian disana yang hanya mampu mengantar kepergian atasannya itu dengan tatapan tidak percaya.
“Kau mau makan sesuatu?” Ian mengalihkan pandangan pada Dewa yang baru saja bertanya padanya.
“Tidak, terimaksih!” Ian menggeleng tegas diantara kebingungan yang menguasainya.
“Ayolah, atau jika kau tidak keberatan kita bisa berbagi minumanku?”
Ian berani bersumpah kalau itu bukanlah tawaran melainkan ejekan telak.
“Tidak, sekali lagi terimakasih”
Dewa tersenyum miring dan tanpa Ian duga dengan santai Dewa memanggil seorang pelayan lain lalu memesan minuman untuk Ian. Bisa Ian lihat wajah tidak senang temannya itu saat mengantarkan minuman kemeja mereka. Ian hanya bisa memberikan tatapan ‘minta maaf’ pada orang itu. Ian tidak bermaksud membuat temannya melayaninya.
Mie instan didalam mangkok Plastik didepan Ian sudah tak memiliki bentuk lagi. Entahlah, perut lapar tapi selera makan Ian hilang, dan untuk pertama kalinya itu tidak berkaitan dengan Gugun. Sesuatu telah sangat berhasil menarik perhatiannya hingga mampu mengalihkan perhatian Ian dari Gugun untuk sementara ini. Sebenarnya ‘sesuatu’ itu hanyalah berupa percakapan Ian dengan Pak Rudi, bukan hal penting memang tapi isi percakapan tersebut cukup membekas diingatan Ian.
Tadi siang setelah menemani Dewa makan Ian menemui Pak Rudi karena beliau memanggilnya. Dan selanjutnya terjadilah percakapan itu
-Falshback-
“Apa kau punya masalah lain dengan Pak Dewa, maksudku diluar masalah minuman tumpah?” Tanya pak Rudi membuka percakapan meraka.
Ian mencoba untuk mengingat kemungkinan ada kesalahan lain yang pernah dia lakukan. Tapi rasanya, tidak ada selain dua kali menumpahkan minuman.
“Selain yang menumpahkan minuman, saya rasa tidak ada pak”
“Kau yakin?”
“Hmm… iya kecuali, permintaannya untuk mengembalikan uang biaya rumah sakit bisa dimasukkan dalam kategori masalah baru”
“Dia memintamu mengembalikannya?” Tanya pak Rudi heran.
Ian mengangguk mengiyakan. Pak Rudi tampak menghela nafas.
“Hmm… pak, apa maksud pak Dewa tadi? Apa ini benar restorannya?” Ian bertanya ragu.
“Iya, ini retorannya dan aku hanya mengelola saja. Dia atasan kalian yang sebenarnya”
Ian mengangguk mengerti tapi tetap terkejut dengan pernyataan pa Rudi. Menari-nari dalam kepala Ian kesalahan yang telah dia lakukan pada bos mereka yang sebenarnya.
Sekarang dia bisa memahami mengapa pak Rudi tadi meninggalkannya bersama Dewa. Padahal dia sempat dia berpikir pak Rudi orang yang tidak tegas karena begitu mudah tunduk pada pelanggan congkak seperti Dewa.
“Lalu mengapa bapak menegur Pak Dewa?”
“Bukan menegur hanya saran. Sebab pada situasi tertentu dia mau mendengarkan, dan pun dia tidak mau jika saya tidak bisa tegas dalam pekerjaan. Bisa saja kan itu bentuk tes yang dia berikan pada saya?”
“Maksudnya?”
Pak Rudi tersenyum kecut.
“Dia orang yang sedikit membingungkan. Pada dasarnya dia baik tapi kecepatan perubahan sikapnya membuatnya tak tertebak dan menenggelamkan sifat baik yang dia miliki. Dia selalu membantu orang tanpa minta imbalan, makanya saya agak terkejut dia malah memintamu mengembalikan uang itu.” Pak Rudi berhenti sebentar “Saya pikir telah terjadi sesuatu antara kalian makanya dia minta uangnya dikembalikan?” pak Rudi mengangkat kedua alisnya menunjukkan kalau dia sedang bertanya pada Ian.
“Entahlah pak, tapi hari itu saya hanya menjalankan yang anda perintahkan pada saya untuk menemuinya sebelum kembali bekerja dan hari itu juga Pak Dewa mengatakan kalau saya merasa tidak enak saya hanya perlu mengembalikan uangnya”
Pak Rudi mengerutkan kening kemudian menghela nafas
“Seperti yang saya bilang tadi dia tidak tertebak, apa lagi kalau sampai ada yang membantah dia bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu singkat. Akan tetapi dia juga tidak suka jika kau terlalu menurut. Pada saat tertentu dia justru mau kau bertahan dengan pendapatmu, jika memang itu benar. Dan yang perlu kau lakukan adalah meyakinkannya tentang kebenaranmu”
Ian mengangguk berusaha mencerna setiap kata pak Rudi yang sangat cocok dengan Dewa yaitu… membingungkan!
“Dan pada situasi tadi saya melihat dia memang sedang tidak ingin dibantah jadi saya mengurungkan niat untuk mempertahankan pendapat saya. Perlu kau tahu dia nyaris tidak pernah mengungkit tentang kepemilikannya terhadap restoran ini. Tapi tadi dia malah mengatakannya dengan jelas tadi, karena itulah saya mengalah. Sebab saya pikir dia sedang dalam mode ‘tidak ingin dibantah’ bukannya mode ‘pertahankan pendapatmu’”
-End Flashback-
Ada rasa tidak percaya bahwa Dewa adalah pemilik restoran sebenarnya tapi itulah kenyataannya. Terjawablah mengapa Pak Rudi tidak memecat Ian padahal konsekuensi itu pernah dia ancamkan jika kesalahan itu terulang, malah pak Rudi menyuruh Ian untuk menemui Dewa dan minta maaf. Itu semua karena keputusan mutlak ada ditangan Dewa. Hanya satu hal yang sedikit membangunkan rasa penasaran Ian, jika mengingat sikap Dewa pada Ian sampai detik ini seharusnya Ian sudah dipecat dari awal kan? Lalu mengapa Dewa tidak melakukannya? Haruskah Ian mengembalikan predikat baik pada orang itu? mungkin dengan sedikit tambahan seperti ‘Si membingungkan yang dingin tapi baik hati’?
Oke selesai part 1
untuk sementara ini dulu, yang lain masih aku kerjakan.
Tantangan terbesarku saat menulis cerita ini adalah Dewa, si misterius yang bahkan sangat misterius bagiku sendiri sebagai pencipta karakternya. Dia selalu saja berubah-ubah dalam imajinasiku. Sulit untuk menyampaikan sifat anehnya agar terkesan tidak terlalu aneh saat dibaca. Dan sepertinya aku gagal, yah, aku masih amatiran. Masih harus banyak belajar. Karena itu, mohon bantuannya!!!
Maaf jika kurang berkesan, karena untuk saat ini hanya sebatas ini kemampuanku dalam menulis.
jadi terimakasih sekali bagi yang mau mampir.....!!!!
Ko @Tsunami @elul @Tsu_no_YanYan @d_cetya @joshdavid62 @dafaZartin @Enykim @handikautama @iqi_uzuchan @iqi_uzuchan @idiottediott @obay @lulu_75 @wita Bang @balaka Kak @cute_inuyasha @rizky_27 @672048 @mamomento @bumbellbee @miw @Gabriel_Valiant @kimo_chie @rhe.rhe @animan @darwin_knight @Soni_Saja @idhe_sama @farizpratama7 @YANS FILAN
masuk reading list dulu
untung aku bacanya baru kemaren, langsung dikasih obat setelah sakit hati mikirin ian.. Tapi ada satu yang sama dalam imajinasiku setelah membaca season 1, ian dekat dengan pemilik restonya..
@VeneNara kita sehati *kedip-kedip nakal*
peluk TS.. cipok juga @3ll0 sudah di mention..
Waaah gak enak ama TSnya nih yang cuman dapet pelukan dari @elul .tapi aku malah dapet cipokan.wkwkwk
Dewa - Rudi - Gugun .... Hmmmm :-?
Lagihh lagihhh lagih ><