It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
apakah dewa pengganti gugun? semogaa.
menurut gw udah berhasil kok bro menciptakan sosok dewa yg misterius. kayaknya ada sesuatu nih sama dewa.
penasaran juga sama gugun gimana
“Hei…” Panggilan itu terdengar syahdu.
“Hmmm…?” Ian enggan membuka mata, malahan dia menuntun tangan yang membangunkannya untuk melingkar kepinggangnya yang tertutup selimut. Dengan senang hati tangan itu melakukannya bahkan Ian mendapat bonus kecupan dilekuk lehernya.
“Ini sudah siang, kamu mau disini terus sepanjang hari?”
“Apapun itu asalkan bersamamu?”
“O ya?”
“Ya!” Tegas Ian meyakinkan.
Selanjutnya kecupan demi kecupan mendarat pada wajah Ian diikuti pelukan yang semakin erat mendekapnya penuh kehangatan.
“Gun!” Panggil Ian membuka mata.
Senyap!
Reflek Ian mengedarkan pandangan ke segala arah dan saat dia menyadari sesuatu, dia hanya mempu meraba dada kirinya yang berdegup kencang. Tak ada siapapun di ruangan sempit itu selain dia sendiri. Yang tadi tak lebih dari sebuah mimpi, mimpi akibat rindu yang bersarang dan mungkin terus bersarang untuk waktu yang lama dihatinya.
Hari boleh terus berganti, begitu juga dengan minggu dan bulan, namun tidak dengan perasaan Ian. Semua tetap sama, hanya saja ada luka yang sekarang menjadi hiasan dan dia tak bisa lagi menyentuh cintanya seperti dulu. Itu saja yang berbeda, selebihnya, semua tetap sama. Begitulah jika mencintai orang dengan terlalu, bukannya naif atau, memang iya demikian, ditambah pula tindakan bodoh karena tetap memikirkan orang yang sudah jelas menjadi milik orang lain sekarang. Namun begitulah cinta bekerja, seperti halnya tak ada yang bisa memastikan bahkan memaksa kedatangannya maka tak ada satupun juga yang bisa memastikan juga memaksanya untuk pergi.
Ian mendatangi ruang kerja Pak Rudi sebab kata salah satu pegawai, beliau mencari Ian tapi orang itu tak memberi tahu untuk keperluan apa dia dipanggil.
Tok tok tok
“Masuk!”
“Selamat siang pak, Bapak memanggil saya?” Tanya Ian begitu berada didalam.
“Ya, barusan Dewa meminta dikirimkan makan siang ke apartemennya, tolong antarkan pesanannya kesana!”
“Saya Pak?” Ian agak kurang setuju dengan perintah yang baru saja diberikan padanya. Masih dia ingat dengan jelas pernyataan Dewa yang mengatakan dia mengganggunya dan mencoba mencari perhatian. Apa jadinya kalau sampai Ian benar pergi untuk mengatar pesanan itu, bisa-bisa Dewa semakin berpikir jika Ian memang mencari perhatian dari orang macam dia.
“Ya, kamu kan yang saya panggil kemari?”
“Kenapa tidak yang lain saja pak?”
Pak Rudi menatap Ian aneh dengan kening berkerut, “Kenapa? Kamu terlihat keberatan?”
“Bukan begitu, bapak kan tau sendiri saya punya kesan tidak baik dengan Pak Dewa. Saya juga merasa Pak dewa tidak menyukai saya, jadi saya tidak enak kalau terlalu sering bertemu dengan Pak Dewa”
“Yang lain tidak tau alamatnya”
“Kan bisa dituliskan alamatnya!” Kata Ian bersikeras, namun segera menunduk mendapat tatapan Pak Rudi. Bagaimanapun dia tak mau dianggap membangkang meskipun baru saja dia melakukan hal tersebut.
“Dia mau pesanannya segera datang jadi jika saya menyuruh yang lain akan butuh waktu lebih lama sebab mereka perlu mencari terlebih dulu. Dan saya tidak tau apa yang akan terjadi kalau sampai pesanannya terlambat datang, kamu sendiri sedikit banyak sudah tau sikap Dewa kan? Lagi pula Dewa sendiri yang meminta kamu saja yang mengantar karna kamu sudah tau tempat tinggalnya. Jadi kamu yang pergi!”
Sigh!
“Baik!” Ian menunduk pasrah.
Ian sudah beranjak dari hadapan pak Rudi sebelum akhirnya beliau bertanya kembali.
“Tapi dari mana kamu bisa tau alamat Dewa?”
“Itu… Pak Dewa pernah menyuruh saya belanja dan mengantar
belanjaan itu langsung ke apartemennya”
Pak Rudi hanya mengangguk paham menangapi jawaban Ian.
Ian menekan bel apartemen Dewa berkali-kali, namun yang dinanti tak kunjung datang membuka pintu. Namun sekali dia muncul Ian malah tertegun karenanya. Bagaimana tidak, begitu pintu terbuka yang Ian temui seperti bukan Dewa saja.
Mukanya memerah dan penampilannya kusut, benar-benar kusut, berbeda sekali dengan yang biasa dia lihat. Dewa terlihat seperti orang yang sedang... sakit.
“Masuk!” Katanya parau. “Bawa, kedapur!”
Dia membuka pintu lebar membiarkan Ian masuk. Ian pun mengikutinya kedapur tanpa bicara meskipun sebenarnya mulutnya gatal untuk menanykan keadaan Dewa. Namun dia menahannya karena kalimat tentang mencari perhatian meraung-raung ditelinga Ian. Tiba di dapur Ian meletakkan pesanan Dewa diatas meja makan. Sementara Dewa telah siap dengan mangkuk ditangan dan duduk disalah satu kursi.
Tangannya tak lepas dari kepala untuk memijit pelipis kiri-kanan dengan mata terpejam.
Dia memang sakit.
Ian berbaik hati membuka pesanan tadi dan mendekatkannya ke Dewa. Tapi saat orang itu membuka mata dia malah menunjukkan ekspresi bingung.
“Apa ini?”
“Pesanan anda pak!” Jawab Ian. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba berubah tidak enak, dia ragu kalau-kalau telah salah membawa pesanan.
“Aku tidak memesan ini”
Baru juga Ian memikirkan kemungkinan itu, ternyata memang benar dia telah salah membawa pesanan. Tapi kali ini Ian memberanikan diri, dia harus membuat pembelaan.
“Tapi pak, pak Rudi sendiri yang bilang anda memesan ini padanya. Saya hanya mengantar pesanan yang sudah disiapkan untuk anda” Kilah Ian.
Mendengar jawaban Ian, serta merta Dewa meraih ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang.
“Kenapa yang sampai bukan seperti pesananku?”
"........”
“Aku bilang bubur untuk makan siang ku”
"........”
“Sudahlah, lain kali dengar yang benar!” Katanya berang dan melempar asal ponselnya ke atas meja.
Tak bisa dicegah Ian terperanjat kaget melihat Dewa yang masih bisa bersikap demikian disaat tubuhnya sedang menjerit tak berdaya.
Untuk beberapa saat tak disentuhnya sedikitpun makanan yang Ian bawa. Dia kelihatan masih sangat kesal apalagi ketika pandangannya jatuh pada makanan yang tidak bersalah itu. Dia kembali memijat kepalanya bahkan dengan tekanan lebih kuat dari sebelumnya seraya mendengus kesal. Ian diam tak melakukan apapun, dia sempat berpikir kalau dalam hitungan detik makanan itu akan masuk tong sampah, akan tetapi dia salah. Dewa perlahan mulai mendekatkan makanan tadi, meraih sendok dalam mangkuk menggunakannya untuk makan.
Ian sudah merasa lega karena Dewa mau menyantap makanan tersebut tapi, baru satu suapan Ian harus menelan rasa lega itu. Hanya satu sendok makanan yang masuk mulutnya, Dewa berdecak kesal lalu pergi meninggalkan makanannya dan Ian yang kebingungan setelah membanting kasar tak tentu arah sendok ditangannya.
Masih diliputi kebingungan, bingung bersikap bagaimana, Ian mengikuti kemana Dewa pergi. Dewa berbaring di sofa depan TV. Nafasnya memburu, mukanya kian memerah. Ian ingin bertanya apa Dewa baik-baik saja tapi tidak berani. Dia hanya memperhatikan dengan seksama dari tempatnya berdiri yang cuma berjarak tiga langkah dari tempat Dewa berbaring. Jika
pada kondisi biasa, Ian mungkin akan jadi pelampiasan kekesalan Dewa tapi, karena sekarang kondisinya berbeda dia bahkan tak peduli dengan keberadaan Ian.
Masih ditempat yang sama karena Ian tidak tau harus berbuat apa atau lebih tepatnya dia tidak berani, dia memperhatikan Dewa melawan apapun yang sedang menyerang pertahanan tubuhnya hingga tubuh itu bernafas begitu cepat untuk mengimbangi serangan tersebut. Ian semakin kaku, dalam arti dia bersimpati, saat samar namun dia yakin melihat cairan bening menggantung di sudut mata Dewa. Sementara wajahnya… kian memerah.
Tidak tahu dorongan dari mana, kaki Ian bergerak sangat cepat kembali kedapur dan, tangannya dengan cekatan melakukan sesuatu yang ketika sadari dia sedang memasak.
Yah, dia memasak… bubur.
Ian ingat tadi Dewa mengatakan kalau yang dia pesan adalah bubur, berarti dia ingin makan bubur kan? Tapi karena salah paham yang sampai kemari malah bukan sesuai keinginannya. Karena itu Ian membuatkan bubur seperti keinginan Dewa, dan Ian berharap itu bisa sekaligus menjadi permintaan maaf mewakili restoran. Lagi pula Ian sudah sedikit tahu tentang dapur Dewa jadi dia bisa mengerjakannya tanpa banyak kendala, kalaupun ada yang tidak dia temukan dia bisa mencarinya, atau, dia bisa memasak dengan yang ada saja.
Ian bekerja secepat mungkin dan tak butuh waktu lama semangkuk bubur alakadar karena hanya bahan itu yang dia temukan, tersaji diatas nampan beserta segelas air putih. Segera dia bawa nampan tersebut ketempat Dewa berbaring.
Orang itu… terlihat menyedihkan!
Air mata yang tadinya hanya menggantung disudut matanya perlahan mengalir melalui pelipis kemudian hilang diantara rambutnya.
Ian mendekat, nampan yang dia bawa diletakkan diatas meja, setelah itu dia mencoba untuk memanggil Dewa.
“Pak, saya sudah buatkan bubur. Anda bisa sekarang”
Tak ada jawaban, Ian memberanikan diri menggoyangkan tangan Dewa karena mungkin dia tertidur. Tapi, Ya Tuhan! Panas sekali badannya, pantas saja dia mengeluarkan air mata.
“Pak!” Digoyangkan Ian badan Dewa lebih kuat. Dia sudah tidak peduli kalau itu bisa membuat Dewa marah ataupun mengamuk. Lagi pula, sangat diragukan kalau dia masih bisa bersikap demikian jika sudah pada tahap seperti ini, kecuali dia manusia setengah Dewa yang memiliki kekuatan ekstra.
Dewa menoleh sedikit, tak ada kata-kata dari mulutnya bahkan tolehan kepalanya saja begitu lemah. Dia menatap Ian sayu menunggu apa yang akan Ian katakan. “Saya sudah masakkan bubur, bapak bisa makan sekarang! saya akan mengambilkan obat turun panas. Diamana Bapak menyimpannya?”
Dia menatap bergantian pada Ian dan bubur diatas meja. “Aku tidak punya obat penurun panas!” Jawabnya enteng.
Dia hendak bangun tapi urung dan segera memegang kepalanya. Jadilah sambil berbaring dia mengambil sesendok bubur dari mangkok kemudian menyuapkan ke dalam mulutnya. Kemudian mengembalikan sendok tersebut lalu mengunyah dengan mata terpejam. Setelah suapan pertama dia mengambil sesendok lagi dan mengulangi cara makan seperti tadi.
Ian tercengang luar biasa.
Begitu menguasai diri Ian mendekat dan dengan hati-hati berlutut diantara meja dan sofa tempat Dewa berbaring. Dia mengambil alih sendok didalam mangkok dan begitu Dewa membuka mata dia mengernyit heran karena sesendok bubur sudah berada tepat di depan mulutnya.
Ian memberi isyarat agar dia membuka mulut, dan ajaibnya Dewa menurut. Ian pun menyuapi Dewa hingga hanya tersisa sedikit bubur didalam mangkok. Ternyata orang ini bisa jadi manis juga(?).
Setelah selesai Ian buru-buru pergi untuk mencari obat penurun panas. Ian sadar telah mengulur waktu yang justru bisa membuat panas Dewa bertambah. Tapi mau bagaimana, tidak mungkin juga dia meninggalkan Dewa makan sendiri, dengan cara yang sangat menyedihkan, dalam keadaan sakit seperti tadi.
Pada security dibawah Ian bertanya dimana bisa mendapatkan obat penurun panas disekitar sana, dia kemudian ditunjukkan arah apotik sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari gedung apartemen. Tanpa pikir panjang Ian segera berlari menuju arah yang ditunjuk si security. Dia ingat kalau membawa motor tapi entah mengapa dia justru memilih untuk berlari.
Dan ternyata berlari adalah pilihan yang sangat salah, selain kelelahan Ian juga sedikit kelimpungan mencari letak apotik tersebut karena ternyata letaknya tidak pada garis lurur apartemen melainkan ada pada belokan dan belokan lainnya.
Akhirnya, waktu yang seharusnya lebih singkat karna berlari malah tetap menghabiskan sepuluh menit sampai dia bisa menemukan apotik itu. Untung saat pulang Ian tidak lupa jalan.
Sampai diapartemen Dewa, Ian mau pingsan rasanya. Paru-parunya bagai terhimpit benda keras, sulit sekali untuk bernafas. Sebaiknya ian mempertimbangkan untuk sering olah raga lari mulai dari sekarang.
Ian mengambil waktu sebentar untuk mengatur nafas hingga dirasa paru-parunya sedikit terasa longgar, barulah kemudian dia menuju dapur untuk mengambil segelas air. Obat dan air diletakkan dinampan dan dibawa ke tempat dimana Dewa berbaring.
Ian beringsut mendekat dan menggoyangkan sedikit tubuh Dewa untuk membangunkannya. Saat tangan Ian bersentuhan dengan kulit tangan Dewa, Ian bergidik karena tubuh Dewa semakin panas. Dewa hanya bergumam terhadap tindakan Ian, air mata merembes sebagai reaksi terhadap suhu tubuh yang kian meninggi.
“Pak, minum obat dulu!”
Ian lalu menyodorkan obat itu kemulut Dewa dan dengan gerakan lemah dia membuka mulut untuk menerima suapan obat itu. Hati-hati Ian membatu Dewa minum agar tidak tersedak, dia bahkan mengusap bekas air tersisa di sudut bibir Dewa sebelum akhirnya menuntun tubuh sakit itu kembali berbaring.
Sementara Dewa tiduran, Ian membereskan nampan obat, gelas, dan membawanya kedapur. Dicucinya Gelas tadi dan meletakkannya kembali ditempat semula. Selesai dengan itu Ian kembali ke tempat Dewa yang sekarang sedang meringkuk seperti orang kedinginan. Sebutlah Ian sebagai orang yang tidak sopan karena itulah yang dia lakukan saat masuk kekamar Dewa tanpa permisi sebelumnya untuk mengambil selimut di atas tempat tidur. Saat merasa tidak tega melihat Dewa tidur meringkuk layaknya tunawisma yang kedinginan di emperan toko, mengenaskan, otakknya memberi perintah begitu saja supaya Ian mencarikan selimut dan tempat pertama yang pasti terpikirkan oleh siapapun adalah kamar tidur.
Begitu tubuh Dewa terbalut dengan selimut, Ian ikut bersimpuh didekat Dewa. Ada rasa khawatir kalau keadaan Dewa semakin memburuk.
“Pak apa tidak sebaiknya kita kerumah sakit saja?”
Dewa menjawab dengan gumaman yang tidak bisa dimengerti apa maksudnya. Ian menyentuh kening Dewa yang masih panas. Baru beberapa menit berlalu pastilah obatnya belum bekerja dan itu, membuat Ian gusar.
Dia berlari kedapur hendak menyiapkan kompresan. Namun, kain yang dia butuhkan malah tidak ada. karena itu, Ian kembali masuk kekamar Dewa dan mencari di lemarinya. Sebuah handuk kecil Ian temukan di dalam laci lemari dan segera dibawanya keluar. Sementara air kompresan sudah lebih dulu dia letakkan disana.
Ian bukan orang yang cukup paham dalam urusan ini, makanya dia hanya mengulang kompresan hingga berkali-kali sampai saat dia menyentuh kening Dewa panasnya sudah sedikit menurun pertanda obat yang dia minum sudah bekerja.
Ian bernafas lega.
Ian sudah bersiap untuk pulang setelah membenahi peralatan kompres. Tetapi tiba-tiba dia berhenti dan melihat jam. Ian jadi kepikiran bagaimana dengan makan malam Dewa? Melihat keadaannya tadi, dia ragu kalau Dewa bisa mengurus makan malamnya sendiri. Tak ada pilihan lain Ian pun kembali berkutat dengan dapur. Hanya masakan ringan agar lambung Dewa tidak perlu terlalu keras bekerja. Terserah Dewa mau memakannya atau tidak, karena, setidaknya dengan ini Ian bisa pulang tanpa was-was memikirkan keadaan orang itu.
Sebelum pulang Ian memastikan sekali lagi keadaan Dewa yang terlihat sudah lebih tenang dengan nafas teratur mengiringi tidurnya. Dan tanpa Ian sadari dia malah mematung memandangi Dewa tertidur. Ada perasaan senang mengetahui keadaannya sedikit membaik, perasaan yang hampir sama dengan yang dia rasakan ketika Gugun yang malam itu demam tinggi dan keadaannya berangsur membaik.
Saat itu perasaan senang yang dia rasakan jauh lebih besar dari ini karena, orang yang ditunggui adalah orang yang sudah mengambil alih separuh dari dirinya.
Deg!
Mendadak dada Ian seperti terhimpit hingga sangat sulit baginya untuk mengumpulkan oksigen agar bisa bernafas.
Sangat sesak!
‘Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apa dia sudah makan?’ Ian kalut, perasaannya tiba-tiba saja kacau. ‘Bagaimana ini, haruskah aku menghubunginya untuk sekedar memastikan?’
Tangan Ian yang entah sejak kapan menjadi gemetaran dengan sigap merogoh kedalam saku celana mengambil ponselnya disana. Dia segera mencari kontak Gugun, begitu menemukannya dia hanya perlu menekan tombol panggil dan secepatnya ponsel itu akan tersambung dengan milik Gugun tapi, dia malah berhenti.
‘Bagaimana kalau ternyata dia tidak mau bicara padaku? Bagaimana kalau dia menolak untuk bicara?’
Tidak mungkin juga dia menghubungi Ogi untuk menanyakan kabar Gugun. Lagipula dia tidak mempunyai kontak Ogi kan?
‘Kenapa… Kenapa kamu masuk begitu dalam ke dalam hidupku jika pada akhirnya kamu memilih pergi? Ini sudah masuk hitungan bulan dan aku masih seperti ini. atau sebenarnya aku yang terlalu bodoh karena begitu mencintaimu’
Setetes cairan bening mengalir lancar melewati pipi Ian. Ian yang tersadar buru-buru menghapusnya. Dia tidak boleh menangis lagi. Kendatipun masih belum bisa membuang Gugun dari pikirannya tapi, setidaknya dia tidak menangis ketika memikirkan orang itu. Biarlah waktu menghapusnya perlahan demi perlahan sampai hilang tak berbekas.
Kembali ketempat Dewa, Ian menghampiri dan membetulkan letak selimut Dewa yang sama sekali tidak salah, kemudian pulang ketika hari telah beranjak malam.
“Jadi kau masuk ke kamarku?” Dewa menatap langsung ke mata Ian dengan cara yang tidak bisa digolongkan menyenangkan ketika bertanya. “Berani sekali!”
Dua kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya membuat Ian seakan menjadi tersangka sebuah tindakan kejahatan yang tak bisa dimaafkan.
Sejak kedatangan Dewa tadi Ian tau kalau keadaannya sudah membaik atau dengan kata lain dia sudah sembuh. Hanya saja Ian tidak tahu apakah dia harus senang atau justru sebaliknya karena, melihat apa yang terjadi sekarang dia malah diperlakukan seperti seorang kriminal sebagai balas jasa untuk bantuan yang dia berikan. Yah, Ian tak menapik kalau dia juga salah karena lancang masuk ke kamar orang lain. Tapi, dia melakukannya untuk membantu Dewa, bukan karena ada maksud lain. Pada situasi seperti ini, dari pada dibilang senang Ian justru menyesal telah memberi bantuan.
Tidak Ikhlas? Biarlah, lagipula tidak ada manusia yang sempurna.
Sebenarnya Dewa datang untuk bertemu dengan pak Rudi membahas soal restoran yang akan dipakai untuk acara pesta ulang tahun sekertarisnya, Marisa. Pak Rudi memberi pengumuman itu tadi pagi. Dan sebelumnya Ian masih bekerja seperti biasa meski dengan hati cemas, dan terima kasih kepada masalah karena akhirnya yang Ian was-waskan terjadi.
Pak Rudi datang menghampiri Ian yang sedang mengalap piring-piring dan mengatakan kalau Dewa sedang menunggunya di ruangan Pak Rudi. Dan disanalah Ian sekarang menghadap Dewa untuk mempertanggung jawabkan kelancangannya.
“Saya hanya mau mengambilkan selimut untuk anda pak” Bela Ian.
“Tanpa minta izin terlebih dahulu?” Tanyanya sengit. Nyaris tak ada jeda antara pembelaan Ian dan sanggahannya.
Ian menarik nafas dalam-dalam untuk sedikit meredam rasa tegang yang muncul tiba-tiba diantara mereka. Menghadapi ini, sisi lain Ian muncul, dia tidak mau diam, dia akan tetap membuat pembelaan.
“Saya tidak berani mengganggu tidur anda ja-”
“Klasik!” Potong Dewa cepat, bahkan dia tidak mengizinkan Ian menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu. “Dan handuk kecil itu? Kau juga mengaduk-aduk isi lemariku?”
Ian mendesah pelan. “Saya minta maaf telah lancang”.
Sepertinya tidak ada gunanya membuat pembelaan sekarang, Dewa akan terus menyanggahnya. Dan seberapapun tidak inginnya Ian untuk disalahkan, dia akan tetap menjadi tersangka disini.
Ian memilih menundukkan kepala tak berani menatap Dewa atau lebih tepatnya tidak mau, akan tetapi tindakan itu justru membuat Ian tidak tahu bagaimana reaksi Dewa mendengar permintaan maafnya. Detik-detik berlalu namun tak ada jawaban dari Dewa, kontras sekali dengan beberapa waktu lalu dimana dia begitu cepat menjawab setiap ucapan Ian nyaris tanpa jeda. Masih belum mendapat reaksi Dewa, Ian berniat mengintip sedikit dari posisi menunduknya tapi, belum juga dia melakukanya dia sudah mendengar suara kursi yang bergeser diikuti suara langkah kaki yang kian mendekatinya.
Hanya butuh beberapa detik Ian sudah melihat bagian kaki Dewa berdiri hanya berjarak satu langkah kecil dari tempatnya berdiri. Pada jarak sedekat itu Ian justru penasaran menatap Dewa, karenanya dia memberanikan diri melihat pada tatapan dingin yang balik menatapnya.
Betapa tidak nyamannya Ian dengan keadaan itu.
“Tidak ku sangka kau orang yang sangat tidak tau sopan santun!” Katanya penuh penekanan.
Ian hendak menyahut tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Yang terdengar hanyalah hembusan nafas beratnya berulangkali.
“Dasar tidak tau malu!”
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Dewa meninggalkan Ian diruangan pak Rudi yang mendadak kekurangan oksigen.
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, pesta ulang tahun Marisa sekertaris Dewa dipersiapkan dengan mewah dan semi formal. Segala sesuatunya dicek secara berkala oleh Dewa sendiri. Dia sangat menuntut agar pesta ini benar-benar terlihat spesial dan sempurna tanpa sedikitpun kesalahan. Dia tidak mau tahu untuk keberapa kali seorang pelayan akan mengulangi perkerjaannya yang dia anggap salah hingga akhirnya benar dimatanya. Tak urung para pelayan kelimpungan menuruti perintah Dewa karena, bukan hal mudah untuk memenuhi kemauan seorang Dewa. Oleh karena sikap tersebutlah, isu mengenai hubungan spesial antara Marisa dan Dewa merebak begitu saja dan menjadi perbincangan hangat di kalangan pelayan.
Orang mana yang tidak akan berpikir demikian jika melihat langsung reaksi Dewa begitu menemukan kesalah sekecil biji sekalipun dalam persiapan ini? Bahkan Ian tergabung didalamnya. Hanya saja dia tidak mau ambil pusing, positifnya Dewa tidak terus menghakiminya dengan kata-kata kejam karena sibuk dengan persiapan pesta. Padahal dua hari ini mereka selalu berpapasan, namun, jangankan untuk menyudutkan Ian, Dewa bahkan tidak menaruh perhatian akan keberadaan Ian disana.
Dan... Ian sangat bersyukur karenanya.
Persiapan terus berlanjut hingga pada hari pesta kesibukan kian menjadi. Dewa seakan tak mengenal kata jenuh untuk berpatroli seraya mengecek pekerjaan para pelayan satu per satu. Tindakan itu baru terhenti saat tamu mulai berdatangan dan Dewa memutuskan berganti pakaian agar bisa menyambut mereka.
Tak butuh waktu lama bagi Dewa untuk menjelma sebagai seorang pangeran dengan wajah lebih segar dan penampilan khasnya yang elegan.
Satu persatu tamu mulai berdatangan, para pelayan mengerahkan usaha terbaik untuk menyambut kedatangan mereka dan melayani mereka sebaik mungkin. Marisa sendiri sudah ada diantara para tamu dan dia terlihat sangat memukau. Mengenakan gaun mini black dress yang pas ditubuh rampingnya, kaki panjang indahnya terekspos dengan sempurna sama seperti bagian atas tubuhnya yang menantang menggoda. Ian berani bertaruh akan ada banyak pria yang terpesona dengan penampilan Marisa malam ini, tak terkecuali yang murni gay sepertinya. Meski terpesona yang dimaksudkan disini adalah terpesona dalam artian kagum tentunya.
Didapur teman-teman Ian sedang bersiap-siap untuk membawa keluar kue ulang tahun Marisa yang tidak bisa dikatakan kecil dan sudah dihias dengan sangat indah, kue itu semakin menunjukkan akan betapa spesialnya orang yang sedang berulang tahun.
“Oke, teman-teman siap-siap untuk pesta kejutannya, semua standby pada tugas masing-masing. Gio, Andi dan Reza bersiap untuk membawa kue ini keluar sementara yang lain tetap pada tugas masing-masing. Ingat, aku tidak mau ada kekacauan, mengerti?” Teriak Toni kepala Chef diantara kesibukannya, yang segera dijawab “Ya” serempak oleh anak buahnya.
Mereka yang membawa kue dan minuman keluar serentak, Ian bergabung dengan teman yang lain menyapa tamu dengan senyum ramahnya dan menawari mereka minuman dalam nampan yang dia bawa. Yang lain juga melakukan hal yang sama. Begitu kue telah berada di depan Marisa, Dewa memberikan senyum paling menawan untuk gadis itu diikuti dengan gerakan tubuhnya yang perlahan berlutut. Tanpa melepas tatapannya Dewa meraih tangan kiri Marisa dan mengecupnya lembut lalu berkata.
“Untukmu wanita yang sudah sangat berjasa dalam hidupku”
Marisa membekap mulutnya sendiri dengan tangannya yang lain, mata indahnya jelas menunjukkan kalau ia sangat terharu dengan perlakuan Dewa. Butiran-butiran bening telah setia bergelantungan di kelopak matanya menunggu untuk mengaliri pipi halus yang sedang merona karena bahagia.
Namun sang empunya mata berusaha keras agar butiran itu tetap pada tempatnya.
“Selamat Ulang!” Dewa mengakiri kalimatnya.
Para tamu yang tak lain merupakan teman kantor Marisa dan beberapa kolega Dewa tak mampu menutupi keterkejutan mereka menyaksikan perlakuan istimewa Dewa terhadap sekertarisnya itu. Beberapa diantaranya jelas-jelas sedang berbisik mengenai kemungkinan hubungan mereka yang bisa jadi lebih dari sekedar atasan dan bawahan.
Sementara Dewa sendiri seolah menutup telinga dan mata dengan reaksi disekelilingnya. Dia malah menuntun Marisa untuk meniup lilin setelah sebelumnya membuat permohonan.
“Boleh aku tahu apa permohonanmu?” Tanya Dewa setelah tepuk tangan yang mengiringi acara tiup lilin mereda.
Marisa tersipu malu.
“Oh, ayolah katakan saja! Kami juga ingin tahu”
Marisa tersenyum menutupi rasa malunya, bukannya menjawab pertanyaan Dewa Marisa malah memprotes tindakan Dewa yang merayakan ulang tahun sedemikian meriah.
“Kamu tidak perlu melakukan semua ini untukku”
“Sudah kubilang ini untuk wanita yang sudah sangat berjasa dalam hidupku”
Mereka tersenyum bersama, berbanding terbalik dengan para tamu yang terlihat kebingungan dan bertanya-tanya.
“Kamu masih tidak mau memberitahukan apa permohonanmu?
Baiklah kalau begitu aku akan menebaknya”
Semua hening, seolah mereka juga ingin mengetahui apa permohonan sang ratu semalam ini. Bahkan para pelayan ikut berhenti tidak terkecuali Ian yang memang telah menyaksikan kejadian ini dari awal.
Sebelum melanjutkan kata-katanya Dewa memandang lekat mata Marisa yang juga sedang memandangnya. “Apa kamu sedang berharap agar orang yang kamu cintai ada disini bersamamu sekarang?”
Dewa menebak permohonan Marisa dengan sebuah pertanyaan.
Para tamu semakin hening, meski ada juga yang terlihat berbisik menunggu jawaban Marisa yang terlihat seperti terkejut, terkejut seakan tebakan Dewa benar-benar mengenai sasaran.
“Jika itu permohonanmu maka percayalah padaku bahwa orang yang sangat kamu cintai itu ada disini” Kata Dewa seraya merangkul pinggang ramping Marisa untuk lebih merapat padanya. Beberapa orang berseru membuat kegaduhan, yang lain terlihat tidak percaya karena yang mereka perkirakan mengenai hubungan Marisa dan Dewa adalah benar. Kalimat Dewa dan tingkah lakunya benar-benar menunjukkan ada sesuatu diantara mereka. Beberapa saat tadi Dewa terlihat seperti orang yang sedang menyatakan cinta.
Sama seperti yang lain Marisa juga terlihat tidak percaya.
“Tidak mungkin!” Desisnya.
“Menurutmu begitu?” Senyuman Dewa seakan menantang. “Ted keluarlah!”
Seorang pria tiba-tiba muncul dari balik kerumunan orang-orang yang tiba-tiba membelah memberi si pria gagah ruang untuk berjalan lurus kearah Marisa.
“Selamat ulang tahun” katanya dengan suara berat, dia juga memberi kecupan mesra di pipi Marisa. Yang dicium justru memasang wajah tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
“Ini hadiah ulang tahunku untukmu” Kata Dewa yang sama sekali tidak mampu untuk mengalihkan pandangan Marisa dari pria yang ada dihadapannya saat ini. Dan mata indah itupun kembali berkaca-kaca.
“Oya, Ted ingin menyampaikan sesuatu untukmu. Silahkan Ted”
Pria bernama Ted itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya kemudian berlutut didepan Marisa.
“Aku tidak tahu harus memberimu hadiah apa, yang terpikir olehku hanyalah menyerahkan diriku seutuhnya untuk bersamamu. Maukah kamu menghabiskan hari-harimu bersamaku?”
Suasana kembali gaduh, orang-orang berseru. Dan tanpa aba-aba mereka semua ikut mendukung dengan meneriakkan kata “Jawab... jawab...!”
Pertahanan Marisa roboh, air mata berlomba-lomba keluar dari matanya membuat aliran begitu deras dipipi putihnya. Dalam haru karena begitu bahagia Marisa menjawab pertanyaan itu.
“Aku mau.. aku mau” katanya sambil mengangguk semangat.
Ted lalu mengecup tangan Marisa sebelum akhirnya membawa Marisa kedalam pelukannya dan mendekapnya erat.Tanpa perlu dikomando para tamu bertepuk tangan riuh sebagai bentuk dukungan mereka dan juga sebagai ungkapan ‘Akhirnya aku paham apa yang sedang terjadi’.
“Selamat ya!” Kata Dewa memberi selamat begitu Marisa sudah lepas dari dekapan Ted, dan sebagai balasannya Dewa diberi beberapa pukulan didadanya.
“Hey, ayolah kamu bisa menahan tangismu saat aku berlutut tadi, kenapa saat dia yang melakukannya kamu tidak bisa?”
Lagi-lagi dewa mendapat pukulan bahkan lebih kuat dari sebelumnya. “Aww, sampai kapan kamu mau memukulku?”
Seketika Marisa berhenti, dia memberikan Dewa tatapan antara berterimakasih dan juga sebal, namun dalam hitungan detik dia sudah berhamburan kedalam pelukan Dewa dan mengucapkan kata ‘terimaksih’ berulang kali.
“Dasar cengeng” Desis Dewa mengejek Marisa yang tidak kunjung berhenti menangis.
Kejutan belum berhenti disitu karena kemudian orang tua dan beberapa kerabat Marisa juga Ted ikut muncul untuk memeriahkan pesta ulang tahun yang telah berubah menjadi acara lamaran tersebut.
Pesta pun dimulai, alunan musik yang sedikit menghentak mulai diperdengarkan. Para tamu terlihat menikmati pesta ini, apalagi Marisa. Dewa tak henti-hentinya menegak minuman hingga acara pesta telah selesai dan dia sedang duduk bersama Pak Rudi, minuman masih setia menemaninya.
“Terima kasih atas kerjasamanya, pestanya sangat menyenangkan. Aku puaasss!” Dari cara Dewa berbicara jelas menunjukkan kalau dia sudah sangat berada dalam pengaruh alkohol.
“Anda sudah minum sangat banyak, jangan teruskan lagi. Saya akan menyuruh salah satu pegawai untuk mengantar anda pulang”
“Tidak aku masih mau disini untuk merayakan lamaran kakakku” Kata Dewa menolak dan meneruskan acara minum dengan langsung meminumnya dari botol.
Pak Rudi menghela nafas melihat sikap keponakan dari majikan terdahulunya itu. Tak peduli dengan penolakan Dewa pak Rudi segera mencari Ian, orang yang diketahuinya tau alamat Dewa, untuk segera mengantar Dewa pulang. Terang saja Ian keberatan untuk melakukannya walau pada akhirnya dia tetap melakukan pekerjaan itu.
Membopong orang mabuk berat memanglah bukan pekerjaan mudah. Ian harus menompang penuh tubuh Dewa yang jauh lebih besar dari padanya, beberapa kali tubuh Dewa merosot jatuh dan dengan susah payah Ian mengangkatnya kembali. Belum lagi langkah Dewa yang tidak teratur dan lebih sering diam hingga Ian kualahan karenanya. Butuh perjuangan ekstra bagi Ian untuk membawa Dewa sampai ke apartemennya.
Dan tidak berhenti disitu, saat Ian akan membaringkan Dewa ke tempat tidur dia malah menarik tubuh Ian jatuh menindihnya. Jelas tindakan itu mengejutkan Ian dan secara reflek dia menarik tubuhnya untuk berdiri kembali. Tapi usaha Ian justru berujung lebih buruk ketika Dewa dengan cepat mengubah posisi mereka hingga kini dia yang menindih Ian.
Dewa menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher Ian yang membuat Ian benar-benar tak nyaman karenanya.
Ian mencoba melepaskan diri, namun setiap kali dia bergerak
Dewa malah semakin menyurukkan kepalanya dan mengeratkan pelukannya. Pada titik itu Ian sudah pada batas ketidaknyamanannya maka dengan sekali dorong dia mendorong tubuh Dewa, namun lagi-lagi Ian kalah cepat karena Dewa dengan sigap menangkapnya kembali.
Wajah mereka beradu.
Dewa telah membuka matanya dan menatap Ian dengan sayu. Ian melakukan hal yang sama seolah Dewa telah mengunci tatapannya agar tidak berpaling kepada selain dia. Tanpa melepaskan tatapannya perlahan tangan Dewa bergerak mengelus lembut pipi Ian, sangat lembut, selembut tatapannya. Seiring dengan elusannya, wajah Dewa bergerak lambat mendekati wajah Ian. Dada Ian bergemuruh namun demikian dia tidak memalingkan wajahnya dan membiarkan wajah Dewa terus mendekat hingga kening mereka menempel.
Tangan Dewa masih terus bergerak mengelus pipi Ian, sesekali dia mengelus kepalanya, lalu beralih pada hal yag lebih intim. Dewa menggesekkan hidungnya pelan pada hidung Ian. Sangat pelan, seakan dia ingin menyampaikan sesuatu melalui gesekan itu.
“Jangan pergi, tinggallah disini sebentar... hanya sebentar”
Dewa mengigau, Ian tahu persis akan hal itu maka dia pun membiarkan tubuh mereka pada posisi itu untuk beberapa saat hingga tubuh Dewa terasa semakin berat menandakan dia telah terlelap.
Dengan hati-hati Ian mendorong tubuh Dewa kesamping untuk memberi ruang padanya, Ian lebih leluasa sekarang.
“Jangan pergi... kumohon!” Dewa mendekap erat tangan Ian
“Hanya sebentar... tinggllah disini... seben-tar sa-ja!”
Ian terdiam, dia pun tidak tau apa yang harus dia lakukan tapi yang pasti dia sama sekali tidak beranjak dari ranjang Dewa.
Wajah pulas Dewa membuka kembali kenangannya yang sebelumnya sudah terlebih dulu dibuka oleh Ted pada saat dia melamar Marisa.
“...maukah kamu menghabiskan hari-harimu bersamaku?”
Kalimat itu menari-nari di telinga Ian, kalimat yang pernah membuatnya begitu bahagia.
---
Ian menggeliat pelan di tempat tidur masih enggan membuka mata, sepertinya semalam dia tidur sangat pulas, mungkin karena dia terlalu lelah kemarin. Ah, akhirnya setelah sekian lama dia bisa kembali menikmati tidurnya dengan nyenyak. Hari ini dia akan bangun dengan tubuh segar setelah tidur dengan lelap.
Mata Ian mengerjap beberapa kali setelah dia memutuskan menarik diri dari tidur nyenyaknya.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Ian terlonjak bangun dan syok bukan main saat mendapati dirinya tidur dikamar Dewa. Bagaimana semua bisa terjadi? Bahkan sehelai selimut tebal membalut hangat tubuhnya yang terlelap diatas ranjang empuk beralaskan bantal yang sama empuknya. Ian merasa sangat bodoh karena bisa tertidur di tempat orang lain, diranjangnya malah. Akan lain ceritanya jika dia memang diundang untuk itu, tapi ini... jangankan untuk sebuah undangan mengingat hubungan mereka saja tidak baik, bagaimana mungkin bisa mendapat undangan semacam itu .
Ck!
Ian berdecak kesal seraya bangkit dari ranjang. Seluruh pakaiannya masih lengkap dia hanya perlu mencari sepatunya.
Sigh!
Ian mendesah berat dan tak henti mengutk dirinya sendiri. Dalam benaknya sekarang menari kengerian akan reaksi Dewa. Orang itu pasti akan sangat meledak, tapi mau bagaimana lagi itu sudah resiko Ian yang tak sanggup menahan kantuk ketika menemani Dewa tidur semalam.
Sungguh, Ian telah melakukan kelancangan bodoh yang seharusnya tidak terjadi.
“Sudah bangun tuan muda?”
Ian tak mampu menutupi rasa terkejutnya mendengar sapaan selamat pagi yang jelas sangat berbeda dengan ucapan selamat pagi pada umumnya itu. Apalagi ucapan itu meluncur langsung dari orang yang tak sedikitpun menaruh simpati padanya. Entah dari mana datangnya angin itu hingga tubuh ian mendadak menggigil saat pandangannya bertemu dengan pandangan Dewa. Tak ada kemarahan disana, itu hanya tatapan dingin seorang Dewa yang siap membatai apa saja dengan ucapannya.
“......”
Sangking gugupnya tidak ada jawaban yang Ian berikan untuk membalas sapaan selamat pagi tersebut.
“Apa yang kau lakukan dikamarku?”
Sangat tenang, baik raut wajah maupun kalimatnya terlihat dan terdengar sangat tenang namun penuh ancaman.
“Tadi malam anda mabuk berat lalu pak Rudi menyuruh saya untuk mengantar anda pulang. Begitu.. pak! ”
Dewa mengangguk mendengar penjelasan Ian bersikap seolah dia telah mendengar alasan yang sangat masuk akal. “Oke”
Katanya tersenyum, Ian justru memiliki firasat buruk melihat senyuman itu. “Lantas kau berdiam disana dan ikut TIDUR DIATAS RANJANGKU?”
“......”
“Kau menginginkanku sedemikian besar?”
“......”
Nafas Ian mulai memburu menahan rasa panas dipipinya karena malu.
“Tidak bisakah kau bersikap sedikit sopan? Kau tau tata krama kan? Atau kau memang tidak memiliki kedua hal itu?”
Saat seperti ini Ian tidak tau harus berbuat apa, dia tersudut. Dia tahu pembelaannya tidak akan bermakna yang dia lakukan hanyalan mengucapkan “Maaf!”
“Menurutmu aku bisa memaafkanmu?”
“.......”
“Semula kau mengacak-acak kamarku dan sekarang kau tidur disana. Apa kau selalu seperti ini?”
“.......”
Ian tidak tahu harus menjawab apa, pikiran telah begitu kacau karena tersudut. Setelah menjadi pengganggu dan orang yang tidak tahu sopan santun sekarang dimata Dewa dia menjadi lebih buruk dari kedua hal tersebut karena tindakannya telah membawa Ian menjelma sebagai seorang pria penggoda.
“Jawab aku!”
“Maaf pak saya sudah lancang”
Terdengar suara kekehan Dewa.
“Maaf lagi, tidak bisakah kau mengatakan kata lain selain maaf?”
“.......”
Ian benar-benar kehilangan kata-katanya, Dewa tidak mau kata maaf sama seperti halnya dia tidak mau mendengar penjelasan Ian. Dan Ian juga salah kalau diam, lantas apa yang harus Ian lakukan? Apa Dewa ingin Ian mengakui dirinya sebagai pria penggoda yang selama ini terus mencoba untuk merayu Dewa seperti yang dia tuduhkan? Orang itu benar-benar membingungkan.
“Siapkan sarapan untukku setelah itu pergi dari sini!” Perintah Dewa kemudian saat tak kunjung mendapat jawaban dari Ian.
Ian mengangguk patuh dan mendesah pasrah lalu membawa langkahnya kedapur melaksanakan perintah sang Dewa.
Oke, part II selesai
sebenarnya aku merasa aneh dengan part ini tapi ini yang terpikirkan olehku. jadi maaf kalau mengecewakan.
terimaksih bagi yang sudah mampir, buat @3ll0 makasih sarannya dulu, maaf baru terima kasih sekarang!!!
salam Nara!
Ko @Tsunami @elul @Tsu_no_YanYan @d_cetya @joshdavid62 @dafaZartin @Enykim @handikautama @iqi_uzuchan @iqi_uzuchan @idiottediott @obay @lulu_75 @Wita Bang @balaka Kak @cute_inuyasha @rizky_27 @672048 @mamomento @bumbellbee @miw @Gabriel_Valiant @kimo_chie @rhe.rhe @animan @darwin_knight @Soni_Saja @idhe_sama @farizpratama7 @YANS FILAN @DonnyArchuleta @kaka_el @dafaZartin @-VS- @joshdavid62 @Adi_Suseno10
@VeneNara Akhir nya Update ^^ {}